Professional Documents
Culture Documents
18.Feb.2008
Minggu lalu, antara 13-17 Februari 2008 sekitar 50 BUMN menggelar pameran di
Jakarta Hilton Convention Center (JHCC). Mereka memamerkan mitra-mitranya yang
telah mereka bantu melalui Program Kemitraan. Memang, secara hukum BUMN
dinyatakan memiliki tujuan pendirian yang bukan saja untuk mengejar keuntungan,
melainkan juga “turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat”, yang tercantum dalam Pasal 2 UU
Nomor 19/2003.
Dalam sebuah presentasi di bulan April 2007, Menneg BUMN kala itu, Sugiharto
menyatakan bahwa PKBL merupakan perwujudan dari CSR. Tapi benarkah demikian?
Mungkin ada baiknya kalau pernyataan tersebut ditimbang dengan cermat. Dalam
definisi CSR yang dianut oleh Lingkar Studi CSR, sebuah perusahaan baru dianggap
menjalankan CSR dengan benar apabila ia telah mengupayakan terlebih dahulu
minimisasi dampak negatif, baru kemudian melakukan maksimisasi dampak positif.
Tampaknya Kementerian Negara BUMN tidak berpendirian demikian, sehingga PKBL
dianggap sama dengan CSR, walau pelaksananya tidak diwajibkan melakukan minimisasi
dampak negatif dahulu. Jadi, walaupun sebuah BUMN tidak memedulikan dampak
negatifnya, namun melaksanakan apa yang diwajibkan dalam ketentuan mengenai PKBL,
maka ia bisa dianggap melakukan “CSR”, tentunya dalam pemahaman Kementerian
Negara BUMN.
Terakhir, PKBL didasarkan pada laba bersih yang BUMN bukukan di tahun sebelumnya.
Hal ini sangat problematik dari sudut pandang CSR. Kalau sebuah BUMN tidak
membukukan keuntungan, maka ia boleh tidak menjalankan “tugas sosial”-nya itu. Ini
tentu saja bukan ciri-ciri CSR, karena CSR harus dilaksanakan, terlepas dari untung atau
tidak (belum)-nya perusahaan. Sudah semenjak 1997 seluruh pakar CSR bersepakat
bahwa CSR adalah aktivitas “before profit”, bukan “after profit” sebagaimana yang
dianut oleh Kementerian Negara BUMN.
Dengan memerhatikan hal-hal di atas, jelaslah bahwa PKBL BUMN masih belum bisa
dianggap sebagai CSR yang sesungguhnya. Ia tidak mewajibkan perusahaan untuk
terlebih dahulu meminimumkan dampak negatifnya, ia tidak mengandung voluntarisme
untuk melampaui regulasi, dan ia juga merupakan pengeluaran yang disandarkan atas
keuntungan—bukan dipandang sebagai investasi. Itu dari sisi teoretisnya.
Dari sisi praktis sangat penting dipikirkan bagaimana cara terbaik untuk
mendayagunakan berbagai bisnis inti BUMN untuk mendongkrak kinerja usaha kecil dan
mikro yang dibantunya. Jadi, Pertamina atau Telkom tidak lagi sekadar ”bermitra”
dengan usaha kain batik, misalnya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam pameran.
Melainkan, dua BUMN itu bisa menjadi mitra sejati bagi usaha kecil dan mikro yang
bergelut memperjuangkan kemandirian energi serta menjembatani kesenjangan digital.
Bukankah ”bimbingan dan bantuan” optimum hanya bisa diberikan apabila itu terkait
dengan keahliannya?