You are on page 1of 21

PARKINSON A.

PENDAHULUAN Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif, merupakan penyakit terbanyak kedua setelah demensia Alzheimer. Penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup penderita maupun keluarga. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887. Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan. Tanda-tanda khas yang ditemukan pada penderita diantaranya resting tremor, rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural. Tanda-tanda motorik tersebut merupakan akibat dari degenerasi neuron dopaminergik pada system nigrostriatal. Namun, derajat keparahan defisit motorik tersebut beragam. Tanda-tanda motorik pasien sering disertai depresi, disfungsi kognitif, gangguan tidur, dan disfungsi autonom.

B. DEFINISI Penyakit Parkinson (paralysis agitans) atau sindrom Parkinson

(Parkinsonismus) merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency). Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat dengan usia. Penyakit ini mempunyai karakteristik terjadinya degenerasi dari neuron dopaminergik pas substansia nigra pars kompakta, ditambah dengan adanya inklusi intraplasma yang terdiri dari protein yang disebut dengan Lewy Bodies. Neurodegeneratif pada parkinson juga terjadi pasa daerah otak lain termasuk lokus ceruleus, raphe nuklei, nukleus basalis Meynert, hipothalamus, korteks cerebri, motor nukelus dari saraf kranial, sistem saraf otonom.

C. EPIDEMIOLOGI Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita seimbang. Lima sepuluh persen orang yang terjangkit penyakit Parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Penelitian epidemiologi dari Idiophatic Parkinsons Disease (IPD)

menyarankan bahwa faktor lingkungan seperti rural living, minum air yang baik, dan logam berat serta terkena hidrokarbon berpengaruh kecil, tetapi memberi kontribusi pada resiko IPD. Terjadinya IPD pada usia dini mengindikasikan bahwa akumulasi terkena dugaan toksin, faktor yang dikaitkan dengan penuaan CNS, atau yang lain seperti sel yang belum bisa dikarakterisasi mekanisme kematiannya, mungkin bertanggung jawab pada onset dan keparahan dari penyakit. Meskipun IPD adalah contoh yang jarang terjadi, faktor genetik mungkin berperan dalam menyebabkan penyakit ini, khususnya jika penyakit dimulai sebelum berusia 50 tahun. Sembilan genetik linkages dan empat gen telah diidentifikasi pada Parkinsonisme. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui.

D. PATOFISIOLOGI Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan (Baswin, 2009). Penyakit Parkinson merupakan suatu sindrom dengan gejala utama berupa trias gangguan neuromuskular: tremor, rigiditas, bradikinesia disertai kelainan postur tubuh dan gaya berjalan. Gerakan halus yang memerlukan koordinasi kerja otot skelet sukar dilakukan pasien, misalnya menyuap makanan,

mengancing baju dan menulis. Akibat gejala ini pasien sangat bergantung pada bantuan orang lain dalam kegiatan hidupnya sehari-hari. Di samping gejala utama tersebut, sering ditemukan gangguan sistem otonom berupa sialorea, seborea, hiperhidrosis. Tiga puluh persen kasus juga menderita demensia. Secara patofisiologik diketahui bahwa pada penyakit Parkinson terjadi gangguan keseimbangan neuro-humoral di ganglia basal, khususnya traktus nigrostriatum dalam sistem ekstrapiramidal. Traktus nigrostriatum, merupakan kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Untuk mengatur fungsi gerakan halus perlu ada keseimbangan antara komponen kolinergik yang merangsang dan komponen dopaminergik yang menghambat. Badan sel dari traktus ini terlokalisasi pada substansia nigra dalam otak tengah dan tampaknya Pada penyakit Parkinson terdapat kerusakan pada traktus nigrostriatum sehingga tidak ada pengiriman dopamine ke globus palidus/ neostriatum. Traktus ini bersifat dopaminergik. Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya. Gangguan keseimbangan tersebut ke arah dominasi komponen kolinergik akan menimbulkan sindrom Parkinso. Disproporsi fungsional antara kedua komponen tersebut dapat disebabkan oleh meningkatnya fungsi komponen kolinergik, yang tidak dapat diimbangi oleh komponen dopaminergik; atau sebaliknya, komponen dopaminergik yang melemah. Dopamin merupakan neurotransmitter katekolamin pada sistem saraf pusat dan pada sejumlah ganglia pada sistem saraf otonom. Baik pada sistem saraf pusat maupun pada sistem saraf perifer, dopamine merupakan senyawa awal noradrenalin dan adrenalin. Bermula dari L tirosin menjadi L-dopa (dengan bantuan enzim tirosin hidroksilase) diubah menjadi dopamine.

Peran dopamine dan asetilkolin dalam pengaturan aktivitas motorik pada striatum bersifat antagonistic. Dopamin umumnya sebagai penghambat (bersama denganGABA). Sedangkan asetilkolin umumnya bersifat memacu (bersama glutamate). Stiatm menerima masukan glutamate dari korteks yang berakhir pada neuron asetilkolin intrinsic padan pada neuron GABA yang berproyeksi ke PARS reticula substansia nigra. Sel dopamine berproyeksi ke akhiran stratium pada neuron asetilkolin intrinsic. Gejala penyakit Parkinson yang jelas baru muncul apabila lebih dari 80% neuron-neuron ini mengalami degenerasi.

E. ETIOLOGI Etiologi Parkinson sampai saat ini tidak jelas. Walaupun faktor etiologi tidak ditemukan pada mayoritas kasus, telah ditemukan suatu toksin yang dihubungkan dengan terjadinya penyakit Parkinson pada mereka yang terpajan. Toksin tersebut adalah MPTP (N-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahiropiridin). Senyawa ini ialah suatu senyawa komersial untuk sintesis organik yang secara eksperimental pada primata menyebabkan sindrom serupa penyakit Parkinson. Dugaan bahwa MPTP merupakan etiologi penyakit Parkinson diperkuat oleh 2 fakta : Berhasil dikembangkannya model penyakit Parkinson pada hewan dan observasi terjadinya Parkinsonisme yang menetap pada pasien adiksi dan seorang ahli kimia yang terpajan terhadap zat tersebut (sebagai kontaminan meperidin illegal di California). Parkinsonisme akibat MPTP serupa dengan Parkinsonisme

idiopatik dari segi patologik maupun biokimiawi dan memberikan respon baik terhadap levodopa. Diduga zat mirip MPTP tersebar luas dilingkungan dan pajanan berulang terhadap zat tersebut dalam jumlah kecil ditambah proses ketuaan menyebabkan terjadinya Parkinsonisme. Kemudian diketahui bahwa yang bersifat toksik bukan MPTP sendiri tetapi metabolitnya ion 1-metil-4-fenil piperidin (MPP+). Reaksi ini membutuhkan aktivasi oleh MAO-B (Mono-aminoksidase B). Hipotesis lain ialah mengenai radikal bebas yang diduga mendasari banyak penyakit degeneratif termasuk Parkinson. Ini disokong dengan ditemukannya penimbunan Fe di substansia nigra. Ferum meningkatkan produksi radikal hidroksil.

F. GEJALA KLINIS Berdasarkan gejala klinik Lonis Herzberg mengemukakan 5 tahap penyakit: a. Tahap 1 Gejala begitu ringan sehingga pasien tidak merasa terganggu. Hanya seorang ahli akan mendeteksi gejala dini penyakit ini. b. Tahap 2 Gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu. Biasanya berupa tremor ringan, bersifat hilang timbul. Pasien merasa ada yang tidak beres seakan-akan tangannya tidak lagi menurut perintah, sehingga gelas dan baran g lain lepas dari tangannya. c. Tahap 3 Gejala bertambah berat. Pasien sangat terganggu dan gangguan bertambah dari hari ke hari. Volume suara melemah dan menjadi monoton, wajah seperti topeng, disertai tremor dan rigiditas. Jalan dengan langkah kecil dan kecenderungan terjatuh mencolok pada tahap ini.

d. Tahap 4 Tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher, dan bahu jatuh kedepan. Ini merupakan postur khas penyakit Parkinson. Pada tahap ini umumnya pasien juga mengalami efek samping levodopa yang mengganggu karena dosis yang diperlukan cukup besar. Mental pasien saat ini juga memburuk. Harus cermat membedakan memberatnya penyakit dan efek samping levodopa. e. Tahap 5 Memburuknya gejala terjadi terutama sewaktu kadar levodopa menurun tetapi efek samping tidak memungkinkan penambahan obat. Pada tahap ini pengendalian penyakit sangat sulit dan menimbulkan keputusasaan baik pada pasien maupun keluarga. Meskipun gejala yang disampaikan di bawah ini bukan hanya milik penderita parkinson, umumnya penderita parkinson mengalami hal itu. 1. Gejala Motorik a. Tremor/bergetar

Salah satu ciri khas dari penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika sedang beristirahat. Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-mulung (pil rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau

menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang waktu istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang ( resting/ alternating tremor). Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti. Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi. b. Rigiditas/kekakuan Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan tangan yang tremor tersebut digerakkan (oleh orang lain) secara perlahan ke atas bertumpu pada pergelangan tangan, terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang bergigi sehingga gerakannya menjadi terpatah-patah/putus-putus. Selain di tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa juga terjadi di leher. Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi tidak halus lagi seperti break-dance. Gerakan yang kaku membuat penderita akan berjalan dengan postur yang membungkuk. Untuk mempertahankan pusat gravitasinya agar tidak jatuh, langkahnya menjadi cepat tetapi pendek-pendek. c. Akinesia/Bradikinesia Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa

ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar air liur. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut. d. Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat mau mulai melangkah, sedang berjalan, atau berputar balik; dan start hesitation, yaitu raguragu untuk mulai melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan sembelit. Penderita menjadi lambat berpikir dan depresi. Bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi muka serta mimic muka. Disamping itu, kulit muka seperti berminyak dan ludah suka keluar dari mulut karena berkurangnya gerak menelan ludah. e. Mikrografia Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini. f. Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson) Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan, punggung melengkung bila berjalan. g. Bicara monoton Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume suara halus ( suara bisikan ) yang lambat. h. Dimensia Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan deficit kognitif. i. Gangguan behavioral Lambat-laun menjadi dependen ( tergantung kepada orang lain ), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan

lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu yang cukup. j. Gejala Lain Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal hidungnya (tanda Myerson positif)

2. Gejala non motorik a. Disfungsi otonom Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia dan hipotensi ortostatik. Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic Pengeluaran urin yang banyak Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual, perilaku, orgasme. b. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi c. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat d. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia) e. Gangguan sensasi kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna,

penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan

berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau ( microsmia atau anosmia),

G. DIAGNOSIS Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada setiap kunjungan penderita : 1. Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk mendeteksi hipotensi ortostatik. 2. Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri dengan tangan diekstensikan, menghitung surut dari angka seratus, bila masih ada tremor dan rigiditas yang sangat, berarti belum berespon terhadap medikasi. 3. Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini penderita disuruh menulis kalimat sederhana dan menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris dengan tangan kanan dan kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk perbandingan waktu follow up berikutnya. Pemeriksaan penunjang - EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif) - CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar, hidrosefalua eks vakuo)

H. PENATALAKSANAAN TERAPI Outcome : meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalkan ketidakmampuan fisik dan efek samping yang ditimbulkan. Tujuan : 1. Pengobatan jangka pendek untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan fungis tubuh yang mengalami kecacatan 2. Pengobatan jangka panjang untuk efektivitas dan membatasi timbulnya komplikasi terapi Sasaran : komponen dopaminergik dan kolinergik di substansia nigra Terapi : a. Terapi Non Farmakologi o Fisioterapi Bertujuan untuk mengurangi rigiditas, bradikinesia dan memperbaiki

keseimbangan koordinasi gerak

o Olahraga ringan secara rutin, terutama latihan otot sendi yang terdapat pada leher, lengan, badan, dan tungkai o Dukungan keluarga dan lingkungan sekitarnya b. Terapi Farmakologi : obat Dopaminergik Sentral, Agonis Dopamin, Antikolinergik. Obat Dopamino antikolinergik, dan Penghambat Monoamin Oksidase.

Obat yang digunakan dalam penyakit Parkinson

TERAPI FARMAKOLOGI 1. Obat Dopaminergik Sentral Levodopa Substitusi defisiensi DA-striatum tidak dapat dilakukan dengan pemberian DA, sebab DA tidak melintasi sawar darah-otak. Kemudian ternyata bahwa penggunaan dopa-rasemik banyak menimbulkan efek samping yang mengganggu. Levodopa, sebagai isomer aktif lebih efektif dan kurang toksik.

Levodopa cepat diabsorpsi secara aktif terutama dari usus halus. Kecepatan absorpsi sangat tergantung dari kecepatan pengosongan lambung. Absorpsi juga dihambat oleh makanan tinggi protein akibat kompetisi asam amino dengan levodopa dalam absorpsi maupun transport ke otak. Levodopa yang dapat mencapai sirkulasi kira-kira 22-30% dosis oral; sedangkan 60% atau lebih mengalami biotransformasi di saluran cerna dan hati. Hati mengandung sangat banyak mengandung enzim dopa-dekarboksilase (dekarboksilase asam amino-I-aromatik, DC). Selain di hati, enzim ini tersebar di berbagai jaringan, juga dalam dinding kapiler di otak. Jelaslah bahwa levodopa yang mencapai jaringan otak jumlahnya sedikit sekali. Diperkirakan hanya 1% dari dosis yang diberikan mencapai SSP. Pemberian penghambat dekarboksilase mengurangi pembentukan dopamin di perifer.

Gambar 1. Metabolisme dopamin pada saraf dopamin presinaptik

Biotransformasi levodopa menghasilkan berbagai metabolit (gambar 1). Levodopa terutama dibiotransformasi menjadi DA yang dalam tahap selanjutnya cepat diubah lagi menjadi DOPAC (3,4-dihidroksi fenil asetat) oleh enzim MAO dan AD (aldehid dehidrogenase), dan HVA (asam homovanilat). Pemberian levodopa akan menyebabkan peningkatan kadar HVA dalam cairan serebrospinal (CSS). Biotransformasi menjadi metabolit lain hanya sedikit jumlahnya. Metabolit levodopa cepat sekali diekskresi melalui urin.

Mekanisme Kerja Pengubahan levodopa menjadi DA membutuhkan adanya dekarboksilase asam Lamino aromatik. Pada sebagian pasien Parkinson, aktivitas enzim ini menurun, tetapi mencukupi untuk mengubah levodopa menjadi dopamin. Kerja dopamin telah diteliti pada taraf molekular dan reseptor, dengan teknik ikatan ligan. Kesimpulan yang didapat ialah bahwa sekurang-kurangnya terdapat 2 jenis reseptor dopamin yaitu D1 dan D2. Reseptor D1 lebih terlokalisasi di badan sel dan terminal prasinaps neuron striatum dan di terminal prasinaps akson nigrostriatal yang dopaminergik. Walaupun dopamin meningkatkan aktivitas adenilat siklase homogenat ganglia basal, kebanyakan peneliti berpendapat bahwa kerja levodopa (dan bromokriptin) diperantarakan oleh reseptor D2. Selain itu kapasitas neuroleptik menimbulkan sindrom Parkinson juga dianggap terutama berdasarkan blokade reseptor D2. Karena reseptor D1 dan D2 tersebar di prasinap dan pascasinap striatum, sulit membayangkan fungsi dopaminergik pada taraf reseptor. Walaupun terdapat pertentangan kenyataan bahwa reseptor D1 yang bersifat menghambat dan reseptor D2 yang bersifat merangsang pada eksperimen elektrofisiologis, tetapi secara keseluruhan efek dopamin agaknya menghambat letupan neuron di striatum. Kira-kira 75% pasien Parkinsonisme berkurang gejalanya sebanyak 50%. Hasil pengobatan pada orang-orang tertentu menakjubkan terutama pada awal terapi. Boleh dikatakan semua gejala dan tanda membaik, kecuali demensia dan instabilitas postural. Perbaikan terjadi pada gejala bradikinesia dan rigiditas, tremor sedikit diperbaiki atau malah memburuk karena berkurangnya rigiditas. Efek samping levodopa terutama disebabkan terbentuknya dopamin di berbagai organ perifer. Hal tersebut terjadi karena diperlukan dosis levodopa yang besar untuk mendapat efek terapi yaitu peningkatan DA di nigrostriatum. Karena tujuan pemberian levodopa adalah peningkatan DA-striatum maka efek terhadap organ lain menjadi efek samping obat ini. Efek samping levodopa di perifer dapat dikurangi dengan pemberian penghambat dekarboksilase yang akan dibahas kemudian. Efek samping yang dirasakan berdampak pada sistem cerna, diskinesia dan gerakan spontan abnormal, psikis, sistem kardiovaskular, efek metabolit dan endokrin serta efek terhadap sistem lain seperti pada ginjal. Ada beberapa bentuk gejala yang umumnya timbul

setelah penggunaan jangka panjang (1-5 tahun) yaitu perpendekan masa kerja, efek pasangsurut dan pembekuan gerakan. Perpendekan masa kerja levodopa (wearing-off) yaitu gejala Parkinson timbul sebelum pasien menelan dosis berikutnya. Efek ini berkurang dengan pemberian jumlah dosis harian yang sama tetapi lebih sering misalnya dari 3 kali menjadi 5 kali sehari. Fenomena pasang-surut (on-off) ialah fluktuasi efek obat dalam waktu singkat, beberapa jam membaik lalu memburuk mendadak atau sebagian otot tubuh memperlihatkan perbaikan, lainnya tidak; terjadinya tidak berhubungan dengan waktu minum obat. Pembekuan gerakan (freezing). Secara mendadak pasien yang sedang berjalan tidak bisa melangkah atau langkahlangkahnya pendek-pendek sekali. Pembekuan gerakan ini bisa juga terjadi pada aktivitas lain. Belum ditemukan cara untuk mengatasi fenomena pasang-surut dan pembekuan gerakan ini.

INTERAKSI OBAT. Penghambat dekarboksilase. Pemberian penghambat dekarboksilase perifer (yang tidak melintasi sawar sawar darah-otak) bersama levodopa menghambat biotransformasi levodopa menjadi DA di perifer. Kejadian ini sekaligus memberikan berbagai manfaat : 1. meningkatkan jumlah levodopa yang mencapai jaringan otak sehingga memungkinkan pengurangan dosis sebanyak 75% 2. 3. pada terapi yang baru dimulai dosis efektif lebih cepat tercapai efek samping seperti mual, muntah dan efek pada sistem kardiovaskular termasuk efek hipotensi sangat berkurang karena kurangnya DA yang terbentuk di perifer 4. gejala penyakit Parkinson yang hanya timbul pada waktu tertentu dalam sehari (variasi diurnal) lebih mudah dikendalikan, bahkan frekuensi dosis harian dapat dikurangi tanpa mengurangi efek terapi 5. 6. efek antagonisme piridoksin dapat dihindari manfaat dan perbaikan gejala bagi pasien meningkat dibanding dengan pada pemberian levodopa saja Terapi kombinasi ini terutama bermanfaat terhadap gejala hipokinesia, tetapi kurang terhadap rigiditas. Terhadap gejala tremor sedikit sekali pengaruhnya dan baru terlihat setelah terapi berjalan cukup lama.

Sediaan penghambat dekarboksilase untuk pengobatan kombinasi dengan levodopa ialah karbidopa (MK-486, alfametildopahidrazin), benserazid (Ro 4-4602, seriltrihidroksibenzilhidrazin). Terapi kombinasi diberikan dalam perbandingan dosis sebagai berikut ; karbidopa : levodopa = 1 : 10 atau 1 : 4; benserazid : levodopa = 1 : 4. Piridoksin. Dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5 mg) piridoksin sudah dapat meningkatkan dekarbiksilasi levodopa di perifer, akibatnya levodopa yang mencapai jaringan otak berkurang. Efek piridoksin yang merugikan ini terlihat setelah pemberian obat penghambat dekarboksilase. Sebaiknya levodopa diberikan peroral dengan makanan untuk mengurangi iritasi. Terapi dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan secara berangsur-angsur, tetapi sebaiknya tidak melebihi 8 g sehari. Bagan yang tertera dalam Tabel 1merupakan salah satu pedoman penentuan untuk pasien yang berobat jalan. Tabel 1. PEDOMAN DOSIS LEVODOPA UNTUK PENDERITA BEROBAT JALAN Masa pengobatan Minggu ke 1 Minggu ke 2 Minggu ke 3 Minggu ke 4 Minggu ke 5 Minggu ke 6 Minggu ke 7 Minggu ke 8 Frekuensi pemberian 2 x sehari 4 x sehari 4 x sehari 3 x sehari 4 x sehari 5 x sehari 3 x sehari 3 x sehari + 500 mg di malam hari Selanjutnya bila diperlukan dosis harian dapat ditambah 500 mg setiap minggu. Dosis 125 mg 125 mg 250 mg 500 mg 500 mg 500 mg 1g 1g

Dalam hal ini dosis permulaan ialah 3-4 kali 250 mg sehari, bila pasien bersifat toleran, tiap pemberian dapat dijadikan 500 mg ; dan dosis selanjutnya ditingkatkan dengan 125-250 mg setiap 2-3 hari. Tiap pemberian tidak melebihi 1,5-2 g dan diberikan setelah makan. Dosis dinaikkan sampai mendapat efek terapi yang dikehendaki atau sampai terjadi efek samping yang membatasi peningkatan dosis lebih lanjut. Dosis optimal kira-kira 3-4 g yang tercapai pada minggu ke 6, tetapi variasi dosis efektif ialah 2-10 g sehari.

2. AGONIS DOPAMIN Beberapa zat kimia memiliki sifat dopaminergik, dengan mekanisme kerja merangsang reseptor dopaminergik sentral. Obat yang termasuk golongan ini ialah : apomorfin, piribedil, bromokriptin dan pergolin. a. BROMOKRIPTIN Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat ini lebih besar afinitasnya terhadap reseptor D2 dan merupakan antagonis reseptor D1. Organ yang dipengaruhi ialah yang memiliki reseptor dopamin yaitu SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan saluran cerna. Efektivitas bromokriptin pada penyakit Parkinson cukup nyata dan lebih nyata lagi pada pasien dengan derajat penyakit lebih berat. Kenyataan ini didukung oleh fakta : (1) efek terapi bromokriptin tidak tergantung dari enzim dekarboksilase (2) bertambah beratnya penyakit akan lebih meningkatkan sensitivitas reseptor dopaminergik (supersensitivitas denervasi). Bromokriptin menyebabkan kadar HVA dalam CSS menurun, yang memberikan kesan bahwa obat ini menghambat pembebasan DA dari ujung saraf otak. Terapi kombinasi levodopa dan bromokriptin pada penyakit Parkinson dapat mengurangi dosis levodopa sambil tetap mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan efek terapinya. Indikasi utama bromokriptin ialah sebagai tambahan levodopa pada pasien yang tidak memberikan respons memuaskan terhadap levodopa, dan untuk mengatasi fluktuasi respons levodopa dengan atau tanpa karbidipa. Bromokriptin diindikasikan sebagai pengganti levodopa bila levodopa dikontraindikasikan. Efek samping bromokriptin memperlihatkan variasi individu yang nyata. Titrasi dosis yang teliti perlu untuk menentukan dosis yang tepat. Mual, muntah dan hipotensi ortostatik merupakan efek samping awal berupa kolaps kardiovaskuler dapat terjadi. Perhatian khusus diberikan harus pada mereka yang minum antihipertensi. Pemberian obat bersama antasid atau makanan, dan memberikan dosis secara bertahap mengurangi mual yang berat. Gangguan psikis berupa halusinasi penglihatan dan pendengaran lebih sering ditemukan dibandingkan dengan pada pemberian levodopa. Turunan bromokriptin lainnya yaitu Pergilid mesilat dan Lisurid.

3.

ANTIKOLINERGIK Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan Parkinsonisme. Prototip kelompok ini ialah triheksifenidil. Termasuk dalam kelompok ini ialah : biperiden, prosiklidin, benztropin, dan antihistamin dengan efek antikolinergik difenhidramin dan etopropazin. Dasar kerja obat ini adalah mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal. Efek antikolinergik perifernya relatif lemah dibandingkan dengan atropin. Atropin dan alkaloid beladon lainnya merupakan obat pertama yang dimanfaatkan pada penyakit Parkinson, tetapi telah ditinggalkan karena efek perifernya terlalu menggangu. a. Triheksifenidil, senyawa kolinergik-nya benztropin farmakodinamik. Obat-obat ini terutama berefek sentral. Dibandingkan dengan potensi atropin, triheksifenidil memperlihatkan potensi antispasmodik setengahnya, efek mitriadik sepertiganya, efek terhadap kelenjar ludah dan vagus sepersepuluhnya. Seperti atropin, triheksifenidil dosis besar menyebabkan perangsangan otak. Ketiga senyawa kolinergik triheksifenidil yaitu biperin, sikrimin dan prosiklidin, pada umumnya serupa triheksifenidil dalam efek antiparkinson maupun efek sampingnya. Bila terjadi toleransi terhadap triheksifenidil, obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai pengganti. Benztropin tersedia sebagai benztropin meslat, yaitu suatu metasulfonat dari eter tripinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus basa tropin dan gugus antihistamin (difenhidramin). Masing-masing bagian tetap mempertahankan sifat-sifatnya, termasuk efek anti Parkinson. Efek sedasi gugus difenhidramin bermanfaat pada mereka yang justru mengalami perangsangan akibat penggunaan obat lain; khususnya pada pasien yang berusia lanjut. Sebaliknya sebagian basa tropinnya menimbulkan perangsangan.

Efek Samping Anti Parkinson kelompok antikolinergik menimbulkan efek samping sentral dan perifer. Efek Samping Sentral dapat berupa gangguan neurologik yaitu : ataksia, disartria, hipertermia; gangguan mental : pikiran kacau, amnesia, delusi halusinasi, somnolen, dan koma. Efek samping perifer serupa atropin. Triheksifenidil juga dapat

menyebabkan kebutaan akibat komplikasi glaukoma sudut tertutup; terutama terjadi bila dosis harian 15-30mg sehari. Pada pasien glaukoma sudut terbuka yang mendapat miotik, antikolinergik cukup aman untuk digunakan. Efek samping ini sangat membatasi penggunaan antikolinergik sentral. Pada kelompok pasien ini lebih aman diberi antihistamin.

Efek Terapi Obat antikolinergik khususnya bermanfaat terhadap Parkinsonisme akibat obat. Misalnya oleh neuroleptik, termasuk juga antemetik turunan fenotiazin, yang menimbulkan gangguan ekstrapiramidal akibat blockade reseptor DA di otak. Pengalaman di klinik menunjukkan bahwa pemberian antikolinergik lebih efektif daripada levodopa untuk mengatasi gejala ini. Penambahan antikolinergik golongan ini secara rutin pada pemberian neuroleptik tidak dibenarkan, antara lain disebabkan kemungkinan timbulnya akinesia tardif. Belum jelas perbedaan efek terapi antar obat antikolinergik tapi jelas ada perbedaan keterterimaan obat antar individu. Triheksifenidil juga memperbaiki gejala dasar ludah (sialorrhoea) dan suasana perasaan (mood). Selain pada penyakit Parkinson, triheksifenidil dapat juga digunakan pada sindrom atetokoriatik, tortikolis spastik dan spasme fasialis; demikian juga turunannya. Obat-obat ini digunakan sebagai pengganti triheksifenidil bila terjadi toleransi. Berbeda dengan yang lain, prosiklidin masih boleh digunakan pada pasien glaukoma dan hipertropi prostat dengan pengawasan ketat. Triheksifenidil terutama berpengaruh baik terhadap tremor, tetapi bradikinasia/akinesia dan rigiditas juga membaik. Secara keseluruhan triheksifenidil tidak seefektif levodopa pada penyakit Parkinson bukan karena obat. Efektivitas benztropin bertahan lebih lama dari antikolinergik lain.

b. Senyawa Antihistamin Beberapa antihistamin dapat dimanfaatkan efek antikolinergiknya untuk terapi penyakit Parkinson, yaitu difenhidramin, fenindamin, orfenadrin, dan klorfenoksamin. Keempat senyawa ini memiliki sifat farmakologik yang mirip satu dengan yang lainnya.

Difenhidramin diberikan bersama levodopa, untuk mengatasi efek ansietas dan insomnia akibat levodopa. Walaupun menimbulkan perasaan kantuk, obat kelompok ini dapat memperbaiki suasana perasaan, karena efek psikotropiknya menghasilkan euforia. Efek antikolinergik perifer lemah, sehingga beser ludah hanya sedikit dipengaruhi.

4. OBAT DOPAMINO-ANTIKOLINERGIK a. Amantadin Amantadin diduga meningkatkan aktivitas dopaminergik serta menghambat aktivitas kolinergik di korpus striatum. Sebagai penjelasan telah dikemukakan bahwa amantadin membebaskan DA dari ujung saraf dan menghambat ambilan presinaptik DA, sehingga memperpanjang waktu paruh DA di sinaps. Berbeda dengan levodopa, amantadin tidak meningkatkan kadar HVA dalam CSS. Mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti. Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih rendah daripada levodopa tetapi respons lebih cepat (2-5 hari) dan efek samping lebih rendah. Efektivitas amantadin tidak dipengaruhi umur, jenis kelamin, lamanya penyakit, jenis penyakit dan pengobatan tertentu. Efektivitasnya paling nyata pada pasien yang kurang baik responsnya terhadap levodopa. Pemberian amantadin dan levodopa bersama-sama bersifat sinergis. b. Antidepresi trisiklik Impiramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek anti Parkinsonnya kecil sekali, tetapi bila dikombinasi dengan antikolinergik dapat sangat bermanfaat. Dengan kombinasi ini, selain meningkartkan perbaikan rigiditas dan akinesia, gejala depresi juga diperbaiki.

5.

Penghambat Monoamine Oksidase- B (Mao-B) Selegilin Selegilin merupakan penghambat MAO-B yang relative spesifik. Saat ini dikenal dua bentuk penghambat MAO, tipe A yang terutama berhubungan dengan deaminasi oksidatif norepinefrin dan serotonin, tipe B yang memperlihatkan aktivitas terutama pada dopamin.

Penghambat MAO-A menyebabkan hipertensi bila terdapat tiramin yang masuk dari makanan, demikian juga bila dikombinasi dengan levodopa. Selektivitas ini hanya berlaku untuk dosis sampai 10mg/hari. Selegilin menghambat deaminasi dopamin sehingga kadar dopamin di ujung saraf dopaminergik lebih tinggi. Selain itu ada hipotesis yang mengemukakan bahwa selegilin mungkin mencegah pembentukan neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi oleh MAO-B. Secara eksperimental pada hewan, selegilin mencegah Parkinsonisme akibat MPTP. Mekanisme lain diduga berdasarkan pengaruh metabolitnya yaitu N-desmetil

selegilin, L-metamfetamin dan L-amfetamin. Isomer ini 3-10 kali kurang poten dari bentuk D. Metamfetamin dan amfetamin menghambat ambilan dopamin dan meningkatkan

penglepasan dopamin. Pada pasien penyakit Parkinson lanjut penambahan selegilin pada levodopa meringankan fenomen wearing off. Fenomen pasang surut dan pembekuan gerakan tidak jelas dipengaruhi. Penambahan selegilin memungkinkan pengurangan dosis levodopa 1030%. Dengan demikian efek samping levodopa berkurang. Pemberian selegilin tunggal pada awal penyakit agaknya menghambat progresivitas penyakit Parkinson sehingga menunda keperluan pengobatan dengan levodopa.

PEMILIHAN OBAT PARKINSON Ditinjau dari segi manfaat, para ahli sepakat bahwa kombinasi levodopa dengan karbidopa merupakan obat penyakit Parkinson yang paling efektif. Pertentangan utama dalam pengobatan penyakit Parkinson berpusat pada penentuan saat pengobatan dimulai. Sebagian besar para klinisi cenderung menunda pengobatan sampai kombinasi ini benarbenar diperlukan atas alasan bahwa efektifitasnya hanya bertahan kira-kira 5 tahun. Lainnya berpendapat bahwa kegagalan terapi dengan levodopa/karbidopa tidak berkaitan dengan lamanya terapi tetapi lebih dengan progresivitas penyakit. Data terakhir menyarankan bahwa mortalitas dan progresivitas penyakit menurun bila pengobatan diberikan lebih cepat. Pemberian levodopa/karbidopa perlu dititrasi demikian rupa untuk menghindarkan efek samping insomnia, mual dan anoreksia. Biasanya efek terapi dicapai dengan pemberian 3-4 kali sehari. Masalah dapat timbul 2-5 tahun setelah pengobatan dimulai. Levodopa efektif untuk terapi fase awal atau tingkat penyakit yang sudah lanjut. KOmbinasi

Penelitian terbatas menyarankan bahwa pemberian selegilin pada awal penyakit, menunda progresivitas penyakit dan dengan demikian menunda pengobatan dengan levodopa/karbidopa. Dari data yang ada saat ini, anjuran tersebut dapat

dipertanggungjawabkan secara medis, karena dengan dosis yang dianjurkan maka efek sampingnya sangat ringan/tidak ada. Biaya pengobatan dengan deprenil saat ini relatif mahal, ini akan merupakan kendala yang utama bagi pasien di negeri kita. Penelitian dengan deprenil masih harus dilakukan untuk mengetahui manfaatnya dalam kombinasi dengan obat antiparkinson lainnya. Selain selegilin, masih ada 3 jenis obat yang dapat diberikan sebelum atau bersama levodopa/karbidopa yaitu : dopamin agonis, amantadin, dan antikolinergik. Tidak ada pegangan kuat mana di antaranya yang terpilih untuk digunakan lebih dahulu. Efek samping obat antikolinergik yang sangat membatasi penggunaannya sebagai obat penyakit Parkinson yaitu prostatisme, glaucoma, dan memburuknya pasien dengan dementia. Efek samping tersebut juga dapat terjadi dengan amantadin. Berdasarkan kenyataan di atas pilihan jatuh pada bromokriptin atau lisurid. Kebanyakan pasien mengalami perbaikan gejala walaupun tidak sebaik yang dicapai dengan levodopa/karbidopa. Diskinesia jarang terjadi, demikian juga fenomena pasang surut dan fenomen perpendekan masa kerja. Bila agonis dopamin tidak memuaskan, amantadin atau antikolinegik dosis rendah dapat dicoba. Jarang ada pasien yang dapat dibebaskan dari gejala klinik seterusnya. Cepat atau lambat levodopa/karbidopa pasti dibutuhkan.

You might also like