You are on page 1of 51

Jumat, 13 Maret 2009

ASKEP ANAK DGN GANGGUAN SALURAN KEMIH


HIPOSPADIA KONSEP DASAR PENYAKIT HIPOSPADIA A. PENGERTIAN Hipospadia adalah suatu keadaan dimana uretra terbuka di permukaan bawah penis, skrotum atau peritonium. Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu hypo yang berarti di bawah dan spadon yang berarti keratan yang panjang. B. ETIOLOGI Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain : 1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormon androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama. 2. GenetikaTerjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. 3. LingkunganBiasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

C. PATOFISIOLOGI Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero. Terjadi karena adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14. Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau menutup. D. MANIFESTASI KLINIS 1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus. 2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis. 3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar. 4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis. 5. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada. 6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.

7. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok. 8. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum). 9. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.

E. KLASIFIKASI Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus : 1. Tipe sederhana/ Tipe anterior Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi. Hipospadia Glandular Hipospadia Subcoronal

2. Tipe penil/ Tipe Middle Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal. Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.

Hipospadia Pene-escrotal 3. Tipe Posterior Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun. Hipospadia Perineal

Gambar. 1,2,3,4 menunjukkan kemungkinan letak lubang kencing pada pasien hipospadia F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG mengingat hipospadi sering disertai kelainan pada ginjal. G. TINDAKAN PEMBEDAHAN Tujuan pembedahan : 1. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial, serta 2. Perbaikan untuk kosmetik pada penis. Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan Devine. 1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap: a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang. 2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah. Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi. H. KOMPLIKASI Komplikasi dari hypospadia yaitu : 1. Infertility 2. Resiko hernia inguinalis 3. Gangguan psikososial

ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Fisik a. Pemeriksaan genetalia b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal. c. Kaji fungsi perkemihan d. Adanya lekukan pada ujung penis e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi f. Terbukanya uretra pada ventral g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage. 2. Mental a. Sikap pasien sewaktu diperiksa b. Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan c. Tingkat kecemasan d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur pembedahan dan perawatan setelah operasi. 2. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter. 3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan 4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan 5. Risiko injuri berhubungan dengan pemasangan kateter atau pengangkatan kateter.

C. IMPLEMENTASI 1. Diagnosa 1 dan 4 Tujuan : memberikan pengajaran dan penjelasan pada orang tua sebelum operasi tentang prosedur pembedahan, perawatan setelah operasi, pengukuran tanda-tanda vital, dan pemasangan kateter. a. Kaji tingkat pemahaman orang tua. b. Gunakan gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur, pemasangan kateter menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan kateter, pengosongan kantong urin, keamanan kateter, monitor urine, warna dan kejernihan, dan perdarahan. c. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu pemberian. d. Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis. e. Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi (pre dan post) 2. Diagnosa 2 Tujuan : mencegah infeksi a. Pemberian air minum yang adekuat b. Monitor intake dan output (pemasukan dan pengeluaran)

c. Kaji gaya gravitasi urine atau berat jenis urine d. Monitor tanda-tanda vital e. Kaji urine, drainage, purulen, bau, warna f. Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter g. Pemberian antibiotik sesuai program 3. Diagnosa 3 Tujuan : meningkatkan rasa nyaman a. Pemberian analgetik sesuai program b. Perhtikan setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak c. Monitor adanya kink-kink (tekukan pada kateter) atau kemacetan d. Pengaturan posisi tidur anak sesuai kebutuhannya 4. Diagnosa 5 Tujuan : mencegah injuri a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas b. Gunakan restrain atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah. c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan penis. Perencanaan pemulangan 1. Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan. 2. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat. 3. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).

DAFTAR PUSTAKA Catzel, pincus dkk. 1990. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta : EGC. Markum, A.H. 1997. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Rosenstein, Beryl J. 1997. Intisari Pediatri Panduan Praktis Pediatri Klinik Edisi II. Jakarta : Hipokrates. Sabiston. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta : EGC. Sjamsuhidarat, dkk. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. Suriadi. 2001. suhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : CV Sagung Seto.

HIPOSPADIA DAN EPISPADIA

PENDAHULUAN 1.1 Latar BelakangInfeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan kemungkinan morbiditas yang kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff & Martin, 1992). Infeksi pada neonatus di negeri kita masih merupakan masalah yang gawat. Di Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10 15% dari morbidilitas perinatal. Infeksi pada neonatus lebih sering di temukan pada BBLR. Infeksi lebih sering ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir di luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak termasuk bayi yang lahir di luar rumah sakit dengan cara septik. Sepsis neonatus, sepsis neonatorum, dan septikemia neonatus merupakan istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan respon sistemik terhadap infeksi pada bayi baru lahir. Ada sedikit kesepakatan pada penggunaan istilah secara tepat, yaitu apakah harus dibatasi pada infeksi bakteri, biakan darah positif, atau keparahan sakit. Kini, ada pembahasan yang cukup banyak mengenai definisi sepsis yang tepat dalam kepustakaan perawatan kritis. 1.2 Tujuan Untuk memenuhi tugas keperawatan anak. Untuk mengetahui definisi tentang sepsis neonatorum. Untuk mengetahui perjalanan penyakit dari sepsis neonatorum sehingga dapat memunculkan masalah-masalah keperawatan. Untuk mempelajari askep sepsis neonatorum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sepsis adalah sindrome yang di karakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah, yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik. (Marilynn E. Doenges, 1999). Sepsis adalah bakteri umum pada aliran darah. (Donna L. Wong, 2003). Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan. (Bobak, 2004). Sepsis adalah infeksi bakteri generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan. (Mary E. Muscari, 2005).

BAB I

Neonatus sangat rentan karena respon imun yang belum sempurna. Angka mortalitas telah berkurang tapi insidennya tidak. Faktor resiko antara lain, prematuritas, prosedur invasif, penggunaan steroid untuk masalah paru kronis, dan pajanan nosokomial terhadap patogen. Antibodi dalam kolostrum sangant efeektif melawan bakteri gram negatif, oleh sebab itu, menyusui ASI memberi manfaat perlindungan terhadap infeksi. 2.2 EtiologiInfeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc (1961) membaginya menjadi 3 golongan, yaitu: 1. Infeksi antenatal Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin. 2. Infeksi intranatal Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi dari pada cara lain. Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh (misalnya ada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina). 3. Infeksi pascanatal Infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau akibat infeksi silang. Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di bagi menjadi tiga kategori : Faktor maternal : ruptur selaput ketuban yang lama, persalinan prematur, amnionitis klinis, demam maternal, manipulasi berlebihan selama proses persalinan, dan persalinan yang lama. Faktor lingkungan : yang dapat menjadi faktor predisposisi bayi selama sepsis meliputi, tetapi tidak terbatas pada, buruknya praktik cuci tangan dan teknik perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter, selang endootrakea, teknologi invasif, dan pemberian susu formula. Faktor penjamu : jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan diri penjamu. (Bobak, 2004) Bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang) dapat menyebabkan sepsis neonatus. Penyebab yang paling sering dari sepsis mulai awal adalah streptokokus group B (SGB) dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kemih ibu. Sepsi mulai akhir disebabkan oleh SGB, virus herpes simpleks (HSV), entero virus dan E. Coli K1. Pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, candida dan stafilokokus koagulase negatif (CONS), merupakan patogen yang paling umum mulai akhir. (Nelson, hal. 653). 2.3 Patofisiologi Neonatus sangat rentan terhadap infeksi sebagai akibat rendahnya imunitas non spesifik (inflamasi) dan spesifik (humoral), seperti rendahnya fagositosis, keterlambatan respon kemotaksis, minimal atau tidak adanya imunoglobulin A dan imunoglobulin M (IgA dan IgM), dan rendahnya kadar komplemen. Sepsis pada periode neonatal dapat diperoleh sebelum kelahiran melalui plasenta dari aliran darah maternal atau selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Sepsis awal (kurang dari 3 hari) didapat dalam periode perinatal, infeksi dapat terjadi dari kontak langsung dengan organisme dari saluran gastrointestinal atau genitourinaria

maternal. Organisme yang paling sering menginfeksi adalah streptokokus group B (GBS) dan escherichia coli, yang terdapat di vagina. GBS muncul sebagai mikroorganisme yang sangat virulen pada neonatus, dengan angka kematian tinggi (50%) pada bayi yang terkena Haemophilus influenzae dan stafilokoki koagulasi negatif juga sering terlihat pada awitan awal sepsis pada bayi BBLSR. Sepsis lanjut (1 sampai 3 minggu setelah lahir) utamanya nosokomial, dan organisme yang menyerang biasanya stafilokoki, klebsiella, enterokoki, dan pseudomonas. Stafilokokus koagulasi negatif, baiasa ditemukan sebagai penyebab septikemia pada bayi BBLR dan BBLSR. Invasi bakterial dapat terjadi melalui tampatseperti puntung tali pusat, kulit, membran mukosa mata, hidung, faring, dan telinga, dan sistem internal seperti sistem respirasi, saraf, perkemihan, dan gastrointestinal. Infeksi pascanatal didapat dari kontaminasi silang dengan bayi lain, personel, atau benda benda dilingkungan. Bakteri sering ditemukan dalam sumber air, alat pelembab, pipa wastafel, mesin penghisap, kebanyakan peralatan respirasi, dan kateter vena dan arteri terpasang yang digunakan untuk infus, pengambilan sampel darah, pemantauan tanda vital. (Donna L. Wong, 2009). Proses patofisiologi sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complemen cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated intravaskular coagulation (DIC) dan kematian.( Bobak, 2004). Penderita dengan gangguan imun mempunyai peningkatan resiko untuk mendapatkan sepsis nosokomial yang serius. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram negatif dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibodi monoklonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septik. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan dalam aliran darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih lanjut. Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu respon fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba. FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan tonus vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan kebutuhan metabolik jaringan. Syok didefinisikan dengan tekanan sistolik dibawah persentil ke-5 menurut umur atau didefinisikan dengan ekstremitas dingin. Pengisian kembali kapiler yanng terlambat (>2 detik) dipandang sebagai indikator yang dapat dipercaya pada penurunan perfusi perifer. Tekanan vaskuler perifer pada syok septik (panas) tetapi menjadi sangat naik pada syok yang lebih lanjut (dingin). Pada syok septik pemakaian oksigen jaringan melebihi pasokan oksigen. Ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh vasodilatasi perifer pada awalnya, vasokonstriksi pada masa lanjut, depresi miokardium, hipotensi, insufisiensi ventilator, anemia. (Nelson, 1999). Septisemia menunjukkan munculnya infeksi sistemik pada darah yang disebabkan oleh penggandaan mikroorganisme secara cepat atau zat-zat racunnya, yang dapat mengakibatkan perubahan psikologis yang sangat besar. Zat-zat patogen dapat berupa bakteri, jamur, virus, maupun riketsia. Penyebab yang paling umum dari septisemia adalah organisme gram negatif. Jika perlindungan tubuh tidak efektif dalam mengontrol invasi mikroorganisme, mungkin dapat terjadi syok septik, yang dikarakteristikkan dengan perubahan hemodinamik, ketidakseimbangan fungsi seluler, dan kegagalan sistem multipel. (Marilynn E. Doenges, 1999). 2.4 Manifestasi klinis Umum : panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.

Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia (nafsu makan buruk), muntah, diare, hepatomegali. Saluran nafas : apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas tidak teratur, merintih, sianosis. Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab, hipotensi, takikardia, bradikardia. Sistem saraf pusat : iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, aktivitas menurun-letargi, koma, peningkatan atau penurunan tonus, gerakan mata abnormal, ubun-ubun membonjol. Hematologi : pucat, ptekie, purpura, perdarahan, ikterus. Sistem sirkulasi : pucat, sianosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung tidak beraturan. (Kapita Selekta, 2000). BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian A. Biodata Umur neonatus (0 28 hari) Jenis kelamin laki-laki B. Riwayat Kesehatan 1. Keluhan utama Panas 2. Riwayat Kehamilan Demam pada ibu (>37,9C). Riwayat sepsis GBS pada bayi sebelumnya. Infeksi pada masa kehamilan. 3. Riwayat Persalinan Persalinan yang lama. Ruptur selaput ketuban yang lama (>18 jam). Persalinan prematur (<37 minggu). 4. Riwayat atau adanya faktor resiko Prematuritas/BBLR/BBLSR. Skor APGAR 5 menit rendah (<6). Jenis kelamin laki-laki (laki-laki 4 kali lebih sering terkena sepsis dari pada perempuan). C. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum Lemah, Koma. 2. Inspeksi Kepala: ubun-ubun membonjol. Muka: pucat, sianosis. Mata: gerakan mata abnormal. Kulit: ptekie. 3. Palpasi Distensi abdomen. Pemeriksaan ekstremitas: tremor, kejang. 5. Auskultasi Sistem pernafasan: nafas tidak teratur, merintih, takipneu. 6. Laboratorium Hitung darah lengkap (HDL). Nilai HDL yang paling penting ialah hitung sel darah putih (SDP). Bayi yang mengalami

sepsis biasanya menunjukkan penurunan nilai SDP, yakni <5000 mm3. Trombosit Nilai normal 150.000 300.000 mm3. Pada sepsis nilai trombosit menurun. Kultur darah Dilakukan dalam 24 48 jam untuk menjelaskan jumlah dan jenis bakteri yang ada dan kerentanannyaterhadap terapi antibiotika. Pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS) Jumlah rata-rata leukosit di dalam CSS bayi baru lahir adalah sel/mm3 dan kisaran normal dapat mencapai 20 sel/mm3. Kadar protein CSF pada bayi cukup bulan adalah 90mg/dl dan 120 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pungsi lumbal traumatik dapat memberikan hasil yang tidak dapat diintepretasikan, karena penggunaan faktor koreksi yang berdasarkan pada jumlah eritrosit di dalam CSF dan di dalam cairan perifer sering tidak adekuat untuk menentukan jumlah leukosit dan kadar protein yang sebenarnya didalam CSS. Kultur urin Urin untuk pemeriksaan aglutinasi lateks dan kultur juga dapat dilakukan. Rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi. 3.2 Diagnosa 1. Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada reagulasi temperatur. 2. Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan nutrisi. 4. Resiko terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah. 5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas. 6. Resiko terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler. 7. Resiko terhadap gangguan pertukaran gas b/d edema pada paru-paru. 8. Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2. 9. Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan lingkungan (nosokomial). 10. Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri anak). 3.3 Intervensi 1. Diagnosa : Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada reagulasi temperatur. Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam bata normal, bebas dari kedinginan. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan. Intervensi Rasional Mandiri Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan menggigil/diaforesis Suhu 38,9 41,1 C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Menggigil sering mendahului puncak suhu. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi. Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol. Dapat membantu mengurangi demam. Kolaborasi Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen (Tylenol). Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme, dan meningkatkan

autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi. Berikan selimut pendingin Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5 40 C pada waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak. 2. Diagnosa : Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi. Kriteria Hasil : Meningkatkan fungsi usus mendekati normal. Intervensi Rasional Observasi frekuensi defekasi, karakteristik, dan jumlah. Diare sering terjadi akibat mikroba yang masuk kedalam usus. Dorong diet tinggi serat dalam batasan diet, dengan masukan cairan sedang sesuai diet yang dibuat. Meningkatkan konsistensi feses. Meskipun cairan perlu untuk fungsi tubuh optimal, kelebihan jumlah mempengaruhi diare. Bantu perawatan peringeal sering, gunakan salep sesuai indikasi. Berikan rendam pada pusaran air. Iritasi anal, ekskoriasi dan pruritus dapat terjadi karena diare. Berikan obat sesuai indikasi. Untuk mengontrol frekuensi defekasi sampai tubuh mengalami perubahan yang lebih baik. 3. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan nutrisi. Kriteria Hasil : Menunjukkan penambahan berat badan dan bebas dari tanda malnutrisi. Intervensi Rasional Kaji status nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat energi, kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk makan/anoreksia. Memberikan kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari normal/dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi. Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat badan saat penerimaan. Membuat data dasar, membantu dalam memantau keefektifan aturan terapeutik. Kaji fungsi GI dan toleransi pada pemberian makanan enteral, catat bising usus, keluhan mual/muntah, ketidaknyamanan abdomen, adanya diare / konstipasi, terjadinya kelemahan dan takikardia. Karena pergantian protein dari mukosa GI terjadi kira-kira setiap 3 hari, saluran GI beresiko tinggi pada disfungsi dini dan atrofi dari penyakit dan malnutrisi. 4. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah. Kriteria Hasil : Menunjukkan perfusi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum, haluaran urinarius individu yang sesuai dan bising usus aktif. Intervensi Rasional Mandiri Pertahankan tirah baring, bantu dengan aktivitas perawatan. Menurunkan beban kerja miokard dan konsumsi O2, maksimalkan efektivitas dari perfusi jaringan. Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut. Hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah, menstimulasi pelepasan, atau aktivasi dari substansi hormonal maupun kimiawi yang umumnya menghasilkan vasodilatasi perifer, penurunan tahapan vaskuler sistemik dan hipovolemia relatif. Pantau frekuensi dan irama jantung. Bila terjadi takikardi, mengacu pada stimulasi sekunder sistem saraf simpatis untuk menekankan respon dan untuk menggantikan kerusakan pada hipovolumia relatif dan hipertensi. Perhatikan kualitas/kekuatan dari denyut perifer Pada awal nadi cepat/kuat karena peningkatan curah jantung. Nadi dapat menjadi lemah/lambat karena hipotensi terus menerus, penurunan curah jantung, vasokonstriksi perifer jika terjadi status syok.

Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Perhatikan dispnea berat. Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon terhadap efek-efek langsung dari endotoksin pada pusat pernafasan di dalam otak, dan juga perkembangan hipoksia, stres dan demam. Pernafasan dapat menjadi dangkal bila terjadi insufisiensi pernafasan, menimbulkan resiko kegagalan pernafasan akut. Catat haluaran urin setiap jam dan bertat jenisnya. Penurunan haluara urin dengan peningkatan berat jenis akan mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal yang dihubungkan dengan perpindahan cairan dan vasokonstriksi selektif. Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkakan jaringan lokal, eritema. Stasis vena dna proses infeksi dapat menyebabkan perkembangan trombosis. Catat efek obat-obatan, dan pantau tanda-tanda keracunan Dosis antibiotik masif sering dipesankan. Hal ini memiliki efek toksik berlebihan bila perfusi hepar/ ginjal terganggu. Kolaborasi Berikan cairan parenteral Untuk mempertahankan perfusi jaringan, sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan untuk mendukung volume sirkulasi. Pantau pemeriksaan laboratorium. Perkembangan asidosis respiratorik dan metabolik merefleksikan kehilangan mekanisme kompensasi, misalnya penurunan perfusi ginjal dan akumulasi asam laktat. 5. Diagnosa : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas. Kriteria Hasil : Mempertahankan kulit utuh dan mengidentifikasi faktor-faktor resiko. Intervensi Rasional Ubah posisi sering di tempat tidur dan kursi. Rekomendasikan 10 menit latihan setiap jam dan lakukan rentang gerak. Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerak tulang sendi. Gunakan jadwal rotasi dalam membalikkan pasien. Memberikan waktu lebih lama bebas dari tekanan, mencegah gerakan yang menimbulkan pengelupasan dan robekan yang dapat merusak jaringan rapuh. Pertahankan agar sprei dan selimut tetap kering, bersih dan bebas dari kerutan, serpihan ataupun material lainnya yang dapat mengiritasi. Mengurangi abrasi kulit. Berikan tambahan zat besi dan vitamin C. Membantu dalam penyembuhan/generasi seluler. 6. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler. Kriteria Hasil : Mempertahankan volume sirkulasi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda vital dalam batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan haluaran urin adekuat. Intervensi Rasional Mandiri Catat/ukur pemasukan pengeluaran urin dan berat jenisnya Penurunan haluaran urin dan berat jenis akan menyebabkan hipovolemia. Pantau tekanan darah dan denyut jantung Pengeluaran dalam sirkulasi volume cairn dapat mengurangi tekanan darah/CVP, mekanissme kompensasi awal dari takikardia untuk meningkatkan curah jantung dan meningkatkan darah sistemik. Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa haus Hipovolemia/cairan ruang ketiga akan memperkuat tanda-tanda dehidrasi. Amati edema dependen/perifer pada sacrum, skurutum, punggung kaki Kehilangan cairan dari kompartemen vaskuler kedalam ruang interstitial akan menyebabkan edema jaringan. Kolaborasi

Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan IV Sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan untuk mengatasi hipovolemia relatif (vasodilatasi perifer), menggantikan kehilangan dengan meningkatkan permeabilitas kapiler (misalnya penumpukan cairan di dalam rongga peritoneal) dan meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata (misalnya demam dan diaforesis). Pantau nilai laboratorium Mengevaluasi perubahan di dalam hidrasi/viskositas darah. Peningkatan BUN akan merefleksikan dehidrasi, nilai tinggi dari BUN/Kr dapat mengindikasikan disfungsi/kegagalan ginjal. 7. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap ganggun pertukaran gas b/d edema pada paru-paru. Kriteria Hasil : Mengoptimalkan pertukaran gas. Intervensi Rasional Kaji pernafasan setiap jam, catat kualitas, irama, pola, kedalaman, dan otot penafasan. Kaji saluran nafas setiap hari. Kaji perubahan perilaku dan orientasi. Monitor ABC dan catat perubahan Ubah posisi setiap 2 jam untuk bergerak dan drainase sekret. Tentukan posisi anak dalam posisi yang benar untuk mengoptimalkan pernafasan. Suction diperlukan untuk membersihkan sekrat. 8. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2. Kriteria Hasil : Tidak mengalami dispnea dan sianosis. Intervensi Rasional Pertahankan jalan nafas paten. Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman dengan kepala tempat tidur tinggi. Meningkatkan ekspansi paru-paru, upaya pernafasan. Pantau frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori/ upaya untuk bernafas. Pernafasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres dan sirkulasi endotoksin. Hipoventilasi dan dispnea merefleksikan mekanisme kompensasi yang tidak efektif dan merupakan indikasi bahwa diperlukan dukungan ventilator. Auskultasi bunyi nafas. Perhatikan krekels, mengi, area yang mengalami penurunan / kehilangan ventilasi. Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi adventisinius merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial. Etelektasis. Catat munculnya sianosis sirkumoral. Menunjukkan oksigen sistemik tidak adekuat/pengurangan perfusi. Selidiki perubahan pada sensorium, agitasi, kacau mental, perubahan kepribadian, delirium, koma. Fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenasi. Berikan O2 tambahan melalui jalur yang sesuai, misalnya kanula nasal, masker. Diperlukan untuk mengoreksi hipoksemia dengan menggagalkan upaya/progresi asidosis respiratorik. Tinjau sinar X dada. Perubahan menunjukkan perkembangan / resolusi dari komplikasi pulmonal, misalnya edema. 9. Diagnosa : Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan lingkungan (nosokomial). Kriteria Hasil : Bebas dari infeksi nosokomial. Intervensi Rasional Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi. Dibutuhkan untuk melindungi pasien imunosupresi. Mengurangi resiko infeksi nosokomial. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril. Mengurangi kontaminasi silang. Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika memunngkinkan. Mengurangi jumlah lokasi yang dapat menjadi tempat masuk organisme. Pantau kecenderungan suhu. Demam (38,5 40 C) disebabkan oleh efek dari

endotoksin pada hipotalamus. Dapatkan spesimen urine, darah, sputum, luka, jalur invasif sesuai petunjuk pewarnaan gram, kultur dan sensitivitas. Identifikasi terhadap portal entri dan organisme penyebab septisemia adalah penting bagi efektivitas pengobatan. 10. Diagnosa : Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri anak). Kriteria Hasil : Keluarga bisa menerima keadaan yang dialami oleh anaknya. Intervensi Rasional Berikan penjelasan pada orang tua tentang kesehatan anak. Untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh orang tua. Tinjau faktor resiko dan bentuk penularan/tempat masuk infeksi. Menyadari terhadap bagaimanan infeksi ditularkan akan memberikan informasi untuk merencanakan/melakukan tindakan protektif. Dorong orang tua untuk memberikan perhatian yang lebih pada anak. Tujuan terapeutik pada anak maksimal. 3.4 Implementasi Mempertahankan tirah baring, membantu aktivitas perawatan. Memantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut. Memantau frekuensi dan irama jantung. Mengkaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Memantau suhu anak. Mencatat pemasukan dan pengeluaran urin. Memantau pemeriksaan laboratorium. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril untuk mengurangi terjadinya infeksi nosokomial. 3.5 Evaluasi Suhu kembali normal. Berat badan meningkat. Perfusi jaringan normal, tidak mengalami dispnea dan sianosis. Tidak terjadi infeksi nosokomial. BAB IV PENUTUP 4.1 KesimpulanSepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah bayi selam empat minggu pertama kehidupan. Penyebabnya dimulai pada infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal. Pemeriksaan untuk mendiagnosa adanya sepsis adalah hitung darah lengkap (HDL), trombosit, kultur darah, pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS), kultur urin, rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi. 4.2 Saran Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Hindari infeksi nosokomial. DAFTAR PUSTAKA Bobak, Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC, 2004. Carpenito, Lynda Jual, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC, 2000. FKUI, Ilmu Kesehatan Anak. Gulanick, Meg. Puzas, Knol Michele. Wilson, R. Cynthia, Nursing Care Plans for Newborns and Children : acute and critical care. USA : 1992.

Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: FKUI, 2000. Muscari E. Mary, Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC, 2005. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta:. EGC, 1999. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: EGC, 1999. Wilkinson, M. Judith, Buku Saku Diagnosa Keperawatan NIC NOC edisi 7. Jakarta : EGC, 2006. William, M. Scwartz, Pedoman Klinis Pediatrik. Jakarta: EGC, 2004. Wong, L. Donna, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Jakarta: EGC, 2009. Diposkan oleh Cerita Kamu di 03:20

DEFINISI HIPOSPADIA Kelainan congenital pada penis OUE : - proximal dari Gland - ventral Chorde +/ Insidensi * 1 : 300 / kelahiran bayi laki-laki ( Sweet , et.all.; 1974 ) * Perlu penanganan -->Cermat -->Tepat * Sehingga Komplikasi di minimalisir C. ETIOPATOGENESIS * Kausa pasti --> belum diketahui --> multifaktor * Faktor : 1. Genetik --> sangat berperan 2. Etnik & Geografis 3. Hormonal 4. Pencemaran Lingkungan D. PATHWAY E. KLASIFIKASI Barcat (1973) ANTERIOR 65 % - 70 % * Glandular * Coronal * Anterior Penil - MIDDLE HYPOSPADIAS * 10 % * Middle Penile - POSTERIOR HYPOSPADIAS * 20 % * Posterior Penil * Penoscrotal * Perineal F. TERAPI * Tujuan : - Anatomi - Fungsi * Yang perlu di pertimbangkan dalam repair hipospadia

1.Usia 2.Tipe Hipospadia 3.Ukuran Penis 4.Chordee +/* Pengalaman dan kepercayaan operator sangat menentukan tahapan dan keberhasilan operasi * 2 hal pokok dalam repair hipospadia 1. Release chordee 2. Urethroplasty * Waktu ideal 6 bulan 18 bulan sebaiknya sebelum sekolah HASIL : - 63 Kasus ------> 17 kasus ( 28,98 % ) terjadi komplikasi - 17 kasus(26,98%) KOMPLIKASI Satu Tahap: 7 kasus (11,11 %) Infeksi 1 kasus Fistula 4 kasus Striktura 2 kasus Dua tahap: 10 kasus ( 15,87 % ) Infeksi 4 kasus Fistula 4 kasus Striktura 2 kasus Kejadian komplikasi antara satu tahap& dua tahap peluangnya hampir sama (p>0.05) 1 tahun Usia : 1 5 tahun 11 kasus (17,46 %) > 5 tahun 6 kasus (9,52 %) 1 tahun masih dalam asuhan ibunya karena belum bisa jalan sedangkan usiaTernyata usia 1 5 tahun merupakan usia yang sukar dikendalikan emosionalnya sedangkan usia > 5 tahun merupakan usia yang sudah bisa diberi pengertian ( usia sekolah dasar ). Komplikasi Penoscrotal 10 kasus (15,87 %) Penil 7 kasus (11,11 %) Semakin ke proksimal kelainan hipospadianya semakin sukar tehnik operasinya dan semakin besar kejadian komplikasinya. KESIMPULAN

* Repair hipospadia antara satu tahap dengan dua tahap untuk terjadinya komplikasi tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). * Kejadian komplikasi pasca repair hipospadia yang paling banyak yaitu fistula urethrocutaneus(12,69%). * Kepecayaan diri dan pengalaman operator menentukan tentang tahap dan keberhasilan operasi. * Di sarankan penanganan hipospadia dilakukan dengan operasi satu tahap. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TINDAKAN URETHROPLASTY A. DIAGNOSA 1.PRA OPERASI Kecemasan/ansietas b/d kurangnya pengetahuan mengenai kondisi,prognosis, dan kebutuhan pengobatan TUJUAN Kecemasan/ansietas hilang/berkurang satelah dilakukan asuhan keperawatan dalam1X20 menit, dengan criteria hasi, klien akan : a. mengutarakan proses penyakit/proses preoperasi dan harapan pasca operasi b. melakukan prosedur yang diperlukan untuk menjelaskan alasan dari suatu tindakan c. memulai perubahan gaya hidup yang dperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan INTERVENSI - Kaji tingkat pemahaman pasien - Gunakan sumber-sumber pengajaran, sesuai keadaan - Melaksanakan program pengajaran pra operasi individual - Informasikan pasien/orang terdekat mengenai rencana perjalanan, komunikasi dokter/orang terdekat RASIONAL -Berikan fasilitas perencanaan program pengajaran -Media khusus akan dapat memenuhi kebutuhan pasian untuk belajar -Meningkatkan pemahaman atau kontrol pasien dan memungkinkan partisipasi dalam perawatan pasca operasi -Informasi logistik mengenai jadwal dan kamar operasi, mencegah keraguan dan kebingungan akan kesehatan pasian, dan prosedur yang akan dilakukan B. DIAGNOSA INTRA OPERASI Resiko tinggi terhadap perubahan suhu tubuh b/d penggunaan obat/zat anerstesi TUJUAN Suhu tubuh dalam batas normal dan stabil setelah dlakukan asuhan keperawatan selama 1X30 menit, dengan criteria hasil. klien akan : mempertahankan suhu tubuh dalam jangkauan normal INTERVENSI - Sediakan pengukuran suhu pada pasien dengan elevasi suhu operasi

- Catat elevasi suhu yang cepat/ demam tinggi menetap dan obati secara tepat per protocol - Sediakan selimut penghangat pada saat saat darurat untuk anestesi RASIONAL - Irigasi dan pemajana permukaan kulit keudara mungkin dibutuhkan untuk menurunkan suhu - Hipertermia malignan harus diobati dan dikenali dengan tepat untuk menghindari - komplikasi yang serius - Anestesi inhalasi akan menekan hipotalamus, dan mengakibatkan regulasi suhu tubuh C.DIAGNOSA PASCA OPERASI 1.Tidak efektif pola nafas b/d neuromuscular, ketidakseimbangan perceptual/kognitif TUJUAN Setelah dlakukan tindakan keperawatan 1X30 menit, polanafas stabil efektif, dengan KH, klien akan: Menetapakn pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-tanda hipoksia lainnya INTERVENSI - Pertahankan jalan udara klien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang, aliran udara faringeal oral - Lakukan latihan gerak sesegera mungkin pada pasien yang reaktif dan lanjutkan pada periode pasca operasi RASIONAL - Mencegah obstruksi jalan nafas - Ventilasi dalam yang aktif membuka alveolus, mengeluarkan sekresi, meningkatkan pengangkutan oksigen, membuang gas anestesi 2.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan hilangnya cairan tubuh secara tidak normal(perdarahan, muntah, dll) TUJUAN Volume cairan pasien dapat dipertahankan dalam batas normal setelah dilakukan tindakan keperawatan 1X24jam,dengan KH klien akan: mendemonstrsikan keseinbangan cairan yang adekuat,TTV stabil,turgor kulit normal, membran mukosa lembab, Pengeluaran urine yang sesuai INTERVENSI - Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan - Periksa pembalut, alat drein pada interval reguler - Pantau suhu kulit,palpasi denyut perifer RASIONAL -Peningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan upaya pengosongan. -Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia atau hemoragi. Pembengkakan local mungkin mengindikasikan formasi hematoma/p erdarahan.

-Kulit yang dingin lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk pemberian cairan tambahan 3.Gangguan rasa nyaman,nyeri akut b/d gangguan integritas kulit jaringan TUJUAN Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri akan berkurang, dengan KH, klien akan : - mengatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol/ dihilangkan - Tampak santai dapat beristirahat/tidur dan ikut serta dalam aktiftas sesuai kemampuan INTERVENSI - Evaluasi rasa sakut secara reguler, catat karakteristik, lokasi dan intensitas. - Dorong penggunaan tehnik relaksasi - Lakukan reposisi sesuai petunjuk RASIONAL - Sediakan informasi mengenai kebutuhan/evektivitas intervensi. - Lepaskan tegangan emosional dan otot - Memungkinkan mengurangi rsa sakit dan meningkatka serkulasi. Posisi semi-fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot punggung arthritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal. DAFTAR PUSTAKA - Barlow, Sheilla dan Weller, Barbara F.(1985) Pediatric Nursing. Jakarta : Engish Langue Book Society - Carpenito, Linda Juall.(2001).Buku saku diagnosa keperawatan,Jakarta :EGC - Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.(1995) Pathofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, Jakarta : EGC - Rekso Prodjo, Soelarto.(1995) Ilmu Bedah.Jakarta :FKUI - Suriadi dan Yuliani,Rita.(2001).Askep Pada Anak,edisi 1. Jakarta : Fajar Interpretama - Smelzer, Suzane. (2002). Keperawatan Medikal Bedak,edisi 8.Jakarta : EGC - www.medicastore.co.org

askep hipospadia
Posted: Juni 2, 2011 in Keperawatan Anak

BAB I

KONSEP DASAR

HIPOSPADIA

A.

PENGERTIAN

1. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal (ujung glans penis). (Arif Mansjoer, 2000 : 374).

2. Hipospadia adalah suatu keadaan dimana terjadi hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan miggu ke 10 sampai ke 14 yang mengakibatkan orifisium uretra tertinggal disuatu tempat dibagian ventral penis antara skrotum dan glans penis. (A.H Markum, 1991 : 257).

3. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang terletak di bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).

4. Hipospadia adalah keadaan dimana uretra bermuara pada suatu tempat lain pada bagian belakang batang penis atau bahkan pada perineum ( daerah antara kemaluan dan anus ). (Davis Hull, 1994 )

5. Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya pengelolaannya harus dilakukan oleh mereka yang betul-betul ahli supaya mendapatkan hasil yang memuaskan. (http://photos1.blogger.com/blogger/4603/1833/1600/op.jpg).

B. ETIOLOGI

1. 2.

Embriologi. Maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena involusi yang prematur dari sel intersitisial testis.

C. KLASIFIKASI

Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe menurut letak orifisium uretra eksternum yaitu :

1.

Tipe sederhana adalah tipe grandular, disini meatus terletak pada pangkal glands penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat asimtomatik.

2. 3.

Tipe penil, meatus terletak antara glands penis dan skortum. Tipe penoskrotal dan tipe perineal, kelainan cukup besar, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu.

1. 1.

D.

MANIFESTASI KLINIS

Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah, menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada saat BAK.

2. 3. 4.

Pada Hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri dengan mengangkat penis keatas. Pada Hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan jongkok. Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi.

E. PATOFISIOLOGI

Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.

F. PATHWAY

Maskulinasi inkomplit

Embriologi

dari genetalia

Fusi digaris tengah uretra tidak lengkap

Meatus uretra terbuka

Cemas

Managemen regimen terapeutik tidak efektif

Lubang Keluar di bagian

Operasi

Perubahan eliminasi urin (Retensi urin)

Kesiapan dalam penigkatan manajemen regien terapeutik

( Sumber : Price Sylvia Anderson; 1995, NANDA; 2005-2006 )

G. DERAJAT KEPARAHAN

1.

Ditentukan oleh satu posisi meatus uretra : glands, korona, batang penis sambungan dari batang penis dan skrotum dan perineum.

2. 3.

Lokasinya. Derajat chordee.

H. KOMPLIKASI

1.

Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu )

2. 3.

Psikis ( malu ) karena perubahan posisi BAK. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa. Komplikasi paska operasi yang terjadi :

1.

Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi, juga terbentuknya hematom / kumpulan darah dibawah kulit, yang biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi.

2. 3.

Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari anastomosis. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang atau pembentukan batu saat pubertas.

4.

Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai parameter untuyk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.

5.

Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang.

6.

Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut. I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. 2. 3.

Rontgen USG sistem kemih kelamin. BNO-IVP Karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan

kongenital ginjal.

J. PENATALAKSANAAN

1.

Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah merekomendasikan penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya ke depan dan dapat melakukan coitus dengan normal.

2.

Operasi harus dilakukan sejak dini, dan sebelum operasi dilakukan bayi atau anak tidak boleh disirkumsisi karena kulit depan penis digunakan untuk pembedahan nanti.

3. 1.

Dikenal banyak teknik operasi hipospadia yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu : a. Operasi Hipospadia satu tahap ( ONE STAGE URETHROPLASTY )

Adalah tekhnik operasi sederhana yang sering digunakan, terutama untuk hipospadia tipe distal. Tipe distal ini meatusnya letak anterior atau yang middle. Meskipun sering hasilnya kurang begitu bagus untuk kelainan yang berat. Sehingga banyak dokter lebih memilih untuk melakukan 2 tahap. Untuk tipe hipospadia proksimal yang disertai dengan kelainan yang jauh lebih berat, maka one stage urethroplasty nyaris dapat dilakukan. Tipe hipospadia proksimal seringkali di ikuti dengan kelainan-kelainan yang berat seperti korda yang berat, globuler glans yan bengkok kearah ventral ( bawah ) dengan dorsal; skin hood dan propenil bifid scrotum. Intinya tipe hipospadia yang letak lubang air seninya lebih kearah proksimal ( jauh dari tempat semestinya ) biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain di scrotum atau sisa kulit yang sulit di tarik pada saat dilakukan operasi pembuatan uretra ( saluran kencing ). Kelainan yang seperti ini biasanya harus dilakukan 2 tahap.

1.

b.

Operasi Hipospadia 2 tahap

Tahap pertama operasi pelepasan chordee dan tunelling dilakukan untuk meluruskan penis supaya posisi meatus ( lubang tempat keluar kencing ) nantinya letaknya lebih proksimal ( lebih mendekati letak yang normal ), memobilisasi kulit dan preputium untuk menutup bagian ventral/bawah penis. Tahap selanjutnya ( tahap kedua ) dilakukan uretroplasty ( pembuatan saluran kencing buatan/uretra ) sesudah 6 bulan. Dokter akan menentukan tekhnik operasi yang terbaik. Satu tahap maupun dua tahap dapat dilakukan sesuai dengan kelainan yang dialami oleh pasien.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

HIPOSPADIA

1. 1. 2. 3. 4. 5.

A.

PENGKAJIAN

Kaji biodata pasien Kaji riwayat masa lalu: Antenatal, natal, Kaji riwayat pengobatan ibu waktu hamil Kaji keluhan utama Kaji skala nyeri (post operasi)

1. 1. 2.

B.

PEMERIKSAAN FISIK

Inspeksi kelainan letak meatus uretra Palpasi adanya distensi kandung kemih.

1.

C.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Pasien pre operasi

1. 2. 3.

Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga. Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga dan klien.

Pasien post operasi

1. 2. 3. 4.

Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat. Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi

1.

D.

INTERVENSI

Diagnosa pre operasi 1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan manajemen regimen terapeutik kembali efektif.

NOC : Family health status

Indikator

1. 2. 3. 4. 5.

Status imunisasi anggota kelurga Kesehatan fisik anggota keluarga Asupan makanan yang adekuat Tidak adanya kekerasan anggota kelurga Penggunaan perawatan kesehatan

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah dilakukan

2 = Jarang dilakukan

3 = Kadang dilakukan

4 = Sering dilakukan

5 = Selalu dilakukan

NIC

: Family mobilization

Intervensi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Jadilah pendengar yang baik untuk anggota keluarga Diskusikan kekuatan kelurga sebagai pendukung Kaji pengaruh budaya keluarga Monitor situasi kelurga Ajarkan perawatan di rumah tentang terapi pasien Kaji efek kebiasaan pasien untuk keluarga Dukung kelurga dalam merencanakan dan melakukan terapi pasien dan perubahan gaya hidup Identifikasi perlindungan yang dapat digunakan kelurga dalam menjaga status kesehatan. 2. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan retensi urin berkurang.

NOC : Pengawasan urin

Indikator

1. 2. 3. 4.

Mengatakan keinginan untuk BAK Menentukan pola BAK Mengatakan dapat BAK dengan teratur Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet

5. 6. 7.

Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK Mengesankan kandung kemih secara komplet

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC

: Perawatan retensi urin

Intervensi

1.

Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)

2. 3. 4. 5.

Menjaga privasi untuk eliminasi Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit) Menyediakan perlak di kasur

6. 7. 8. 9.

Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan Menganjurkan untuk mencegah konstipasi Monitor intake dan output Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi

10. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.

3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga dan klien.

Tujuan : Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 324 jam diharapkan kecemasan pasien berkurang.

NOC : Kontrol ansietas

Indikator

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Tingkat kecemasan di batas normal Mengetahui penyebab cemas Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas Informasi untuk mengurangi kecemasan Strategi koping untuk situasi penuh stress Hubungan sosial Tidur adekuat Respon cemas

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC

: Pengurangan cemas

Intervensi

1. 2.

Ciptakan suasana yang tenang Sediakan informasi dengan memperhatikan diagnosa, tindakan dan prognosa, dampingi pasien untuk meciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan

3. 4. 5. 6. 7.

Dengarkan dengan penuh perhatian Kuatkan kebiasaan yang mendukung Ciptakan hubungan saling percaya Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan.

Diagnosa post operasi

1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan kesiapan peningkatan regimen terapeutik baik.

NOC : Family participation in profesioal care

Indikator

1. 2. 3. 4. 5.

Ikut serta dalam perencanaan perawatan Ikut serta dalam menyediakan perawatan Menyediakan informasi yang relefan Kolaborasi dalam melakukan latihan Evaluasi keefektifan perawatan

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC

: Family process maintenance

Intervensi

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu Bantu keluarga dalam melakukan strategi menormalkan situasi Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang tepat Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana pengaruh pada keluarga Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi Ajarkan keluarga untuk menjaga dan selalu menngawsi perkembangan status kesehatan keluarga.

2. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan nyeri berkurang.

NOC 1

: Level nyeri

Indikator

1. 2. 3.

Melaporkan nyeri (frekuensi & lama) Perubahan vital sign dalam batas normal Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri

NOC 2

: Tingkat kenyamanan

Indikator

1. 2.

Melaporkan kondisi fisik yang nyeman Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri

NOC 3

: Kontrol nyeri

Indikator

1. 2. 3. 4.

Mengungkap faktor pencetus nyeri Menggunakan tetapi non farmakologi Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri Melaporkan nyeri terkontrol

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC 1 : Manajemen nyeri

Intervensi

1.

Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri

2. 3. 4. 5.

Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan Ajarkan teknik nonfarmakologi (ralaksasi) Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)

NIC 2 : Monitor tanda vital

Intervensi

1. 2. 3. 4. 5.

Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien Monitor keabnormalan pola napas pasien Identifikasi kemungkinan perubahan TTV Monitor toleransi aktivitas pasien Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat

NIC 3 : Manajemen lingkungan

Intervensi

1. 2.

Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman

3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan tidak terjadi infeksi.

NOC 1

: Deteksi resiko

Indikator

1. 2. 3.

Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber informasi

NOC 2

: Kontrol resiko

Indikator

1. 2. 3. 4.

Membenarkan faktor resiko Memonitor faktor resiko dari lingkungan Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko Memonitor & mengungkapkan status kesehatan

NOC 3

: Status imun

Indikator

1. 2. 3.

Tidak menunjukan infeksi berulang Suhu tubuh dalam batas normal Sel darah putih tidak meningkat

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC 1 : Kontrol infeksi

Intervensi

1. 2.

Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus melaporkan kepada petugas

3. 4.

Batasi pengunjung Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien

NIC 2 : Perawatan luka

Intervensi

1. 2. 3. 4.

Catat karakteristik luka, drainase Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka

NIC 3 : Perlindungan infeksi

Intervensi

1. 2.

Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.

4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan trauma operasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan retensi urin berkurang.

NOC : Pengawasan urin

Indikator

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Mengatakan keinginan untuk BAK Menentukan pola BAK Mengatakan dapat BAK dengan teratur Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK Mengosongkan kandung kemih secara komplet

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC

: Perawatan retensi urin

Intervensi

1.

Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Menjaga privasi untuk eliminasi Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit) Menyediakan perlak di kasur Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan Menganjurkan untuk mencegah konstipasi Monitor intake dan output Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi

10. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.

1.

E.

EVALUASI skala

Pre operasi

1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga.

Indikator :

1. 2. 3. 4. 5.

Status imunisasi anggota kelurga Kesehatan fisik anggota keluarga Asupan makanan yang adekuat Tidak adanya kekerasan anggota kelurga Penggunaan perawatan kesehatan

5 4 5 5 4

1.

Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik

Indikator :

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Mengatakan keinginan untuk BAK Menentukan pola BAK Mengatakan dapat BAK dengan teratur Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK Mengesankan kandung kemih secara komplet

4 4 4 4 4 4 4

3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga dan klien.

Indikator :

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Tingkat kecemasan di batas normal Mengetahui penyebab cemas Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas Informasi untuk mengurangi kecemasan Strategi koping untuk situasi penuh stress Hubungan sosial Tidur adekuat Respon cemas

4 4 4 4 4 4 4 4

Post operasi 1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.

Indikator :

1. 2. 3. 4. 5.

Ikut serta dalam perencanaan perawatan Ikut serta dalam menyediakan perawatan Menyediakan informasi yang relefan Kolaborasi dalam melakukan latihan Evaluasi keefektifan perawatan

5 5 5 5 5

2. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi

Indikator :

1. 2.

Melaporkan nyeri (frekuensi & lama) Perubahan vital sign dalam batas normal (TD 120/80 mmHg; RR 22 x/mt; N 75x/mt; S 36,8C)

5 5

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri Melaporkan kondisi fisik yang nyeman Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri Mengungkap faktor pencetus nyeri Menggunakan tetapi non farmakologi Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri Melaporkan nyeri terkontrol

5 4 4 4 4 4 4

3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter

Indikator :

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko

4 4

Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber informasi 4 Membenarkan faktor resiko Memonitor faktor resiko dari lingkungan Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko Memonitor & mengungkapkan status kesehatan Tidak menunjukan infeksi berulang Suhu tubuh dalam batas normal 4 4 4 4 4 4 4

10. Sel darah putih tidak meningkat

4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi

Indikator :

1. 2. 3. 4. 5.

Mengatakan keinginan untuk BAK Menentukan pola BAK Mengatakan dapat BAK dengan teratur Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK

4 4 4 4 4

6. 7.

Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK Mengosongkan kandung kemih secara komplet

4 4

BAB IV

PENUTUP

Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis. Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi. Gejalanya adalah: 1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah atau di dasar penis

2. Penis melengkung ke bawah

3. Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis

4. Jika berkemih, anak harus duduk. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya. Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan nanti. Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

http://photos1.blogger.com/blogger/4603/1833/1600/op.jpg

http://www.medicastore.com

Johnson, Marion dkk. (2000). Nursing outcomes classification (NOC). Mosby

Suriadi SKp, dkk. (2001). Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : Fajar Interpratama

Mansjoer, Arif, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Jakarta : Media Aesculapius.

McCloskey, Joanne C. (1996). Nursing interventions classification (NIC). Mosby

Price, Sylvia Anderson. (1995). Pathofisiologi. Jakarta: EGC

Purnomo, B Basuki. (2000). Dasar dasar urologi. Jakarta : Infomedika

Santosa, Budi. (2005-2006). NANDA. Prima Medika

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :EGC.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Hipospadia


Posted by SEMA PSIK UNEJ on Nov 19, 2011 | Leave a Comment

Asuhan Keperawatan Klien dengan Hipospadia


Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa muara uretra yang terletak di sebelah ventral penis dan sebelah prokimal ujung penis dan merupakan salah satu dari kelainan kongenital paling sering terjadi pada genetalia laki-laki. (Sacharin, Rosa M. 1996). Antara tahun 1946 dan 1971, 2 hingga 3 juta perempuan menggunakan dietilbestrol (DES) antara minggu kedelapan dan enam belas kehamilan sebagai pengobatan untuk mencegah terjadinya abortus spontan. Laki-laki (yang paling muda sekarang adalah berusia pertengahan 30-an) yang dilahirkan dari ibu yang mendapat DES mempunyai gejala sisa yang berhubungan dengan perkembangan embriologis selama pemakaian obat tersebut. Kelainan yang dapat dilihat pada anak laki-laki dan laki-laki dewasa dari ibu pemakai DES selama kehamilannya adalah stenosis meatus uretra, hipospadia, kista epidedemis, varikokel, meningkatnya insidens kriptorkidisme dan berkurangnya fertilitas. Hipospadia terjadi pada 1 dalam 300 kelahiran anak laki-laki dan merupakan anomali penis yang paling sering terjadi. Perkembangan uretra in utero di mulai sekitar usia 8 minggu dan selesai dalam 15 minggu. Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan ventral penis. Glandula uretra terbentuk dari kanalis funikulus ektoderm yang tumbuh melalui glands untuk menyatu dengan lipatan uretra yang menyatu. Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis. (Sylvia A. Price & Lorraine M.W., 2006: 1317). Selengkapnya tentang Asuhan Keperawatan Klien dengan Hipospadia

You might also like