You are on page 1of 17

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Farmakologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara kerja obat, nasib serta efek obat dalam tubuh untuk tujuan terapeutik. Dalam farmakologi dipelajari berbagai cara pemberian obat yang mempengaruhi kerja obat dalam tubuh. Jalur pemberian obat meliputi secara oral, rektal, dan parenteral yang pemakaiannya ditentukan dan ditetapkan dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu. Setiap cara pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing yang dimana tujuannya obat dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman.

1.2 Tujuan 1.2.1 Untuk mengetahui cara pemberian obat secara per-oral dan intra-peritoneal 1.2.2 Untuk membedakan onset of action pemberian obat secara per-oral dan intraperitoneal 1.3 Landasan Teori 1.3.1 Diazepam Diazepam adalah benzodiazepin yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan midazolam. Diazepam merupakan senyawa kristal tidak berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan Ph 6,6 6,9. Injeksi secara IV

(Intra Vena) atau IM (Intra Musculer) akan menyebabkan nyeri (Sean C, 2007). Dipasaran, diazepam tersedia dalam bentuk tablet, injeksi dan gel rectal, dalam berbagai dosis sediaan. Beberapa nama dagang diazepam dipasaran yaitu Stesolid, Valium, Validex dan Valisanbe, untuk sediaan tunggal dan Neurodial, Metaneuron dan Danalgin, untuk sediaan kombinasi dengan metampiron dalam bentuk sediaan tablet (Barbara G, 2006). Diazepam merupakan obat yang bersifat sedatif, yaitu obat yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan efek sedasi atau pada tubuh. Efek sedasi adalah efek yang menyebabkan dorongan untuk tenang, menurunkan aktivitas (depresi) dan ansietas yang terjadi pada tubuh. Efek sedasi juga ditemui sebagai efek dari beberapa obat seperti antihistamin dan antipsikotik. Sedangkan obat yang digolongkan dalam obat hipnotik adalah obat yang dapat menghasilkan rasa kantuk dan mendorong timbulnya keadaan tidur bagi tubuh. Efek ini mengakibatkan depresi pada tubuh, terutama pada sistem saraf pusat. Keadaan depresi yang ditimbulkan oleh obat hipnotik lebih besar daripada sedasi sehingga dapat mengakibatkan tidur lelap dalam durasi yang cukup lama tergantung dosis yang diberikan. (Goodman & Gilman, 2010)

1.3.1.1 Farmakokinetik a. Absorbsi Setelah pemberian diazepam secara per oral > 90% , diazepam diserap. Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam satu jam (15-30 menit pada anak- anak). diazepam (Sean C, 2007).

b. Distribusi Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd (Volume Distribusi) diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus. Ikatan protein benzodiazepin berhubungan dengan

tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi plasma yang rendah (cirrosis hepatis) akan meningkatkan efek samping dari diazepam (Sean C, 2007). c. Metabolisme Diazepam mengalami oksidasi N- dementhylation oleh enzim mikrosom hati menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam sehingga

menimbulkan efek mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian (Laurent C, 2005). d. Ekskresi Tahap distribusi awal kemudian diikuti oleh fase eliminasi terminal yang berkepanjangan (waktu paruh hingga 48 jam). Waktu paruh fase eliminasi terminal dari metabolit aktif N desmethyldiazepam adalah hingga 100 jam. Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin

setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat ( Alfred, 2006). Clearance dari diazepam adalah 20 sampai 30 mL / menit pada orang dewasa muda. Diazepam juga diekskresikan melalui air susu dan dapat menembus barier plasenta, karena itu penggunaan untuk ibu hamil dan menyusui sebisa mungkin dihindari.( Alfred, 2006).

1.3.1.2 Farmakodinamik Mekanisme kerja Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini,

benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel

bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang (Katzung, 1998). Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan untuk gemeteran, kegilaan dan dapat menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi sebagai akibat mengkonsumsi alkohol. diazepam juga dapat digunakan untuk kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi. dizepam digunakan sebagai obat penenang dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain (Barbara G, 2006). Kontraindikasi Diazepam kontraindikasi pada keadaan

Hipersensitivitas, sensitivitas silang dengan benzodiazepin lain, pasien koma, depresi SSP yang sudah ada sebelumnya, nyeri berat tak terkendali, glaukoma sudut sempit, kehamilan atau laktasi, diazepam diketahui intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena ( Alfred, 2006). Efek samping Sebagaimana obat, selain memiliki efek yang menguntungkan diazepam juga memiliki efek samping yang perlu diperhatikan dengan seksama. Efek samping diazepam memiliki tiga kategori efek samping, yaitu : Efek samping yang sering terjadi, seperti : pusing, mengantuk Efek samping yang jarang terjadi, seperti : Depresi, Impaired Cognition Efek samping yang jarang sekali terjadi,seperti : reaksi alergi, amnesia, anemia, angioedema, behavioral disorders, blood dyscrasias, blurred

vision, kehilangan keseimbangan, constipation, coordination changes, diarrhea, disease of liver, drug dependence, dysuria, extrapyramidal disease, false Sense of well-being, fatigue, general weakness, headache disorder, hypotension, Increased bronchial secretions, leukopenia, libido changes, muscle spasm, muscle weakness, nausea, neutropenia disorder, polydipsia, pruritus of skin, seizure disorder, sialorrhea, skin rash, sleep automatism, tachyarrhythmia, trombositopenia, tremors, visual changes, vomiting, xerostomia (Sean C, 2007). Interaksi obat Alkohol, antidepresan, antihistamin dan analgesik opioid pemberian bersama mengakibatkan depresi SSP tambahan (Laurent C, 2005). Simetidin, kontrasepsi oral, disulfiram, fluoksetin, isoniazid, ketokonazol, metoprolol, propoksifen, propranolol, atau asam valproat dapat

menurunkan metabolisme diazepam, memperkuat kerja diazepam (Sean C, 2007). Dapat menurunkan efisiensi levodopa (Laurent C, 2005). Rifampicin atau barbiturat dapat meningkatkan metabolisme dan mengurangi efektifitas diazepam (Barbara G, 2006). Efek sedatifnya dapat menurun karena teofilin (Barbara G, 2006). Ikatan plasma dari diazepam dan DMDZ akan direduksi dan konsentrasin obat yang bebas akan meningkat, segera setelah pemberian heparin secara intravena (Sean C, 2007). Diazepam yang diberikan secara oral akan sangat cepat diabsorbsi stelah pamberian metoclorpropamida secara intravena. Perubahan motilitas dari gastrointestinal juga memberikan pengaruh terhadap proses absorbsi (Laurent C, 2005). Benzodiazepin tidak digunakan bersamaan dengan intibitor protease-HIV, termasuk alprazolam, clorazepate, diazepam, estazolam, flurazepam, dan triazolam (Laurent C, 2005). e. Rute & dosis pemberian

Antiansietas, Antikonvulsan. PO (Dewasa) : 2-10 mg 2-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas lambat sekali sehari. PO (anak-anak > 6 bulan) : 1-2,5 mg 3-4 kali sehari. IM, IV (Dewasa) : 2-10 mg, dapat diulang dalam 3-4 jam. Pra-kardioversi IV (Dewasa) : 5-15 mg 5-10 menit prakardioversi. 3) Pra-endoskopi a. IV (Dewasa) : sampai 20 mg. b. IM (Dewasa) : 5-10 mg 30 menit pra-endoskopi. 4) Status Epileptikus a. IV (Dewasa) : 5-10 mg, dapat diulang tiap 10-15 menit total 30 mg, program pengobatan ini dapat diulang kembali dalam 2-4 jam (rute IM biasanya digunakan bila rute IV tidak tersedia). b. IM, IV (Anak-anak > 5 tahun) : 1 mg tiap 2-5 menit total 10 mg, diulang tiap 2-4 jam. c. IM, IV (Anak-anak 1 bulan 5 tahun) : 0,2-0,5 mg tiap 2-5 menit sampai maksimum 5 mg, dapat diulang tiap 2-4 jam. d. Rektal (Dewasa) : 0,15-0,5 mg/kg (sampai 20 mg/dosis). e. Rektal (Geriatrik) : 0,2-0,3 mg/kg. f. Rektal (Anak-anak) : 0,2-0,5 mg/kg. 5) Relaksasi Otot Skelet a. PO (Dewasa) : 2-10 mg 3-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari diawal pada lansia atau pasien yang sangat lemah. b. IM, IV (Dewasa) : 5-10 mg (2-5 mg pada pasien yang sangat lemah) dapat diulang dalam 2-4 jam. 6) Putus Alkohol a. PO (Dewasa) : 10 mg 3-4 kali pada 24 jam pertama, diturunkan sampai 5 mg 3-4 kali sehari. b. IM, IV (Dewasa) : 10 mg di awal, keudian 5-10 mg dalam 3-4 jam

sesuai keperluan ( Alfred, 2006). f. Toksisitas Efek toksis dapat terjadi bila konsentrasi dalam darah lebih besar dari 1,5 mg/L; kondisi fatal yang disebabkan oleh penggunaan tunggal diazepam jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi bila konsentrasi dalam darah lebih besar dari 5 mg/L (Barbara G, 2006). LD50 oral dari diazepam adalah 720 mg/Kg pada mencit dan 1240 mg/Kg pada tikus. Pemberian intraperitoneal pada dosis 400 mg/Kg menyebabkan kematian pada hari keenam setelah pemberian pada hewan coba (Sean C, 2007). 1.3.2 Drug Administration 1.3.2.1 Pemberian obat secara per-oral Keuntungan Tidak diperlukan latihan khusus Nyaman (penyimpanan,muda dibawa) Non-invasiv, lebih aman Ekonomis. Kerugian drug delivery tidak pasti Sangat tergantung kepatuhan pasien Tingginya Interaksi : obat + obat, obat-makanan Banyak obat rusak dalam saluran cerna. Exposes drugs to first pass effect Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset action yang cepat, penggunaan obat melalui oral tidak dapat dipakai. Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara termudah dan paling sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan pada pasien dan dengan efek samping yang paling kecil dibandingkan dengan cara pemberian yang lain.

1.3.2.2 Pemberian obat secara intra-peritoneal Pada pemberian obat secara intra-peritoneal, obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena hati. Di dalam rongga perut ini obat akan langsung diabsorpsi pada sirkulasi portal dan akan dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Namun karena pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah, maka absorpsi berlangsung lebih cepat dibandingkan per-oral sehingga mula kerja obat pun menjadi lebih cepat. (Buku Kedokteran EGC : 2004) Cara pemberian ini harus mengalami proses absorpsi terlebih dahulu. Pola distribusi juga mempengaruhi jumlah konsentasi obat yang akan mencapai reseptor. Kemungkinan terdapat obat yang tidak terikat pada protein sehingga obat yang didistribusi menjadi lebih sedikit. Hal ini dikarenakan obat yang didistribusi hanya obat yang berikatan dengan protein plasma dalam darah. (FK UI, 1981 ) Pemberian diazepam menyebabkan penurunan aktivitas yang ditandai dengan melemahnya kondisi tubuh. Penurunan aktivitas tersebut disebabkan oleh reseptor benzodiazepin yang mempengaruhi kanal ion Cl, sehingga ion Cl yang masuk ke dalam sel meningkat. Peningkatan tersebut menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi sehingga menurunkan aktivitas syaraf. Cullen, 2012) (Fauziyah

BAB 2 MEDOTE 2.1 Alat dan Bahan

Hewan Coba (Mencit) Obat yang digunakan (Diazepam) Kandang Mencit Baskom wadah Mencit 2.2 Cara Kerja Sebelum memulai praktikum alat-alat dan bahan praktikum disiapkan. Di tiap meja kelompok mahasiswa telah tersedia kandang mencit sebagai alat percobaan. Tiap perwakilan kelompok mengambil mencit yang telah disediakan satu persatu. Pada percobaan yang pertama mahasiswa mencoba mencit dalam kondisi normal (belum diberi obat) dan dimasukkan ke dalam kandang mencit yang terdapat bola bergerigi yang dapat berputar. Mencit diletakkan pada roda berputar selama 20 menit dan diamati berapa putaran yang telah dihasilkan mencit selama 20 menit.

Gambar 1.1 : Tikus yang dimasukkan ke dalam roda putar.

Setelah selesai dengan mencit yang pertama, mencit pertama diletakkan ke dalam wadah plastik. Kemudian perwakilan kelompok mengambil mencit yang telah diberi obat Diazepam per-oral dengan sonde. Mencit yang telah diberi obat Diazepam per-oral menggunakan sonde dimasukkan ke dalam kandang mencit yang terdapat roda berputar, dan mencit diletakkan pada roda berputar dan diamati selama 4 menit pertama apakah mencit sudah merasakan pusing dan kantuk.

Gambar 1.2 : Tikus yang sudah diberi obat dimasukkan ke dalam roda putar.

Selanjutnya mencit ditunggu selama 20 menit dan diamati berapa putaran yang dilakukan oleh mencit yang telah diberi obat Diazepam per oral selama 20 menit dan mencit diamati apakah mengalami efek hypnosis.

Gambar 1.3 : Tikus yang sudah diberi obat diazepam peroral dan setelah dimasukkan ke roda

putar merasakan kantuk.

Setelah percobaan kedua telah selesai dilakukan, maka dilanjutkan percobaan ketiga yaitu mencit yang telah diberi obat Diazepam intra-peritoneal dimasukkan ke dalam dalam kandang mencit yang terdapat roda berputar, dan mencit diletakkan pada roda berputar dan diamati selama 4 menit pertama apakah mencit sudah merasakan pusing dan kantuk. Selanjutnya mencit ditunggu selama 20 menit dan diamati berapa putaran yang dilakukan oleh mencit yang telah diberi obat Diazepam per intra-peritoneal selama 20 menit dan mencit diamati apakah mengalami efek hypnosis. Berikutnya mencit pada percobaan kedua dan ketiga diletakkan di wadah plastik dan dicoba diletakkan pada keadaan terlentang dan dipegang, bila mencit tidak memberikan efek maka mencit dalam keadaan hypnosis.

Gambar 1.4 : Tikus yang sudah diberi obat diazepam per intra-peritoneal dan setelah dimasukkan ke roda putar merasakan kantuk

Kemudian hasil ketiga percobaan dicatat. BAB 3 HASIL PRAKTIKUM


Tabel 3.1: Onset of action diazepam secara per-oral dan intra-peritoneal

Per-Oral Sedatif I II III IV V VI Rata-rata 6 442 330 4 5 341 435

Intra-Peritoneal Hipnotik Sedatif 127 230 130 2 3 257 2 Hipnotik -

Tabel 3.2: Jumlah putaran yang dilakukan mencit pada meja aktifitas selama 20 menit

Kelompok I II III IV V VI Rata-rata

Kontrol 110 111 194 131 63 153 127

Per-Oral 36 26 24 16 18 5 20

Intra-Peritoneal 5 8 6 3 9 12 7

Pada percobaan menggunakan tiga mencit dengan perlakuan yang berbeda. Mencit pertama diletakkan pada meja aktifitas tanpa diberikan obat yang kemudian sebagai kontrol. Mencit kedua diberi obat diazepam dengan cara per-oral dan mencit ketiga juga diberi obat diazepam namun dengan cara intra-peritoneal. Dosis diazepam yang diberikan pada kedua mencit sama. Setelah diletakkan di meja aktifitas selama 20 menit, mencit pertama aktif dan melakukan rata-rata 127 kali putaran. Pada mencit kedua, menit awal aktifitasnya masih normal. Namun setelah menit ke empat mencit mulai berhenti beraktifitas atau terjadi efek sedasi. Setelah 20 menit mencit masih tenang namun tidak menunjukkan efek hipnotik dan hanya menghasilkan sekitar 20 kali putaran. Pada mencit ketiga yang diberikan diazepan secara intra-peritoneal, lebih cepat terjadi efek sedasi, yaitu pada menit kedua dan hanya menghasilkan 7 kali putaran per 20 menit.

BAB 4 DISKUSI 4.1 Diskusi Hasil Proses absorbsi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah cara pemberian obat. Cara pemberian obat juga dapat mempengaruhi bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respon farmakologi yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu. Pada percobaan yang telah dilakukan, hewan percobaan mendapatkan perlakuan berbeda yaitu mencit pertama diberi obat diazepam dengan per-oral dan mencit kedua diberikan obat secara intra-peritoneal dengan adanya koontrol atau mencit yang dibebaskan dari pengaruh obat. Diazepam adalah benzodiazepin yang mengikat reseptor GABA. Reseptor GABA adalah saluran inhibisi yang, ketika diaktifkan, menurun aktivitas neuronal. Karena peran diazepam sebagai modulator alosterik positif GABA, ketika mengikat reseptor benzodiazepin menyebabkan efek penghambatan sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membrane sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alcohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. (Evans, J., et al. 2003) Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian obat secara intra-peritoneal mendapatkan onset of action lebih cepat dibandingkan pemberian obat secara per-oral. Perbedaan mula kerja obat atau onset of action tersebut dikarenakan pada pemberian secara per-oral, sebelum obat masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke sel target, obat terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna atau first pass effect. Obat diazepam yang diabsorbsi dari tempat pemberian dan tidak semuanya akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di hati dan di dinding usus pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Hal ini akan menyebabkan bioavailibilitas diazepam berkurang sehingga mula kerja obat pun menjadi lambat. Pada percobaan membutuhkan 4 menit 35 detik untuk menimbulkan efek sedatif pada mencit dan aktifitas mencit berkurang jika dibantdingkan dengan mencit kontrol. Sedangkan efek hipnotik tidak terjadi. Absorpsi

obat melalui saluran cerna pada umumnya berlangsung secara difusi pasif sehingga absorpsi obat mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak (lipid soluble). Absorpsi obat pada usus halus selalu lebih cepat daripada lambung karena luas penampang permukaan epitel usus halus lebih besar daripada lambung. Selain itu, lambung dilapisi oleh lapisan mukus yang tebal dan tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat dan sebaliknya. Absorpsi obat dalam usus halus secara transpor aktif berlaku bagi obat-obatan yang memiliki struktur kimia mirip dengan zat-zat makanan. Metabolisme lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (intra-vena, intra-arteri, intra-muscular, intra-peritonial), sublingual, dan rektal. (Sabnis, S. 1999) Pada pemberian obat diazepam secara intra-peritoneal, obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena hati. Di dalam rongga perut ini obat akan langsung diabsorpsi dan didistribusikan menuju sirkulasi portal dan akan dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik. (Michael F. 2007). Namun karena pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah, maka absorpsi berlangsung lebih cepat dibandingkan per-oral sehingga mula kerja obat atau onset of actionnya pun menjadi lebih cepat meskipun tidak secepat pada pemberian intra-vena karena obat akan langsung masuk ke pembuluh darah, yaitu sekitar 2 menit sudah menimbulkan efek sedasi, namun tetap belum dapat menimbulkan efek hipnotik. 4.2 Diskusi Pertanyaan Sebutkan keuntungan dan kerugian pemberian obat per oral ? Jawab: Keuntungan : Praktis, mudah, ekonomis dan aman. Kerugian : Tidak semua obat dapat diberikan peroral, misalnya obat yang bersifat merangsang atau yang dapat diuraikan oleh getah lambung. Seringkali resorpsi obat setelah pemberian oral tidak teratur dan tidak lengkap meskipun formulasinya optimal. Keberatan lain adalah obat setelah diresorpsi harus melalui hati, di mana dapat terjadi inaktivasi, sebelum diedarkan ke lokasi kerjanya (first pass effect).

Sebutkan keuntungan dan kerugian pemberian obat parenteral ? Jawab: Keuntungan : Efek yang dihasilkan cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak getah lambung (hormon), atau tidak diresorpsi usus. Dan juga digunakan untuk pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. Kerugian : Kerugian dari cara ini adalah lebih mahal dan nyeri serta sukar digunakan oleh pasien sendiri (membutuhkan keahlian). Selain itu, ada pula bahaya terkena infeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh darah atau saraf jika tempat suntikan dipilih dengan tepat. Apa yang dimaksud first pass metabolism ? Jawab: First pass effect metabolism adalah suatu fenomena metabolisme obat dimana konsentrasi obat berkurang drastis sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian kecil obat yang hilang umumnya berhubungan dengan hati dan dinding usus. Apa gunanya mengetahui T (waktu paruh) suatu obat ? Jawab: Waktu paruh obat dapat didefenisikan sebagai waktu yang dibutuhkan obat agar konsentrasinya menjadi separuh (50%) dari konsentrasi semula. Efek obat akan lebih panjang bila mempunyai waktu paruh panjang. Sebaliknya, efek obat akan singkat bila mempunyai waktu paruh yang pendek. Waktu paruh ini dipengaruhi oleh konstanta kecepatan eliminasi dan volume distribusi dari obat yang bersangkutan. Apa yang dimaksud dengan bioavailibilitas obat ? Jawab: Bioavaibilitas obat adalah bagian obat (dalam%), yang dilepaskan dari suatu

sediaan farmasi dalam bentuk yang memiliki efek terapeutik (pada umumnya sebagai zat yang belum berurutan), mengalami absorpsi dan akhirnya masuk le dalam peredaran pembuluh darah besar, sehingga tersedia secara sistemik. Sebutkan faktor faktor yang mempengaruhi absorbsi obat ? Jawab: Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat : Faktor fisikokimia obat 1. Berat molekul 2. Derajat ionisasi pada kondisi fisiologis 3. Karakteristik formulasi produk a. Laju penghancuran dan disolusi untuk obat bentuk padat b. Sifat pelepasan obat untuk sediaan lepas-terkendali Faktor Penderita 1. Luas permukaan yang tersedia untuk absorpsi 2. pH lambung dan duodenum 3. Waktu pengosongan lambung 4. Jumlah cadangan garam empedu 5. Kolonisasi bakteri saluran cerna 6. Keadaan dan beratnya penyakit yang mendasari 7. Ada atau tidaknya jalur metabolisme atau enzim yang diperlukan untuk biotransformasi Jelaskan bagaimana obat dapat menimbulkan respon ? Jawab: Setelah diabsorbsi obat didistribusikan ke sirkulasi sistemik kemudian ke sel target. Beberapa obat memberi respon setelah berikatan dengan reseptornya di sel target, namun beberapa obat memberi respon tanpa harus berikatan dengan reseptor, seperti obat maag.

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
Alfred Goodman Gilman. 2006. Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th Edition (electronic Version). Mc-Graw Hill Medical Publishing Division, New York. Barbara G. Wells, et.al. 2006. Pharmacotherapy Handbook. 6th Edition (Electronic Version). Mc Graw-Hill Book Company. New York. Evans, J., et al. 2003. Diazepam as a Treatment for Metronidazole Toxicosis in Dogs:A Retrospective Study of 21 Cases. J Vet Intern Med. Vol: 17. Hal :304 Fauziyah Cullen. 2012. Pelemas otot dan http://id.scribd.com/doc/97999642/BAB-I obat-obat syaraf otonom. Available in

FK UI . 1981. Farmakologi dan Terapi ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Goodman and Gilman 2010,. The. Pharmacological Basis of Terapeuticts, 12th. Ed, London : Mc Graw Hill Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC. Kumpulan Kuliah Farmakologi : Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. edisi 2. Hal:.26 ; Buku Kedokteran EGC : 2004 Laurent C. Galichet. 2005. Clarkes Analysis of Drugs and Poisons. 3rd Edition (Electronic Version). Pharmaceutical Press. London. Michael F. 2007. Intraperitoneal Drug Therapy: Physical and Biological Principles. Peritoneal Carcinomatosis. Vol. 134. Hal: 131-132 Sabnis, S. 1999. Factors Inuencing the Bioavailability of Peroral Formulations of Drugs for Dogs. Veterinary Research Communications. Vol. 23. Hal: 428. Sean C. Sweetman, et.al. 2007. Martindale : The Complete Drugs Reference. 35th Edition (Electronic Version). Pharmaceutical Press. London.

You might also like