You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Tidur merupakan suatu bentuk kegiatan dasar yang penting bagi kehidupan manusia. Otak membutuhkan proses tidur untuk menyeimbangkan kinerja otak sehingga dapat berfungsi dengan baik. Namun, dapat terjadi gangguan dalam proses ini, dan gangguan ini dapat terjadi pada siapa saja dengan rentang usia dari bayi hingga pada orang yang sudah berusia lanjut. Menurut Established Population for Epidemiologic Studies of the Elderly didapatkan hasil yang bermakna, yaitu keluhan tidur ini banyak diderita oleh para lanjut usia (lansia), khususnya para orang yang berusia diatas 65 tahun. Sampai pada saat ini, masyarakat banyak yang belum mengetahui dengan pastiapa itu gangguan tidur dan apa bahayanya, sehingga seringkali menganggap ini merupakan masalah yang biasa saja. Namun, bila ditelusuri ternyata tidak sedikit orang-orang yang bermasalah dengan gangguan tidur ini berakibat mengancam jiwa mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan dari beberapa penelitian tentang gangguan tidur didapatkan, persentase gangguan tidur berupa insomnialah yang paling banyak memegang peranan dalam populasi. Keluhan tidur yang biasa dapat kita lihat berupa waktu tidur yang kurang, mudahnya terbangun pada malam hari, rasa mengantuk sepanjang hari dan seringnya tertidur sejenak.Hal ini juga terjadi pada lansia.Penyebabnya bermacam-macam, seperti perubahan irama sirkadian, penyakit medis, psikiatrik, efek samping dari obat-obatan dan kebiasaan tidur yang buruk.Banyak dilaporkan bahwa lansia dengan depresi, stroke, jantung, penyakit paru, diabetes, artritis dan hipertensi sering mengeluhkan tentang buruknya kualitas tidur mereka.Sehingga memberi dampak seperti mengantuk yang berlebihan pada siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan obat hipnotik yang berlebihan bahkan hingga penurunan kualitas hidup.

I.2 Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang gangguan tidur dalam hal ini untuk kalangan lansia lebih dalam.

2.

Manfaat Adapun manfaat dari penulisan ini adalah untuk membantu baik penulis maupun pembaca dalam memahami pola gangguan tidur pada lansia sehingga dapat dijadikan proses pembelajaran dan diaplikasikan di masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1 Tidur Normal Menurut Kamus Kedokteran Dorland, tidur adalah periode istirahat untuk tubuh dan pikiran, yang selama masa ini kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian atau seluruhnya dan fungsi-fungsi tubuh sebagian dihentikan( ). Tidur juga dideskripsikan sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang khas dan sensitivitas reversibel yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan dari luar. Rata-rata dewasa sehat membutuhkan waktu 7 jam untuk tidur setiap malam. Walaupun demikian, ada beberapa orang yang membutuhkan tidur lebih atau kurang. Tidur normal dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya usia. Seseorang yang berusia muda cenderung tidur lebih banyak bila dibandingkan dengan lansia.Waktu tidur lansia berkurang berkaitan dengan faktor ketuaan. Fisiologi tidur dapat dilihat melalui gambaran elektrofisiologik sel-sel otak selama tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak selama tidur.Pemeriksaan polisomnografi sering dilakukan saat tidur malam hari. Alat tersebut dapat mencatat aktivitas EEG, elektrookulografi, dan elektromiografi.Elektromiografi perifer berguna untuk menilai gerakan abnormal saat tidur. Stadium tidur - diukur dengan polisomnografi - terdiri dari tidur rapid eye movement (REM) dan tidur non-rapid eye movement (NREM). Secara umum ada 4-6 siklus NREM-REM yang terjadi setiap malam.Periode tidur REM berlangsung antara 5-10 menit. Makin larut malam, periode REM makin panjang. II.1.1 Tidur Non REM Tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang lambat atau tidur S. Kedua stadium ini bergantian dalam satu siklus yang berlangsung antara 70 - 120 menit. Tidur NREM terdiri dari empat stadium yaitu:

1. Tidur stadium satu Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur.Fase ini didapatkan (?) kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata ke kanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan.Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang rendah.Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K. 2. Tidur stadium dua Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam daripada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K. 3. Tidur stadium tiga Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran Pada EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle. 4. Tidur stadium empat Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. II.1.2 Tidur REM Tidur REM disebut juga tidur D atau bermimpi karena dihubungkan dengan bermimpi atau tidur paradoks karena EEG aktif selama fase ini.Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ (?) akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam. REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih instan (?) dan panjang saat menjelang pagi atau bangun.Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang

seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk ke periode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut (kalimat rancu): - NREM 75%, yaitu: - stadium 1 5%, stadium 2 45%, stadium 3 12%, stadium 4 13%. - REM 25 %. II.1.3 Proses Tidur Normal Pasien memasuki tidur yang paling ringan (fase 1) turun bertahap selama kurang lebih 30 menit ke tidur yang paling dalam (fase 4). Kemudian stabil selama 30-40 menit, lalu naik ke fase yang lebih ringan (1-2) untuk masuk ke dalam tidur REM 90-100 menit tertidur kemudian siklus ini berulang. Semakin malam, periode REM memanjang, fase 4 menghilang dan tidur menjadi lebih ringan. Lamanya berada pada setiap fase bervariasi, tergantung pada usia (misal, fase 3 dan 4 pada orang muda lebih panjang, dan pada orang tua lebih singkat dan sedikit).

Gambar 2.1 Siklus Tidur Normal II.1.4 Perubahan Hormonal Fisiologis Pada Siklus Tidur Normal HPA axis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis) merupakan jalur hormonal penting yang berfungsi untuk mengatur siklus tidur manusia. Disfungsi axis ini pada tingkat manapun (reseptor CRH-Corticotropin Hormone, reseptor glukokortikoid, atau reseptor mineralokortikoid) dapat mengganggu proses tidur. Tidur normal diikuti dengan organisasi HPA axis dan kontrol serta modulasi dari cortisol circadian rhythm, khususnya padaefek kortisol terhadap tidur dan aktivasi reseptor glukokortikoid spesifik (GRs) terhadap CRH (ACTH secara tidak langsung) juga kortisol.

HPA Axis Normal CRH dapat ditemukan pada tingkat hipotalamik (PVN-nucleus paraventrikularis) maupun ekstrahipotalamik (misalnya di sistem limbik dan sistem simpatik batang otak).Bagian dari sistem limbik yang berperan penting pada HPA axis adalah amygdala dan nuleus stria terminalis.Terdapat dua jenis reseptor CRH, yaitu CRH1 dan CRH2 yang terletak di hipofisis anterior serta keseluruhan lobus otak. Selain CRH, terdapat neuropeptida lain yang dapat mempengaruhi efek CRH, yaitu AVP (Arginine Vasopressin) dan urocortin. Kedua neuropeptida ini memiliki efek sinergis terhadap CRH di kedua jenis reseptornya.Urocortin dan CRH bersifat agonis pada reseptor CRH1, sedangkan urocortin I, urocortin II, dan CRH bersifat agonis pada reseptor CRH2. PVN mengeluarkan CRH yang akan bekerja pada reseptor CRH di hipofisis anterior. Interaksi CRH dengan reseptornya memicu pengeluaran ACTH (Adrenocorticotropin Hormone) dari hipofisis anterior. ACTH ini akan bekerja pada korteks adrenal untuk mengeluarkan hormone kortisol, di mana kortisol memiliki berbagai macam efek termasuk di antaranya untuk negative feedback pada tingkat PVN dan hipofisis anterior dalam rangka mengontrol sekresi CRH dan ACTH.

Gambar 2.2 HPA Axis HPA Axis dalam Sistem Sirkadian Irama sirkadian dari sekresi kortisol berasal dari hubungan antara PVN dengan sebuah sistem induksi (pacemaker) yang bernama nukleus suprakiasmatik (SCN).Jalur sekresi kortisol dimulai saat tengah malam, terutama ketika seseorang sedang tidur. Level kortisol mulai meninggi 2-3 jam setelah mulai tidur dan akan terus naik sampai sesaat sebelum bangun. Puncak (acrophase) dari sekresi kortisol terjadi pada pukul 09.00. Setelah mencapai puncak, level kortisol akan berangsur menurun seiring berjalannya waktu. Apabila orang tersebut tidur sebelum waktu tidur di malam hari, maka level kortisol akan terus turun sampai mencapai level nadir. Tahap penurunan kortisol ini dikenal dengan sebutan quiescent period.

Gambar 2.3 Skema Gelombang Kortisol Produksi pulsatil dari CRH bergantung dari kerja sel parvo di PVN.Hubungan PVN dengan SCN dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (melalui hipotalamus dorsomedial).Reseptor CRH dan AVP merupakan bagian yang bertanggung jawab atas pengeluaran ACTH dari hipofisis anterior.Terdapat perbedaan waktu antara terukurnya level CRH di CSF (cerebrovascular fluid) dengan irama kortisol, di mana mekanisme dari hubungan ini masih belum jelas.Beberapa hipotesis menyatakan bahwa, CRH yang baru saja diproduksi oleh PVN disimpan terlebih dahulu baru dikeluarkan kemudian.

Mekanisme Umpan Balik HPA Axis Pada level otak, kortisol memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor

mineralokortikoid (MRs) di hipokampus dan memiliki afinitas yang rendah pada reseptor glukokortikoid (GRs) di hipotalamus.Berdasarkan afinitasnya ini, kortisol tentu lebih dulu berinteraksi dengan MRs, setelah terpenuhi kuotanya barulah GRs terisi. Level ikatan kortisol dengan MRs mendominasi periode awal tidur di malam hari/nokturnal, sedangkan dengan GRs lebih mencolok saat pagi hari di mana level kortisol mencapai

batas paling tinggi. Umpan balik yang terjadi bisa bersifat negatif atau positif tergantung dari level kortisol berinteraksi dengan reseptor dan tipe reseptornya. Misalnya, aktivasi GRs pada level PVN membuat suatu umban balik negative terhadap sekresi CRH dan ACTH, namun apabila GRs di amygdala yang teraktivasi maka akan menimbulkan efek peningkatan sekresi CRH (bisa dilihat pada kondisi stress).

Gambar 2.4 HPA-axis dan mekanisme umpan balik GRs/MRs

HPA Axis pada Locus Cereleus (LC) / Nor Ephinephrine (NE) HPA-Axis memiliki hubungan interaksi resiprokal yang penting dengan sistem simpatik batang otak yang bernama LC dan NE. CRH mengaktivasi LC dan NE pada level hipotalamus dan amygdala. Variasi level NE di CSF memiliki hubungan sinergis dengan level kortisol di serum dan NE adalah neurotransmiter yang memicu fase awake.

Efek Hormon Glukokortikoid dan CRH Terhadap Proses Tidur

Permulaan Tidur (SWS-Slow Wave Sleep)

CRH eksogen memiliki efek dapat menurunkan level SWS dan memicu seseorang untuk terbangun.Namun, beberapa studi menyatakan bahwa modulasi tidur manusia lebih diarahkan pada pengaruh glukokortikoid.Salah satu penelitian tersebut menyebutkan kalau kortisol dapat mengurangi tidur REM dan meningkatkan waktu bangun seseorang. Studi lebih lanjut menggunakan administrasi dexamethasone juga menunjukkan hasil yang serupa. Pemberian dexamethasone diasumsikan sama dengan pemberian kortisol dosis tinggi karena zat ini akan berikatan dengan GRs dan memberikan efek awake pada orang tersebut. Sama halnya dengan kortisol, peningkatan level CRH akan menurunkan SWS dan memicu fase awake, karena CRH secara resiprokal mampu mengaktivasi sistem LC/NE seperti yang telah diterangkan sebelumnya.

Fase Terbangun (Waking State) CRH bisa diproduksi saat seseorang sedang stress maupun tidak. Dengan demikian, CRH juga mampu menginduksi fase awake pada kedua tipe orang tersebut.

Efek Tidur Terhadap HPA Axis dan Ritme Kortisol -SWS Seseorang akan memulai waktu tidur malamnya dengan SWS. SWS ditandi oleh adanya aktivitas yang rendah dari HPA axis.Mekanisme rendahnya aktivitas HPA axis masih belum diketahui pasti, namun ada studi yang menyatakan bahwa GHRH (Growth Hormone Releasing Hormone) bisa menjadi salah satu faktor penghambat kerja HPA axis.Sekresi GHRH terjadi separuh waktu tidur awal, sedangkan CRH pada separuh waktu tidur akhir. -Respon Terbangun Pada saat seseorang sedang benar-benar terbangun dari tidurnya, terjadi suatu proses inhibisi terhadap HPA axis, dengan demikian proses tidur memiliki efek untuk menurunkan sensitivitas inhibisi ini. Mekanisme seseorang bisa terbangun spontan dari tidur malam tidak terkait dengan level kortisol dalam tubuhnya. Namun, apabila diteliti lebih lanjut, level kortisol paling tinggi adalah satu jam setelah orang tersebut bangun dari tidur malamnya.

II.2 Gangguan Tidur

Menurut Diagnostic And Statictical Manual of Mental Disorders edisi ke empat (DSMIV), gangguan tidur diklasifikasikan berdasarkan kriteria diagnostik klinik dan perkiraan etiologi. Tiga kategori utama gangguan tidur dalam DSM-IV adalah gangguan tidur primer, gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan tidur mental lain, dan gangguan tidur lain, khususnya gangguan tidur akibat kondisi medis umum atau yang disebabkan oleh zat. 1. Gangguan tidur primer Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan disebabkan oleh gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau zat. Gangguan tidur ini terdiri atas duabagian, yaitu disomnia dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran jatuh tidur,mengalami gangguan mempertahankan tidur, bangun terlalu dini atau kombinasi diantaranya. ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan waktu tidur. Dissomnia adalah suatu kelompok gangguan tidur yang heterogen termasuk : (i) (ii) Insomnia primer Hipersomnia primer Dari gangguan tidur primer tersebut, yang sering terjadi adalah insomnia dan hipersomnia primer. Kriteria diagnostik untuk insomnia primer adalah kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama sekurangnya satu bulan. Gangguan tidur yang disertai keletihan pada siang hari menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.Kriteria diagnostik untuk hipersomnia primer adalah mengantuk berlebihan di siang hari selama sekurangnya satu bulan seperti yang ditunjukkan oleh episode tidur yang memanjang atau episode tidur siang hari yang terjadi hampir setiap hari. Mengantuk berlebihan di siang hari menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. (iii) Narkolepsi

Ditandai oleh serangan mendadak tidur yang tidak dapat dihindari pada siang hari, biasanya hanya berlangsung 10-20 menit atau selalu kurang dari 1 jam, setelah itu pasien akan segar kembali dan terulang kembali 2-3 jam berikutnya. Gambaran tidurnya menunjukkan penurunan fase REM 30-70%. Pada serangan tidur dimulai dengan fase REM. Berbagai bentuk narkolepsi: - Narkolepsi kataplesia, adalah kehilangan tonus otot yang sementara baik sebagian atau seluruh otot tubuh, seperti jaw drop, head drop. - Hypnagogic halusinasi auditorik/visual adalah halusinasi pada saat jatuh tidur sehingga pasien dalam keadaan terjaga, kemudian ke kerangka pikiran normal. - Sleep paralis adalah otot volunter mengalami paralis pada saat tidur sehingga pasien sadar ia tidak mampu menggerakkan ototnya. Gangguan ini merupakan kelainan heriditer, kelainannya terletak pada lokus kromoson 6 didapatkan pada orang-orang Kaukasia dengan populasi lebih dari 90%, sedangkan pada bangsa Jepang 2025%, dan bangsa Israel 1:500.000. Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki dan wanita.

(iv)

Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodik (periodic limb movement disorders)/mioklonus nokturnal Ditandai adanya gerakan anggota gerak badan secara streotipik, berulang selama tidur. Paling sering terjadi pada tungkai, baik satu ataupun kedua tungkai. Bentuknya berupa ekstensi ibu jari kaki dan fleksi sebagian pada sendi lutut dan tumit. Gerak itu berlangsung antara 0,5-5 detik, berulang dalam waktu 20-60 detik atau mungkin berlangsung terusmenerus dalam beberapa menit atau jam. Bentuk tonik lebih sering dari pada mioklonus.Sering timbul pada fase NREM atau saat onset tidur sehingga menyebabkan gangguan tidur kronik. Insidensi 5% dari orang normal antara usia 30-50 tahun dan 29% pada usia lebih dari 50 tahun. Berat ringan gangguan ini sangat tergantung dari jumlah gerakan yang terjadi selama tidur, bila 5-25 gerakan/jam: ringan, 25-50 gerakan/jam: sedang, danlebih

dari 50 kali/jam : berat. Gangguan ini sering dijumpai pada penyakit seperti mielopati kronik, neuropati, gangguan ginjal kronik, PPOK, rhematoid arteritis, sleep apnea, ketergantungan obat, anemia. (v) Sindroma kaki gelisah (Restless legs syndrome) Ditandai oleh rasa sensasi pada kaki/kaku, yang terjadi sebelum onset tidur.Gangguan ini sangat berhubungan dengan mioklonus nokturnal.Pergerakan kaki secara periodik disertai dengan rasa nyeri akibat kejang otot M. tibialis kiri dan kanan sehingga penderita selalu mendorong - dorong kakinya. Ditemukan pada penyakit gangguan ginjal stadium akut, parkinson, wanita hamil. Lokasi kelainan ini diduga diantara lesi batang otak, hipotalamus. (vi) Gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan Terdapat tiga jenis sleep apnea, yaitu central sleep apnea, upper airway obstructive apnea dan bentuk campuran dari keduanya. Sleep apnea adalah gangguan pernafasan yang terjadi saat tidur, yang berlangsung selama lebih dari 10 detik. Dikatakan sleep apnea patologis jika penderita mengalami episode apnea lebihh dari sama dengan lima kali dalam satu jam atau 30 episode apnea selama semalam. Selama periode ini, gerakan dada dan dinding perut sangat dominan. Apnea sentral sering terjadi pada usia lanjut, yang ditandai dengan intermiten penurunan kemampuan respirasi akibat penurunan saturasi oksigen. Apnea sentral ditandai oleh terhentinya aliran udara dan usaha pernafasan secara periodik selama tidur, sehingga pergerakan dada dan dinding perut menghilang. Hal ini diduga akibat kerusakan pada batang otak atau hiperkapnia. Obstruksi saluran nafas atas (upper airway obstructive) pada saat tidur ditandai dengan peningkatan pernafasan selama apnea, peningkatan usaha otot dada dan dinding perut dengan tujuan memaksa udara masuk melalui obstruksi.Gangguan ini semakin berat bila memasuki fase REM. Gangguan saluran nafas ini ditandai dengan nafas megapmegap atau mendengkur pada saat tidur.Mendengkur ini berlangsung 3-6 kali bersuara kemudian menghilang dan berulang setiap 20-50 detik.Serangan apnea terjadi pada saat pasien tidak mendengkur. Hipoksia atau hipercapnea, menyebabkan respirasi lebih aktif, hal ini diaktifkan oleh formasi retikularis dan pusat respirasi medula, sehingga pasien dapat bernafas kembali secara

spontan.Baik pada sentral atau obstruksi apnea, pasien sering terbangun berulang kali di malam hari dan terkadang sulit untuk jatuh tidur kembali.Gangguan ini sering ditandai dengan nyeri kepala atau perasaan tidak enak pada pagi hari.Pada anak-anak sering berhubungan dengan gangguan kongenital saluran nafas atau hipertrofi adenotonsilar. Pada orang dewasa obstruksi saluran nafas terjadi akibat septal defek, hipotiroid, bradikardi, gangguan jantung, PPOK, hipertensi, stroke, GBS, Arnord-Chiari Malformation. (vii) Gangguan tidur irama sirkadian Gangguan jadwal tidur yaitu gangguan dimana penderita tidak dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki, walaupun jumlah tidurnya tetap. Gangguan ini sangat berhubungan dengan irama tidur sirkadian normal. Bagian-bagian yang berfungsi dalam pengaturan sirkadian antara lain temperatur badan,plasma darah, urine, fungsi ginjal dan psikologi. Dalam keadan normal fungsi irama sirkadian mengatur siklus biologi irama tidur-bangun, dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga untuk bangun/aktivitas.Siklus irama sirkadian ini dapat mengalami gangguan, apabila irama tersebut mengalami pergeseran.Menurut beberapa penelitian, terjadi pergeseran irama sirkadian antara onset waktu tidur reguler dengan waktu tidur yang irreguler.Perubahan gangguan irama sirkadian dengan penyebab organik adalah tumor pineal. Gangguan irama sirkadian dapat dikategorikan dua bagian: Sementara (Acute work shift, Jet lag) Menetap (Shift worker)

Keduanya dapat mengganggu irama tidur sirkadian sehingga terjadi perubahan pemendekan waktu onset tidur dan perubahan pada fase REM. Berbagai macam gangguan tidur gangguan irama sirkadian adalah sebagai berikut: I. Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type) yaitu ditandai oleh waktu tidur dan terjaga lebih lambat daripada yang diinginkan. Gangguan ini sering ditemukan dewasa muda, anak sekolah atau pekerja sosial. Orang - orang tersebut sering tertidur (kesulitan jatuh tidur) dan mengantuk pada siang hari (insomnia sekunder).

II.

Tipe jet lag ialah mengantuk dan terjaga pada waktu yang tidak tepat menurut jam setempat, hal ini terjadi setelah berpergian melewati lebih dari satu zona waktu. Gambaran tidur menunjukkan sleep latennya panjang dengan tidur yang terputus-putus.

III.

Tipe pergeseran kerja (shift work type). Pergeseran kerja terjadi pada orang yang secara teratur dan cepat mengubah jadwal kerja sehingga akan mempengaruhi jadwal tidur. Gejala ini sering timbul bersamasama dengan gangguan somatik seperti ulkus peptikum.

Gambarannya berupa pola irreguler atau mungkin pola tidur normal dengan onset tidur fase REM. IV. Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase syndrome).Tipe ini sangat jarang, lebih sering ditemukan pada pasien

usialanjut,dimana onset tidur pada pukul 6-8 malam dan terbangun antarapukul 1-3 pagi. Namun, pasien ini merasa cukup untuk waktu tidurnya. V. VI. Tipe bangun-tidur beraturan Tipe tidak tidur-bangun dalam 24 jam

Parasomnia sendiri berarti peristiwa fisiologis atau tingkah laku yang abnormal terjadi selama tidur, disebabkan oleh aktivasi sistem fisiologis yang tidak tepat waktunya.Kasus ini sering berhubungan dengan gangguan perubahantingkah laku danaksi motorik potensial, sehingga sangat potensial menimbulkanangka kesakitan dan kematian, Insidensi ini sering ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami perbaikan atau penurunan insidensi padausia dewasa (3%).Ada 3 faktor utama presipitasi terjadinya parasomnia yaitu: i. ii. iii. Peminum alcohol Kurang tidur (sleep deprivation) Stress psikososial

Yang termasuk kelompok gangguan tidur parasomnia adalah: (i) (ii) Gangguan mimpi menakutkan (nightmare disorder) Gangguan teror tidur

(iii)

Gangguan tidur berjalan.

2. Gangguan tidur terkait gangguan mental lain Gangguan tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh gangguan mental lain (sering karena gangguan mood) tetapi tidak memenuhi syarat untuk ditegakkan sebagai gangguan tidur tersendiri. Ada dugaan bahwa mekanisme patofisiologik yang mendasari gangguan mental juga mempengaruhi terjadinya gangguan tidur-bangun. Gangguan tidur ini terdiri dari: Insomnia terkait aksis I atau II dan Hipersomnia terkait aksis I atau II.

3. Gangguan tidur akibat kondisi medik umum Gangguan akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum terhadap siklus tidur-bangun.

4. Gangguan tidur akibat zat Yaitu adanya keluhan tidur yang menonjol akibat sedang menggunakan atau menghentikan penggunaan zat (termasuk medikasi).Penilaian sistematik terhadap seseorang yang mengalami keluhan tidur seperti evaluasi bentuk gangguan tidur yang spesifik, gangguan mental saat ini, kondisi medik umum, dan zat atau medikasi yang digunakan, perlu dilakukan.Gangguan tidur dapat disebabkan oleh penggunaan obatstimulan yang kronik (amphetamine, kaffein, nikotine), antihipertensi,antidepresan, antiparkinson, antihistamin, antikholinergik.Obat obat ini dapat menimbulkan terputusputusnya fase tidur REM.

II. 3 Berbagai Gangguan Tidur Pada Lansia Besarnya masalah ?????

Pada lansia, terjadi perubahan tipikal pada tidur, seperti (1) Berkurangnya waktu total tidur malam, (2) Terlambatnya waktu permulaan tidur, (3) Fase sirkadian yang lebih awal: tidur lebih awal dan terbangun lebih awal, (4) Berkurangnya gelombang lambat saat tidur, (5) Berkurangnya REM, (6) Menurunnya ambang batas untuk tersadar dari tidur, (7) Tidur terputus putus dengan terbangun beberapa kali, (8) Tidur siang. Dengan penuaan, total waktu tidur memendek: anak tidur selama 16 20 jam per hari, orang dewasa 7 8 jam per hari, dan orang yang lebih dari 60 tahun tidur 6,5 jam per hari. Fase tidur delta ( stadium 3 dan 4), fase yang terdalam dan paling menyegarkan dari tidur, hilang seiring dengan bertambahnya usia. Macam macam gangguan tidur pada lansia: 1. Insomnia Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan untuk jatuh tidur atau terjaga selama tidur. Gangguan ini sering dialami oleh lansia. Menurut penelitian, lebih dari 50% lansia mengalami insomnia. Wanita tua cenderung lebih sering mengalami gangguan tidur dibandingkan oleh lelaki tua, kemungkinan akibat defisiensi estrogen. Pada beberapa pasien, insomnia dapat disebabkan oleh kondisi medis atau efek samping dari pengobatan (insomnia sekunder). Apabila tidak ada faktor penyebab, dapat digolongkan sebagai insomnia primer. Penyebab tersering pada insomnia sekunder adalah kelainan musculoskeletal, nokturia yang berhubungan dengan hyperplasia prostat jinak pada laki laki dan instabilitas kandung kemih pada wanita, dekompensasio kordis, dan penyakit paru obstruktif kronik. Depresi dan gangguan ansietas juga sering terjadi bersamaan dengan insomnia. Berdasarkan lama Transient Insomnia Insomnia yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang berlangsung sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan mudah oleh pasien sendiri. Diagnosis transient insomnia biasanya dibuat secara retrospektif setelah keluhan pasien sudah hilang. Keluhan ini kurang lebih ditemukan sama pada pria dan wanita dan episode berulang juga cukup terjadinya, insomnia dibagi menjadi:

sering ditemukan, faktor yang memicu antara lain akibat lingkungan tidur yang berbeda, gangguan irama sirkadian sementara akibatjet lag atau rotasi waktu kerja, stress situasional akibat lingkungan kerja baru, dan lain-lainnya. Transient insomnia biasanya tidak memerlukan terapi khusus dan jarang membawa pasien ke dokter.

Short-term Insomnia Berlangsung 1-6 bulan dan biasanya disebabkan oleh kejadian-kejadian stress yang lebih persisten, seperti kematian salah satu anggota keluarga . Cyclical insomnia (recurrent insomnia) Kondisi ini lebih jarang daripada transient insomnia. Kondisi ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara tidur dan bangun. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi sementara ataupun seumur hidup. Kejadian berulang ini bisa terjadi akibat perubahan fisiologis seperti siklus premenstrual ataupun perubahan psikologik seperti manik depresif, anorexia nervosa, atau kambuhnya perubahan perilaku tertentu seperti kecanduan obat, dan lain sebagainya.

Chronic insomnia (persistent insomnia) Berlangsung lebih dari satu bulan, dibagi menjadi 2 yaitu primer dan sekunder. Insomnia kronis lebih banyak ditemui pada wanita, lansia, dan pasien dengan penyakit kronis dan gangguan psikiatris. Insomnia jenis ini dapat berkembang dari penderita insomnia akut yang memiliki faktor predisposisi perilaku dan pikiran seperti rasa cemas yang berlebihan ketika akan tidur dan rasa takut tidak mampu memasuki kondisi tidurnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa rasa kelelahan, gangguan mood, masalah dalam hubungan interpersonal, kesulitan dalam menjalankan profesi, yang berakibat pada berkurangnya kualitas hidup.

Berdasarkan ??? Insomnia primer Insomnia primer ini tidak berhubungan dengan kondisi kejiwaan, masalah neurologi, masalah medis lainnya, ataupun penggunaan obat-obat tertentu. Pasien

bisa tidur tapi tidak merasa tidur.

Insomnia sekunder Insomnia sekunder disebabkan karena gangguan irama sirkadian, kejiwaan, masalah neurologi atau masalah medis lainnya, atau reaksi obat. Insomnia ini sangat sering terjadi pada orang tua. Insomnia ini bisa terjadi karena psikoneurotik dan penyakit organik. Pada orang dengan insomnia karena psikoneurosis, sering didapatkan keluhan-keluhan non organik seperti sakit kepala, kembung, badan pegal yang mengganggu tidur. Keadaan ini akan lebih parah jika orang tersebut mengalami ketegangan karena persoalan hidup. Pada insomnia sekunder karena penyakit organik, pasien tidak bisa tidur atau kontinuitas tidurnya terganggu karena nyeri organik, misalnya penderita arthritis yang mudah terbangun karena nyeri yang timbul karena perubahan sikap tubuh.

Klasifikasi insomnia berdasarkan manifestasi klinisnya antara lain: Initial Insomnia Kesulitan untuk jatuh tertidur pada waktu yang normal. Hal ini didefinisikan sebagai kesulitan tertidur yang lebih dari 30 menit. Keadaan ini sering dijumpai pada ansietas pasien muda, ber-langsung 1 - 3 jam dan kemudian karena kelelahan tertidur juga. Biasanya disebabkan karena tingkat kesadaran yang tinggi yang berhubungan dengan anxietas atau faktor lain. Intermediate Insomnia Kesulitan untuk mempertahankan tidur / sering terbangun dari tidur lalu sulit tertidur kembali. Keadaan ini bisa muncul secara ireguler dalam 1 malam atau muncul pada waktu-waktu tertentu. Kondisi ini cukup sering ditemukan pada orang tua Merasa tetap lelah dan mengantuk meskipun durasi tidur sudah cukup. Merasa cemas jika sudah mendekati waktu tidur. Late Insomnia Bangun tidur terlalu awal. Pasien ini dapat tidur dengan mudah dan tidur dengan cukup nyenyak, tetapi pagi buta sudah terbangun lalu tidak dapat tidur lagi. Keadaan ini sering dijumpai pada keadaan depresi.

Etiologi Insomnia Faktor Eksternal - Faktor sosial: persentase insomnia lebih tinggi pada seseorang yang mengalami perpisahan atau perceraian, juga pada orang dengan tingkat pendidikan rendah, pengangguran serta mereka yang penghasilannya di bawah rata-rata. Di samping semua faktor di atas kualitas tidur juga menurun seiring bertambahnya usia. Kejadian insomnia ditemukan jauh lebih banyak pada wanita dibandingkan pada pria. - Faktor lingkungan: suasana tidur yang kurang nyaman (berisik, terlalu panas atau dingin, kondisi pencahayaan yang tidak sesuai, dll) dapat menimbukan gangguan tidur demikian juga dengan lingkungan kerja yang penuh tekanan. Kondisi ini memberikan hasil akhir yang serupa ketika seseorang harus menghadapi:konflik eksternal yang berat konflik intrafisik : pemecatan, kecelakaan dan dirawat di rumah sakit konflik interpersonal : kurangnya dukungan sosial - Faktor toksin: amfetamin, antidepresan, obat anoreksia dan TBC, konsumsi kafein dan alkohol yang berlebih Faktor Internal - Faktor medis dan fisiologis tubuh: legs impatience syndrome, recurrent limbs shaking syndrome, berhenti napas ketika tidur, narkolepsi, konsumsi obat berlebih, kerusakan sistem saraf pusat, terbangun di malam hari (karena sakit), operasi. - Faktor kronobiologis: kerja di malam hari dapat menyebabkan insomnia melalui desinkronisasi biologis tubuh. Kondisi ini serupa dengan seseorang yang mengalami jet-lag. HPA Axis Pada Orang Insomnia Kondisi hiperkortisolemia bukan faktor tunggal terjadinya insomnia pada seseorang. Tingginya kadar kortisol merupakan sebuah tanda akan adanya peningkatan aktivitas CRH di malam hari. Di samping itu, berdasarkan penjelasan yang telah ada sebelumnya,

terdapat hubungan antara CRH dengan LC/NE, sehingga peningkatan level kortisol juga bisa dijadikan sebagai tanda akan naiknya aktivitas NE. Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Vgontzas, et al ternyata ditemukan bahwa pada suatu kondisi insomnia, aktivitas HPA axis dan sistem simpatik tubuh mengalami peningkatan. Sebagai tambahan, peningkatan level kortisol saat bangun di malam hari, memiliki korelasi dengan banyaknya jumlah kondisi terbangun tiba-tiba baik pada orang yang mengalami insomnia maupun tidak. Peningkatan aktivitas HPA axis menginduksi terjadinya suatu fragmentasi proses tidur, dan sebaliknya adanya suatu fragmentasi dalam tidur normal akan meningkatkan aktivitas HPA axis. Kedua fakta ini menunjukkan adanya sebuah pola lingkaran yang terjadi pada kondisi insomnia kronis. Kelelahan yang sering terjadi pada kondisi insomnia bisa dijelaskan dengan teori peningkatan IL-6 dan TNF. Walaupun jumlah seluruh sitokin sepanjang 24 jam dalam satu hari tidak mengalami peningkatan, namun peralihan level IL-6 dan TNF dari tengah malam menuju pagi hari yang tidak normal berakibat pada kelelahan di siang harinya.

2. Gangguan Kebiasaan Tidur REM 3. Narkolepsi 4. Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodic dan Sindroma Kaki Gelisah 5. Gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan a. Mendengkur b. Obstruktive Sleep Apnea

Menurut Association of Sleep Disorder Centers pada tahun 1999, gangguan tidur yang berat pada usia lanjut (hanya pada usia lanjut?) dibagi menjadi : I. Gangguan memulai dan mempertahankan tidur (disorders of initiating and maintaining sleep = DIMS) II. III. IV. Gangguan mengantuk berlebihan (disorders of excessive somnolence = DOES) Gangguan siklus tidur jaga (disorders of the sleep wake cycle) Perilaku tidur abnormal (abnormal sleep behaviour, parasomnias)

II. 4 Penatalaksanaan

(perbaiki susunan kalimat jangan persis terjemahan)

Evaluasi klinik terhadap pasien usia lanjut dengan gangguan pola tidur memerlukan pemeriksaan yang komprehensif dan upaya terintegrasi dari semua tim pelayanan kesehatan. Unsur-unsur dari riwayat yang lebih rinci memerlukan data dari pasien, pasien lain, keluarga dan petugas kesehatan. Terapi untuk gangguan pola tidur pada usia lanjut sebaiknya secara konservatif dengan penekanan pada meminimalkan penanganan terhadap pasien. Setiap intervensi merupakan bahaya yang akan dikerjakan terhadap pasien. Setiap intervensi merupakan bahaya yang potensial dan pemeliharaan terhadap kondisi fungsional pasien merupakan tujuan dari terapi.Manipulasi lingkungan dan penyebab eksternal yang potensial merupakan pendekatan yang terbaik.Berbagai tindakan non-spesifik yang disebut higiene tidur dapat memperbaiki pola tidur.Konseling diperlukan untuk mewujudkan latihan higiene tidur yang dapat mengurangi terapi menggunakan obat-obatan. Terapi menggunakan obat dapat diberikan setelah menentukan diagnosis pasien usia lanjut. Untuk insomnia jangka pendek (short term) dapat diberikan Triazolam 0,125 0,25 mg atau jenis benzodiazepin lainnya yang bekerja cepat dan hilang cepat dari tubuh.Sedangkan untuk insomnia jangka panjang (long term) diberikan neuroleptika dengan dosis kecil (berapa ?) seperti klorpromazin, levomepromazin dan tioridazin. Pada pasien usia lanjut dengan insomnia dan depresi,diberikan antidepresan jenis tetrasiklik, (mengapa?) serotonin selective receptor inhibitor (SSRI), dan mono amino oxisidase inhibitor (MAOI), misalnya Maprotiline 10 25 mg, Fluxetine 20 mg pada pagi hari atau Moclobemide dua kali 150 mg. Penyerapan, pengolahan dan ekskresi obat pada usia lanjut mengalami perlambatan. Oleh karena itu perlu diperhatikan agar obat yang diberikan selalu dimulai dengan dosis efektif terkecil sehingga tidak menimbulkan efek kumulatif yang berbahaya. Adapun penatalaksanaan komprehensif adalah sebagai berikut: 1. Berusaha membentuk pola tidur-bangun pada waktu yang sama setiap harinya 2. Bangun pagi hari pada waktu yang sama walaupun tidur malam dirasakan kurang 3. Hindari sedapat mungkin tidur siang,bila tidur tidak lebih dari 1jam/hari 4. Pergi tidur hanya bila benar-benar mengantuk dan tidak bermain-main di tempat tidur 5. Membatasi lama waktunya tidur(kurang lebih 8jam pada malam hari)

6. Melakukan aktivitas fisik dan sosial 7. Menghindari alcohol,kafein(kopi) dan nikotin(merokok) sebelum tidur 8. Hindari obat-obat untuk menginduksi tidur. Mungkin ada algoritmanya ??

Prognosis ?????

BAB III Penutup

Gangguan tidur merupakan penderitaan bagi para usia lanjut karena berhubungan dengan rasa kenikmatan, kebahagiaan dan kualitas hidupnya. Pola tidur pada usia lanjut yang berbeda dengan orang dewasa perlu mendapat perhatian dari para petugas kesehatan. Perubahan struktur tidur juga berbeda pada usia lanjut sehingga umumnya kurang dapat menikmati tidur nyenyak daripada orang muda. Pendekatan secara sistematik terhadap gangguan tidur lebih ditekankan pada pendekatan komprehensif terhadap seluruh kondisi kesehatan fisik dan mentalnya dan lebih bersifat konservatif.Upaya meningkatkan higiene tidur perlu dilaksanakan di rumah maupun di panti werda.Terapi dengan obat-obatan psikotropika perlu diberikan dengan dimulai dosis efektif paling kecil sehingga tidak menimbulkan efek kumulatif.Serta perlu dilakukan tindakan komprehensif sebagai upaya pencegahan terjadinya gangguan tidur pada lansia.

You might also like