You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu ada implikasi kesehatan jiwa ,baik dalam kasus akibat bencana alam, misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya perang, serangan teroris, kekerasan interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap orang tidaklah sama. Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi dengan baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan kecemasan, kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan stres pasca trauma (Posttraumatic Stress Disorder/ PTSD)1 Gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian.4 Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data dari klinik psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan nasional untuk pengobatan psikis bagi korban bencana melihat makin tingginya angka kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres pasca trauma meningkat. Insidensi Post

Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai 15 persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada populasi yang mengalami resiko besar menghadapi pengalaman traumatis prevalensinya dapat mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibanding pria.

I.2. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah : 1. Tujuan umum Mengetahui mengenai topik gangguan stress pasca trauma 2. Tujuan khusus a. Mengetahui mengenai definisi, penyebab, epidemiologi dan manifestasi klinis dari gangguan stress pasca trauma b. Mengetahui mengenai cara diagnosis dan diagnosis banding dari gangguan stress pasca trauma c. Mengetahui mengenai tatalaksana pada gangguan stress pasca trauma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1.Definisi National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.1Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSMIV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atas diri seseorang.2 Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya. Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.3 Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. II.2.Epidemiologi4 Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai 15 persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada populasi yang mengalami resiko besar menghadapi pengalaman traumatis prevalensinya dapat mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibanding pria. PTSD bisa timbul pada usia kapan saja namun lebih sering pada

usia dewasa muda. Pada umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada wanita sering disebabkan oleh tindakan pemerkosaan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada orang yang masih lajang, telah bercerai, orang yang menarik diri secara sosial atau oramg dengan kelas sosioekonomi yang rendah. Pasien PTSD umumnya memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi. Sekitar 2/3 pasien memiliki paling tidak 2 gangguan lainnya bersamaan.

Sumber : http://ajp.psychiatryonline.org/article.aspx?articleID=175021 II.3.Etiologi4 Seseorang dapat mengalami PTSD adalah akibat respon terhadap suatu trauma yang ekstrem atau sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami, saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang menyebabkan penderitaan fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan seseorang merasakan takut yang sangat kuat, atau perasaan tidak berdaya 1. Stressor Stressor yang menyebabkan stress akut dan PTSD cukup hebat untuk mempengaruhi setiap orang. Stressor tersebut dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak semua orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik. Klinisi harus

mempertimbangkan faktor psikososial dan biologis yang sebelumnya ada

dan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompok yang bertahan hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena anggota yang lainnya juga mengalami pengalaman yang sama. Arti subjektif suatu stressor pada seseorang juga penting. Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat mengalami rasa bersalah yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.

2. Faktor Risiko Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahkan ketika mengalami trauma yang hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comorbidity Study menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan mengalami sejumlah trauma yang signifikan tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7%. Demikian juga peristiwa yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap sebagai bencana besar bagi sebagian orang dapat menimbulkan PTSD pada sejumlah orang lainnya. Adapun faktor risiko yang berperan antara lain : o Biologis Kerentanan genetik. Kepribadian borderline, paranoid,dependent atau antisosial. Perempuan

o Psikososial Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak). Perubahan hidup penuh stress yang baruterjadi. Sistem pendukung yang tidak adekuat(Dukungan keluarga atau kelompok yang kurang). Konsumsi alkohol yang berlebihan.

3. Faktor Psikodinamik Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang tetapi tidak terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak dapat
5

menimbulkan regresi, penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah ada secara simbolis dibangkitkan kembali oleh traumatik yang baru.

4. Faktor Perilaku Kognitif Model kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu memproses dan merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan ini. Mereka terus mengalami stress dan berupaya menghindari hal tersebut dengan teknik penghindaran. Model perilaku PTSD menekankan ada 2 fase, yang pertama adalah trauma yang menimbulkan respon takut dengan stimulus yang dipelajari. Yang kedua adalah melalui pembelajaran instrumental melalui stimulus yang tidak dipelajari.

5. Faktor Biologis 1. Sistem Noradrenergik Pada PTSD menunjukkan gejala gugup, peingkatan tekanan darah, dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah diwajah, dan tremor. Gejala-gejala tersebut berkaitan dengan gejala adrenergik. Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada tetara veteran dengan PTSD dan peningkatan konsentrasi katekolamin urin pada anak perempuan yang mengalami penyiksaan seksual. 2. Sistem Opioid Pada PTSD ditemukan adanya abnormalitas sistem opioid yaitu penurunan konsentrasi -endorfin plasma. 3. Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus-HipofisisAdrenal (HPA) Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan urin pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor glukokortikoid pada limfosit dan faktor pelepas kortikotropin eksogen yang menunjukkan respon hormon

adreno-kortikotropin yang tumpul. Selain itu, supresi kortisol meningkat pada PTSD, hal ini menunjukkan hiper regulasi aksis HPA pada PTSD. Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang terpajan trauma tapi tidak mengalami PTSD sehinggga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan PTSD bukan hanya dengan trauma. II.4. Faktor Risiko 1.
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan stres pasca trauma, antara lain:4

Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat trauma yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian semakin meningkatkan risiko PTSD Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang mengalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi PTSD Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko menjadi PTSD Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban (misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri) semakin berisiko menjadi PTSD Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko

dibandingkan laki-laki Kondisi sosialekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih tinggi akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia tinggal. Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD.

Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi, fobia sosial, gangguan kecemasan. Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi akan tetapi memperoleh kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang mendapatkannya (seperti: polisi, petugas pemadam kebakaran, petugas paramedik) Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan/ konflik di daerahnya) Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan

II.5.Patofisiologi Fisiologi respon stress Respon stres bersifat adaptif dan protektif. Respon stres yang melibatkan respon anatomi dan fisiologi Peristiwa fisiologis yang terjadi pada individu saat terjadi stres pertama kali dikembangkan oleh Hans Selye. Seyle

mengidentifikasikan dua respon fisiologis terhadap stres, yaitu localadaptation syndrome (LAS) dan general adaptation syndrome (GAS). LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh lainnya terhadap stres karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lainnya. Sedangkan GAS adalah respon pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap stres. a. Local adaptation syndrome (LAS) Local adaptation syndrome (LAS) memiliki karakter yaitu hanya terjadi setempat, adaptif. Diperlukan stresor untuk menstimulasi, berjangka pendek, serta restorative atau membantu memulihkan homeostasis region. Contoh LAS yang banyak ditemui dalam lingkungan kesehatan yaitu respon refleks nyeri dan respon inflamasi. Respon refleks nyeri adalah respon setempat dari sistem saraf pusat terhadap nyeri. Respon ini bersifat adaptif dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut. Respon ini melibatkan reseptor sensoris, saraf

sensoris yang menjalar ke medulla spinalis, neuron penghubung dalam medulla spinalis, saraf motorik yang menjalar dari medulla spinalis, serta otot efektor. Contoh respon refleks nyeri yaitu refleks tangan dari permukaan panas dan keram otot. Respon inflamasi merupakan contoh lain dari LAS. Respon inflamasi distimulasi oleh trauma dan infeksi dimana respon ini menghambat penyebaran inflamasi dan meningkatkan penyembuhan dengan tanda-tanda calor, tumor, rubor, dan dolor. Respon inflamasi terjadi dalam tiga fase yaitu perubahan dalam sel dan sistem sirkulasi, pelepasan eksudat dari luka,dan perbaikan jaringan oleh regenerasi dan pembentukan jaringan parut.

b. General adaptation syndrome (GAS) General adaptation syndrome (GAS) melibatkan sistem tubuh seperti sistem saraf otonom dan sistem endokrin. GAS dikenal sebagai respon neuroendokrin. GAS terdiri dari tiga tahap yaitu: 1. Reaksi alarm/ reaksi peringatan Reaksi alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stresor. Secara fisiologi, respons stres adalah pola reaksi saraf dan hormon yang bersifat menyeluruh dan tidak spesifik terhadap setiap situasi apapun yang mengancam homeostasis.5 Berikut adalah gambar efek stresor pada tubuh

HORMON Epinefrin

PERUBAHAN Naik

TUJUAN Memperkuat sistem saraf simpatis untuk mempersiapakan tubuh fight on flight Memobilisasi simpanan karbohidrat dan lemak; meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah

CRH-ACTH-kortisol

Naik

Memobilsasi

simpanan

energi

dan untuk

bahanpembangun digunakan meningkatkan

metabolik

jikadiperlukan; glukosa, asam

aminodarah, dan asam lemak darah ACTH mempermudah proses belajar dan perilaku Glukagon Insulin Renin Aldosteron Naik Turun Angiotensin Naik Bekerja bersama untuk mengatur kadar glukosa darah Menahan Garam dan H2O untuk plasma;

meningkatkanvolume membantu

mempertahankantekanan

darah jika terjadi pengeluaran akut plasma Vasopressin Naik Vasopresin menyebabkan vasokontriksi arteriol untuk dan angiostensin II

meningkatkan tekanan darah.

Terjadi peningkatan hormonal yang luas dalam reaksi ini sehingga cenderung pada respon melawan dan menghindar, seperti curah jantung, ambilan oksigen, dan frekuensi pernapasan meningkat; pupil mata berdilatasi untuk menghasilkan bidang visual yang lebih besar; dan frekuensi jantung meningkat untuk menghasilkan energy lebih banyak. Namun, jika stresor terus menetap setelah reaksi alarm maka individu tersebut akan masuk pada tahap resisten 2. Tahap resisten Dalam tahap ini tubuh kembali stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan darah, dan curah jantung kembali ke tingkat normal. Individu terus berupaya untuk menghadapi stresor dan memperbaiki kerusakan. Akan tetapi jika stresor terus menetap seperti pada kehilangan darah terus menerus,

10

penyakit melumpuhkan, penyakit mental parah jangka panjang, dan ketidakberhasilan mengadaptasi maka invidu masuk ke tahap kehabisan energi. 3. Tahap kehabisan tenaga Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan ketika energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi sudah habis. Jika tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stresor, regulasi fisiologis menghilang, dan stres tetap berlanjut, maka akan terjadi kematian. Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abuabu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala. Aktivasi neurotransmiter otonom dan aktivitas endokrin menghasilkan banyak gejala PTSD. Hippocampus juga mungkin memiliki efek modulasi di amigdala. Korteks orbitoprefrontal sebenarnya dapat menambah efek inhibisi pada aktivasi PTSD. Namun, pada orang yang menderita PTSD, korteks

orbitoprefrontal kurang mampu menghambat aktivasi ini, mungkin karena stres akibat atrofi pada daerah hipocampus. Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang tidak ada kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah terjadinya stres serius yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon kortisol, yang pada akhirnya merusak struktur otak yang penting bagi ingatan, yaitu pada hipokampus dan sistem limbik.

11

II.6. Manifestasi Klinis Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptive terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi sosialnya. 1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan) a. Ansietas yang menetap b. Kewaspadaan yang berlebihan c. Konsentrasi buruk d. Insomnia 2. Re-experience (Pengulangan kembali) a. Kilasan balik b. Mimpi buruk c. Ingatan yang hidup 3. Avoidance (penghindaran) a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan. 6

II.7 Diagnosis Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III: a. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak terdapat alternative kategori gangguan lainnya.

12

b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks) c. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. d. Suatu sequelae manahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik (DSMIV,Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,ed 4):4 A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik di mana kedua dari berikut ini terdapat: 1. Orang mengalami,menyaksikan,atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat,rasa tidak berdaya atau horror. B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut: 1. Rekoleksi yang menderitakan,rekuren,dan mengganggu tentang

kejadian,termasuk bayangan,pikiran,atau persepsi. 2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. 3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali. 4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 5. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal ataueksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

13

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan traumadan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma),seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1. Usaha untuk menghindari pikiran,perasaan,atau percakapan yang

berhubungan dengan trauma. 2. Usaha untuk menghindari aktivitas,tempat,atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. 3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma 4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna. 5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain. 6. Rentang aspek yang terbatas. 7. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek. D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma),seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut: 1. kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur. 2. iritabilitas atau ledakan kemarahan. 3. sulit berkonsentrasi. 4. kewaspadaan berlebihan. 5. respon kejut yang berlebihan. E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria B,C,D ) lebih dari satu bulan. F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan,atau fungsi penting lain.

II.8 Diagnosis Banding Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa pasien juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik yang dapat menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan pengguanaan alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi akut atau putus zat juga dapat menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan gangguan ini sampai efek zat hilang.

14

Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien yang memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan anxietas lain, dan gangguan mood. Pada umumnya PTSD dapat dibedakan dengan wawancara pasien mengenai pengalaman traumatik sebelumnya, dan dengan sifat gejala saat ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan, dan malingering juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang sulit dibedakan dengan PTSD karena dapat muncul bersamaan atau bahkan penyebabnya dapat berkaitan. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar hyperaurosal otonom atau riwayat trauma yang dimiliki gangguan PTSD. Sebagian karena publisitas yang didapat dari PTSD klinisi juga harus mempertimbangkan gangguan buatan atau malingering. Gejala PTSD dapat sulit dibedakan juga dengan gejala gangguan panik dan Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. .Kunci untuk membedakan PTSD adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan PTSD. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi PTSD.

II.9 Penatalaksanaan
1.

Farmakoterapi 4,8 Obat yang biasanya digunakan untuk membantu penderita PTSD meliputi

serotonergik antidepresan (SSRI), seperti fluoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft), dan paroxetine (Paxil), dan obat-obatan yang membantu mengurangi gejala fisik yang terkait dengan penyakit, seperti prazosin (Minipress) , clonidine (Catapres), guanfacine (TENEX), dan propranolol . SSRI adalah kelompok pertama dari obat-obat yang telah menerima persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan PTSD. SSRI seperti Sertraline dan Paroxetine dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala PTSD dan efektif memperbaiki gejala PTSD yang khas. SSRI cenderung membantu penderita PTSD mengubah informasi yang diambil dari lingkungan (rangsangan) dan untuk mengurangi rasa takut. Penelitian juga

15

menunjukkan bahwa kelompok obat-obatan cenderung mengurangi kecemasan, depresi, dan panik. SSRI juga dapat membantu mengurangi agresi, impulsif, dan pikiran bunuh diri yang dapat dikaitkan dengan gangguan ini. Obat-obatan antipsikotik tampaknya paling berguna dalam pengobatan PTSD pada mereka yang menderita agitasi, disosiasi, hypervigilance, kecurigaan intens (paranoia), atau istirahat singkat dalam menjadi berhubungan dengan realitas (reaksi psikotik singkat). Obat-obat antipsikotik juga sedang semakin ditemukan menjadi pilihan pengobatan membantu untuk mengelola PTSD bila digunakan dalam kombinasi dengan SSRI. Efektivitas Imipramine dan Amitriptilin untuk terapi PTSD secara klinis terkontrol baik. Dosis Imipramine dan Amitriptilin harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif dan lama minum untuk pengobatan adalah 8 minggu. Pasien yang memberikan respon baik, mungkin harus melanjutkan farmakoterapi sedikitnya 1 tahun sebelum dicoba penghentian obat. Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah Monoamine Oksidase Inhibitor (MAOI) contohnya Fenelzine, Trazodon, dan Antikonvulsan contohnya Karbamazepine dan Valproat. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik sehingga penggunaan obat ini, contohnya Haloperidol harus dicadangkan untuk mengatasi agresi dan agitasi berat. 2. Psikoterapi4,9 Ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy. Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa

ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa - gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive

16

thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal hal yang membuat stress (stresor), 4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana

mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiranpikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang. Dalam exposure therapy para terapis membantu meng-hadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang meng -ingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam ke -hidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita ber -usaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi Terapi kelompok dan keluarga dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pasca traumatik. Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi nerbagai pengalaman traumatik dan mendaatkan dukungan dari angota kelompok lain. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala sudah cukup parah atau jika terdapat resiko bunuh diri atau kekerasan lainnya. II.10 Prognosis4

17

Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau memburuk.Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan social yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat. Pada umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan dengan usia paruh baya. Kemungkinan anak kecil masih belum memiliki mekanisme mengatasi untuk mengatasi kerugian fisik dan emosionak akibat trauma. Demikian juga, dengan orang lanjut usia dibandingkan dengan deasa yang lebih muda, kemungkinan juga memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan,

keparahan, dan durasi PTSD. Pada umumnya pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak menderita gangguan atau idak mengalami gangguan dalam bentuk parahnya.

BAB III

18

KESIMPULAN

Gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. Wanita lebih sering mengalami

PTSD dibanding pria. PTSD bisa timbul pada usia kapan saja namun lebih sering pada usia dewasa muda. Pada umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada wanita sering disebabkan oleh tindakan pemerkosaan. Seseorang dapat mengalami PTSD adalah akibat respon terhadap suatu trauma yang ekstrem atau sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami, saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang menyebabkan penderitaan fisik. . Peristiwa fisiologis yang terjadi pada individu saat terjadi stres pertama kali dikembangkan oleh Hans Selye. Seyle mengidentifikasikan dua respon fisiologis terhadap stres, yaitu localadaptation syndrome (LAS) dan general adaptation syndrome (GAS). LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh lainnya terhadap stres karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lainnya. Sedangkan GAS adalah respon pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap stres Gangguan-gangguan yang ditimbulkan dapat dianggap sebagai respon maladaptive terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi sosialnya. 1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan) e. Ansietas yang menetap f. Kewaspadaan yang berlebihan g. Konsentrasi buruk h. Insomnia 2. Re-experience (Pengulangan kembali) d. Kilasan balik e. Mimpi buruk
19

f. Ingatan yang hidup 3. Avoidance (penghindaran) a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. SSRI adalah

kelompok pertama dari obat-obat yang telah menerima persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan PTSD. SSRI seperti Sertraline dan Paroxetine dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas dan tingkat keamanannya. Ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy. Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau memburuk.Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan social yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Post Traumatic Stress Disorder Research Fact Sheet. 2007. Diambil dari http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stressdisorder-research-fact-sheet/index.shtml 2. Posttraumatic Stress Disorder. 2002. Diambil dari

http://www.ncvc.org/ncvc/main.aspx?dbName=DocumentViewer&Docum entID=32364 3. http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF 4. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2007. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 68-75. 5. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi kedua. EGC: Jakarta 6. Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental Health America. Available from: http://mentalhealthamerica.net/index.cfm?objectid=C7DF91D3-13724D20-C8E6CFE1B56A38AB 7. Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya 8. Post traumatic Stress Disorder (PTSD). 2010. Diambil dari

http://www.nimh.nih.gov/health/topics/post-traumatic-stress-disorder ptsd/index.shtml 9. Defence Center of Excellent, 2010, Treatments for Post-Traumatic Stress Disorder. Diambil dari : www.dcoe.healthmil .

21

You might also like