You are on page 1of 6

TANTANGAN DALAM MEWUJUDKAN PARIWISATA

BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH

OLEH :
I MADE BRAM SARJANA
PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI

Pembangunan di berbagai bidang merupakan tugas pemerintah. Dalam


pelaksanan tugas ini, kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah bertambah besar
seiring dengan penerapan otonomi daerah. Koridor pelaksanaan otonomi daerah ini
diatur dalam UU No 22 tahun 1999 yang telah diperbarui dengan UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi tentu bukanlah sebuah pola bagi-bagi
kekuasaan, melainkan distribusi kewenangan dan tugas dalam melaksanakan tugas-
tugas administrasi negara yang secara garis besar terbagi ke dalam urusan wajib dan
urusan pilihan. Bagi pemerintah daerah, kewenangan yang lebih luas dalam era otonomi
ini merupakan sebuah kesempatan untuk semakin mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat, sekaligus untuk meningkatkan akuntabilitas terhadap masyarakat lokal
yang dilayaninya. Masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap daerah dalam
melaksanakan kewenangan tersebut tentu amat beragam, sesuai dengan kondisi dan
potensi wilayah masing-masing.
Bagi Kabupaten Badung di Provinsi Bali, pariwisata merupakan urusan pilihan
yang turut menjadi kewenangannya sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah ini. Laju
pembangunan Kabupaten Badung berjalan dengan amat pesat karena perkembangan
sektor pariwisata. Otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih besar tentu saja
akan memicu laju pembangunan fisik di berbagai bidang, termasuk pariwisata. Dalam
hal pembangunan pariwisata inilah kehatian-hatian amat diperlukan karena setiap
pengembangan pariwisata di wilayah ini tidak semata-mata hanya dilakukan untuk
mengejar kepentingan ekonomi, namun juga kepentingan sosial budaya sehingga harus
turut memperhitungkan masalah daya dukung lingkungan, aspek peruntukkan lahan,
aspek budaya dan agama, serta dampak dari suatu pengembangan pariwisata terhadap
daerah lainnya. Pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif integral ini amat
dibutuhkan, terlebih dengan melihat Pulau Bali sebagai sebuah entitas yang utuh, tidak
dapat dipisah-pisahkan antara satu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lainnya. Dengan
demikian Pariwisata Kabupaten Badung merupakan bagian dari kepariwisataan Bali
pada umumnya yang saling terkait dan mempengaruhi.
Sebagai sebuah aktivitas sosial ekonomi, pariwisata tentu memiliki suatu siklus
hidup (life cycle). Butler (Haywood: 1982) mengkonseptualisasikan siklus hidup
pariwisata sebagai siklus yang menyerupai huruf S, yang terdiri atas tahap-tahap seperti
tahap eksplorasi (exploration stage), tahap keterlibatan (involvement stage), tahap

1
pembangunan (development stage), tahap konsolidasi (consolidation stage), hingga
akhirnya memasuki tahap stagnasi (stagnation stage) dan selanjutnya antara
peremajaan (rejuvenation stage) atau pelemahaman (decline) seperti digambarkan
dalam bagan 1. Konsep yang ditawarkan Butler tentang siklus hidup pariwisata ini
memang masih terlalu umum dan sulit dioperasionalkan. Cukup sulit untuk mengetahui
pada tahap mana suatu kondisi pariwisata sedang berada. Seperti halnya pariwisata
Kabupaten Badung, cukup sulit untuk mengetahui, pada tahap yang mana saat ini
tengah berada. Namun setidaknya konsep Butler tersebut dapat memberikan arahan
bahwa pariwisata perlu dikelola dengan baik, sehingga tidak mengalami stagnasi,
melainkan terus mengalami peremajaan.
Number of Tourist

Bagan 1
Butler’s Tourist Area Life Cycle

Rejuvenation

Stagnation
Consolidation
Critical stage of
Elements of capacity

Development
Decline
Exploration
Involvement

Time

Secara ringkas dan interpretatif, tahap-tahap dalam siklus Butler dapat


diterangkan sebagai berikut. Tahap involvement ditandai dengan mulai berdatangannya
wisatawan ke suatu destinasi, mulai berinteraksinya masyarakat lokal dengan “warga
pendatang”, yaitu wisatawan. Selanjutnya tahap exploration, ditandai dengan semakin
bertambahnya jumlah kedatangan wisatawan untuk mencari objek-objek baru pada statu
destinasi yang belum berkembang dan popular. Berikutnya objek-objek tersebut kian
populer sehingga jumlah kedatangan wisatawan bertambah lagi sehingga untuk
mendukungnya dilaksanakan berbagai pembangunan fisik baik akomodasi maupun
sarana-prasarana penunjang kepariwisataan. Ini merupakan tahap development. Seiring
dengan semakin bertambahnya jumlah wisatawan yang datang (sumbu x) dan
perjalanan waktu (sumbu y), maka konsep Butler ini menjelaskan bahwa kondisi suatu
destinasi akan memasuki fase-fase kritis yaitu stagnation, selanjutnya decline atau
rejuvenate.
Popularitas destinasi yang kian menanjak membuat kunjungan wisatawan juga
kian bertambah, mencapai angka jutaan orang dan produk-produk pariwisata yang ada

2
juga semakin kompleks dan beragam. Ini merupakan tahap consolidation, sekaligus juga
menandakan bahwa perkembangan pariwisata telah memasuki tahap yang kritis
berkenaan dengan semakin maksimalnya pemanfaatan kapasitas lingkungan destinasi
tersebut. Tingkat kedatangan wisatawan yang amat banyak, dibarengi dengan
pembangunan fisik penunjang yang amat pesat berikutnya membuat destinasi
memasuki masa kejenuhan, stagnation. Kebijakan-kebijakan pembangunan
kepariwisataan oleh pemerintah dan kondisi lingkungan yang ada, selanjutnya akan
menentukan, apakah destinasi dimaksud akan mengalami pelemahanan (decline) atau
berhasil mengalami peremajaan (rejuvenation), sehingga dapat tetap diminati dan tidak
ditinggalkan wisatawan karena telah kehilangan daya tariknya.
Secara faktual, kondisi decline ini nampaknya terlihat pada objek wisata
Candidasa di Kabupaten Karangasem, yang demikian ramai pada dekade 1990-an,
namun kini di dekade 2000-an amat sepi wisatawan. Kabupaten Badung yang amat
mengandalkan pariwisata sebagai tulang punggung perekonomian amat berkepentingan
agar pariwisata dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Oleh karena itulah berbagai
upaya terus dilakukan agar pariwisata selalu mengalami peremajaan dari waktu ke
waktu, sehingga tidak pariwisata Kabupaten Badung dapat terhindar dari fase stagnasi.
Kebijakan yang ditempuh adalah pengelolaan pariwisata yang diorientasikan pada
pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development) melalui
pendekatan Island Management. Island Management yang dimaksud di sini adalah
suatu manajemen pembangunan holistik yang dilandasi oleh suatu kesadaran bahwa
Bali merupakan satu kesatuan wilayah integral. Persoalan yang terjadi di suatu wilayah
akan berdampak terhadap wilayah lainnya serta Bali secara keseluruhan.
Pengembangan pariwisata yang dilakukan di suatu wilayah juga harus
mempertimbangkan dampak yang akan/dapat terjadi di daerah lain.
Pemerintah Kabupaten Badung amat menyadari bahwa perkembangan investasi
yang amat pesat akan menimbulkan dampak yang serius terhadap masalah lingkungan,
serta kelestarian budaya. Untuk mengarahkan dan mengendalikan perkembangan pesat
tersebut ke arah yang positif, maka setiap kebijakan pembangunan yang ditempuh,
termasuk yang terkait dengan kebijakan pariwisata senantiasa dijiwai oleh filosofi Tri
Hita Karana. Prinsip ini pula yang menjadi filosofi pengembangan pariwisata di Bali
melalui Perda Provinsi Bali No 3 tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya. termasuk
tentunya Kabupaten Badung. Pengendalian perkembangan pariwisata juga dilakukan
melalui peraturan daerah tentang tata ruang.
Kondisi geografis Kabupaten Badung yang strategis, yaitu menjadi pintu gerbang
pariwisata internasional untuk kawasan Indonesia Timur, dengan keberadaan Airport
Ngurah Rai di Tuban turut mendorong pesatnya perkembangan pariwisata. Selain itu
Kabupaten Badung juga merupakan pusat akomodasi pariwisata di Bali. Sebagian besar
dari fasilitas pariwisata bertaraf internasional di Bali seperti hotel, restoran, pusat
perbelanjaan, dan hiburan berada di wilayah Kabupaten Badung.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali tahun 2006, di Provinsi Bali
secara total terdapat 146 hotel bintang, dan dari jumlah tersebut sebanyak 93 di

3
antaranya berada di wilayah Kabupaten Badung. Dari seluruh hotel berbintang tersebut,
36 di antaranya berkategori hotel bintang lima, dan sebanyak 26 dari seluruh hotel
berbintang lima dimaksud berada di wilayah Kabupaten Badung. Di satu sisi kondisi ini
memang menguntungkan karena mendorong terciptanya berbagai peluang pekerjaan
bagi masyarakat Kabupaten Badung dan Bali pada umumnya, bahkan dari luar Pulau
Bali.
Namun di sisi lain, kondisi ini sekaligus juga menimbulkan persoalan tersendiri
karena besarnya beban lingkungan yang harus ditanggung Kabupaten Badung akibat
pesatnya pembangunan fasilitas akomodasi pariwisata dan dampak yang muncul dari
berbagai aktivitas wisatawan. Kabupaten Badung tentunya tidak akan mampu
menangani beban lingkungan ini sendirian tanpa adanya dukungan daerah lain.
Dukungan yang jelas amat dibutuhkan antara lain dukungan sumberdaya air bersih,
sumberdaya udara yang bersih, dan suplai energi.
Seperti diketahui bahwa keberadaan fasilitas akomodasi yang mencapai belasan
ribu kamar disertai aktivitas penduduk dan wisatawan tentunya mengkonsumsi air bersih
yang amat besar pula. Demikian pula tingkat pencemaran udara akibat aktivitas
kepariwisataan dan penduduk juga cukup tinggi. Konsumsi energi listrik untuk
menunjang operasional fasilitas akomodasi yang ada juga cukup tinggi. Hal ini berarati
bahwa memang harus ada daerah-daerah yang memfungsikan wilayahnya sebagai
wilayah resapan/konservasi sebagai penyedia air dan udara bersih, wilayah pertanian
sebagai penyedia pangan, serta berbagai fungsi-fungsi penunjang kehidupan lainnya.
Bila daerah-daerah lainnya atas dasar ambisi tanpa mempertimbangkan aspek rencana
tata ruang wilayah provinsi, serta tanpa mempertimbangkan potensinya juga turut
mengembangkan kawasan pariwisata yang diwarnai dengan pembangunan fasilitasi
akomodasi baik hotel bintang atau hotel melati, tentunya akan timbul masalah besar
terhadap lingkungan alam Bali secara umum. Masalah ini tentunya akan sangat
mengganggu kepariwisataan Bali, terlebih isu lingkungan merupakan sebuah isu sensitif
yang amat diperhatikan para wisatawan masa kini. Untuk memastikan kepariwisataan
Badung dapat bertahan secara berkelanjutan, dan terhindar dari kejenuhan maka
diperlukan adanya sinergi yang baik dengan Pemerintah Provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota lainnya di Pulau Bali. Otonomi daerah seharusnya menjadi landasan
untuk memperkuat koordinasi dan kerja sama ini.
Bagi Kabupaten Badung sendiri, upaya pengelolaan pariwisata secara holistik ini
dilakukan dengan mendistribusikan pendapatan daerah dari sektor pariwisata kepada
daerah lainnya. Berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 16 tahun 2003, sebesar
22% dari pajak hotel dan restoran yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Badung
didistribusikan kepada 6 daerah kabupaten lainnya di Bali, yaitu Tabanan, Buleleng,
Bangli, Karangasem, Klungkung, dan Jembrana (kecuali Kota Denpasar dan Kabupaten
Gianyar), yang disetorkan secara langsung kepada kabupaten masing-masing. Pada
ketentuan tersebut khususnya pasal 4 ayat 1, disebutkan bahwa penggunaan dana
bantuan pajak hotel dan pajak restoran diprioritaskan untuk pembangunan di bidang
pariwisata, membiayai kegiatan pelestarian budaya dan pemeliharaan lingkungan.

4
Distribusi PHR ini juga dilakukan karena Pemerintah Kabupaten Badung memegang
teguh prinsip Island Management, serta pembangunan pariwisata budaya yang
berkelanjutan serta berbasis pada masyarakat.
Sesuai keputusan gubernur itu pula maka distribusi PHR Kabupaten Badung
kepada enam kabupaten lain ini pada dasarnya dilakukan untuk melakukan pemerataan
pembangunan, sekaligus untuk menunjang gerak laju pembangunan kepariwisataan di
daerah lain. Oleh karenanya kabupaten-kabupaten penerima telah sewajarnya memiliki
kewajiban moral dan kesadaran legal-formal untuk menyalurkan dan mengelola dana
tersebut untuk kemajuan daerahnya sekaligus mendukung kepariwisataan Bali secara
umum, bukan untuk kepentingan lainnya. Sejauh ini Pemerintah Kabupaten Badung
belum pernah mengetahui sejauh dana bantuan PHR kabupaten Badung kepada 6
kabupaten lainnya telah dipergunakan untuk mendukung pengembangan pariwisata dan
di wilayah masing-masing? Sudahkah pengelolaan dana bantuan PHR tersebut
digunakan juga dengan semangat yang sama, yaitu Island Management. Bagi
Kabupaten Badung sendiri selaku pusat akomodasi pariwisata di Bali yang menjadi
sumber bantuan PHR pengelolaan dana secara tepat sasaran amat diperlukan.
Penggunaan dana ini menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan pariwisata
berkelanjutan.
Isu ini penting mendapatkan arahan dan pembahasan yang jelas, mengingat
hingga saat ini PHR masih menjadi kontributor terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Badung. Peristiwa peledakan bom pada 12 Oktober 2002 di Jalan
Legian Kuta dan 1 Mei 2005 di Kuta Square dan Pantai Muaya Jimbaran telah
memberikan dampak yang amat besar secara ekonomi, sosial, dan psikologis. Peristiwa
tersebut telah berpengaruh besar terhadap tingkat kunjungan wisatawan ke Kabupaten
Badung, yang artinya juga mempengaruhi PAD Kabupaten Di sisi lain dana dukungan
pembangunan dari pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima
Kabupaten Badung cenderung terus menurun bila dibandingkan kabupaten lainnya di
Bali. Dengan demikian beban dan tanggung jawab Kabupaten Badung tentu cukup
berat, karena PHR yang menjadi sumber utama PAD harus didistribusikan kepada
kabupaten lain sedangkan jumlah DAU yang diterima cenderung menurun. Oleh karena
itulah Kabupaten Badung amat membutuhkan dukungan balik dari kabupaten-kabupaten
penerima bantuan PHR dengan menggunakan dana tersebut pada berbagai sektor yang
benar-benar dapat menunjang kepariwisataan.
Persoalan lain yang juga perlu mendapatkan penanganan dan perhatian dalam
pengembangan pariwisata lebih lanjut di era otonomi daerah adalah harmonisasi
penerbitan produk hukum. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan amat terkait
dengan peraturan tentang penataan ruang. Harmonisasi ini diperlukan untuk mengatur
agar adanya kesesuaian antara adanya permintaan terhadap suatu kegiatan
pembangunan sarana pariwisata terhadap aspek perencanaan ruang di tingkat
kabupaten dan tingkat provinsi.
Harmonisasi ini diperlukan untuk mencegah semua daerah berlomba-lomba
membuka peluang pembangunan sarana kepariwisataan di wilayahnya tanpa

5
mengindahkan aspek penataan ruang serta potensi yang ada. Bila ini terjadi tentu
dampaknya akan sangat merugikan pariwisata di masa depan, karena jumlah sarana
yang berlebihan akan menimbulkan kondisi oversupply. Hukum ekonomi menyebutkan
bahwa penawaran yang lebih besar dari permintaan akan menyebabkan turunnya
harga. Dalam konteks pariwisata, hal ini berarti turunnya harga produk-produk pariwisata
yang tentu akan merembet juga pada turunnya kualitas produk-produk pariwisata
tersebut. Hal ini belum termasuk kerugian dari sisi kerusakan lingkungan akibat
pembangunan fisik yang berlebihan. Dengan demikian setiap kebijakan pembangunan
harus saling memperhatikan dan mempertimbangkan aspek eksternalitasnya (dampak
yang dialami pihak luar).
Otonomi daerah di satu sisi memang memberi peluang pembangunan daerah
secara lebih optimal. Pemerintah Kabupaten Badung telah berupaya untuk
menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk memajukan daerah dan meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakatnya, dalam hal ini melalui kontribusi sektor pariwisata.
Di sisi lain, otonomi daerah yang dipahami secara sempit juga turut menimbulkan
persoalan, yaitu dalam hal koordinasi pembangunan antar pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota. Dalam hal penggunaan dana bantuan PHR Kabupaten Badung oleh
daerah penerima bantuan misalnya, otonomi daerah telah diterjemahkan sebagai
sebuah kewenangan unilateral/sepihak dalam pemanfaatannya, tanpa disertai
akuntabilitas kepada pemerintah pemberi bantuan/pemerintah Provinsi Bali selaku
pengkoordinir. Padahal distribusi PHR ini sendiri dilakukan dalam kerangka dan
semangat multilateral/kerja sama banyak pihak, karena itu pemanfaatannya pun sudah
seyogyanya dilakukan untuk menunjang kepentingan bersama, dalam hal ini pariwisata
berkelanjutan di Bali secara holistik. Tanpa adanya upaya dan kesadaran bersama ini,
nampaknya tidaklah berlebihan bila kita memiliki kekhawatiran bahwa kepariwisataan
Kabupaten Badung dan Bali pada umumnya dapat terperosok dalam fase decline.

You might also like