You are on page 1of 6

Mengerek Kepatuhan Wajib Pajak

Kamis, 22 Nopember 2012 - 13:36

Oleh Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Pembahasan APBN tahun 2013 menetapkan tax ratio pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto sekitar 12,8 persen. Dengan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, pencapaian target tax ratio tahun 2013 harus diikuti dengan perubahan mendasar. Kepatuhan pajak masih rendah, baru 30 persen wajib pajak yang membayar pajak. Jika dibandingkan dengan kepatuhan pembayaran Malaysia yang sudah mencapai 80 persen wajib pajak terdaftar, tentu kinerja pajak Indonesia tertinggal jauh. Tidak realistis membandingkan Indonesia dengan keberhasilan Malaysia, sebelum melihat kondisi admistrasi perpajakan di Malaysia. Malaysia dengan sistem e-government moderen telah menerapkan nomorkependudukan yang unik, semacamSocial Security Number di Amerika Serikat. Pemerintah Malaysia menggunakan nomor penduduk unik untuk administrasi KTP, pendaftaran pendidikan, daftar pemilih sukan raya (Pemilu), paspor, Surat Ijin Mengemudi dan Nomor Pokok Wajib Pajak. Setiap warga memiliki SSN, jika ada perpanjangan KTP atau paspor, maka nomor SSN itu akan terus muncul di KTP dan paspor, tanpa ada perubahan. Bahkan untuk pendaftaran rekening di bank, SSN juga digunakan. Tidak ada penggandaan SSN sehingga otomatis kecil kemungkinan rekening bank dengan nama pemilik fiktif. Transaksi apapun yang dilakukan oleh warga Malaysia selalu ditempeli nomor SSN sehingga sulit bagi warga untuk melakukan penghindaran pajak. Lembaga Hasil Dalam Negeri(LHDN) Malaysia kemudian dengan mudah membandingkan transaksi keuangan yang dilakukan wajib pajak dengan laporan tahunan pajak, karena ada identitas unik warga negata. Dengan demikian, kepatuhan perpajakan Malaysia cukup tinggi dimana wajib pajak dipaksa untuk patuh karena semua diawasi LHDN. Kepatuhan perpajakan yang dipaksakan juga ada di Amerika Serikat. Badan pemerintah AS, Internal Revenue Service, sangat tegas memberi sanksi bagi penuggak pajak. Wajib pajak di AS patuh membayar pajak, karena semua transaksi keuangan dilakukan di perbankan dan diawasi IRS. Pada intinya, tidak akan tercapai kepatuhan sukarela (voluntary compliance) karena tidak ada wajib pajak yang sukarela penuh kesadaran membayar pajak. Dengan pengawasan aparatpajak, maka kepatuhan wajib (compulsory compliance) akan dapat terwujud, sehingga penerimaan pajak bisa tercapai.

Wajib pajak di Indonesia masih rendah dalam hal kesadaran membayar pajak rendah karena disebabkan berbagai faktor. Atas alasan tersebut, Ditjen Pajak telah melakukan langkah-langkah preventif. Pertama, banyak pihak yang mengatakan aparat pajak kurang memberikan sosialisasi kepada wajib pajak sehingga masyarakat yang terdaftar sebagai wajib pajak, belum melaporkan dan membayar pajak. Untuk alasan ini, Ditjen Pajak memberikan sosialisasi on air maupun tatap muka kepada wajib pajak maupun calon wajak, termasuk siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Kedua, adanya kasus pegawai pajak tertangkap KPK dan memiliki rekening bank di luar kewajaran, dijadikan alasan oleh masyarakat untuk tidak membayar pajak karena uang hasil pembayaran pajak akan dikorupsi oleh pegawai pajak. Untuk memberikan efek jera, DJP bekerjasama dengan KPK dan membuat sistem whistle blower, jika ada masuka dari wajib pajak. Ketiga, adanya penyalahgunaan dana proyek dari APBN dan APBD, yang dilakukan oleh oknum eksekutif dan oknum legislatif, menjadi alasan lain masyarakat bahwa membayar pajak menjadi sia-sia karena akan dikorupsi oleh pelaksana proyek. Solusi untuk hal ini diluar kewenangan DJP, karena melibatkan pihak yudikatif. Namun himbauan Presiden dan Kementerian Keuangan agar satuan kerja kementerian/lembaga negara dan pemda untuk menghemat anggaran, sudah merupakan langkah awal pencegahan korupsi. Rendahnya kepatuhan pembayaran pajak mendrong DJP untuk lebih mengintensifikan upaya persuasif dan himbauan. Jika ini tidak berhasil, maka wacana pendampingan petugas pajak dengan aparat keamanan menjadi opsi, untuk melindungi petugas pajak dari tindakan represif oleh wajib pajak. Namun demikian, dalam jangka panjang solusi ini tidak bisa dilakukan terus menerus, karena aparat keamanan memiliki tugas pokok lain, alih-alih mendampingi petugas pajak. Perlu ada upaya sistematis dengan stakeholderas lain untuk menggiring kepatuhan wajib pajak. Dalam jangka panjang, perlu dikaji (i) penerapan common identityberupa Single Identity Number (SIN) dalam sistem administrasi kependudukan dan (ii) pencatatan non cash payment. Dengan menggunakan SIN, maka penomoran KTP, SIM, NPWP, paspor, pembukaan rekening bank, akan menggunakan nomor yang sama. Dari nomor yang identik, maka seluruh transaksi keuangan akan dapat diketahui pemilik sebenarnya. Proyek e-KTP Kemendagri dan INAFIS Polri yang ada saat ini bisa menjadi awal penerapan konsep SIN. Dengan pencatatan transaksi non tunai, transaksi bernilai miliaran rupiah terkait pembelian properti, perhiasan mewah, surat berharga dan kendaraan, akan terdeteksi karena penyedia barang dan jasa mewah jual harus melaporkan nama konsumen mereka. Transaksi ini terdeteksi karena masuk sistem perbankan. UU No.3/2011 tentang Transfer Dana mewajibkan pencantuman nama pihak yang mentransfer dan menerima transfer uang, sehingga memudahkan penghitungan pajak pihak-pihak yang melakukan transaksi tersebut. Dalam jangka pendek, dilakukan kajian penerapan (i) otomatisasi pembayaran tunai (ii) data eksternal indikasi penghasilan dan (iii) sinkronisasi pajak daerah. Banyaknya sektor UKM di Indonesia, harus diawasi dengan menegakkan aturan pendataan pembayaran (cash register) dari seluruh merchant untuk mengetahui omset penjualan sebenarnya. Jangan sampai potensi Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari wajib pajak, tidak disetorkan oleh merchant ke kas negara.

Untuk pengawasan wajib pajak diperlukan data eksternal indikasi penghasilan seperti pembelian polis asuransi, kendaraan bermotor, properti, dan surat berharga/efek. PP No.31/2011 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi Yang Berkaitan dengan Perpajakan. Mewajibkan Bank dan lembaga keuangan lain untuk melaporkan data keuangan kepada ke institusi pajak. Aturan ini belum berjalan karena terkendala aturan kerahasiaan jabatan untuk menyimpan data nasabah. Kajian lainnya adalah sinkronisasi pajak daerah dengan pajak pusat. Pajak daerah seperti pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan). Dari pajak restoran dan hotel jika disinkronisasi, dapat diketahui omset usaha dalam setahun. Selama ini, pembayaran pajak restoran dan hotel tidak dari omset riil, tetapi ditargetkan oleh Pemda. Bisa jadi omset restoran dan hotel lebih besar dari yang dibayar ke Pemda. Jika data ini bisa disinkronisasi, maka pajak penghasilan juga meningkat. Khusus BPHTB, dari data pembayaran BPHTB dapat diketahui potensi pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai yang harus dibayar oleh penjual properti. Dengan upaya sistematis, kepatuhan wajib pajak dapat terwujud.

http://www.pajak.go.id/content/article/mengerek-kepatuhan-wajib-pajak

Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak


Oleh Bhisma Syaputra / Senin 30 September 2013 / Tanggapi?

Tujuan pemeriksaan pajak sebagaimana dimaksudkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum.

memberikan kepastian hukum.

Wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai berikut (merujuk pada kriteria menurut Keputusan Menteri Keuangan No.: 544/KMK.04/2000 ).

Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam 2 (dua) tahun terakhir. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. Dalam 2 (dua) tahun pajak terakhir

1. Menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU. KUP, dan 2. Dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.

Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 (dua) tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba-rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh akuntan publik, dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan tersebut pada huruf d di atas. Tingkat kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan adalah merupakan tujuan utama dari pemeriksaan pajak, sehingga bagi wajib pajak yang tingkat kepatuhannya tergolong masih rendah, diharapkan dengan dilakukannya pemeriksaan terhadapnya dapat memberikan motivasi positif agar untuk masa-masa selanjutnya menjadi lebih baik tingkat kepatuhannya. Tujuan pemeriksaan pajak sebagaimana dimaksudkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada wajib pajak dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, pemeriksaan pajak juga sekaligus sebagai sarana pembinaan terhadap wajib pajak pada umumnya. Pemeriksaan untuk tujuan menguji kepatuhan wajib pajak, dilakukan dalam hal

1. SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, 2. SPT tahunan pajak penghasilan menunjukkan rugi, 3. SPT tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan, 4. SPT yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak, 5. ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada huruf c tidak dipenuhi.

Pemeriksaan untuk tujuan lain, meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam hal 1. Pemberian nomor pokok wajib pajak secara jabatan, 2. Penghapusan nomor pokok wajib pajak, 3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak, 4. Wajib pajak mengajukan keberatan, 5. Pengumpulan bahan guna penyusunan norma pengitungan penghasilan neto, 6. Pencocokan data dan atau alat keterangan, 7. Penentuan wajib pajak berlokasi di daerah terpencil, 8. Penentuan satu atau lebih tempat terutangnya pajak pertambahan nilai, dan 9. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain, selain pada huruf a s/d i, Tujuan yang terutama dari pemeriksaan pajak adalah ketaatan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan dalam rangka berjalannya sistem pemungutan pajak yang dianut oleh undang-undang perpajakan Indonesia, yaitu sistem self assessment dan sistem witholding tax, sehingga kewajiban-kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi deh wajib pajak, termasuk di dalamnya tidak terkecuali adalah kewajiban para pemungut dan pemotong pajak. Dalam statusnya sebagai wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban perpajakan adalah

Wajib pajak orang pribadi dan badan, dalam hal

1. Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, 2. Mengisi dan memasukkan SPT (masa dan tahunan), dan 3. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan.

Pengusaha kena pajak, dalam hal

1. Dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, 2. Mengisi dart memasukkan SPT masa PPN dan PPn. BM, 3. Menerbitkan Faktur Pajak dan memungut PPN.

Pemberi kerja, dalam hal memotong, menyetor dan melaporkan pajak atas gaji, upah, honorarium dan sebagainya yang dibayarkan; Pemungut PPN/PPn. BM yang terdiri dari bendaharawan pemerintah, badan-badan tertentu danKantor Perbendaharaan dan Kas Negara: memungut, menyetor, dan melaporkan PPN/PPn. BM yang dipungut dari PKP. Ketentuan ini yang sebelumnya diatur di dalam beberapa keputusan Menteri Keuangan, telah dicabut dan terhitung mulai 1 Januari 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Kuangan No. 563/KMK.03/2003 tanggal 24 Desember 2003, yang ditunjuk sebagai pemungut PPN adalah bendaharawan pemerintah dan kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Dengan demikian badan-badan tertentu tidak lagi sebagai pemungut PPN. Selain itu, yang juga harus memenuhi kewajiban perpajakan adalah:

1. Dana pensiun atau badan lain, 2. Penyelenggara kegiatan, 3. Bentuk usaha tetap, dan 4. Semua pemotong PPh. Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23/26. Tidak dipatuhinya kewajiban-kewajiban perpajakan tersebut, dapat mengakibatkan wajib pajak dikenai sanksi perpajakan, yaitu sanksi administratif berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa pidana denda dan pidana badan (kurungan/penjara), apabila ternyata kemudian dapat dibuktikan bahwa wajib pajak telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Disarikan dari buku: Pemeriksaan Pajak di Indonesia, halaman: 65-69.

- See more at: http://keuanganlsm.com/tingkat-kepatuhan-wajibpajak/#sthash.1VBHPcDN.dpuf


http://keuanganlsm.com/tingkat-kepatuhan-wajib-pajak/

You might also like