You are on page 1of 10

SYOK ANAFILAKTIK TINJAUAN MASALAH DAN PENANGANANNYA

PENDAHULUAN
Analfilaksis, karena sifatnya yang tidak dapat diramalkan dan datangnya paling berbahaya. Penyakit ini dapat menyebabkan kegagalan napas akut dan syok hipovolemik yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Pengenalan dini sangat menentukan nasib penderita karena manifestasi klinknya yang berbahaya sebagian atau seluruhnya mungkin dapat diatasi dengan penanganan yang tepat dan intensip. Catatan sejarah yang paling dini tentang episode anafilaksis yang fatal terdapat pada hieroglyph pada makam raja Menes di Mesir. Dikatakan bahwa pada tahun 2641 SM raja ini meninggal mendadak akibat disengat lebah. Istilah anafilaksis sendiri diperkenalkan oleh sarjana Perancis Charles Richet dan Paul Portier untuk menerangkan suatu respon hipersensitif berupa syok dan kematian pada anjing yang ditelitinya setelah menerima suntikan sublethal kedua dengan toksin anemone. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu ana berarti melawan sedangkan phylaxis berarti perlindungan. Ini berarti kebalikan dari istilah prophylaxis. Anafilaksis adalah suatu sindroma klinik yang jelas dengan tanda-tanda khas berupa perubahan yang mendadak dan dramatic pada permeabilitas vaskuler dan hiperaktifitas bronchial. Perubahan sifat yang eksplosif ini disebabkan oleh beberapa mediator endogen yang dilepaskan segera setelah suatu stimuli baik oleh antigenic maupun non-antigenik. Reaksi anafilaktik yang klasik ialah anafilaksis yang mekanismenya merupakan suatu reaksi imunologis, yaitu interaksi yang berkelanjutan dari suatu antigen (allergen), antibody dari kelas IgE (Reagin) dan sel efektor spesifik (basophil dan mast cell), yang menimbulkan sintesis dan pelepasan beberapa mediator yang secara fisiologis sangat aktif. Reaksi anafilaktoid secara klinis tampak serupa dengan reaksi anafilaktik yang klasik, tetapi tidak jelas kaitannya dengan antibody atau tidak dapat dibuktikan antibody IgE berperan pada reaksi ini. Terdapat jalur-jalur atau system-sistem lain yang dapat melepaskan mediator-mediator aktif serupa yang menyebabkan tanda dan gejala yang sama pada reaksi anafilaksis. Laporan tentang kasus-kasus reaksi anafilaktik tersering disebabkan karena pemberian antibiotika, terutama golongan penisilin dan sefalosporin. Insidens anafilaksis karena penisilin berkisar antra 15 sampai 40 per 100000 penderita yang mendapatkan terapi tersebut. Di Amerika diperkirakan beberapa ratus orang meninggal tiap tahun karenanya.

Reaksi anafilaktoid karena bahan radiokontras yang mengandung yodium terjadi kurang dari 2% namun karena banyaknya prosedur yang menggunakan bahan ini, diperkirakan terjadi sampai 500 kematian per tahun karenanya di Amerika Serikat. Sampai sekarang belum pernah ada penelitian terkontrol pada manusia tentang terapi yang terbaik untuk syok anafilaksis. Timbulnya yang mendadak dan tidak bisa diduga, perbedaan berat manifestasi kliniknya, dan respons yang dramatic terhadap pengobatan menyebabkan penelitian semacam itu sulit dilakukan. Karena itu salah satu faktor yang menentukan dalam penanganannya adalah pengetahuan yang cukup tentang patofisiologi syok anafilaksis, efek mediator terhadap organorgan, efek farmakologis obat terhadap mast cell dan organ-organ yang terkena. Hal-hal diatas akan dicoba dibahas secara singkat dalam makalah ini dengan penekanan pada tindakan penanganannya.

PATOFISIOLOGIS
Aktivasi immunologis dan nonimunologis Bila suatu antigen memasuki tubuh baik melalui kulit, saluran napas, maupun makanan maka sel-sel plasma (mast cell dan basophil) akan membuat antibody jenis IgE yang spesifik. Antibody ini mempunyai bagian yang dapat berikatan dengan reseptor yang cocok pada sel plasma (Fc), juga mempunyai bagian yang berperan dalam mengenali dan mengikat antigen (Fab). Proses ini disebut sensitisasi. Bila suatu saat antigen serupa masuk lagi ke dalam tubuh, maka antigen ini akan dikenali dan diikat oleh bagian Fab dari IgE yang telah terbentuk sebelumnya. Pengikatan antigen dengan 2 molekul IgE yang melekat pada sel plasma (bridging) akan mencetuskan suatu rangkaian reaksi biokimiawi intraseluler yang menghasilkan pelepasan mediator-mediator antara lain Histamin, ECF-A (Eosinipholic Chemotactic Factor of Anaphylaxis), NCF (Neutrophilic CF), SRS-A (Slow Reacting Substance of Anaphylaxys= Leukotrien), Prostaglandin, PAF (Platelet Activating Factor), kinin. Mediator yang bersifat fisiologis aktif inilah yang kemudian pada organ-organ tubuh akan menimbulkan tanda-tanda anafilaksis (lihat gambar dan table).

Gambar 1 Drugs Anaphylactic Reaction (Non Immunologic) Tabel 1.Beberapa mediator utama pada anafilaksis dan efeknya
Mediator
Histamin Vasodilatasi Kenaikan permeabilitas kapiler Bronkhokonstriksi Khemotaksis dari eosinophil dan neutrophil Bronkhokonstriksi Kenaikan permeabilitas kapiler Vasokonstriksi coroner Gangguan inotropic Kenaikan permeabilitas kapiler Bronkhospasme Hipertensi pulmoner Vasodilatasi Aggretasi platelet, leukosit Bronkhospasme Kenaikan permeabilitas kapiler Kenaikan permeabilitas kapiler vasodilatasi

Efek

Chemotoactic Factor Leukotriens

Prostaglandins

PAF

Kinins

Selain mekanisme diatas, zat-zat tertentu juga dapat mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan tidak melibatkan mekanisme immunologis IgE tersebut. Mekanisme yang disebut reaksi anafilaktoid ini juga menimbulkan tandatanda anafilaksis yang serupa. Beberapa system yang dapat mengaktivasinya dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Aktivasi anafilaksis non imunologis


Aktivasi komplemen Protamine Plasmin Bahan radiokontras Dekstran Obat-obatan Endotoksin eksotoksin Aktivasi system penguat humoral (humoral amplification system) Koagulasi Fibrinolysis Aktivasi kinin Pelepasan histamine secara langsung (direct histamine release) Narkotika Obat pelemas otot (d-tubokurarin, atrakurium) Bahan radiokontras, mannitol, vankonisin, polimiksin B Dekstran

Reaksi biokimiawi dalam sel Aktivasi immunologis pada sel plasma ini ternyata menyebabkan perubahan bifasic kadar cAMP dalam sel, mula-mula kadarnya meningkat kemudian menurun tajam karena mengalami hidrolisis. Penurunan ini ternyata disertai dengan pelepasan mediator-mediator. Bila penurunan kadar cAMP dapat dicegah, pelepasan mediator ternyata tidak terjadi. Katekholamin (mis. Epinefrin) dapat meningkatkan produksi cAMP, sedangkan xanthin (mis. Aminofilin) dapat mencegah degradasi cAMP, oleh karenanya keduanya sangat penting dalam mengatasi anafilaksis. Peranan ion kalsium Ca++ ikut berperan dalam proses biokimiawi dalam sel tersebut. Aktivasi immunologis menyebabkan permeabilitas dinding sel terhadap kalsium meningkat. Masuknya ion kalsium ke dalam ternyata menurunkan kadar cAMP diikuti degranulasi dan lepasnya mediator. TANDA-TANDA DAN GEJALA ANAFILAKSIS Mediator yang lepas mempengaruhi system pernapasan, kardiovaskuler, kulit dan gastrointestinal. Manifestasi fisiologisnya dapat dilihat pada table di bawah.

Tabel 3. Tanda-tanda dan gejala anafilaksis Sistem


Pernapasan

Tanda-tanda
Dyspnea Rasa tak enak di dada

Gejala-gejala
Batuk-batuk Berisn-bersin Wheezing Edema larynx Edema paru berat Distress napas akut Disorientasi Diaphoresis Penurunan kesadaran Hipotensi syok Takhikardia Disritmia Penurunan tahan pembuluh darh sistemik Arrest jantung Urtikaria Flushing Edema perioral, periorbital Tumpah , diarrhea Nyeri abdominal

Kardiovaskuler

Pusing Malaise Rasa tertekan retrosternal

Kulit Pencernaan

Gatal-gatal Rasa panas Mual-mual

Umumnya makin cepat timbulnya tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut, makin berat anafilaksisnya. Manifestasi yang paling berbahaya adalah pada system pernapasan dan kardiovaskuler. Efek mediator yang berat pada system pernapasan berupa bronkhospasme, edema saluran napas dan edema paru akut yang menimbulkan hipoksemia dan asidosis respiratorik berat. Tanpa pertolongan kematian dapat timbul dalam waktu cepat. Efek pada system pernapasan ini yang paling sulit diatasi karena umumnya tidak tersedia fasilitas yang memadai ditempat kejadian. Pengenalan dini tanda-tanda dan gejala-gejala anafilaksis diikuti penanganan yang cepat dan agresif ditempat kejadian sangat menentukan nasib penderita. Efek mediator pada system kardiovaskuler berupa : 1. Vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan hipovolemia yang relative 2. Kenaikan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan cairan intravaskuler ke interstitial yang mengakibatkan hipovolemia absolut 3. Gangguan inotropic otot jantung Terjadi hipotensi sampai syok berat, hipoksemia dan asidosis metabolic yang jelas akan memperberat hipoksemia dan asidosis akibat gangguan pernapasan. TERAPI FARMAKOLOGIS Obat-obatan Obat-obatan yang dipergunakan dalam terapi anafilaksis umumnya ditujukan untuk :

1. Menghambat sintesis dan lepasnya mediator 2. Blockade reseptor jaringan terhadap mediator yang lepas 3. Mengembalikan fungsi organ terhadap pengaruh mediator Berdasarkan tujuan utama diatas maka terdapat 4 jenis obat yang sering dipakai dalam terapi anafilaksis, yaitu : golongan kathekolamin, golongan penghambat fosfodiesterase (xanthin), antihistamin dan kortikosteroid (tbl 4). Tabel 4. Obat-obat untuk anafilaksis
Obat Katekholamin Epinefrin Norepinefrin isoproterenol Penghambag fosfodisterase aminofilin Antihistamin Difenhidramin Kkhlorfeniramin Simetidin ranitidin Kortikosteroid Hidrokortison Metilprednisolon deksametason H1 Antagonis H2 Antagonis Metabolit arachidonic acid Efek pada reseptor Agonis Agonis Agonis Agonis Agonis agonis Efek farmakologis Vasokontriktor Bronchodilator Pelepasan mediator Tahanan vaskuler Sistmik Bronchodilator Pelepasan mediator Bronchodilator Pelepasan mediator Hambatan sel target Belum Jelas Bronkhospasme & hipotensi refrakter Menghambat reaksi lambat indikasi Terapi utama (primer Bronkospasme Hiipotensi refrakter Bronkhospasme refrakter Hipertensi pulmoner Disfungsi ventrikel kanan Bronkhospasme persisten

Cairan Disamping mengatasi gangguan napas dan sirkulasi dengan obat katekholamin, pemberian cairan mungkin adalah merupakan terapi yang terpenting pada anaphilaksis. Pemberian cairan ditujukan untuk mengatasi syok hipovolemik dan meningkatkan kompensasi kardiovaskulernya. Selain itu dengan adanya saluran infus pemberian obat-obatan selanjutnya akan lebih mudah. Cairan yang diberikan dapat berupa cairan kristaloid dan koloid untuk mengganti cairan plasma yang merembes keluar. Dalam hal ini cairan koloid mungkin lebih menguntungkan, karena cairan ini akan lebih lama tinggal dalam sirkulasi dibandingkan kristaloid.

TINDAKAN DAN PENGOBATAN SYOK ANAFILAKSIS Untuk menjamin keberhasilan penanganan anafilaksi diperlukan suatu persiapan yang matang dan adanya rencana terapeutik yang jelas. Dengan selalu berpikir bahwa dalam melakukan suatu tindakan kemungkinan terburuk dapat terjadi (anafilaksis berat) dan siap untuk menghadapi dengan adanya rencana terapeutik yang jelas, diharapkan akibat buruk dari anafilaksis dapat dikurangi. Di bawah ini diuraikan pedoman tindakan praktis dan pengobatan syok anafilaksis. Pedoman ini diharapkan dapat dipakai dan masih dalam jangkauan untuk dilakukan oleh dokter di daerah. PERSIAPAN 1. Persiapan mental, pengetahuan dan keterampilan Persiapan mental adalah adanya kewaspadaan yang tinggi bahwa setiap waktu syok anafilaksis dpaat terjadi : Persiapan pengetahuan tentang : Garis besar mekanisme syok anafilaksis Farmakologi obat-obat yang dipakai

Sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini Persiapan keterampilan untuk : Menyuntik intravena, sublingual dan transtracheal Memasang infus Resusitasi jantung paru tanpa alat-alat

2. Persiapan fasilitas, alat, dan obat Persiapan fasilitas dan alat : Pikirkan untuk menidurkan penderita dalam posisi syok (tidur telentang dengan tungkai lebih tinggi daripada kepala) pada alas yang keras, penerangan yang cukup, agar tindakan dan observasi dapat dilakukan dengan baik Pikirkan kemungkinan untuk memasang infus dan menggantung botol Tensimeter yang berfungsi baik Spuit ukuran 1-2, 5-10 ml dengan jarum yang tajam Jarum/kateter intravena untuk infus Set infus Tabung oksigen beserta regulator, flow meter, selang dan kanula nasa/masker bila mungkin AMBU bag bila mungkin Jalan napas orofaring

Persiapan obat-obatan :

Adrenalin siap di spuit (preloaded syringe) tiap kali mulai praktek Simpatomimetik yang lain : efedrin, metaraminol (aramin), dopamine Antihistamin : difenhidramin (Benadryl) Kortikosteroid : hidrokortison, deksametason Cairan kristaloid : ringer laktat, NaCl 0,9% Cairan koloid (kalau mungkin) : gelatin (Haemaccel, Polygeline), dekstran, hydroxyl-ethyl starch (Expafusin) atau Albumin.

RENCANA TERAPEUTIK
Baringkan dalam posisi syok, alas keras Bebaskan jalan napas Tentukan penyebab dan lokasi masuknya Masuk lewat ekstremitas pasang torniquette Adrenaline 1 : 1000 0,25 ml(o,25 mg) subkutan Monitor pernapasan dan hemodinamik Suplemen oksigen Adrenalin 1:1000 0,25 ml (0,25 mg) intra muskuler (sedang) Atau 1 : 10.000 2,5 5 ml(0,25 0,5 mg) intravena (beart) Berikan sublingual atau transtrakehal bila vena kolaps Aminofilin 5-6 mg/kgBB iv (bolus), diikuti 0,4-0,9 mg/kg/menit per drip (Untuk bronkospasme persisten) Infus cairan (berpdeoman hematocrit) Monitor pernapasan dan hemodinamika Cairan Obat inotropic positif Obat-obat vasoaktif Kalau perlu dan memungkinkan, rujuk untuk mendapatkan perawatan Intensif selanjutnya Basic dan Advanced life Support (RJPO

Ringan

Sedang

Berat Arrest napas-jantung

Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernapasan. Jalan napas yang buka dan bebas harus dijamin. Kalau perlu lakukan sesuasi dengan ABC-nya resusitasi. Terapi farmakologis harus diberikan secepat mungkin dengan adrenalin dengan cara seperti di atas. Dosis ulangan dapat diberikan bila perlu dengan interval 5-10 menit. Disamping adrenalin aminofilin juga merupakan terapi primer untuk anafilaksis. Antihistamin dan kortikosteroid adalah obat sekunder untuk naafilaksis setelah keadaan stabil dapat diberikan: Difenhidramin = 25 50 mg atau 1 mg/kgBB untuk anak keil, diberikan dengan interval 4-6 jam Kortikosteroid = 100-200 mg iv dengan interval yang sama

Koreksi cepat hipovolemia sangat penting dalam terapi anafilaksis. Dipasang jarum infus ukuran besar. Bila vena perifer masih tetap kolaps dapat dicoba pasang melalui vena juglaris eksterna. Karena terjadi hemokonsentrasi (kehilangan plasma) koreksi dapat diberikan secara lebih akurat dengan pedoman

pemeriksaan hematocrit secara serial (dengan catatan tidak ada perdarahan sebelum dan pada waktu kejadian). Rumus :

Hct TBV PV

= hematocrit = Total blood volume = Plasma Volume

RBCV = red blood cell volume

Contoh Perhitungan Seorang dengan berat badan 50 kg mengalami syok anafilaksis, hematocrit setelah syok 0.6 perkiraan Sebelum syok : TBV1 (orang normal) Hct1 (orang normal) RBCV1 PV1 Setelah syok : Hct2 RBCV2 = 50 kg x 70 ml/kg = 0,4 = 0,4 x 3500 ml = 3500 ml 1400 ml = 0,6 = RBCV1 (tetap) = 3500 ml = 1400 ml = 2100 ml

= 1400 ml

Kehilangan plasma = PV2 PV1 = 570 ml PENUTUP Syok anafilaksis adalah peristiwa yang akut dan dapat menyebabkan kematian. Betapapun juga dengan persiapan yang matang, antisipasi, pengenalan dini, dan terapi yang cepat dan tepat malapetaka tersebut dapat dihindari. Terapi farmakologis dengan obat-obatan seperti epinefrin dan aminofilin dapat menurunkan sintesa mediator intraseluler dan pelepasannya dan mengatasi pengaruhnya pada organ-organ. Tidak boleh dilupakan adalah usaha-usaha untuk menjamin jalan napas yang bebas dan mengembalikan voume intravaskuler.

You might also like