You are on page 1of 8

Terapi Anti-Inflamasi Nonsteroidal Pada Uveitis Anterior Akut Rekuren Vanessa M. B.

Fiorelli, MD, Pooja Bhat, MD, and C. Stephen Foster, MD, FACS, FACR Informa Healthcare USA, 2010

ABSTRAK Tujuan : Untuk mengetahui efek terapi nonsteroidal anti inflamasi (NSAID) dalam mencegah terjadinya rekurensi uveitis pada pasien dengan nongranulomatous berulang, idiopatik, atau HLA-B27 yang terkait uveitis anterior akut (AAU).

Metode : Kasus diambil secara retrospektif dari 59 pasien dengan terdiagnosis uveitis anterior akut (AAU) berulang yang diobati dengan obat celecoxib atau obat diflunisal.

Hasil : Lamanya terapi NSAID rata-rata adalah sekitar 21,2 5,7 bulan. Jumlah rata-rata untuk semua pasien yang mengalami kekambuhan sebelum diberikan terapi NSAID secara sistemik adalah 2,84 per orang/tahunnya. Kekambuhan menurun menjadi 0,53 per orang/tahunnya setelah di follow up dengan terapi NSAID (p<0.001). Tingkat kekambuhan sebelum dan setelah pengobatan pada kelompok dengan HLA-B27 yang positif adalah sebanyak n = 21, dibandingkan dengan tingkat kekambuhan sebelum dan setelah pengobatan pada kelompok HLA-B27 yang negatif adalah sebanyak (n = 38) dinilai signifikan dan secara statistik bermakna (p < 0.001).

Kesimpulan: Serangan dan pajanan secara kumulatif terhadap pemberian kortikosteroid dapat dicegah dengan memberikan terapi NSAID secara sistemik pada pasien dengan uveitis anterior akut (AAU) berulang.

INTRODUKSI Uveitis anterior akut rekuren adalah peradangan intraokular yang paling umum ditemukan dan terdapat sekitar 8,2 kasus baru per 100.000 orang pertahunnya. Uveitis anterior akut rekuren didefinisikan sebagai iritis yang berulang atau iridocyclitis yang dapat diatasi dalam waktu 3 bulan. Dari sudut pandang etiologinya, penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang paling sulit untuk didiagnosa. Dengan diperkenalkannya kortikosteroid pada tahun 1949, pengobatan inflamasi pada penyakit mata benar-benar telah merevolusi. Kortikosteroid topikal telah berkhasiat dan merupakan lini pertama dari terapi untuk penyakit inflamasi akut pada mata. Efek samping dari penggunaan steroid yang berkepanjangan atau berulang-ulang, terutama pada katarak dan glaukoma, telah didokumentasikan dengan baik. Sebelum munculnya kortikosteroid, obat NSAID, khususnya aspirin, telah digunakan dalam pengobatan peradangan pada mata. Sebuah tinjauan dari uji klinis terhadap penggunaan dan kemanjuran terapi NSAID dalam oftalmologi awalnya diterbitkan oleh Mayoritas Flach. Tinjauan secara klinis yang berhubungan dengan NSAID dan bagaimana cara menangani inflamasi pada mata untuk profilaksis pasca operasi telah didokumentasikan dengan tinjauan secara klinis dan eksperimental dari uveitis dengan terapi menggunakan NSAID. Pengalaman kami di Massachusetts Eye Research and Surgery Institution (MERSI) menunjukkan bahwa NSAID oral sangat berguna dalam pengelolaan jangka panjang terhadap pasien dengan nongranulomatous, idiopatik akut, atau HLA-B27 yang terkait dengan uveitis anterior yang rekuren, dan secara substansial kortikosteroid memang mengurangi inflamasi dan dalam banyak kasus memungkinkan pasien untuk tetap dalam keadaan remisi setelah steroid dihentikan. Kami menyajikan analisis secara retrospektif terhadap penggunaan NSAID oral sebagai profilaksis dalam pencegahan rekurensi dari uveitis pada pasien dengan uveitis anterior yang rekuren.

METODE Diambil dari catatan klinis sebanyak 59 pasien yang terdiagnosis uveitis anterior akut berulang yang disampaikan MERSI antara Mei 2005 dan April 2008 kemudian dievaluasi. Semua pasien dengan uveitis serangan baik berulang dan akut periode follow-up minimal 1
2

tahun sebelum dan setelah mulai terapi NSAID oral disertakan. Semua 59 pasien terdiagnosis uveitis menjalani tes skrining standar yang dilakukan oleh MERSI.

yang

Penyelidikan ini meliputi tes terhadap sifilis dan HLA-B27. Semua pasien diperiksa oleh penyidik utama (CSF) di setiap kunjungan. Klasifikasi uveitis dilakukan sesuai dengan rekomendasi Uveitis Study Group International. Peradangan ruang anterior dinilai seperti yang didefinisikan oleh Foster dan Vitale. Menurut SUN deskripsi kelompok uveitis, serangan itu dianggap akut jika onset tiba-tiba dan kurang dari 3 bulan. Pasien dengan tanda-tanda, gejala, dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah ke penyakit rheumatologic dievaluasi lebih lanjut oleh konsultasi rheumatologi. Beberapa variabel yang dinilai, termasuk usia saat onset muncul, jumlah dan durasi serangan, penyakit sistemik terkait, waktu dan durasi penggunaan kortikosteroid topikal, dan waktu serta durasi penggunaan NSAID sistemik. Rekurensi peradangan sebelum memulai terapi NSAID dicatat dari dokumentasi dalam catatan grafik dari pasien yang diperoleh dari dokter merujuk, sedangkan setelah pemberian terapi NSAID tercatat pada pemeriksaan di MERSI seperti efek samping sementara pada NSAID. Perbaikan didefinisikan sebagai tidak adanya kekambuhan atau inflamasi lagi setelah berhenti terapi NSAID sistemik / terapi kortikosteroid sistemik selama minimal 6 bulan. NSAID sistemik yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah celecoxib (Celebrex, Pfizer, New York, NY) dan diflunisal (Dolobid, Merck, Rahway, NJ). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon untuk membandingkan perbedaan dari kambuh sebelum dan selama pengobatan NSAID. Mann-Whitney test digunakan untuk membandingkan perbedaan dalam tindak lanjut dan remisi antara kelompok berikut: celecoxib dan diflunisal, HLA-B27 positif dan negatif, dan kelompok pria dan wanita. Nilai P kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Penelitian ini telah disetujui oleh Institutional Review Board dari Massachusetts Eye dan Ear Infirmary dan dilakukan dalam konkordansi dengan Deklarasi Helsinki.

HASIL Usia rata-rata pada penelitian tersebut adalah 43 11,7 tahun. Ada 26 laki-laki dan 33 perempuan. Semua 59 pasien menerima terapi sistemik anti-inflamasi nonsteroid untuk rata-rata selama 21,2 5,7 bulan. Penyakit autoimun sistemik diamati pada 13 pasien (11 wanita dan 2 laki-laki): spondilitis (n = 4), juvenile idiopathic arthritis (n = 2), psoriasis (n = 2), fibromyalgia
3

(n = 1), tiroiditis Hashimoto ( n = 1), rheumatoid arthritis (n = 1), dan penyakit Crohn (n = 1). Semua pasien di follow up setidaknya 1 tahun sebelum memulai terapi dengan menggunakan NSAID. Untuk 59 pasien, rata-rata jumlah kekambuhan sebelum terapi NSAID sistemik adalah 2,84 per orang pertahun/follow up sedangkan kekambuhan menurun menjadi 0,53 per orang/tahun follow up pada terapi NSAID. Perbedaan dalam tingkat kekambuhan sangat signifikan secara statistik pada p < 0.001. Data ini ditunjukkan pada Tabel 1.

Kelompok pasien dibagi berdasarkan jenis kelamin (laki-laki= 26; perempuan= 33). Ditemukan tingkat kekambuhan sebelum diterapi NSAID 2,73 pada pria dan 2,94 pada wanita. Hal ini berkurang menjadi 0,53 pada pria dan 0,57 pada wanita setelah diterapi dengan NSAID sistemik. Semua pasien tetap dalam remisi rata-rata sekitar 18,22 bulan. Data ini ditunjukkan pada Tabel 2.

Hasilnya juga dianalisis berdasarkan pada pasien yang menerima celecoxib (n = 30) dibandingkan dengan mereka yang menerima diflunisal (n = 29). Dari 30 pasien yang menerima celecoxib, 26 menerima dosis 20 mg dan 4 sisanya pasien menerima 100 mg. Semua pasien pada diflunisal menerima 500 mg. Rata-rata follow up untuk kelompok celecoxib adalah 21,9 bulan. Tingkat kekambuhan sebelum terapi celecoxib dalam kelompok itu adalah 2.73. Kemudian turun menjadi 0,36 setelah diberikan terapi celecoxib pada kelompok tersebut. Untuk kelompok diflunisal, rata-rata follow up adalah 18,56 bulan. Tingkat kekambuhan sebelum memulai terapi diflunisal dihitung sebesar 3.0. Hal ini berkurang menjadi 0,7 setelah mereka di terapi menggunakan diflunisal. Sedangkan perbedaan antara tingkat kekambuhan pada terapi celecoxib versus terapi diflunisal secara statistik tidak ditemukan nilai yang signifikan (p = 0,165). Namun,
4

pasien pada terapi celecoxib tetap dalam remisi lagi (21 5,50 bulan) dibandingkan pada pasien yang diterapi dengan diflunisal (15,34 5,78 bulan). Perbedaan ini ditemukan secara statistik dan signifikan dengan nilai p <0.001. Terdapat satu pasien yang mengalami efek samping berupa gastrointestinal pada terapi celecoxib. Gejala-gejala akan hilang jika dosis celecoxib diturunkan dan terapi obat dihentikan. Sepuluh pasien mengalami efek samping pada kelompok terapi diflunisal. Delapan pasien mengalami efek samping gastrointestinal, 1 pasien disuria, dan 1 pasien mengeluhkan rasa kantuk yang terus-menerus. Terapi Diflunisal harus dihentikan pada 5 pasien, menunjukkan perbedaan tapi tanpa jumlah yang cukup untuk memungkinkan pengujian statistik. Data ini ditunjukkan pada Tabel 3.

Penelitian ini juga dibagi berdasarkan status HLA-B27. Rata-rata follow up pada kelompok HLAB27 positif adalah 20,43 bulan dan tingkat kekambuhan sebelum pengobatan dengan NSAID ditemukan menjadi 2.24. Pasien-pasien tetap dalam remisi selama 17 bulan pada terapi NSAID sedangkan tingkat kekambuhan saat obat NSAID diberikan adalah 0,24. Rata-rata follow up dalam kelompok HLA-B27-negatif adalah 21,84 bulan dengan tingkat kekambuhan sebelum perawatan menjadi 2,97. Lamanya remisi saat pengobatan adalah 18,84 bulan. Tingkat kekambuhan dalam kelompok ini adalah 0,66 selama pengobatan. Perbedaan dalam tingkat kekambuhan sebelum dan selama terapi NSAID pada kedua kelompok itu sangat signifikan secara statistik yaitu dengan nilai p <0.001. Data ini ditunjukkan pada Tabel 4.

DISKUSI
5

Selama 3 dekade terakhir banyak yang telah ditemukan tentang mekanisme aksi dari kelas agen yang dikenal sebagai non-steroid anti-inflamasi. Agen-agen ini banyak diresepkan di kedokteran umum untuk pengobatan penyakit rheumatologic dan terutama digunakan secara topikal dalam oftalmologi untuk pengobatan dan pengurangan edema makula cystoid, miosis intraoperatif, dan peradangan pasca operasi. Penelitian kami menunjukkan efektivitas penggunaan NSAID sistemik dalam pengobatan pasien dengan uveitis anterior akut berulang. NSAID memiliki sifat anti-inflamasi, analgesik, dan anti-piretik berdasarkan kemampuan mereka untuk menghambat sintesis prostaglandin melalui jalur (COX) siklooksigenase. Ketika jaringan rusak, baik oleh cedera atau peradangan, fosfolipid jaringan dilepaskan dan ditindaklanjuti oleh fosfolipase A2 enzim dengan rilis yang dihasilkan dari asam arakidonat (AA). COX bertindak atas AA untuk menghasilkan endoperoxidases PG-PG-G2 dan H2, yang merupakan prekursor prostaglandin (PG) di okular dan tissues. Selain itu, PG meningkatkan permeabilitas pembuluh darah okular, menimbulkan hiperemia konjungtiva, perubahan tekanan intraokular, dan meningkatkan peradangan. NSAID-dimediasi dengan penghambatan sintesis PG dalam oftalmologi. Bukti juga menunjukkan bahwa NSAID memiliki aktivitas menangkap radikal bebas dan anti-chemotactic, yang memodulasi imunitas humoral dan selular selama efek bereaksi. Inflamasi membentuk dasar kerja terapi NSAID sistemik dalam perawatan pasien dengan uveitis anterior akut berulang yang dianalisa dalam laporan ini. NSAID yang digunakan dalam penelitian ini adalah celecoxib dan diflunisal. Mekanisme spesifik dari aksi celecoxib terutama melalui penghambatan siklooksigenase-2 (COX-2). Efek samping yang paling sering adalah sakit perut, diare, dan dispepsia. Diflunisal merupakan turunan difluorophenyl dari asam salisilat dan merupakan inhibitor COX nonselektif. Efek samping yang paling sering adalah mual, muntah, sakit perut, diare, sembelit, dan dispepsia. Rothova dan rekan pada tahun 1986 menetapkan bahwa serangan uveitis biasanya kambuh dalam 100 minggu dari onset pada pasein dengan HLA-B27 positif dan dalam 58,3 minggu pada pasien dengan HLA-B27 negatif. Ini mirip dengan temuan oleh Chung pada pasien Cina dengan HLA-B27 positif, uveitis anterior kambuh dalam 78 minggu. Penelitian kami menunjukkan bahwa serangan berulang dapat dikurangi secara signifikan dan jauh dan pasien sehingga dapat menghindari terapi kortikosteroid melalui kerja terapi NSAID sistemik. Dua penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terapi NSAID sistemik dapat mengurangi peradangan dan memungkinkan pengurangan penggunaan kortikosteroid. Yang
6

pertama adalah pada anak-anak dengan iridocyclitis kronis dan yang kedua pada pasien dengan iridocyclitis arthritisassociated remaja arthritis. Salah satu studi yang mengevaluasi penggunaan adjunctive NSAID dalam pengobatan pasien dengan iridocyclitis kronis. Dalam semua kasus, iridocyclitis adalah dilemahkan dengan penambahan NSAID ke rejimen pengobatan, dan dalam beberapa kasus pengurangan steroid adalah mungkin. Penelitian kami memberikan data tambahan mengenai penggunaan NSAID untuk pasien dengan uveitis anterior berulang dan mendukung gagasan bahwa terapi tersebut efektif, hemat steroid, dan jelas patut dipertimbangkan dalam upaya untuk bebas steroid pada uveitis. Sebuah studi terbaru oleh Braakenburg dan teman-teman dalam follow up jangka panjang dan perbedaan gender pada pasien dengan HLA-B27-terkait uveitis anterior menunjukkan bahwa evolusi untuk uveitis kronis meningkat dari 14% pada 1 tahun menjadi 19% pada 10 tahun follow up. Prevalensi uveitis bilateral juga meningkat dari 5% pada 1 tahun menjadi 21% pada 10 tahun follow up. Selain itu, sinekia posterior berkembang sekitar 50% dari pasien. Suntikan steroid Periocular telah digunakan di 54% dari pasien di 10 tahun follow up. Terapi NSAID sistemik tidak digunakan pada salah satu pasien. Fakta bahwa pasien sering memerlukan pemeriksaan ophthalmologic dan terapi steroid berulang ditambah dengan waktu dan uang yang dihabiskan untuk membayar pengobatan, jam produktivitas yang hilang karena penglihatan yang buruk selama serangan (baik karena peradangan atau mydriatics) dan selama kunjungan ke dokter menimbulkan beban yang cukup besar pada pasien dan masyarakat. Penelitian kami menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan dari uveitis secara signifikan berkurang, tidak hanya di populasi pasien tersebut namun juga pada pasien yang tidak memiliki gen HLA-B27, dengan terapi NSAID sistemik memberikan penurunan angka rekuren. Profil efek samping dari celecoxib dan diflunisal berbeda, data kami menunjukkan bahwa celecoxib jauh lebih dapat ditolerir daripada yang diflunisal, meskipun efek terapi yang diperoleh oleh masing-masing adalah sama. Kepatuhan pasien memainkan peran yang sangat penting dalam kesuksesan pengobatan, tetapi dalam pengalaman kami, karena kendala persetujuan asuransi, celecoxib tidak dapat segera diresepkan dan digunakan terutama pada pasien yang tidak bisa mentolerir diflunisal. Penting untuk menyebutkan bahwa ada beberapa penelitian dalam literatur berfokus pada keamanan jangka panjang penggunaan NSAID selektif dan nonselektif. Risiko gastrointestinal serius, seperti ulkus lambung dan duodenum dengan perforasi dan perdarahan berikutnya, berhubungan dengan NSAID nonselektif seperti diflunisal. Celecoxib
7

COX-2 inhibitor selektif telah dikaitkan dengan risiko kardiovaskular yang serius seperti infark miokard dan stroke. Namun, asosiasi ini telah dibuktikan tergantung dosis dan durasi. Para pasien dalam penelitian kami tidak mengalami salah satu dari efek samping yang serius yang dijelaskan di atas. Meskipun demikian, penelitian kami tidak dirancang untuk menilai keamanan jangka panjang penggunaan NSAID. Hasil kami menunjukkan bahwa uji coba terkontrol secara acak diperlukan untuk lebih mengevaluasi efektivitas NSAID untuk pengobatan AAU berulang dan untuk menguji keamanannya untuk penggunaan jangka panjang. Tapi sampai uji coba tersebut dilakukan, data kami menunjukkan bahwa terapi NSAID sistemik menyediakan langkah menengah antara terapi kortikosteroid dan terapi jangka panjang imunosupresif dalam paradigma perawatan pada pasien dengan uveitis anterior akut berulang.

You might also like