You are on page 1of 19

PERCOBAAN III UJI ANALGETIKA

I.

TUJUAN Mahasiswa mengenal dan mempraktekkan pengujian daya analgesik

dengan menggunakan metode rangsang kimia.

II.

DASAR TEORI Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi

atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan, keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghilangkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu konstan adalah 44-450 C (Tjay, 2007). Mekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut rangsangan (baik mekanik, termal maupun kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses di pusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami). Rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai faktor dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh mekanik seperti tekanan, tusukan jarum, irisan pisau dan lain-lain. 2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu, Ratarata manusia akan merasakan nyeri jika menerima panas diatas 45 C, dimana mulai pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan 3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan membebaskan zat yang di sebut mediator yang dapat berikatan dengan reseptor nyeri antaralain: bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin dan

prostaglandin. Bradikinin merupakan zat yang paling berperan dalam menimbulkan nyeri karena kerusakan jaringan. Zat kimia lain yang berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam, enzim proteolitik, Zat P dan ion K+ (ion K positif ). Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut A bermielin halus bergaris tengah 2-5 m, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 m, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut A berperan dalam menghantarkan "Nyeri cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan "nyeri Lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak. Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak (Adeyemi, 2001). Analgetik Opioid (narkotik) Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri yang hebat sekali. Dalam dosis besar dapat bersifat depresan umum (mengurangi kesadaran), mempunyai efek samping menimbulkan rasa nyaman (euforia). Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat dihilangkan oleh analgesik narkotik kecuali sensasi kulit. Harus hati-hati menggunakan analgesik ini karena mempunyai risiko besar terhadap ketergantungan obat (adiksi) dan kecenderungan penyalah gunaan obat. Obat ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark jantung, kolik batu empedu/batu ginjal (Tjay, 2007). Obat golongan ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark) kolik batu empedu, kolik ginjal. Tanpa indikasi kuat, tidak dibenarkan penggunaannya secara kronik, disamping untuk mengatasi nyeri hebat, penggunaan narkotik diindikasikan pada

kanker stadium lanjut karena dapat meringankan penderitaan. Fentanil dan alfentanil umumnya digunakan sebagai premedikasi dalam pembedahan karena dapat memperkuat anestesi umum sehingga mengurangi timbulnya kesadaran selama anestesi. Penggolongan analgesiknarkotik adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Alkaloid alam: morfin, codein Derivat semi sintesis: heroin Derivat sintetik: metadon, fentanil Antagonis morfin: nalorfin, nalokson dan pentazocin

(Katzung, 1986). Analgesik non opioid (non narkotik) Disebut juga analgesik perifer karena tidak mempengaruhi susunan syaraf pusat. Semua analgesik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu menurunkan suhu bada pada saat demam. Khasiatnya berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit dengan bertambahnya pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak keringat. Misalnya parasetamol, asetosal, dll. Dan berkhasiat pula sebagai anti inflamasi , anti radang atau anti flogistik (Tjay, 2007). Anti radang sama kuat dengan analgesik, digunakan sebagai anti nyeri atau rematik contohnya asetosal, asam mefenamat, ibuprofen. Anti radang yang lebih kuat contohnya fenilbutazon. Sedangkan yang bekerja serentak sebagai anti radang dan analgesik contohnya indometazin (Mutschler, 1991). Penggolongan analgesik non opioid (non narkotik) berdasarkan rumus kimianya analgesik perifer digolongkan menjadi: 1. Golongan salisilat. Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin .Obat ini diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri otot, demam dan lain-lain. Saat ini asetosal makin banyak dipakai karena sifat anti plateletnya. Sebagai contoh aspirin dosis kecil digunakan untuk pencegahan trombosis koroner dan cerebral. Asetosal adalah analgetik antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Masalah efek samping yaitu perangsangan bahkan dapat menyebabkan iritasi lambung

dan saluran cerna dapat dikurangi dengan meminum obat setelah makan atau membuat menjadi sediaan salut enterik (enteric-coated). Karena salisilat bersifat hepatotoksik maka tidak dianjurkan diberikan pada penderita penyakit hati yang kronis. 2. Golongan para aminofenol. Terdiri dari fenasetin dan asetaminofen (parasetamol). Tahuntahun terakhir penggunaan asetaminofen yang di Indonesia lebih terkenal dengan nama parasetamol meningkat dengan pesat. Efek analgesik golongan ini serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang, dan dapat menurunkan suhu tubuh dalam keadaan demam, dengan mekanisme efek sentral. Fenasetin karena toksisitasnya terhadap hati dan ginjal saat ini sudah dilarang penggunaannya. Efek samping parasetamol dan kombinasinya pada penggunaan dosis besar atau jangka lama dapat menyebabkan kerusakan hati. 3. Golongan pirazolon (dipiron). Fenilbutazon dan turunannya saat ini yang digunakan adalah dipiron sebagai analgesik antipiretik, karena efek inflamasinya lemah. Efek samping semua derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Dibeberapa negara penggunaannya sangat dibatasi bahkan dilarang karena efek samping tersebut, tetapi di Indonesia frekuensi pemakaian dipiron cukup tinggi meskipun sudah ada laporan mengenai terjadinya agranulositosis. Fenilbutazon digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid. 4. Golongan antranilat (asam mefenamat). Digunakan sebagai analgesik karena sebagai anti inflamasi kurang efektif dibanding dengan aspirin. Efek samping seperti gejala iritasi mukosa lambung dan gangguan saluran cerna sering timbul (Tjay, 2010). AINS (Analgesik Anti Inflamasi Non Steroid) AINS adalah obat-obat analgesik yang selain memiliki efek analgesik juga memiliki efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam

pengobatan rheumatik dan gout. Contohnya ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenilbutazon dan piroxicam. Sebagian besar penyakit rheumatik membutuhkan pengobatan simptomatis, untuk meredakan rasa nyeri penyakit sendi degeneratif seperti osteoartritis, analgesik tunggal atau campuran masih bisa digunakan. Tetapi bila nyeri dan kekakuan disebabkan penyakit rheumatik yang meradang harus diberikan pengobatan dengan AINS. 1. Ibuprofen. Adalah turunan asam propionat yang berkhasiat anti inflamasi, analgesik dan anti piretik. Efek sampingnya kecil dibanding AINS yang lain, tetapi efek anti inflamasinya juga agak lemah sehingga kurang sesuai untuk peradangan sendi hebat seperti gout akut. 2. Diklofenak. Derivat fenilasetat ini termasuk AINS yang terkuat anti radangnya dengan efek samping yang kurang keras dibandingkan dengan obat lainnya seperti piroxicam dan indometasin. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi nyeri koli hebat (kandung kemih dan kandung empedu). 3. Indometasin. Daya analgetik dan anti radang sama kuat dengan asetosal, sering digunakan pada serangan encok akut. Efek samping berupa gangguan lambung usus, perdarahan tersembunyi (okult), pusing, tremor dan lainlain. 4. Fenilbutazon. Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat daripada kerja analgetiknya. Karena itu golongnan ini khususnya digunakan sebagai obat rematik seperti halnya juga dengan

oksifenilbutazon. Fenilbutazon ada kalanya dimasukan dengan diam-diam (tidak tertera pada etiket) dalam sediaan-sediaan dari pabrik-pabrik kecil asing, dengan maksud untuk mengobati keadaan-keadaan lesu dan letih, otot-otot lemah dan nyeri. Penyalahgunaannya dalam obat-obat penguat

dan tonikum (dengan ginseng) adalah sangat berbahaya berhubung efek merusaknya terhadap sel-sel darah. 5. Piroksikam. Bekerja sebagai anti radang, analgetik dan antipiretik yang kuat. Digunakan untuk melawan encok. Efek samping berupa perdarahan dalam lambung usus (Tjay, 2007). Metode-metode pengujian aktivitas analgesik Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Anonim, 1993). 1. Metode geliat Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan percobaan mencit. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test. Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta, 2003). 2. Metode Listrik Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora dan Dandiya, 1992).

Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus dan mencit (Manihuruk, 2000). 3. Metode Panas Tiga metode yang bisa digunakan untuk memberikan rangsangan panas: 1. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang dipertahankan pada suhu 60 10 C (Gupta et al., 2003). 2. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni panas (5,5 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992). 3. Metode hot plate. Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral. Pada metode ini hewan percaobaan diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56 10C) sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan akan memberikan respon terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat kaki depan. Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas analgesik (Adeyemi, 2001).

4. Metode Mekanik Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan diberikan pada ekor atau kaki hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah diberi obat. Metode ini dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit (Manihuruk, 2000).

III.

ALAT DAN BAHAN

Alat 1. Spuit injeksi 0,1 ml-1 ml 2. Sonde 1 buah 1 buah 1 buah

3. Gelas beaker

4. Timbangan 5. Keranjang mencit 6. Sarung tangan Bahan 1. Larutan CMC dalam air 1 % 2. Stearil asam asetat 3. CMC 1% 4. Parasetamol 5. Hewan uji : mencit IV. CARA KERJA Dihitung untuk

1 buah 1 buah 1 buah

secukupnya 5 mL secukupnya 250 mg/100 mL 3 ekor

Konversi dosis

Suspensi parasetamol Diinjeksikan

Mencit 1 Diberi 1 ml suspensi parasetamol dalam CMC 1 %

Mencit 2 Diberi 0,5 ml suspensi parasetamol dalam CMC 1 %

Mencit 3 Diberi 1 ml larutan CMC 1 %

Setelah 5 menit diinjeksi Larutan SAA 1 % v/v Secara ip Diamati Geliat mencit Dicatat Komulatif geliat mencit per 5 menit selama 30 menit Dihitung % daya analgetik

V.

HASIL
Tabel 1. Hasil percobaan

Menit 5 10 15 20 25 30 komulatif

Mencit 1 18 46 41 36 47 30 218

Mencit Mencit 2 49 40 37 33 28 24 211

Mencit 3 14 30 36 13 93

VI.

PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengenal dan mempraktekkan

pengujian daya analgesik dengan menggunakan metode rangsang kimia. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu mencit (Mus muscullus), Pada percobaan analgetika hewan uji yang digunakan mencit karena lebih mudah perlakuannya, lebih ekonomis dan mudah didapat. Metode rangsang kimia digunakan berdasarkan atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan sebagai induktor nyeri, yang kemudian akan diinhibisi dengan penambahan suatu analgetika tertentu, kemudian dilakukan penetapan daya analgetika melalui respon mencit terhadap nyeri yang ditimbulkan saat diberikan mediator nyeri. Steril Asam Asetat (SSA) 1% merupakan asam lemah yang tidak

terkonjugasi dalam tubuh. Pemberian SSA terhadap hewan percobaan akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi, dan kemudian akan merangsang mediator inflamasi yang lain seperti bradikinin yang dapat menimbulkan rasa nyeri yang nyata. Akibat rasa nyeri inilah kemudian hewan uji akan menggeliatkan kakinya ke belakang. Pada percobaan kali ini menggunakan larutan SSA 1% yang berfungsi sebagai induktor nyeri . Langkah pertama yang dilakukan adalah masing-masing mencit

ditimbang dan diberikan tanda. Dalam praktikum ini digunakan 3 ekor mencit. Satu ekor mencit digunakan sebagai kontrol dan dua ekor mencit sebagai

perlakuan

dengan

pemberian

paracetamol

dengan

volume

pengambilan

paracetamol yang berbeda. Pemerian Parasetamol adalah serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Struktur parasetamol (n-asetil para-amino fenol) merupakan derivat senyawa anilin dengan efek yang sama dengan asetosal yaitu sebagai analgetikantipiretik. Tetapi parasetamol tidajk mengiritasi lambung. Efek antipiretiknya disebabkan oleh gugus amino-benzen. Parasetamol diabsorpsi cepat melalui saluran cerna. Dosis parasetamol yang digunakan pada praktikum ini adalah 500 mg 1000 mg. Pada praktikum tersedia parasetamol 250 mg / 100mL maka dilakukan perhitungan volume pemberian parasetamol yang disesuaikan dengan berat badan mencit yang digunakan. Tiga ekor mencit ditimbang masing-masing beratnya. Setelah ditimbang diketahui berat mencit masing-masing yaitu 25 10-3 kg, 22 10-3 kg dan 24,5 10-3 kg. Mencit 1 dengan berat 24.5 10-3 kg dijadikan kontrol dalam percobaan ini. Tujuan digunakan mencit kontrol yaitu untuk mengontrol jumlah geliat mencit yang diberikan CMC 1 % tanpa adanya pemberian paracetamol sebagai agen analgetik, dan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh faktor larutan pengencer obat, dalam hal ini adalah CMC 1% terhadap agen analgetik yang diberikan pada hewan uji. Sedangkan mencit 2 dan 3 adalah mencit perlakuan. Pada mencit 2 dan 3 diberikan perlakuan dengan menggunakan paracetamol sebagai agen analgetik yang berbeda volume pemberiannya. Volume pemberian dihitung dengan dosis paracetamol dikonversikan terlebih dahulu dari dosis manusia ke mencit. Tujuan digunakan mencit perlakuan adalah untuk mengetahui jumlah geliat mencit dengan pemberian paracetamol sebagai agen analgetik. Sebelum mencit perlakuan diberikan paracetamol terlebih dahulu mencit kontrol diberikan CMC 1% secara per oral. Mencit dengan berat 25 10-3 kg diberikan paracetamol dengan volume pemberian 0.5 ml sedangkan mencit dengan berat 22 10-3kg diberikan paracetamol dengan volume pemberian 1 ml. Perbedaan volume pemberian paracetamol adalah untuk mengetahui dosis efektif dari paracetamol sebagai agent analgetik untuk mencit. Pemberian parasetamol secara per oral karena proses absorpsi parasetamol lebih cepat di lambung,

sehingga efek analgetiknya mudah teramati. Paracetamol memiliki onset kerja 30-60 menit, durasinya 4-6 jam. Setelah mencit 2 dan 3 mendapat perlakuan. Lima menit kemudian ketiga ekor mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan larutan steril asam asetat 1% v/v. Pemakaian Asam Asetat 1 % secara intraperitoneal bertujuan agar zat tersebut segera diabsorpsi sehingga respon rasa nyeri segera terlihat dari jumlah geliatan mencit yang dihasilkan, serta untuk mencegah penguraian steril asam asetat saat melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan laruran steril asam asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui rute lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan terhadap pengaruh asam.. Timbulnya rasa nyeri tersebut dikarenakan sifat Asam Asetat yang mudah mengiritasi membran mukosa sehingga dapat digunakan dalam menguji obat analgetika. Mencit pertama berlaku sebagai control yang diberikan larutan CMC 1% secara per oral sebanyak 1 ml. Mencit kedua diberikan larutan parasetamol dalam CMC 1% sebanyak 0.5 ml serta mencit ketiga diberikan larutan parasetamol dalam CMC 1% sebanyak 1 ml. Setelah 5 menit masing-masing mencit (mencit 1 dan mencit 2) diinjeksi secara intraperitoneal dengan larutan induksi Steril Asam Asetat 1 % sebanyak 1 ml. Larutan steril asam asetat diberikan setelah 5 menit karena diketahui bahwa obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan steril asam asetat 1 % mencit akan menggeliat dengan ditandai dengan kejang perut dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap selang waktu 5 menit selama 30 menit. Pengamatan yang dilakukan agak rumit karena praktikan sulit membedakan antara geliatan yang

diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit dan pada pemberian oral parasetamol lebih baik digunakan, karena absorpsi lebih konstan dan lebih memungkinkan untuk memberikan dosis sesuai dengan berat badan mencit.

Paracetamol memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 15.28 %. Dosis SAA yang diberikan untuk mencit tergantung dari berat badan mencit perlakuan. Untuk mencit perlakuan dengan berat 25 10-3 kg diberikan SAA sebanyak 0.75 ml sedangkan untuk mencit dengan berat 22 10-3 kg diberikan SAA sebanyak 0.66 ml. Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat (kejang perut dan kaki ditarik kebelakang). Kemudian amati dan catat komulatif geliat mencit yang timbul setiap selang waktu 5 menit selama 60 menit dan selanjutnya menghitung persen daya analgetika. Pada mencit kontrol dengan CMC 1% geliat yang di muculkan, pada menit ke-5 sebanyak 18 geliat, menit ke-10 : 46 geliat, menit ke 15 : 41 geliat, menit ke 20 : 36 geliat, menit ke 25: 47 geliat, menit ke 30: 30 geliat. Total geliat sebanyak 218 geliat. Pada mencit dengan 0,5 ml parasetamol dalam CMC 1% adalah,pada menit ke 5 : 49 geliat ,menit ke 10: 40 geliat,menit ke 15: 37 geliat, menit ke 20: 33 geliat,menit ke 25: 28 geliat, menit ke 30 : 24 geliat. Total geliat sebanyak 211 geliat. Pada menit dengan 1ml parasetamol dalam 1% CMC ,yakni pada menit ke 5: -(tidak ada geliat), menit ke 10 : - (tidak ada geliat), menit ke 15 : 40 geliat, menit ke 20: 30 geliat, menit ke 25 : 36 geliat, menit ke 30: 13 geliat. Total geliat sebanyak 93 geliat. Melalui tabel hasil dan perhitungan, nampak bahwa jumlah obat dan durasi pemberian analgetik mempengaruhi frekuensi kejang yang dialami mencit. Nampak terjadi kenaikan maupun penurunan frekuensi kejang yang disebabkan oleh pengaruh efek obat terhadap pengurangan rangsang sakit hasil paparan senyawa kimia. Larutan asam asetat diberikan setelah 5 menit karena diketahui bahwa obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat 1 % mencit menggeliat ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit.

Melalui data dan perhitungan, nampak bahwa perbedaan konsentrasi Parasetamol yang diberikan, menimbulkan perbedaan jumlah kumulatif geliat mencit. Mencit perlakuan yang diberi 0,5 ml suspensi Parasetamol menghasilkan 211 geliat dan mencit perlakuan yang diberi 1,0 ml suspensi Parasetamol menghasilkan 93 geliat. Pengamatan selama 60 menit menunjukan adanya kenaikan jumlah geliat, namun pada menit tertentu, kemudian terjadi penurunan jumlah geliat. Hal ini disebabkan karena efek Parasetamol yang dimungkinkan belum optimal karena belum mencapai onset aksinya dan konsentrasi asam asetat yang tinggi dalam perut mencit karena pemberian berefek segera melalui intraperitonial. Hal ini memberikan efek rasa sakit yang meningkat pada waktu waktu awal perlakuan, namun menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini dikarenakan efek Parasetamol yang telah mencapai optimal serta kadar asam asetat yang mulai berkurang seiring proses metabolisme (penguraian zat) oleh tubuh mencit (Nugraha, 2011). Pada hewan uji kontrol, tidak diberikan perlakuan analgetik karena fungsinya ialah sebagai pembanding sehingga hanya diberikan suspensi CMC 1% yang adalah cairan pembawa obat. Pengamatan selama 60 menit terhadap mencit kontrol menunjukan geliat rasa sakit yang relatif terus muncul pada mencit ditandai perut kejang dan kaki yang ditarik ke belakang. Perbedaan jumlah kumulatif geliat mencit kontrol dengan mencit perlakuan ialah dikarenakan mencit kontrol tidak diberikan analgetika untuk mengurangi rasa sakitnya pada pemberian senyawa iritan (asam asetat). Oleh karena itu, frekuensi kumulatif geliat mencit kontrol dijadikan pembagi pada perhitungan prosentase daya analgetik. Dari hasil ini dapat di simpulkan bahwa jumlah geliat yang paling banyak adalah pada mencit kontrol dengan CMC 1%. Di karenakan pada tikus kontrol ini tidak di berikan anti analgetika. Sehingga mencit lebih merasakan kesakitan. Sedangkan geliat yang paling sedikit adalah mencit dengan 1 ml parasetamol dalam CMC 1%, karena jumlah anti analgetika yang di berikan cukup banyak. Sehingga mampu mengurangi rasa sakit pada mencit tersebut. Sehingga dapat

diketahui pula bahwa larutan pengencer obat tidak berpengaruh terhadap daya analgetik obat Semakin tinggi dosis analgetika yang diberikan memberikan efek daya antianalgetika yang semakin besar, hal ini nampak pada tabel hasil maupun hasil akhir perhitungan, yaitu 3,21 % untuk daya analgetika pada mencit yg diinjeksi 0,5 ml suspensi Parasetamol dan 57,33 % untuk daya analgetika pada mencit yg diinjeksi 1,0 ml suspensi Parasetamol. Adanya ketidakteraturan data pada mencit kontrol maupun perlakuan dapat dikarenakan beberapa faktor antara lain karena praktikan sulit membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit, selain itu faktor penyuntikan yang salah atau kurang tepat sehingga volume obat yang disuntikan tidak tepat atau dapat juga dikarenakan faktor fisiologis dari mencit yang mungkin dalam keadaan stres saat diberi perlakuan, yang tentu saja mempengaruhi data hasil dan perhitungan yang dibuat (Nugraha, 2011).

VII.

KESIMPULAN

1. Analgetika merupakan obat yang dapat mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. 2. Uji Witkins merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk menguji daya analgetik suatu obat terhadap hewan uji dengan menggunakan rangsangan kimia yaitu asam asetat. 3. Mencit kontrol digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui adanya efek analgetika pada mencit yang diberi perlakuan (terapi i.p Parasetamol) 4. Semakin tinggi dosis analgetik yang diberikan, maka efek antianalgetika semakin besar pula, yang nampak pada jumlah frekuensi kumulatif mencit perlakuan 2 dan 3.

VIII. DAFTAR PUSTAKA Adeyemi. 2001. Analgesic and Anti-inflammatory Effects of The Aqueous Extract of Leaves of Persea americana Mill. (Lauraceae). J.

Fitoterapia. Elsevier, Indena. 357-377 Anonim. 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinis. Jakarta : Yayasan phytomedica Gupta, M., U.K, Mazumder, R.S. Kumar, dan T.S. Kumar. 2003. Studies on Antiinflammatory, Analgesic and Antipyretic Properties of Methanol Extract of Caesalpinia bonducella leaves in Experimental Animal Models, Iranian. J. Pharmacology & Therapeutics. Calcutta. India: Razi Institute for Drug Research. Katzung, B. 1986. Farmakologi dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika Manihuruk, E. 2000. Skripsi: Aktivitas Analgesik Daun Dewa (Gynura procumbens (Lour.) Merr. dan Gynura pseudochina (L.) DC.) pada Mencit Dengan Metode Geliat. Jatinangor : Jurusan Farmasi,

FMIPA, Universitas Padjadjaran. hal. 18 Mutschler, E. 1991. Analgetika Dalam Dinamika Obat. Bandung : ITB Nugraha, Linus Seta Adi. 2011. Uji Witkins Mencit (ANALGETIKA). Semarang : Akademi Farmasi Theresiana Semarang Tan Hoan, dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta : PT Elex Media Computindo Tan Hoan, dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting Edisi Keenam. Jakarta : PT Elex Media Computindo Vohora, S.B. dan P.C. Dandiya. 1992. Herbal Analgesic Drugs. J. Fitoterapia. Elsevier Indena. 207

LAMPIRAN Dosis SAA = 300 mg/kg BB mencit Sediaan SAA 1% = 1 gram/100 ml = 10 mg/ml Dosis mencit 1 = 300 mg x 25. 10-3 = 7,35 mg

Volume pengambilan untuk mencit = = 0,735 ml Dosis mencit 2 = 300 mg x 22.10-3 = 6,6 mg

Volume pengambilan untuk mencit = = 0,66 ml Dosis mencit 3 = 300 mg x 24,5 . 10-3 = 7,35 mg

Volume pengambilan untuk mencit = = 0,735 ml

Dosis parasetamol manusia = 500 mg-1000 ml Dosis parasetamol mencit = ( 500 mg 1000 mg) x 0,026 =1,3 mg - 2,6 mg

Sediaan parasetamol = 250 mg /100 ml

Volume pengambilan =

x 100 ml

= 0,5 ml

Volume pengambilan = = 1,0 ml

x 100 ml

% komulatif = 100 ( Mencit 2 = 3,21 %

x 100 )

% komulatif = 100 ( Mencit 3 = 57,33 %

x 100 )

JAWAB PERTANYAAN

Pertanyaan : 1. Bagaimana pengaruh dosis analgetik terhadap mencit ? 2. Bagaimana mekanisme terjadi rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai ke pusat saraf ? Bagaimana kerja dari analgetik ? Jawaban :

Pengaruh dosis analgetik terhadap mencit adalah dimana dosis anlgetik yang diberikan semakin besar maka % daya analgetik yang dialami mencit juga semakin besar.Hal ini dapat dilihat dari jumlah kumulatif geliat yang dialami mencit dimana dosis analgetik yang diberikan mencit semakin besar maka jumlah kumulatif geliat yang dialami mencit semakin kecil.Disini jumlah kumulatif geliat mencit yang digunakan sebagai parameter untuk mengetahui % daya analgetik karena dengan geliat mencit ( kaki ditarik kebelakang ) menandakan seberapa banyak mencit merasakan sakit atau nyeri setelah diberikan analgetik. Mekanisme terjadinya rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai ke pusat saraf pusat yaitu mediator nyeri mengakibatkan reaksi radang dan kejang kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri diujung ujung saraf bebas kulit , mukosa dan jaringan lainnya.Nociseptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh , kecuali disistem saraf pusat,dari sini rangsangan disalurkan keotak melalui jaringan yang hebat dari tajuk tajuk neuron dengan sinapsis yang sangat banyak melalui sumsum tulang belakang,sumsum tulang lanjutan dan otak tengah.Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar,dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. Analgetik yang digunakan dalam praktikum adalah paracetamol.Kerja dari analgetik tersebut adalah dengan cara apabila terjadi suatu luka maka membran sel dengan bantuan enzim fosfolipase akan melepaskan asam arakhidonat, kemudian oleh enzim cox siklooksigenase akan diubah menjadi PGG2.PGG2 dengan bantuan enzim cox peroksidase akan diubah menjadi PGH2 dimana PGH2 oleh berbagai enzim akan diubah menjadi berbagai tipe prostaglandin.Prostaglandin

merupakan salah satu mediator nyeri.Analgetik bekerja dengan menaikkan rasa ambang nyeri menghambat biosintesis prostaglandin.Parasetamol merupakan salah satu golongan AINS yang tidak selektif yaitu dengan menghambat cox 1 dan cox 2.Cox 1 berperan dalam sekresi lambung sehingga efek samping yang umumnya terjadi pada AINS yang tidak selektif adalah tukak lambung karena apabila cox 1 dihambat maka tidak ada lagi yang mengatur sekresi asam lambung .

You might also like