You are on page 1of 2

ARTI SEBUAH OBROLAN

‫ﻢ‬ ‫ﺮ َﻟ ُﻜ‬ ‫ـ ْﻐ ِﻔ‬‫ﻢ َﻭﻳ‬ ‫ﻤﺎَﻟ ُﻜ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻢ َﺍ‬ ‫ﺢ َﻟ ُﻜ‬ ‫ﺼِﻠ‬
 ‫ﻳ‬ * ‫ﺍ‬‫ﺳ ِﺪﻳﺪ‬
 ‫ﺍ ﻗَـﻮ ًﻻ‬‫ﻭ ُﻗﻮﻟﻮ‬ 
َ ‫ـﻘُـﻮﺍ ﺍ‬‫ﻮﺍ ﺍﺗ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬ِ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎﺁ‬‫ﻳ‬

‫ﺎ‬‫ﻋﻈِﻴﻤ‬ ‫ﻮﺯًﺍ‬ ‫ﺪ َﻓﺎَﺯ َﻓ‬ ‫ َﻓ َﻘ‬‫ﻮَﻟﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ 


َ ‫ﻄِﻊِ ﺍ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺑ ُﻜ‬‫ُﺫ�ُﻮ‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosa mu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar.” (al-Ahzab ayat 70-71)

‫ ﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﻠﻴﻘﻞ ﺧﲑﺍ ﺍﻭ ﻟﻴﺼﻤﺖ‬‫ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎ‬


“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka berkatalah yang benar atau lebih
baik diam”.

Tersebutlah dalam buku-buku sejarah bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang
terkenal juga sebagai khalifah Ar-Rasyid yang kelima, telah berhasil merubah gaya
obrolan masyarakatnya.
Pada masa khalifah sebelumnya, obrolan masyarakat tidak pernah keluar dari
materi dan dunia, di manapun mereka berada; di rumah, di pasar, di tempat bekerja dan
bahkan di masjid-masjid. Dalam obrolan mereka terdengarlah pertanyaan-pertanyaan
berikut: “Berapa rumah yang sudah engkau bangun? Kamu sudah mempunyai istana
atau belum? Budak perempuan yang ada di rumahmu berapa? Berapa yang cantik?
Hari ini engkau untung berapa dalam berbisnis? Dan semacamnya.
Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin, dan setelah dia
melakukan tajdid (pembaharuan) dan ishlah (reformasi), dimulai dari meng-ishlah dirinya
sendiri, lalu istrinya, lalu kerabat dekatnya dan seterusnya kepada seluruh rakyatnya,
berubahlah pola obrolan masyarakat yang menjadi rakyatnya. Dalam obrolan mereka,
terdengarlah pertanyaan-pertanyaan sebaai berikut: Hari ini engkau sudah membaca Al
Qur’an berapa juz? Bagaimana tahajjud-mu tadi malam? Berapa hari engkau berpuasa
pada bulan ini? Dan semacamnya.
Mungkin diantara kita ada yang mempertanyakan, apa arti sebuah obrolan? Dan
bukankah obrolan semacam itu sah-sah saja? Ia kan belum masuk kategori makruh?
Apalagi haram? Lalu, kenapa mesti diperbincangkan dan diperbandingkan? Bukankah
perbandingan semacam ini merupakan sebuah kekeliruan, kalau memang hal itu masuk
dalam kategori mubah?
Dari aspek hukum syar’i, obrolan yang terjadi pada masa khalifah sebelum Umar
bin Abdul Aziz memang masuk kategori hal-hal yang sah-sah saja, artinya, mubah, alias
tidak ada larangan dalam syari’at. Akan tetapi, bila hal itu kita tinjau dari sisi lain,
misalnya dari tinjauan tarbawi da’awi misalnya, maka hal itu menujukkan bahwa telah
terjadi perubahan feeling pada masyarakat, atau bisa juga kita katakan, telah terjadi
obsesi pada ummat.
Pada masa Sahabat (Ridhwanullah ‘alaihim), obsesi orang –dengan segala
tuntutannya, baik yang berupa feeling ataupun ‘azam, bahkan ‘amal -selalu terfokus
pada bagaimana menyebar luaskan Islam ke seluruh penjuru negeri, dengan harga
berapapun, dan apapun, sehingga, pada masa mereka Islam telah membentang begitu
luas di atas bumi ini. Namun, pada masa-masa menjelang khalifah Umar bin Abdul Aziz,
obsesi itu telah berubah.
Dampak dari adanya perubahan ini adalah melemahnya semangat jihad, semangat
da’wah ilallah, semangat men-tarbiyah dan men-takwin masyarakat agar mereka
memahami Islam, menerapkannya dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Al Hamdulillah, Allah swt memunculkan dari hamba-Nya ini orang yang bernama
Umar bin Abdul Aziz, yang mampu memutar kembali “gaya” dan “pola” obrolan
masyarakatnya, sehingga, kita semua mengetahui bahwa pada masa khalifah yang
hanya memerintah 2,5 tahun itu, Islam kembali jaya dan menjadi gaya hidup
masyarakat.
Tersebut pula dalam sejarah bahwa beberapa saat setelah kaum muslimin
menguasai Spanyol, ada seorang utusan Barat Kristen yang memasuki negeri Islam
Isbania (Nama Spanyol saat dikuasai kaum muslimin). Tujuan dia memasuki wilayah
Islam adalah untuk mendengar dan menyaksikan bagaimana kaum muslimin
mengobrol, ya, “hanya” untuk mengetahui bagaimana kaum muslimin mengobrol. Sebab
dari obrolan inilah dia akan menarik kesimpulan, bagaimana obsesi kaum muslimin saat
itu. Selagi dia berjalan-jalan untuk mendapatkan informasi tentang gaya kaum
muslimin, tertumbuklah padangannya kepada seorang bocah yang sedang menangis,
maka dihampirilah bocah itu dan ditanya kenapa dia menangis? Sang bocah itu
menjelaskan bahwa biasanya setiap kali dia melepaskan satu biji anak panah, maka dia
bisa mendapatkan dua burung sekaligus, namun, pada hari itu, sekali dia melepaskan
satu biji anak panah, dia hanya mendapatkan seekor burung.
Mendengar jawaban seperti itu, sang utusan itu mengambil kesimpulan bahwa
obsesi kaum muslimin Isbania (Spanyol) saat itu masihlah terfokus pada jihad fi
sabilillah, buktinya, sang bocah yang masih polos itu, bocah yang tidak bisa direkayasa
itu, masih melatih diri untuk memanah dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa orang
tua mereka masih terobsesi untuk berjihad fi sabilillah, sehingga terpengaruhlah sang
bocah itu tadi.
Antara obrolan orang tua dan tangis bocah yang polos itu ada kesamaan, terutama
dalam hal: keduanya sama-sama meluncur secara polos dan tanpa rekayasa, namun
merupakan cermin yang nyata dari sebuah obsesi.
Setelah masa berlalu berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat, untuk
melihat secara dekat bagaimana kaum muslimin mengobrol, ia datangi tempat-tempat
berkumpulnya mereka, ia datangi pasar, tempat kerja, tempat-tempat umum dan tidak
terlupakan, ia datangi pula masjid. Ternyata, ada kesamaan pada semua tempat itu
dalam hal obrolan, semuanya sedang memperbincangkan: Budak perempuan saya
yang bernama si fulanah, sudah orangnya cantik, suara nyanyiannya merdu dan indah
sekali, rumah saya yang di tempat anu itu, betul-betul indah memang, pemandangannya
bagus, designnya canggih, luas dan sangat menyenangkan, dan semacamnya
Merasa yakin bahwa gaya obrolan kaum muslimin sudah sedemikian rupa,
pulanglah sang mata-mata itu dengan penuh semangat, dan sesampainya di negerinya,
mulailah disusun berbagai rencana untuk menaklukkan negeri yang sudah delapan
abad di bawah kekuasaan Islam itu. Dan kita semua mengetahui bahwa, semenjak saat
itu, sampai sekarang, negeri itu bukan lagi negeri Muslim.
Betapa seringnya kita mengobrol, sadarkah kita, model manakah gaya obrolan kita
sekarang ini? Sadarkah kita bahwa obrolan adalah cerminan dari obsesi kita? Sadarkah
kita bahwa obrolan kita lebih hebat pengaruhnya daripada sebuah ceramah yang telah
kita persiapkan sedemikian rupa? Bila tidak, cobalah anda reka, pengaruh apa yang
akan terjadi bila anda adalah seorang ustadz atau da’i, yang baru saja turun dari mimbar
khutbah, khutbah Jum’at dengan tema: “Kezuhudan salafush-Shalih dan pengaruhnya
dalam efektifitas da’wah”. Sehabis shalat Jum’at, anda mengobrol dengan beberapa
orang yang masih ada di situ, dalam obrolan itu, anda dan mereka memperbincangkan
Bagaimana mobil Merci anda yang hendak anda tukar dengan BMW dalam waktu dekat
ini, dan bagaimana mobil Pajero puteri anda yang sebentar lagi akan anda tukar dengan
Land Cruiser, dan bagaimana rumah anda yang di Pondok Indah yang akan segera
anda rehab, yang anggarannya kira-kira menghabiskan lima milyar rupiah dan
semacamnya. Cobalah anda menerka, pengaruh apakah yang akan terjadi pada orang-
orang yang anda ajak mengobrol itu? Mereka akan mengikuti materi yang anda
sampaikan lewat khutbah Jum’at atau materi yang anda sampaikan lewat obrolan?
Sekali lagi, memang obrolan semacam itu bukanlah masuk kategori “terlarang”
secara syar’i, akan tetapi, saya hanya hendak mengajak anda memikirkan apa
dampaknya bagi da’wah ilallah.

You might also like