You are on page 1of 15

POLYNEUROPATHY

DEFINISI Sistem saraf perifer terdiri dari bermacam-macam tipe sel dan elemen yang membentuk saraf motor, saraf sensor, dan saraf autonom. Polineuropati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindroma yang terjadi dari lesi yang mengenai saraf-saraf, dimana dimanifestasikan sebagai kelemahan, kehilangan kemampuan sensor, dan disfungsi autonom
7

Menurut Mattle et all, polineuropati adalah kondisi yang mengenai saraf-saraf perifer. Gambaran klinis dari polineuropati biasanya terdistribusi secara simetris dan lambat progresif. Gejala awalan dari polineuropati dalam praktek klinis sering dimulai dari kedua kaki. Penyebab dari polineuropati bermacam-macam. Dalam penelitian secara Consensus-based principles, polineuropati harus bermula dari kaki dan simetris pada kedua sisi tubuh. Polineuropati dapat muncul pada umur berapapun, meski ada beberapa sindroma yang menyerang pada anggota umur tertentu 3

A. EPIDEMIOLOGI Polineuropati muncul sebagai salah satu komponen dari beberapa penyakit yang sering muncul dan tidak sedikit pula dari penyakit-penyakit yang langka. Polineuropati memiliki etiologi yang heterogen, berbeda-beda dalam patologinya, dan bermacam-macam pula tingkat keparahannya. Insiden kasus dari polineuropati didunia ini juga tergolong tidak sedikit 8, hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

B. ETIOLOGI Berikut adalah beberapa penyebab polineuropati yang sering terjadi 1. Polineuropati Herediter Hereditary motor and sensory neuropathies
9

Neuropathy with tendency to pressure palsy Prophyria Primary amyloidosis

2. Polineuropati karena kelainan metabolik Diabetic neuropathy Uremia Cirrhosis Gout Hypothyroidism

3. Polineuropati karena penyakit infeksi Leprosy Mumps Typhus HIV infection

4. Polineuropati karena penyakit arteri Polyarteritis nodosa Atherosclerosis

5. Polineuropati karena kurang gizi

6. Polineuropati karena malabsorbsi vitamin B12

7. Polineuropati karena disproteinemia atau paraproteinemia

8. Polineuropati karena zat-zat toksik eksogen

C. PATOFISIOLOGI Berbagai macam pencetus dan kondisi dapat mengakibatkan polineuropati dengan caranya masing-masing. Kerusakan pada neuronal nuclei seperti pada diabetes melitus, mengakibatkan ke degenerasi tipe axonal retrogade sekunder distal. Di lain pihak kerusakan langsung pada segmen axon mengakibatkan degenerasi tipe Wallerian pada segmen axon bagian distal. Berbeda pula pada polineuropati karena zat toksik, sel schwann menjadi target serangan, sehingga menyebabkan demyelinisasi 6. Lebih jelasnya diperlihatkan pada gambar dibawah ini

D. KLASIFIKASI Ada beberapa klasifikasi untuk polineuropati 1. Menurut onsetnya: akut, subakut, kronik 2. Menurut fungsi yang terganggu: motor, sensor, autonom, campuran 3. Menurut perjalan patologisnya: axonal, demyelinisasi 4. Berdasar penyebabnya: vaskuler, infeksi, toksin, tumor, metabolik Dalam praktek klinis, biasanya diklasifikasikan berdasar onsetnya, yaitu akut, subakut, atau kronik 6. Berikut akan lebih dijelaskan seperti dalam tabel dibawah ini

E. TANDA DAN GEJALA KLINIS Gejala dari polineuropati meliputi nyeri didaerah distal, parastesi, kelemahan, dan gangguan fungsi sensoris. Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan. Hilangnya persepsi rasa nyeri mengakibatkan trauma berulang dengan degenerasi dari sendi-sendi 7. Kelemahan dirasakan paling hebat pada otot-otot kaki pada kebanyakan polineuropati, memungkinkan juga paralisa dari otot-otot intrinsik pada kaki dan tangan yang mengakibatkan footdrop atau wristdrop. Refleks tendon biasanya hilang, terutama pada neuropati demyelinisasi. Pada kasus polineuropati yang berat, pasien bisa quadriplegi atau mengalami kelumpuhan pada ke semua alat gerak dan mengalami respirator-dependent. Saraf-saraf kranialis juga bisa terkena,

biasanya pada SGB dan difteri. Kemampuan sensor kutan hilang pada distribusi kasus stocking-andglove. Segala macam mode sensor perasa tersebut akan bermasalah 7. Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya pupil), anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan vasomotor. Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati distal yang simetris. Di negara Amerika Serikat, penyebab tersering gangguan saraf-saraf autonom tersebut adalah penyakit diabetes melitus. Penyebab lainnya adalah amyloidosis. Takikardi, perubahan tekanan darah yang cepat, kulit kemerah-merahan dan berkeringat, dan gangguan pada sistem gastrointestinal biasanya disebabkan karena keracunan thallium, prophyria, atau SGB 7. Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen berproliferasi dan dideposisi pada sel schwann karena pengulangan episode demyelinisasi dan remyelinisasi atau deposisi dari amyloid atau polisakarida pada saraf-saraf tersebut. Fasikulasi atau kontraksi spontan dari unit motor dapat terlihat berkejut-kejut dibawah kulit dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan karakteristik dari penyakit yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat pada neuropati motoric dengan multifokal blok pada konduksi motoricnya dan juga pada neuropati kronis yang menyertai kerusakan dari axon 7. Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang terkena. Gangguan dari tiap tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang positif atau negatif seperti yang terlihat pada tabel berikut

Mumenthaler dan Mattle 9 menjelaskan tanda dan gejala klinis polineuropati sebagai berikut Tanda awal biasanya bermula dari distal, kedua kaki Parastesi di jempol kaki atau di telapak kaki, terutama pada malam hari Kesemutan Perasaan tebal dikaki, seperti memakai kaos kaki

Hilangnya refleks Achiles Menurun dan hilangnya sense getaran, dimulai didistal Seiring berjalannya progres dari penyakit, timbul paresis pada muskulus ekstensor halocist brevis dan juga muskulus interossei

Kemudian, paresis pada muskulus ekstensor halocist longus dan ekstensor kaki Menghasilkan bilateral footdrop Pada akhirnya, gangguan sensorik dan kelemahan motorik menyebar hingga eksterimitas bagian atas juga.

F. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan neurologis sangat penting untuk dilakukan, memeriksa saraf kranialis, kemampuan motorik dan sensorik, tonus otot apakah normal atau menurun. Pola dari kelemahan membantu dalam mengkerucutkan diagnosis: apakah simetris atau asimetris, distal atau proksimal. Pasien dengan neuropati sensorimotor simetris distal, pemeriksaan sensoriknya menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap sentuhan ringan, tusukan jarum, dan suhu pada kasus stocking-and-glove. Kemampuan mengenali fibrasi dan posisi juga terganggu, pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi dapat menunjukkan tanda positif dari pseudoathetosis atau tes Romberg. Refleks tendon juga menurun ataupun hilang 10.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Apabila menemukan temuan gejala klinis yang tipikal menunjukkan bahwa hal tersebut mengindikasikan adanya polineuropati, serangkaian tes laboratorium dapat dilakukan untuk menentukan etiologinya (antara lain darah lengkap, elektrolit, gula darah, elektroforesis, tes toleransi gula, HBA1c, faal ginjal dan hepar, serum vitamin B 12 dan asam folat, parameter vaskulitis, TSH, dan mungkin pula dilakukan tes endokrin lebih jauh dan marker tumor. Elektroneurografi dapat menunjukan tingkat gangguan dari konduksi impuls, bergantung dari etiologi penyebabnya. Jika penyebab primernya adalah axonal, EMG akan menunjukkan sebuah denervasi atau secara neurologis ptoensial yang terganggu. Konsentrasi protein CSF bisa juga terganggu pada berbagai

macam polineuropati (e.g diabetik polineuropati), pada kasus langka, pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukan suatu proses infeksi. Pemeriksaan tambahan biopsi saraf betis dapat menyingkirkan polineuropati tipe axonal dari tipe demyelinisasi 9. Pasien dengan polineuropati sensoris simetris distal memiliki prevalensi tinggi terkena diabetes atau prediabetes, dimana dapat diketahui dengan mengukur kadar gula darah dari pasien tersebut. Elektromyografi (EMG) memiliki cara kerja dengan menggunakan jarum ditusukkan kepada otot tertentu dan aktifitas dari otot tersebut ditampilkan pada oscilloscope. EMG biasanya digunakan untuk mengevaluasi penyakit otot tapi secara tidak langsung juga bisa digunakan untuk mengetahui proses neuropatik. Apabila terdapat denervasi kronis, reinervasi mungkin muncul dengan durasi lebih lama dengan amplitudo tinggi 6.

NCS (Nerve Conduction Studies) adalah suatu tes dengan memberikan stimulis pada saraf (20100 V selama 0.05-0.1 milidetik) dan respons dari pergerakan otot yang terstimulasi direkam 6. EMG dan NCS seringkali digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan neuropati. Tes tersebut dapat mengetahui apabila terdapat neuropati dan memberikan informasi juga tipe saraf apa yang terkena (motorik, sensorik, atau kedua-duanya), perjalanan patologi yang seperti apa (axonal atau demyelinisasi), dan apakah dia simetris atau tidak simetris 10. Biopsi saraf secara luas sudah diterima untuk digunakan dalam mendiagnosis penyakit inflamasi saraf oleh karena vaskulitis, sarkoidosis, CIDP, penyakit infeksi seperti lepra, atau kelainan yang infiltratif seperti tumor dan amyloidosis. Biopsi saraf sangat berguna pada mononeuropathy multiplex atau kecurigaan neuropati vaskulitis. Biopsi kulit mengalami peningkatan untuk penggunaannya untuk mengevaluasi pasien dengan polineuropati. Tekhnik yang paling sering adalah dengan mengambil jaringan kulit pada kaki sebesar 3mm. Setelah memotong nya dengan microtome, jaringan tersebut

kemudian diberi antibodi anti-protein-geneproduct 9.5 (PGP 9.5) dan di periksa dengan metode immunohistochemical atau immunofluorescent 2. H. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS PENUNJANG Untuk menentukan diagnosis dari polineuropati, secara signifikan dikecurutkan oleh kemampuan anamnesis, tanda dan gejala klinis, dan mengintrepetasikan hasil pemeriksaan penunjang 9. Distal Symmetric Sensorimotor Polyneuropathies Endocrine diseases Diabetes mellitus Hypothyroidism Acromegaly Nutritional diseases Alcoholism Vitamin B12 deficiency Folate deficiency Whipple's disease Postgastrectomy syndrome Gastric restriction surgery for obesity Thiamine deficiency Hypophosphatemia Critical illness polyneuropathy Connective tissue diseases Rheumatoid arthritis Polyarteritis nodosa Systemic lupus erythematosus Churg-Strauss vasculitis Cryoglobulinemia Amyloidosis Gouty neuropathy Carcinomatous axonal sensorimotor polyneuropathy Lymphomatous axonal sensorimotor polyneuropathy Infectious diseases Acquired immunodeficiency syndrome Lyme disease Sarcoidosis Toxic neuropathy Acrylamide Carbon disulfide Dichlorophenoxyacetic acid Ethylene oxide Hexacarbons Carbon monoxide Organophosphorus esters Glue sniffing Metal neuropathy Chronic arsenic intoxication Mercury Gold Thallium

Adapted with permission from Donofrio PD, Albers JW. AAEM minimonograph #34. Polyneuropathy: classification by nerve conduction studies and electromyography. Muscle Nerve 1990;13:889-903. Differential Diagnosis of Neuropathies by Clinical Course Acute onset (within days) Guillain-Barr syndrome Acute intermittent Subacute onset (weeks to months) Maintained exposure to toxic agents/medications Persisting nutritional deficiency Chronic course/ insidious onset Relapsing/ remitting course

Hereditary motor sensory Guillain-Barr neuropathies Dominantly inherited syndrome CIDP

porphyria Critical illness

Abnormal metabolic state

sensory neuropathy CIDP

HIV/AIDS Toxic Porphyria

polyneuropathy Diphtheric neuropathy Paraneoplastic syndrome Thallium toxicity CIDP

Neuropathies with Less Common Patterns of Proximal Symmetric Motor Polyneuropathies Guillain-Barr syndrome Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy Diabetes mellitus Porphyria Osteosclerotic myeloma Waldenstrom's macroglobulinemia Monoclonal gammopathy of undetermined significance Acute arsenic polyneuropathy Lymphoma Diphtheria HIV/AIDS Lyme disease Hypothyroidism Vincristine (Oncovin, Vincosar PFS) toxicity Involvement Neuropathies with cranial nerve involvement Diabetes mellitus Guillain-Barr syndrome HIV/AIDS Lyme disease Sarcoidosis Neoplastic invasion of skull base or meninges Diphtheria Neuropathies predominant in upper limbs Guillain-Barr syndrome Diabetes mellitus Porphyria Hereditary motor sensory neuropathy Vitamin B12 deficiency Hereditary amyloid neuropathy type II* Lead neuropathy

HIV=human immunodeficiency virus; AIDS=acquired immunodeficiency syndrome. Information from Thomas PK, Ochoa J. Symptomatology and differential diagnosis of peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, eds. Peripheral neuropathy. Philadelphia: Saunders, 1993:749-74.

HIV=human immunodeficiency virus; AIDS=acquired immunodeficiency syndrome. *--Carpal tunnel syndrome resulting from amyloid deposits in the flexor retinaculum. Information from Thomas PK, Ochoa J. Symptomatology and differential diagnosis of peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, eds. Peripheral neuropathy. Philadelphia: Saunders, 1993:749-74.

I.

TERAPI

Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik dilakukan bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis, dan meningkatkan kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari polineuropati terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita dan fisioterapi. Intubasi trakhea dan suport pernafasan mungkin dibutuhkan untuk pasien SGB. Proteksi kornea diberikan apabila terdapat kelemahan untuk menutup mata. Kasur tidur tempat pasien selalu dibersihkan dan penutupnya dibuat halus untuk mencegah cedera kulit pada kasus anesthetic skin. Fisioterapi termasuk pijat untuk otot yang lemah dan melakukan pergerakan pasif terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak lagi, latihan otot dapat dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk jalan terlebih dahulu sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah siap untuk digunakan. Pada kasus polineuropati dengan footdrop, sebuah orthosis untuk kaki dapat digunakan untuk membantu pasien berjalan. Pasien-pasien dengan hipotensi postural, disuruh untuk bangun secara bertahap 7. Terapi spesifik sebagai contoh pada kasus SGB, pemberian intravenous immunoglobulins (IVIG) 0,4g/kg untuk 5 hari diketahui memiliki output yang bagus. Pada kasus CIDP, terapi bergantung pada tingkat keparahan yang diderita pasien. Pada pasien dengan diabetes, mengkontrol kadar gula darah sangat penting.

J. PROGNOSIS Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya, tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan. Pada SGB, kerusakan saraf berhenti dalam 8 minggu atau kurang. Tanpa pengobatan, sebagian besar orang membaik dengan waktu yang lebih lama. Bagaimanapun, dengan terapi yang segera, kebanyakan orang membaik dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau beberapa minggu saja. Hanya kurang dari 2% dapat mengakibatkan kematian. Setelah membaik secara bertahap, 3 10% orang menjadi kelainan yang mengarah ke CIDP. Pada CIDP yang tertangani dengan baik 30% bisa sembuh dan tidak terdapat gangguan, 45% dengan tetap ada gangguan yang ringan, dan 25% tetap mengalami gangguan saraf yang buruk (neurology and neurosurgery 425). Pada diabetik polineuropati, komplikasi biasanya baik apabila kontrol diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi komplikasi neuropati autonom 1. K. ALGORITME Berikut adalah algoritme dalam mendiagnosis suatu polineuropati 10

L. RINGKASAN Polineuropati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindroma yang terjadi dari lesi yang mengenai saraf-saraf, dimana dimanifestasikan sebagai kelemahan, kehilangan kemampuan sensor, dan disfungsi autonom. Polineuropati memiliki etiologi yang heterogen, berbeda-beda dalam patologinya, dan bermacam-macam pula tingkat keparahannya. Insiden kasus dari polineuropati didunia ini juga tergolong tidak sedikit, Polineuropati bisa didapatkan secara herediter, kelainan metabolik, penyakit infeksi, dan lain-lain. Polineuropati disebabkan kerusakan pada axon atau pada sel schwann yang menghasilkan demyelinisasi. Polineuropati diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok antaranya menurut onset, dapat terbagi menjadi tipe akut, sub akut, dan kronis. Pengklasifikasian menurut onset lebih banyak digunakan dalam praktek klinis sehari-hari. Selain onset terdapat pula menurut fungsinya, menurut perjalanan patologisnya, atau berdasarkan penyebabnya. Polineuropati menimbulkan tanda dan gejala klinis yang tergantung dari tipe saraf apa yang terkena, apakah motorik, sensorik, atau autonom. Tanda awal dari polineuropati biasanya bermula dari kedua kaki, bagian jempol kaki mengalami parastesi, kemudian timbul kesemutan dan rasa tebal, hingga akhirnya mengenai anggota

gerak bagian atas juga. Pemeriksaan untuk menentukan suatu polineuropati yang sering dilakukan adalah EMG. Terapi pada pasien polineuropati berdasarkan etiologi penyebabnya, komplikasi simptom yang terjadi, dan meningkatkan self-care dari pasien. Terapi yang biasa digunakan adalah terapi simptomatis. Terapi yang lebih spesifik dapat digunakan apabila telah mengetahui etiologi penyebabnya. Prognosis polineuropati biasanya baik, tapi tergantung oleh penyebab yang mendasari, tingkat keparahan komplikasi, dan cepatnya penanganan pada kasus polineuropati. M. PERTANYAAN 1. Mengapa nyeri diabetik muncul awalnya pada daerah distal? Pada pasien diebetes, yang diserang adalah mikrovaskular dimana tempat nya yang terbanyak adalah diujung-ujung ekstrimitas, sehingga timbullah mikrovaskularangiopati yang mempunyai gejala nyeri diabetik yaitu nyeri seperti diiris-iris. 2. Apa penyebab terbanyak dari SGB? Penyebab primernya masih idiopatik. Kemungkinan 50% penyebabnya dari infeksi bakteri atau virus, seperti radang tenggorokan atau diare. 3. Apa bukti-bukti sehingga SGB bisa dikatakan memiliki proses autoimun? 1) didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler terhadap agen infeksius pada saraf tepi 2) adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3) didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi. 4. Bagaimana terapi pada diabetik neuropati? Kontrol glukosa ketat dan mengobati rasa sakit dan gejala lain. Hanya dua obat yang disetujui FDA untuk neuropati perifer diabetik yaitu duloxetine antidepresi dan pregabalin anticonvulsant. Selain itu ada antidepresan trisiklik, obat ini efektif untuk mengurangi gejala nyeri. 5. Apa kegawatan dari SGB? Apabila progres dari penyakit tersebut telah mengenai otot-otot pernapasan, pasien akan mengalami gagal napas. Dapat pula menyebabkan disritmia jantung. N. REFERENSI 1. Darisan Anwar, et al. 2001. Pengelolaan Nyeri Diabetika. Berkala Neurosains Vol 2, No 3, Juni 2001: 153-161. 2. England JD,et al. 2008. Practice Parameter: Evaluation of distal symmetric polyneuropathy: Role of autonomic testing, nerve biopsy, and skin biopsy (an evidence-based review): Report of the American Academy of Neurology, the American Association of Electrodiagnostic Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation . Neurology 2009; 72;177-84 3. Gronseth G.S, Franklin G, et al. 2005. Distal symmetric polyneuropathy: A definition for clinical research: Report of the American Academy of Neurology, the American Association of Electrodiagnostic Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology 2005 England: 199-207

4. Hadden, et al. 2006. European Federation of Neurological Societies/Peripheral Nerve Society guideline on management of paraproteinaemic demyelinating neuropathies: report of a joint task force of the European Federation of Neurological Societies and the Peripheral Nerve Society. European Journal of Neurology 2006; 13: 809-818 5. Hughes RAC, et al. 2006. European Federation of Neurological Societies/Peripheral Nerve Society guideline on management of chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy: report of a joint task force of the European Federation of Neurological Societies and the Peripheral Nerve Society . European Journal of Neurology 2006; 13: 326-332. 6. Kenneth W. Lindsay. 1997. The Polyneuropathies. Neurology and Neurosurgery Illustrated P414-428 7. Latov Norman. 2000. Peripheral Neuropathies. Lippincott Textbook of Neurology Chapter 103. 8. Martyn CN, Hughes RAC. 1997. Epidemiology of Peripheral Neuropathy . Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry; 62: 310-318. 9. Mattle, Mumenthaler. 2006. Polyneuropathy. Fundamentals of Neurology p176-179. 10. Poncelet, MD. 2000. An Algorithm for the Evaluation of Peripheral Neuropathy. http://www.aafp.org/afp/980215ap/poncelet.html 11. Schaik IN, et al. 2006. European Federation of Neurological Societies/Peripheral Nerve Society guideline on management of multifocal motor neuropathy. European Journal of Neurology 2006; 13: 802-808.

You might also like