You are on page 1of 11

DERMATITIS KONTAK ALERGI I.

DEFINISI Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat panjanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitisasi. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T.(1) II. EPIDEMIOLOGI Sebanyak 2-5% dari populasi dipengaruhi, jauh lebih tinggi dalam beberapa kelompok kerja. Prevalensi kontak alegi pada populasi umum adalah 26-40% pada orang dewasa dan 2136% anak-anak. Di Eropa dan sebagian besar didunia yang paling sering mengakibatkan kontak alegi adalah nikel, thiomersal (Merthiolate) dan wewangian. Sensitisasi terhadap nikel ditemukan pada orang dewasa 13-17%, remaja 10% dan 7-9% anak-anak. Perempuan biasanya lebih sering patch test dan memiliki lebih banyak hasil positif daripada laki-laki. Perbedaan gender ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan lingkungan, perempuan lebih mungkin untuk memiliki kepekaan nikel karena peningkatan memakai perhiasan dan laki-laki lebih mungkin untuk memiliki kepekaan kromat dari pajanan.(2-4) Sejumlah penelitian telah meneliti prevalensi dan faktor risiko ekzema tangan pada populasi umum. Sensitisasi kontak telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang bermakna. Di banyak bagian dunia, lebih dari 20% dari populasi orang dewasa menderita alergi kontak. Profil dari sensitisasi dapat berbeda di setiap negara. Namun, nikel sulfat adalah alergen yang paling banyak ditemukan. Patch test merupakan gold standard untuk diagnosis DKA. Kualitas kontrol patch test adalah prasyarat dan sasaran dari epidemiologi klinis dermatitis kontak. Publikasi berdasarkan data pasien yang mengunjungi klinik dermatologi dan/atau unit Patch test tidak dapat digunakan secara langsung untuk menurunkan kejadian populasi terkait atau perkiraan prevalensi.(4)

III. ETIOLOGI Dermatitis kontak alergi dapat disebabkan oleh sejumlah besar alergen yang berada di dalam lingkup kerja atau dalam kehidupan pribadi. Reaksi alergi yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Seringkali alergen adalah haptens seperti nikel, komponen obat lokal diterapkan atau kosmetik, atau beberapa jenis bahan kimia yang ditambahkan ke pakaian dan sepatu. Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya : potensi sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologi (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).(5, 6)

Tabel 1. 10 paparan alergen yang tersering, penatalaksanaan dan pencegahan(7)

IV. PATOGENESIS Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun yang di perantarai oleh sel (cell-mediated immune response) atau reaksi imunologi tipe IV, suatu hipersensitivitias tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi.(6)
3

Fase Sensitisasi : Hapten yang masuk kedalam epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Akan tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (Interleukin-1) yang akan mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk Major Histocompability Complex kelas I dan II, Intercellular Adhesion Molecule 1, Lymphocyte Function Associated Antigen 3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF-, yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II, Tumor Necrosis Factor menekan prouksi E-cadherin yang mengikat sel langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktifitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam saluran limfe, sel langerhans menerjemahkan kode yang diberikan sehingga memproses dan mempresentasikan kepada sel-T Helper.(6) Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan mengeskspresi reseptor IL-2. Sitokin kemudian akan menstimulasi proliferasi sel T spesifik, dan kemudian akan membentuk sel-T memori, fase ini berlangsung selama 2-3 minggu. Sensitasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak, karena sinyal antigenik hapten cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritan memicu sensitasi.(6) Fase elisitasi : fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh Human Leucocyte Antigen -DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya, kompleks HLA-DR antigen akan dipresentasikan kepada sel-T yang terlah tersensitisasi (sel-T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktifasi. Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang menyebabkan
4

proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga mengeluarkan Interferon- yang mengaktifkan keratinosit mengekspresikan ICAM-1 dan HLA-DR, adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit yang mengekspresi molekul Lymphocyte function-associated antigen 1, sedangkan HLA-DR memungkinan keratinosit berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan juga memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DE juga dapat merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF- dan Granulocyte macrophage colony-stimulating factor, semuanya dapat mengaktivasi sel-T, IL-1 dapat menstimulasi keratinosit dan eikosanoid yang menghasilkan sitokin dan sel mas, sel mas ini yang akan melepaskan histamin dan berbagai jenis faktor kemotaktik yang menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga komplemen dapat berdifusi masuk kedalam dermis dan epidermis. Kejadian tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase ini berlansung antara 24-48 jam.(6)

Gambar 2. Respon imun pada dermatitis kontak alergi(8) V. GEJALA KLINIS Penderita umumnya mengeluhkan gatal. Tingkat keparahan ditentukan oleh intensitas paparan dan tingkat kesensitifitas seseorang. Tanda utama pada pasien, DKA akut : eritema, edema, papul, papulovesikel, krusta dan apabila keadaan akut yang terus berlangsung maka dapat terbentuk bula dan keluhan tersering adalah gatal. Pada DKA kronik, bisa saja penderita
5

tersebut terpapar alergen yang berulang. Tanda yang khas pada kulit pasien yaitu kulit menjadi kering, berisisik dan menebal sebagai hasil dari ankanthosis, hiperkeratosis, edema, hiperpigmentasi, infiltrasi sel hingga ke dermis, Iikenifikasi dan pecah-pecah.(6, 7, 9-11) Pemeriksaan penunjang yang dapat diberikan yaitu tes tempel/patch test, dengan menempelkan bahan-bahan yang diduga dapat memunculkan reaksi alergi pada kulit dan ditempelkan dengan memakai Finn Chamber, kemudian dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Setelah dibiarkan selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya sebagi berikut:(5, 6) 1 = reaksi lemah(non vesikuler) : ertitema, infiltrat, papul (+) 2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++) 3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++) 4 = meragukan: hanya macula erimatosa 5 = iritasi: seperti terbakar, pustule atau purpura (IR) 6 = reaksi negatif (-) 7 = excited skin 8 = tidak dites (NT= not tested) Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama tes tempel(6, 7, 9, 10): 1. Tidak dilakukan pada keadaan akut, dilakukan pada keadaan tenang 2. Uji tempel di buka setelah dua hari 3. Tes sekurang kurangnya dilakukan satu minggu setelah berhenti pemakaian kortikosteroid, namun pada pemakain prednison 20mg/hari masih dapat dilakukan tes patch 4. Penderita dilarang melakukan aktifitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar selama 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
6

5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan , karena dapat menimbulkan reaksi urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilasis.

Gambar 3.Patch test(7)

Lokasi predileksi DKA:

1.
Gambar 4. Acute allergic contact dermatitis on the lips due to lipstick
(12)

Gambar 5. Acute allergic contact dermatitis on hand(12)

Gambar 6. Allergic phytodermatitis of face: poison ivy(12)

Gambar 7. Dermatitis kontak alergi pada wajah(12)

Histopatologi(13) Pola spongiotik akut Ditandai dengan vesikel spongiosis spongiotik intraepidermal Ortokeratosis Eosinofil dan limfosit-dalam dermis dan kadang-kadang di epidermis Koleksi dari sel Langerhan di epidermis

Gambar 8. histopatologi(13)

VI. DIAGNOSIS Diagnosis berdasarkan dari hasil anamnesis yang mendalam serta cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Pemeriksaan fisis sangat penting dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit sering kalui dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup tenang dan bercahaya.(6, 7, 9, 10)

VII. DIAGNOSIS BANDING 1. Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orna gdari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Penyebab munculnya dermatitis ini, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.Gejala klinis dapat berupa eritema, vesikel, bula, nekrosis, kulit kering, skuama, hiperkeratosis, likenifikasi, kulit kering, fisur. (6, 7, 9, 10) 2. Dermatitis Atopi Keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, berhubungan dengan peningkatan kadar Imunoglobulin8

E dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Kelainan kulit penderita umumnya kering, kehilangan air lewat epidermis meningkat, pruritus, papul, likenifikasi, eritema erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta.(6, 7, 9, 10) 3. Dermatitis Numulare Lesi berbentuk uang logam (koin) atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing). Penyebabnya stafilokokus dan mikrokokus.Kulit penderita dermatitis numulare cenderung kering, hidrasi stratum korneum rendah. Gejala klinis: pruritus lesi berupa vesikel dan papulovesikel, kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau meluas kesamping, membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam (koin), eritematosa, sedikit edematous, dan berbatas tegas.(6, 7, 9, 10) 4. Dermatitis Seboroik Kelainan kulit dermatitis seboroik terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Dermatitis yang ringan hanyak mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dan skuama-skuama yang halus dan kasar atau disebut ketombe (pitiriasis sika). Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak berskuamadan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal.(6, 7, 9, 10) 5. Psoriasis Effloresensi kulit pada pasien psoriasis terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, besar kelainan bervariasi : lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi.(6, 7, 9, 10)

VIII. PENATALAKSANAAN 1. Medika mentosa Dermatitis akut dalam bentuk apapun baik diobati dengan kompres lembab aluminium asetat 5% kompres diterapkan 15 - 30 menit 2-4 kali sehari dan kortikosteroid topikal potensi pertengahan atau tinggi. Dalam kasus yang parah, diberikan kortikosteroid oral (sistemik), pemakaian dengan dosis 35-50 mg/hari, tapering selama 7-10 hari diperlukan. Kasus lebih kronis dapat diobati dengan kortikosteroid topikal potensi rendah, dan antihistamin sebagai anti pruritus.(11, 14)
9

2.

Non Medika mentosa Langkah yang paling penting adalah menghindari pencetus. Dengan demikian, pencetus atau alergen harus diketahui secara tepat dan pasien diberitahukan untuk berhati-hati apabila menemui atau kontak dengan alergen. Beberapa alergen seperti nikel atau kromat sangat sulit untuk dihindari. Dalam beberapa kasus, pasien harus merelakan pekerjaan mereka.(14, 15)

IX. PROGNOSIS Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin terhindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.(6)

10

REFERENSI

1. 2. 3.

Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar; 2002. Sterry W. Thieme linical Companions Dermatology. Stuttgart-New York; 2006. Spiewak R. Open Allergy Journal, Patch Testing for Contact Allergic and Allergic Contact Dermatitis. Krarov. 2008:42-51.

4. 5. 6.

Palomo JJ, Moreno A. Epidemiology of Contact Dermatitis. 2011. Brehmer EA. Dermatopathology, A Resident's Guide. New York; 2006. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: A D, H M, S A, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 133-38.

7.

Elise MH, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis in Children, Prevention, Diagnosis, and Management. 2011. Shimizu H. Shimizus Texbook of Dermatology. Hokkaido: Nakayama shoten; 2007. Wolff K, AG L, IK S, AG B, SP A, JL D. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. Tony B, B S, C N, G C. Rooks Textbook Of Dermatology. 7th ed. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000. J B, Coulsen I, English J. Guidelines for the management of contact dermatitis: an update. BJD Bristish Journal of Dermatology. 2008 10th December.

8. 9.

10. 11. 12.

13.

M G, Jane, Kels. Color Atlas of Dermatopathology. New York: Vanderbilt Avenue; 2007. Buxton PK. ABC of Dermatology. 4th ed. London: tovistock square; 2003. Wolff C, AJ R, S D. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis Of Clinical Dermatology. 5th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.

14. 15.

11

You might also like