You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan masalah penting baik dipandang dari sudut i1mu kedokteran maupun sosial. Diperkirakan diseluruh dunia terdapat lebih dari duapuluh juta orang penderita epilepsi, akan tetapi hanya sebagian kecil penderita epilepsi yang telah dapat menikmati pengobatan secara mutakhir. Hal ini disebabkan karena masyarakat kurang mengerti tentang epilepsi sehingga kebanyakan penderita epilepsi tidak atau tidak teratur berobat ke dokter. Hal ini juga yang menyebabkan masalah epilepsi belum dapat

ditanggulangi dengan baik. Di Indonesia epilepsi sudah lama dikenal dengan berbagai nama seperti ayan, sawan, celeng dll. Masyarakat masih sering menganggap epilepsi atau ayan bukan penyakit tetapi sebagai akibat kekuatan gaib, kutukan atau kesurupan, sehingga banyak penderita epilepsi tidak mendapat perhatian selayaknya. Epilepsi juga sering dikaitkan dengan penyakit jiwa atau inteligensi yang rendah. Epilepsi, berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti 'serangan', atau ayan ialah kerusakan saraf kronik yang dicirikan oleh sawan yang berulang dan tanpa dipicu dari luar. Epilepsi tidak menular, bukan penyakit keturunan, dan tidak identik dengan orang yang mengalami keterbelakangan mental. Bahkan, banyak penderita epilepsi yang menderita epilepsi tanpa diketahui penyebabnya. Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologik yang sering dijumpai. Epilepsi dapat mengenai siapapun dan dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi kebanyakan dari penderita epilepsi terlihat sebagai kejang tonik disusul dengan kejang klonik dan diikuti penurunan kesadaran, biasanya penderita tidak ingat apa yang terjadi selama serangan. Banyak penyebab terjadinya epilepsi diantaranya trauma otak sewaktu kelahiran bayi, meningitis atau encephalitis.

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Serangan epilepsi dibagi dua kategori ialah serangan parsial dan serangan umum. Serangan parsial disebabkan oleh adanya letupan fokal abnormal pada otak. Serangan parsial yang disertai penurunan kesadaran, amnesia atau bingung selama ataupun setelah serangan disebut epilepsi parsial kompleks. Epilepsi parsial kompleks disebut juga epilepsi lobus temporal atau epilepsi psikomotor, karena lesi yang mendasari terjadinya sindrom psikomotor ada di lobus temporalis. Epilepsi lobus temporalis telah dikenal sejak tahun 1881 oleh John Hughlings Jackson dan disebut sebagai uncinate fits dan dream state. Gibbs dkk menyatakannya sebagai epilepsi psikomotor.1,2,3,4,5 Khususnya saat ini yang akan di bicarakan adalah epilepsi psikomotor / epilepsi parsial kompleks / epilepsi lobus temporalis.

BAB II ISI
II. 1. Definisi
Beberapa pendapat mengatakan epilepsi adalah kumpulan gejala yang mengenai otak, ditandai gangguan fungsi kesadaran, mental, motorik, sensorik dan aktivitas otonom,dan psikis yang terjadi tiba-tiba dan sesaat, akibat disfungsi sementara sebagian atau seluruh fungsi sel-sel saraf otak berupa pelepasan aktivitas listrik abnormal dari neuron secara paroksismal, akibat berbagai etiologi, dan bersifat kronik.4,5,6 Sedangkan Simon Shorvon (2000) menyatakan epilepsi adalah kondisi dimana penderita cenderung mengalami kejang epilepsy epilepsi didefinisikan sebagai
3

berulang lebih dari dua kali, sementara

kejang

manifestasi klinik yang berlebihan dari satu kumpulan

neuron otak.

Epilepsi adalah gangguan SSP dengan ciri khas terjadi serangan (seizure, fit, attack, spell), spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan diartikan : modifikasi fungsi otak yang mendadak dan sepintas, berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sikron dan

berirama. Epilepsi tidak boleh digunakan pada serangan yang hanya sekali saja atau yang terjadi selama penyakit akut berlangsung.2 Epilepsi psikomotor / parsial kompleks / lobus temporalis adalah serangan parsial

dimana serangan bersumber dari area otak yang tertentu (local), seringnya pada lobus temporalis dan disertai gangguan kesadaran.1,2 Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 1985 epilepsy lobus temporalis / psikomotor didefinisikan sebagai suatu kondisi yang ditandai serangan berulang spontan (unprovoked) yang berasal dari lobus temporalis medial atau lateral 3

II. 2. Etiologi
Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Kurang lebih 65% dari seluruh kasus tidak diketahui faktor penyebabnya. Sebagian besar kasus epilepsi bersifat tidak diwariskan. Pada beberapa kasus memang ada kecenderungan diwariskan, namun masih harus dicari faktor lainnya. Perlu pula ditegaskan bahwa epilepsi tidak menular.2 Belakangan ini diketahui epilepsi banyak disebabkan oleh gangguan herediter dan juga disebabkan oleh pertumbuhan yang menyimpang terutama tentang migrasi dari neuron-neuron waktu pertumbuhan. Melalui MRI terungkap bahwa cortikal disgenesis merupakan penyebab epilepsi fokal yang menahun. Selain itu dicurigai epilepsi disebabkan oleh beberapa faktor resiko yang sudah diketahui antara lain : trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi (obat-obat tertentu), tumor otak, masalah kardiovakuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis) dan infestasi parasit terutama cacing pita. (1,2) Berdasarkan ILAE 1989 Etiologi dibagi :1,5,6,7 1. Idiopatik : biasanya berupa epilepsi dengan bangkitan kejang umum, penyebabnya tidak diketahui, umumnya berpredisposisi genetik. 2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini sindrom West, sindrom Lennox Gestaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.

3. Simtomatik : Trauma Infeksi Kelainan kongenital Lesi desak ruang Gangguan peredaran darah otak Toksik (alkohol, obat) Kelainan neurodegeneratif

Etiologi epilepsi lobus temporalis antara lain: 2,4,9 Post infeksi: herpes ensefalitis, atau meningitis bakterialis. Trauma mengakibatkan kontusio atau perdarahan dengan akibat ensefalomalasia atau sikatrik kortikal. Hamartoma Tumor glioma angioma Vaskuler malformasi (arterio-venous malformasi, cavernous angioma) Gangguan migrasi neuronal Hipokampus sklerosis yang disebut dengan mesial temporal sklerosis yang mulai masa kanak-kanak, kemudian remisi, tetapi muncul kembali pada usia remaja atau awal dewasa muda dengan bentuk yang refrakter. Kejang demam lebih dari 15 menit, mempunyai gambaran fokal atau terjadi berulang dalam 24 jam

II. 3. Epidemiologi
Walaupun di Indonesia belum pernah dilakukan penyelidikan epidemiologis tentang epilepsi tetapi di masyarakat cukup sering kita jumpai. Jika dipakai angka prevalensi dan insiden epilepsi yang didapatkan dalam kepustakaan yakni untuk prevalensi 5-10 pro mil dan insiden 0.5 pro mil, maka dapat diduga di Indonesia yang berpenduduk sekitar 180 juta orang, sedikitnya terdapat 900.000 - 1.800.000 orang penderita epilepsi, sedangkan insiden adalah 90.000 kasus epilepsi baru tiap tahun.1 Menurut pendapat lain, prevalensi epilepsi diperkirakan sekitar 1 % ini berarti dari 220 juta penduduk Indonesia ada sekitar 2.200.000 penderita epilepsi. Epilepsi terdapat pada semua bangsa dan hanya sedikit variasi pada penyebaran geografik. Pada laki-laki lebih banyak ini mungkin karena lelaki lebih terpapar terhadap trauma kepala.6,7 Sekitar 30% penderita mendapat serangan pertamanya sebelum umur 4 tahun dan 50% pada umur 10 tahun serta 75% pada umur 20 tahun. Hanya 15% penderita yang mengalami serangan pertamanya setelah umur 25 tahun dan kurang dari 2% mendapat serangan pertamanya setelah 50 tahun. Insiden epilepsi lebih tinggi pada anak pertama dibandingkan anak kedua, dan anak kedua lebih tinggi dibandingkan anak ketiga dan seterusnya.6 Banyak epilepsi lobus temporalis timbul sekitar menjelang usia dewasa muda, padahal sangat mungkin penyebabnya adalah sklerosis lobus temporalis karena proses kelahiran yang bermasalah. Epilepsi parsial ditemukan pada 2/3 penderita epilepsi dewasa dan pada 1/2 penderita epilepsi anak-anak. Serangan epilepsi parsial kompleks 60% berasal dari lobus temporalis.4,6 Karena epilepsi cukup banyak dijumpai, dimana terjadinya saat usia kanak-kanak dan usia produktif, serta anak-anak yang menderita epilepsi sering tidak disekolahkan atau dikeluarkan dari sekolah karena serangan, maka sangat perlu untuk memahami patofisiologinya, penyebabnya, serta penanganan secara baik dan benar.1

II. 4. Anatomi dan Patofisiologi


Otak memiliki kurang lebih 15 miliar neuron yang membangun substansia grisea dan substansia alba. Otak merupakan organ yang sangat kompleks dan sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas gerakan motorik, sensasi, berpikir, dan emosi. Otak juga merupakan tempat kedudukan memori dan pengatur aktivitas involunter atau otonom. Sel-sel otak bekerja bersama-sama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik. Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak beraturan dari

sekelompok sel yang menghasilkan serangan atau seizure. Sistem limbik merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan. Ekspresi aktivitas otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.2 Secara konvensional otak terbagi 3 divisi utama yaitu ; rhomensefalon (otak

belakang), mesensefalon (otak tengah) dan procensefalon (otak depan). Hemisfere serebri dibagi menjadi : lobus frontalis, lobus parietalis, lobus oksipitalis, lobus temporalis, sentral (insula) dan limbik. Lobus temporalis dari lateral mempunyai dua sulkus yang membatasi tiga girus yaitu sulkus superior dan inferior, sedangkan girusnya : superior, tengah dan inferior. Disebelah anterior, lobus temporalis dipisahkan dari lobus frontalis oleh sulkus lateralis, sedangkan disebelah posterior dipisahkan dari lobus oksipital dan parietal oleh batas tak tegas. Didalam sulkus lateralis didapatkan bangunan korteks yang disebut insula. Pada permukaan atas lobus temporal yang menghadap ke sulkus lateralis terdapat girus temporal transversa (Heschl) yang meluas ke medial, kearah lobus sentral. Disebelah medial terdapat; girus parahipokampus, girus oksipitotemporalis lateralis (girus fusiform), girus

oksipitotemporalis medial dan uncus.(16,17,18)

Gamnbar 2. Bagian-bagian otak

Gambar 3. Struktur dalam otak Epilepsi yang tak diketahui sifat pencetusnya dinamakan epilepsi idiopatik, sedangkan yang dikenal sifat pencetusnya dinamakan epilepsi simtomatik. Setiap jenis epilepsi dapat diketahui fokus epileptogennya, umpama epilepsi grand mal diopatik fokus terletak di daerah talamus (nuclei intralaminares atau inti sentrensefalik), epilepsi petitmal di substansia retikularis, epilepsi parsial di salah satu tempat di permukaan otak.1 Hipokampus merupakan bagian dari sistem limbik yang berhubungan dengan bagian otak lainnya melalui dua jalur utama, yaitu forniks dan jalur perforantes baik untuk akson aferen maupun eferen . Hipokampus pada potongan melintang terbagi atas dua regio utama yaitu: 1. Cornu Ammonis (CA) yang tersusun atas stratum piramidale dan Stratum radiatum, serta secara histologis terdiri atas empat sub regio : CA1, CA2,CA3, CA4. 2. Girus dentata yang tersusun atas sel granuler Hipokampus (CA1) berhubungan dengan korteks enthorhinal (area 28) melalui subikulum, sedangkan girus dentata dihubungkan ke CA4 melalui Mossy fiber pathway.3,13 Pada epilepsi lobus temporalis sering didapatkan sklerosis pada daerah hipokampus. Sklerosis ini akan menyebabkan kematian sel daerah hipokampus pada regio CA1, CA3 dan hilus dentatus.14 9

Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik sarafi. Otak ialah rangkaian berjuta-juta neron yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah nerotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama amino butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Pada epilepsi yang simtomatik fokus epileptogennya dapat berupa jaringan parut bekas trauma kepala, trauma lahir, pembedahan, infeksi selaput dan jaringan otak dan dapat pula neoplasma jinak dan ganas. Pada fokus tersebut tertimbun acetylcholine cukup banyak. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui dendrit dan sinaps ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat umpamanya kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

10

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti mekanisme dari bengkitan epilepsy, beberapa segi penting telah diketahui. Misalnya keseimbangan ion natrium dan kalium serta dinding sel neuron memainkan peran penting, demikian juga dengan ATP. Diduga pulah bahwa mekanisme dasar pada semua bangkitan epilepsy adalah sama, bangkitan psikomotor, fokal motor, fokal sensorik bila cukup kuat akhirnya menjadi bangkitan grand mal. Tergantung pada jenis gangguan dan daerah serebral yang secara berkala melepaskan muatan listriknya, maka terdapat berbagai jenis epilepsy. Jika daerah korteks visual yang melepaskan gaya epilepiknya, maka serangan epileptic yang bangkit terdiri dari terlihatnya skotoma. Bila neuron korteks motorik yang melepaskan muatan listrik secara eksesif, timbul gerakan involunter. Bila ada serangan epileptic yang mendahului konvulsi umum dinamakan aura. Aura adalah bagian dari suatu bangkitan yang dialami oleh penderita sebelum kesadarannya hilang (misalnya rasa tidak enak diperut, tiba-tiba merasa pusing, halusinasi, merasa pernah melihat, mendengar dan mengalami atau sebaliknya). Kelainan hipoksia, gangguan metabolik dan gangguan elektrolit yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ion-ion dalam neuron otak sehingga terjadi serangan.

II. 5. Klasifikasi
Banyak klasifikasi diusulkan tetapi sampai sekarang belum ada yang benar-benar dapat memuaskan semua pihak. Klasifikasi yang berfaedah dalam penanggulangan epilesi harus dapat mengintegrasikan manifestasi klinik. neroanatomi dan nerofisiologi dengan terapi dan prognosis. A. Klasifikasi berdasarkan manifestasi klinik (WHO) I. Epilepsi umum : 1. Major : Grand mal a. Primer b. Sekunder

11

2. Minor : a. Petit mal (pycno-epilepsi) b. Bangkitan mioklonus c. Bangkitan akinetik d. Spasme infantil II. Epilepsi parsial (fokal) :
1. Fokal

motorik

2. Fokal sensorik 3. Epilepsi lobus temporal (epilepsy psikomotor) B. Klasifikasi berdasarkan lokalisasi (Montreal 1954) : I. Epilepsi sentrensefalik (sub kortikal). II. Epilepsi kortikal (fokal)

12

BAB III MANIFESTASI KLINIK


Gambaran serangan epilepsi secara klinis tergantung dari fungsi daerah otak yang tersangkut lepas muatan listrik epileptis, sehingga dapat dijumpai bermacam gejala. Epilepsi psikomotor / partial kompleks / lobus temporalis biasanya timbul dari lobus temporalis yaitu bagian otak yang terletak di kepala bagian bawah ( daerah pelipis ).

Epilepsi psikomotor ( parsial kompleks, lobus temporalis ) mempunyai simtomatologi tersendiri dan sering bersifat kompleks seperti : gejala motorik, sensorik, otonom, disertai gangguan kesadaran, amnesia dan halusinasi. Perubahan kesadaran dan amnesi / gangguan memori tentang serangan. Sekitar 50%-80% penderita terlebih dahulu mengalami aura (serangan parsial sederhana). Aura yang paling sering muncul adalah rasa takut, perasaan mual, perasaan aneh atau baal atau gangguan visual unilateral, dan kedutan (twitching) fokal pada wajah atau jarijari. Rata-rata serangan berlangsung selama 1-3 menit. Sesudah serangan penderita biasanya bingung, mengantuk, perubahan tingkah laku, dan lupa apa yang terjadi.2,4

13

Gejala klinik yang biasa terlihat pada serangan parsial kompleks ( lobus temporalis, psikomotor ) berupa :2,3,14,15,16 a. Gangguan / perubahan kesadaran : penderita mengalami gangguan dalam berinteraksi dengan lingkungannnya. Penderita tampak sadar, namun bila diperiksa penderita tidak sadar akan lingkungannya, tidak dapat menjawab pertanyaan atau dapat menjawab pertanyaan tapi tidak tepat dan tidak dapat mengingat kembali mengenai apa yang baru saja dialaminya. Serangan parsial kompleks melibatkan bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran dan memori, dan pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis atau frontalis dan sistem limbik. b. Motorik : Melakukan aktivitas motorik yang berulang-ulang dapat berupa kejang tonik -klonik, bangkitan adversif, gerakan automatismus, afasia, bicara automatik. Automatismus adalah gerakan motoris involunter yang terjadi saat kesadaran terganggu. Penderita terlihat melakukan tindakan berulang-ulang seperti mengecap-ngecap,

menelan berulang kali, menarik-narik atau meremas-remas baju, membuka atau menutup kancing baju berulang-ulang. c. Sensorik : Gejala yang muncul dapat berupa bangkitan olfaktorik, auditorik, gustatorik, visuil atau somatosensotik dan vertigo. d. Otonom : Gejala ini sering disebut juga sensasi epigastrik, yang mengenai gastrointestinal berupa hipersalivasi, mual, rasa tidak enak diepigastrium atau saluran pernapasan berupa hiperpneu, apneu, gangguan sistem peredaran darah dan jantung seperti takikardi dan palpitasi. e. Amnesia / gangguan memori : Penderita tidak tahu / lupa apa yang terjadi saat serangan. Keadaan ini seperti mimpi meliputi dymnesic-syndrome (deja vu, jamais vu). Penderita merasa seakan-akan melayang atau terapung, atau merasa jiwa dan raganya seolah terpisah. Disamping itu sering terdapat gangguan afektif berupa perasaan takut, panik, cemas, depresi.

14

f. Halusinasi : Pada penderita dapat terjadi halusinasi yang seringnya bersifat sensorik berupa pembauan, pengecapan lidah, pendengaran, penglihatan, dan vestibuler. Pada tipe lobus temporal mesial, halusinasi visual. Sedangkan temporal lateral berupa ilusi seperti makropsia atau mikropsia. Beberapa penderita terjadi perubahan orientasi visual secara mendadak atau perubahan dalam hal depth perception. Kadang disertai perubahan intonasi bicara serta gangguan persepsi waktu Gejala kejang berdasarkan sisi otak yang terkena Sisi otak yg terkena Lobus frontalis Lobus oksipitalis Lobus parietalis Lobus temporalis Lobus temporalis anterior Lobus temporalis sebelah dalam Kedutan pada otot tertentu Halusinasi kilauan cahaya Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh tertentu Halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang kompleks misalnya berjalan berputar-putar Gerakan mengunyah, gerakan bibir mencium Gejala

anterior Halusinasi bau, baik yg menyenangkan maupun yg tidak menyenangkan

15

BAB IV DIAGNOSIS
Salah satu masalah dalam penanggulangan pasien epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi. Sebelum pengobatan dimulai, diagnosis epilepsi harus ditegakkan. Salah diagnosis akan mempunyai akibat cukup luas bagi pasien. Diagnosis terutama dibuat atas dasar gambaran serangan yang diceritakan oleh penderita sendiri atau orang lain yang pernah melihatnya. Jika ada fasilitas maka perlu pemeriksaan penunjang lain. Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan : 1,8,14,15,16 1. Anamnesis (auto dan aloanamnesis) Pola / bentuk serangan Lama serangan Gejala sebelum, selama dan paska serangan Frekuensi serangan Faktor pencetus Ada/ tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang Usia pada saat terjadinya serangan pertama Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan Riwayat penyakit, penyebab atau terapi sebelumnya Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat terlarang dan kanker.

16

3. Pemeriksaan penunjang a. EEG Indikasi : - Membantu menegakkan diagnosis - Menentukan prognosis pada kasus tertentu - Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi - Membantu dalam menentukan letak fokus

Temuan EEG Pada Epilepsi Parsial 1. Tidak ada abnormalitas 2. Asimetris latar belakang (frekwensi maupun amplitudo) yang jelas atau minimal 3. Adanya aktivitas epileptiform, yaitu ditemukannya gelombang paku (durasi 20 70 md) dan gelombang tajam (durasi 70 - 200 md) dengan atau disertai gelombang lambat, yang jelas berbeda dari aktivitas latar belakang, bisa terlokalisasi, multifokal ataupun tersebar secara difus. 4. Adanya aktivitas nonspesifik, yaitu aktivitas gelombang lambat, baik fokal maupun difus Dari bentuk-bentuk tersebut di atas, hanya temuan aktivitas epileptiform yang berhubungan kuat dengan diagnosis epilepsi. Distribusi Kelainan EEG 8 Semua bentuk kelainan EEG diutas, dapat muncul secara : 1. Fokal : yaitu bila kelainan EEG terbatas pada satu atau beberapa elektrode di suatu area di kepala. Beberapa elektrode yang berdekatan dapat memperlihatkan kelainan yang sama, tetapi dengan amplitudo yang lebih rendah. 2. Unilateral : yaitu bila kelainan EEG muncul hanya atau kebanyakan pada satu sisi dari kepala. 3. Bilateral : yaitu bila kelainan EEG muncul pada scmua bagian kepala, pada waktu yang bersamaan.

17

Gmbr 4. EEG

b. Pemeriksaan neuroimaging struktural dan fungsional Indikasi : - Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural - Perubahan bentuk bangkitan - Terdapat defisit neurologik fokal - Epilepsi bangkitan parsial - Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun - Untuk persiapan operasi epilepsi

18

CT scan : dapat mendeteksi lesi fokal tertentu MRI : merupakan prosedur imaging pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesilik dibanding CT Scan. Dapat mendeteksi sclerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Diindikasikan untuk intractable epilepsy yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan dijumpai atropi hipokampus pada 87% penderita.

CT Scan

MRI

c. Pemeriksaan Laboratorium Darah : darah rutin, elektrolit, gula darah, fungsi hati, dll sesuai indikasi. Cairan serebrospinal : atas indikasi Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi Diagnosis pasti ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinis bangkitan yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG

19

BAB V DIAGNOSIS BANDING


1. Pada neonatus dan bayi Jittering Apneu

2. Pada anak Breath holding spel Sinkop Migren Bangkitan psikogenik / konversi Prolonged QT syndrome Night terror Tick Hypercyanotic attack (pada tetralogi fallot)

3. Pada dewasa Sinkop; dapat sebagai vasovagal attack, sinkop kardiogenik, sinkop hipovolumik, sinkop hipotensi dan sinkop saat miksi (micturition syncope) Serangan iskemik sepintas (TIA) Vertigo Transient global amnesia Narkolepsi Serangan panik, psikogenik Menier Tick

20

BAB VI TERAPI DAN PROGNOSIS


VI. 1. TUJUAN PENGOBATAN Mengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan penggunaan obat yang minimal.

PRINSIP PENGOBATAN Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Pengobatan mulai diberikan bila diagnosis telah ditegakkan setepat mungkin dan setelah penyandang dan atau keluarganya menerima penjelasan mengenai tujuan pengobatan, cara menggunakan dan kemungkinan efek samping. Pemilihan jenis obat sesuai dengan jenis bangkitan. Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai. Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat anti epilepsi lini pertama. Bila diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan secara bertahap. Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dapat dipertimbangkan kombinasi OAE. Cari obat yang murah karena pengobatan biasanya jangka panjang. Bila memungkinkan dilakukakan pemantauan kadar obat sesuai indikasi.

Pasien dengan serangan pertama direkomendasikan untuk dimulai terapi bila : Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi bila berkolerasi dengan bangkitan. Dijumpai kelainan pada pemeriksaan neurologis yang mengarah adanya kerusakan otak. Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung kecuali kejang demam sederhana. Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis yang disertai penurunan kesadaran. Serangan pertama berupa status epileptikus.

21

NASIHAT * * Obat harus diminum teratur Aktifitas dan pekerjaan apa saja yang dapat dilakukan sehari-hari (sesuai derajat keparahan penyakit supaya tidak berbahaya) * * Hal-hal apa saja yang perlu dihindari supaya tidak terjadi serangan Perhatikan efek samping obat yang diminum

Terapi Epilepsi 8,15 1. Terapi Medikamentosa Tujuan pengobatan epilepsi adalah mengusahakan agar penderita epilepsi dapat hidup senormal mungkin, bila mungkin sembuh. Pada sebagian besar keadaan kita hanya dapat mengontrol bangkitan dan tak dapat menyembuhkan penyakitnya, meski ada yang sesudah beberapa waktu akan sembuh sendiri, seperti epilepsi Rolandik benigna. Hal ini yang sering membuat kecewa penderita dan keluarganya. Dan dimanapun di dunia, menderita epilepsi merupakan stigma dan bukan merupakan hal yang dibanggakan. 2. Terapi Bedah Akhir-akhir ini terapi bedah menjadi populer, tetapi kita harus tahu manfaat dan keterbatasannya. a. Terapi bedah terutama untuk kasus dimana pengobatan medikamentosa tidak berhasil dengan baik, apa yang disebut intractable epilepsi. b. Saat ini ada pendapat bahwa bila seorang anak dengan epilepsi dini, dengan fokus jelas, seperti sklerosis hipokampus sepihak maka dianjurkan terapi bedah dini, agar terkendali bangkitan kejangnya. c. Terapi bedah yang berhasil baik adalah pada sklerosis hipokampus sepihak, sedangkan pada lesiotomi, misalnya serebral disgenesis dan korpus kalosotomi hasilnya kurang memuaskan.

22

Indikasi lobektomi lobus temporal termasuk:15 1. Serangan epilepsi lobus temporal berulang dimana gambaran psikomotor predominan. 2. Pengontrolan gagal dengan medikasi adekuat. 3. Lateralisasi EEG akurat dari fokus epileptik kesatu lobus temporal. Biasanya diperlukan penginsersian elektroda sfenoidal untuk mendapatkan pencatatan tepat sedekat yang memungkinkan pada tiap lobus temporal. 4. Perubahan tingkah laku yang berhubungan dengan bangkitan. OBAT OBAT ANTI EPILEPSI YANG DAPAT DIGUNAKAN PADA EPILEPSI PSIKOMOTOR / PARSIALKOMPLEKS / LOBUS TEMPORALIS2,5,9,14,15 I Golongan pertama : II Golongan kedua :Fenitoin Karbamazepin Valproad acid Phenobarbital Felbamat Gabapentire Lamotrigin Okskarbazepin Primidone Klobazam Topinmate Tiagabine Vigabatrine Zonisamide Levetriracetam

23

Carbamazepine : dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 15-20 mg/KgBB/hari PO, atau Phenytoin : dosis awal 5-7 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 5-7 mg/KgBB/hari PO. Phenobarbital : Dewasa diawali 30 mg/hari, dosis pemeliharaan 30 180 mg/hari. Anak-anak; dosis pemeliharaan 3 8 mg/hari dan neonatus, dosis antara 3 4 mg/hari, diberikan 12 kali/hari. Bila tidak ada respon dapat dilakukan stimulai N. Vagus atau lobektomi temporal anterior

VI. 2. PROGNOSIS

Di dalam prognosis epilepsi terdapat dua hal penting, ialah kesempatan untuk mencapai remisi serangan serta kemungkinan terjadinya kematian secara prematur. Di samping hal tersebut di atas, ada berbagai faktor yang mempengaruhi prognosis epilepsi, antara lain: etiologi, jenis serangan, diagnosis, umur saat awitan, dan terapi. Perlu dipahami bahwa tidak semua kejadian yang bersifat paroksismal merupakan serangan epilepsi. Identifikasi yang keliru tentang kejadian paroksismal tadi dapat mengakibatkan kelirunya terapi, dan prognosis yang sebenarnya. Penelitian tentang prognosis epilepsi belum memberi hasil yang pasti karena masalah metodologi dan adanya fakta bahwa epilepsi merupakan ekspansi dari sekian banyak sindrom dengan faktor penyebab yang berbeda. Secara keseluruhan, risiko untuk terjadinya serangan ulang sesudah serangan pertama bervariasi antara 27-80%. Alasan utama terjadinya variasi yang sangat lebar adalah perbedaan dalam metodologi atau perbedaan dalam karakteristik kelompok penelitian. Hanya sepertiga dari penderita dengan satu kali serangan tanpa provokasi akan mengalami serangan lagi di masa 5

24

tahun mendatang, lebih kurang 75% dari penderita yang mengalami serangan kedua atau ketiga mengalami serangan berikutnya dalam waktu 5 tahun mendatang. Risiko kematian pada epilepsi masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini disebabkan oleh metodologi yang berbeda serta sebab-sebab kematian pada epilepsi yang bervariasi sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kematian tadi secara langsung disebabkan oleh epilepsi. Dari suatu penelitian epidemiologik, frekuensi status epileptikus tiap tahun di Amerika Serikat berkisar antara 102.000-152.000, dengan 55.000 kematian sebagai akibat dari status epileptikus. Prognosis pada penderita epilepsi psikomotor adalah sekitar 40-69% akan terkontrol dengan baik.

25

BAB VII KESIMPULAN


- Epilepsi psikimotor disebut juga epilepsi parsial kompleks atau epilepsi lobus temporalis - Ditemukan pada setengah dari seluruh epilepsi dan pada usia bervariasi dari anakanak dan dewasa, terutama usia produktif. - Merupakan epilepsi fokal yang diikuti gangguan kesadaran dengan gejala klinik bervariasi dari gangguan motorik,sensorik,otonom juga ada yamg didahului aura. - Penyebabnya bervariasi,terdapat fokus epileptik pada lobus temporalis kebanyakan karena skerosis hipokampus. - Terjadi pada satu hemisfere tetapi bisa juga pada kedua hemisfere yang dapat menjadi kejang umum tonik-klonik. - Diagnosis dan terapi melalui gejala klinik, gambaran EEG, CT Scan dan MRI. - Terapi yang benar dan dengan dosis yang tepat dapat mengatasi serangan tetapi jika bisa menjadi intraktable jika terapi tidak tepat. - Prognosis baik jika serangan dapat diatasi

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M. Dasar Dasar Pelayanan Epilepsi dan Neurologi. Agoes A. PERPEI. Jakarta. 2003. 2. Harsono. Epilepsi. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi kedua. Gajah Mada University Press. 2009: hlm 119-133 3. Shorvon S. Definitions and Clasification of Epilepsy. In Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science. United Kingdom, 2000 : 9 13. 4. Santoso PB. Epilepsi Parsial dan Manajement. Epilepsi Jurnal Kedokteran Neuro-Sains Bidang Epilepsi. PERPEI. Semarang. Vol 7, no 1, juli 2002. 5 6. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi. PERDOSSI. 2003. Pellegrio TR. Seizure and Status Epileptikus in Adults, in Tintinali JE, Ruiz E, Krome RL, Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996. 7 Adam DR, Victor M, Ropper AH. Epilepsi and Disorders of Conciounes in Principle of Neurology. New York. Mc Graw Hill Inc, sixth ed, 1997: 311- 380. 8 Pedley TA. Brazil LW. Morrel MJ. Epelepsy in William L, Wilkins, Merrits. Neurology 10th ed. Philadelphia. 2000 : 813-833. 9. Wijaya Dj. The New Approach in Managing Patient with Epilepsy. The New Progress in management of Epilepsy. Neurology up Date, Temu Regional XIX Universitas Diponegoro. Semarang. 2002 : 39-66. 10. Snell RS. Neuroanatomi Klinik edisi 2. EGC. Jakarta. 1996. 11. Sidharta P. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat, edisi 2 Jakarta.1994. 12. Turana, Yuda. Pasien Epilepsi dan Gangguan Fungsi Kognitif. Dalam : http:/. Medika holistik.com. 16 Januari 2007. 13. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. Dalam : http:/books.google.co.id. EMS (Erlangga Medical Series). Edisi 8 14. Saharso, Darto. Epilepsi Lobus Temporal. Dalam: http:/www.pediatrik.com. Divisi Neuropediatri. 13 April 2009 15. M. Djamil. Neurosurgery (Topik Ilmu). Dalam: http:/www.google.com. Hospital Padang Indonesia

27

28

You might also like