You are on page 1of 41

ASMA

Definisi Asma merupakan kelainan yang ditentukan berdasarkan karakteristik klinis, fisiologis, dan patologis. Gambaran klinis yang paling menonjol pada asma yaitu adanya sesak nafas yang episodik, terutama pada malam hari, dan seringkali disertai dengan batuk. Seringkali juga ditemukan mengi pada auskultasi. Gambaran fisiologis utama asma yaitu adanya obstruksi jalan nafas yang ditandai dengan terbatasnya aliran udara ekspiratori. Gambaran patologis pada asma adalah inflamasi jalan nafas, kadang kadang disertai dengan perubahan struktural. Asma memiliki komponen genetik dan lingkungan yang signifikan, namun karena patogenesisnya belum jelas maka definisi asma lebih bersifat deskriptif, yaitu : asma merupakan inflamasi kronis pada jalan nafas di mana banyak sel dan elemen seluler yang berperan. Inflamasi kronik tersebut berhubungan dengan hiperresponsif sehingga menyebabkan episode mengi, sesak nafas, chest tightness dan batuk yang rekurens terutama pada malam hari atau awal pagi hari. Episode ini biasanya verhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada paru yang menyebar, namun variabel dan seringkali reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan Karakteristik pada asma yang biasa ditemukan adalah atopi (adanya prick test positif atan respon klinis terhadap allergen lingkungan yang umum), hiperresposif jalan nafas (kecenderungan jalan nafas untuk menyempit secara berlebihan sebagai respon terhadap pencetus yang tidak memiliki efek ataupun memiliki sedikit efek pada individu normal), dan pengukuran sensitisasi alergi lain. Saat ini, manifestasi klinis asma gejala, gangguan tidur,terbatasnya aktivitas sehari hari, gangguan fungsi paru, dan penggunaan obat obatan daruratdapat dikontrol dengan pengobatan yang tepat. Ketika asma terkontrol, rekurensi menjadi rendah dan eksaserbasi yang berat jarang sekali terjadi. Prevalensi, Morbiditas, dan Mortalitas Asma merupakan masalah yang mendunia dan mengenai kira kira 300 juta individu dengan prevalensi global sebanyak 1 18 % yang menurun pada Amerika Utara dan Eropa Barat serta meningkat pada Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Asia. WHO memperkirakan 15 juta disability-adjusted life years

(DALYs) hilang setiap tahun karena asma, sebanyak 1% dari total tanggungan penyakit global. Kematian pada penderita asma sekitar 250.000. Faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma Faktor yang mempengaruhi resiko asma dapat dibagi 2, menjadi : faktor yang menyebabkan perkembangan asma, yaitu faktor pejamu (biasanya genetik), dan faktor yang mencetuskan gejala asma, yaitu faktor lingkungan.

Faktor Pejamu Genetik. Asma memiliki komponen yang diturunkan dan banyak gen yang terlibat dalam pathogenesis asma dan gen tersebut berbeda untuk seitap kelompok etnik. Gen yang berhubungan pada perkembangan asma difokuskan pada 4 daerah mayor, yaitu : produksi antibody IgE yang allergen spesifik (atopi), ekspresi hiperresponsif jalan nafas, pembentukkan mediator inflamasi (sitokin, kemokin, dan growth factor) dan penentuan rasio antara respon imun Th1 dan Th2. Selain berpengaruh terhadap perkembangan asma, gen tersebut juga berpengaruh terhadap respon terhadap pengobatan.

Obesitas. Obesitas merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin, dapat mempengaruhi fungsi jalan nafas dan meningkatkan keecnderungan perkembangan asma. Jenis kelamin, Jenis kelamin pria merupakan faktor resiko asma pada anak anak, terutama sebelum usia 14 tahun (2: 1). Ketika bertambah dewasa, resiko asma lebih banyak pada wanita. Alasan perbedaan yang berhubungan dengan jenis kelamin belum jelas. namun, ukuran paru paru pria lebih kecil daripada wanita pada saat lahir tetapi lebih besar saat dewasa. Faktor Lingkungan Allergen. Walaupun allergen telah diketahui dengan baik menyebabkan eksaserbasi asma namun peran spesifiknya dalam perkembangan asma belum diketahui sepenuhnya. Beberapa allergen yang biasanya mencetuskan asma diantaranya adalah : tungau, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), kecoa, jamur, ragi, serbuk sari. Infeksi. Ketika bayi, beberapa virus berhubungan dengan fenotipe asmatik. RSV dan virus parainfluenza menghasilkan pola gejala termasuk bronkhiolitis yang parallel dengan gambaran klinis asma pada anak anak. Sekitar 40% anak yang dirawat di RS karena RSV tetap mengi atau mendapatkan asma hingga setelah masa anak anak. Namun, di sisi lain, beberapa bukti juga mengindikasikan bahwa infeksi pernafasan, termasuk campak dan bahkan RSV saat awal kehidupan dapan memproteksi terhadap asma. Infeksi parasit tidak memproteksi terhadap asma namun infeksi dengan cacing tambang dapat menurunkan resiko. Hygiene hypothesis asma menjabarkan bahwa infeksi pada awal kehidupan mempengaruhi perkembangan sistem imun pada jaras non-allergenik sehingga menurunkan resiko asma dan penyakit alergi lainnya. Walaupun hipotesis ini sedang diselidiki secara kontinu, mekanisme ini dapat menjelaskan hubungan antara jumlah anggota keluarga, urutan lahir, perawatan di tempat penitipan anak, dan resiko asma. Sebagai contoh, anak yang memiliki kakak dan anak yang dirawat di penitipan anak memiliki resiko infeksi yang lebih besar namun memiliki proteksi terhadap perkembangan penyakit alergi, termasuk asma. Interaksi antara atopi dan infeksi virus merupakan hubungan yang kompleks di mana status atopi dapat mempengaruhi respon jalan nafas bawah terhadap infeksi viral dan infeksi viral dapat mempengaruhi perkembangan sensitisasi alergi. interaksi ini dapat terjadi ketika individu terpapar secara simultan oleh allergen dan virus.

Occupational sensitizer. Sekitar 300 substansi berhubungan dengan asma okupasional yang didefinisikan sebagai asma yang disebabkan oleh paparan zat yang berada di lingkungan kerja. Substansi substansi ini termasuk molekul kecil yang reaktif seperti isosianat, iritan yang dapat mengakibatkan perubahan responsivitas jalan nafas, beberapa imunogen seperti garam platinum dan produk tumbuh tumbuhan serta produk biologis hewan dapat menstimulasi produksi IgE.

Asma okupasional terutama terjadi pada orang dewasa dan occupational sensitizer mengakibatkan 1 di antara 10 orang yang terkena asma pada usia kerja. Asma juga merupakan gangguan pernafasan yang paling sering pada negara industri. Pekerjaan yang berhubungan dengan resiko tinggi asma okupasional termasuk peternak dan agricultural, melukis, pekarya kebersihan, dan pabrik plastik.

Sebagian besar asma okupasional dimediasi oleh imunologis dan memiliki periode laten beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah onset terpapar. Reaksi alergi yang dimediasi IgE dan respon allergi yang dimediasi sel termasuk di dalamnya. Paparan yang sangat tinggi terhadap iritan yang terhirup dapat mengakibatkan irritant induced asthma yang dapat terjadi walaupun pada orang non atopi. Atopi dan merokok dapat meningkatkan sensitisasi okupasional namun skrining individu terhada atopi memiliki nilai yang terbatas dalam pencegahan asma okupasional. Metode pencegahan asma okupasional yang paling penting adalah eliminasi atau menurunkan paparan terhadap occupational senisitizer. Merokok. Merokok berhubungan dengan akselerasi penurunan fungsi paru pada orang dengan asma, meningkatkan beratnya asma, dan dapat menurunkan respon obat inhalasi dan glukokortikoid sistemik, serta menurunkan kecenderungan asma untuk terkontrol. Paparan terhadap rokok prenatal dan setelah lahir berhubungan dengan resiko yang lebih besar terhadap gejala seperti asma pada awal masa anak anak. Pada ibu yang merokok saat kehamilan diketahui dapat mempengaruhi perkembangan paru anak dan meningkatkan resiko 4 kali lipat terhadap penyakit dengan mengi pada tahun pertama kehidupan. Paparan terhadap rokok (perokok pasif) meningkatkan resiko penyakit salurah nafas bawah pada bayi dan anak anak. Polusi udara outdoor/indoor. Peran polusi outdoor dalam menyebabkan asma masih controversial. Anak anak yang dibesarkan pada lingkungan yang terpolusi memiliki penurunan fungsi paru namun hubungannya dengan perkembangan asma belum diketahui. Outbreak eksaserbasi asma terjadi ketika terdapat peningkatan polusi udara dan hal ini mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar polutan ataupun allergen spesifik secara menyeluruh. Walaupun demikian, peran polutan terhadap perkembangan asma masih belum diketahui dengan jelas, Hubungan yang sama juga terjadi pada pollutan indoor seperti gas dan asap dari bahan bakar pemanas ataupun pendingin, dan infestasi kecoa. Diet. Hubungan diet terutama pada ASI berhubungan dengan perkembangan asma. Pada bayi yang mengkonsumsi susu formula atau protein kedelai memiliki insidensi yang lebih tinggi terhadap penyakit mengi pada masa awal anak anak dibandingkan dengan bayi yang disusui dengan ASI. Beberapa data juga mengindikasikan karakterisik diet barat seperti meningkatnya konsumsi makanan yang diproses dan menurunnya antioksidan (buah buahan dan sayuran), meningkatnya asam lemak

tidak jenuh n-6 (margarine dan minyak sayur), dan menurunnya asam lemak tidak jenuh n-3 (minyak ikan) berkontribusi terhadap peningkatan penyakit asma dan atopi lainnya. MEKANISME ASMA Asma merupakan penyakit inflamasi pada jalan nafas yang melibatkan beberapa sel inflamatoris dan mediator mediator inflamasi sehingga mengakibatkan perubahan patofisiologis. Walaupun belum dimengerti secara menyeluruh, pola inflamasi ini berhubungan dengan hiperresponsivitas jalan nafas dan gejala asma. Inlamasi Jalan Nafas pada Asma Spektrum klinis asma sangat variabel dan melibatkan beberapa pola seluler yang berbeda, namun adanya inflamasi jalan nafas merupakan hal yang konsisten. Inflamasi tersebut terjadi secara persisten walaupun gejala yang terjadi bersifat episodic dan hubungan antara beratnya serangan asma dan intensitas inflamasi belum ditegakkan secara jelas. Inflamasi ini meliputi semua jalan nafas namun efek fisiologisnya lebih menonjol pada bronchi yang berukuran sedang. Pola inflamasi yang terjadi sama pada semua bentuk klinis asma, alergi maupun non alergi, atau diinduksi aspirin, dan pada semua kelompok umur. Sel sel inflamasi. Pola inflamasi khas pada penyakit alergi terlihat pada asma, dengan aktivasi sel mast, meningkatnya eosinofil yang teraktivasi dan meningkatnya jumlah reseptor sel T seperti NK sel dan Th2 yang mengeluarkan mediator yang berkontribusi terhadap gejala gejala yang terjadi. Sel sel struktural pada jalan nafas juga memproduksi mediator inflamasi, dan berkontribusi terjadap persistensi inflamasi pada jalur yang bervariasi.

Mediator Inflamasi. Lebih dari 100 mediator inflamasi dikenali berperan dalam asma dan memediasi respon inflamasi kompleks pada jalan nafas.

Perubahan Struktural pada Asma. Selain terjadi respon inflamasi, perubahan struktural yang khas juga terjadi pada pasien asma. Perubahan perubahan ini berhubungan dengan beratnya penyakit dan dapat menyebabkan penyempitan jalan nafas yang ireversibel.

Patofisiologi Penyempitan jalan nafas merupakan jaras akhir yang mengakibatkan gejala dan perubahan fisiologis pada asma. Beberapa faktor berkontribusi terhadap perkembangan penyempitan jalan nafas pada asma.

Hiperresponsivitas Jalan Nafas. Hal ini merupakan abnormalitas fungsional yang khas pada asma yang mengakibatkan penyempitan jalan nafas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak berpengaruh pada individu normal. Penyempitan ini berhubungan dengan inflamasi dan perbaikan jalan nafas yang

reversibel dengan terapi. Namun mekanisme hiperresponsivitas jalan nafas ini belum dimengerti secara menyeluruh.

Mekanisme Khusus Eksaserbasi Akut. Perburukan asma yang berlangsung sementara dapat terjadi sebagai akibat paparan faktor resiko asma atau mencetuskan asma, seperti olah raga, polutan udara, dan perubahan musim. Perburukan yang lebih lama dapat terjadi dan biasanya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas oleh virus terutama rhinovirus dan RSV atau paparan allergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran nafas bawah yang dapat menetap selama beberapa hari atau minggu. Asma Nokturnal. Mekanisme yang terjadi pada perburukan asma di malam hari belum diketahui secara menyeluruh namun dapat disebabkan oleh irama sirkadian hormon yang berada dalam sirkulasi seperti epinefrin, kortisolm dan melatonin, serta mekanisme neural seperti kolinergik. Peningkatan inflamasi jalan nafas pada malam hari telah dilaporkan. Hal ini dapat mencerminkan adanya penurunan mekanisme anti inflamasi endogen. Keterbatasan Aliran Udara Ireversibel. Beberapa pasien dengan asma berat dapat terjadi keterbatasan aliran udara yang tidak reversibel dengan terapi. Hal ini dapat mengindikasikan adanya perubahan struktur jalan nafas pada asma kronik. Kesulitan untuk Mengobati Asma. Alasan mengapa pada beberapa pasien asma susah ditangani dan tidak sensitif terhadap efek glukokortikoid sistemik kurang dapat dimengerti. Hal hal yang biasanya berhubungan adalah kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan dan masalah psikologis serta psikiatris.

Walaupun demikian, faktor genetik juga dapat berkontribusi pada beberapa kasus. Pada pasien pasien ini terjadi kesulitan untuk mengobati sejak onset asma terjadi. Selain itu penutupan jalan nafas dapat mengakibatkan terperangkapnya udara dan hiperinflasi. Walaupun secara patologis, mirip dengan bentuk asma lain, pada pasien pasien ini terjadi peningkatan neutrofil, keterlibatan jalan nafas yang lebih kecil, dan lebih banyak perubahan struktural. Merokok dan Asma. Merokok mengakibatkan asma lebih sulit dikontrol dan mengakibatkan eksaserbasi yang lebih sering dan akselerasi penurunan fungsi paru serta meningkatkan resiko kematian. Pasien asma yang merokok dapat memiliki inflamasi yang didominasi oleh neutrofil pada jalan nafas dan kurang responsive terhadap glukokortikoid.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI Diagnosis yang tepat pada asma diperlukan untuk pemberian pengobatan. Gejala asma dapat intermiten dan non spesifik sehingga dapat terjadi kesalahan diagnosis. DIAGNOSIS KLINIS Gejala. Diagnosis klinis asma biasanya berdasarkan gejala gejala seperti sesak nafas episodic, mengi, batuk, dan chest tightness yang biasanya terjadi setelah paparan allergen ataupun perubahan musim. Adanya riwayat asma dan penyakit atopi pada keluarga juga dapat berguna untuk diagnosis. Diagnosis asma bersifat variabel, dipresipitasi oleh iritan non spesifik seperti asap, parfum, bau yang menyengat atau olah raga; memburuk pada malam hari ; dan berrespon terhadap terapi asma yang tepat. Beberapa pertanyaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis asma tercantum pada tabel di bawah ini :

Cough Variant Asthma. Pada pasien dengan cough-variant asthma mengalami batuk kronik sebagai gejala yang menonjol. Seringkali terjadi pada anak anak dan lebih berat pada malam hari sehingga evaluasi pada siang hari dapat normal. Untuk pasien pasien seperti ini, dokumentasi fungsi paru atau hiperresponsivitas jalan nafas dan pencarian eosinofil sputum penting dilakukan. Cough variant asthma ini harus disingkirkan dari bronchitis eosinofilik di mana pada pasien tersebut terdapat batuk dan eosinofil sputum namun dengan fungsi paru normal dan jalan nafas yang tidak hiperresponsif. Diagnosis lain yang perlu dipikirkan adalah batuk yang diinduksi oleh ACE inhibitor, GERD, postnasal drip, sinusitis kronis dan disfungsi pita suara. Bronkhokonstriksi yang Diinduksi Olah Raga. Aktivitas fisik merupakan penyebab yang penting pada pasien asma. Bronkhokonstriksi yang diinduksi olah raga secara tipikal terjadi 5 10 menit setelah

selesai berolah raga (jarang terjadi selama berolah raga). Pasien mengalami gejala asma atau kadang kadang batuk yang terus menerus yang mereda secara spontan setelah 30 45 menit. Beberapa jenis olah raga seperti berlari merupakan pencetus yang poten. Bronkhokonstriksi yang diinduksi olah raga dapat terjadi pada setiap kondisi iklim, terutama bila udara kering, dingin dan jarang pada udara panas dan lembab. Hilangnya gejala post olah raga yang cepat setelah penggunaan 2 agonist atau pencegahan dengan inhalasi 2 agonist mendukung diagnosis asma. Pada anak anak, asma dapat terjadi hanya saat olah raga. Untuk menegakkan diagnosis ini, dapat dilakukan tes lari selama 8 menit. Pemeriksaan Fisik Karena gejala asma bervariasi, pada pemeriksaan fisik sistem pernafasan dapat normal. Penemuan pemeriksaan fisik abnormal yang sering ditemukan adalah wheezing pada ekspirasi yang mengkonfirmasi adanya keterbatasan aliran udara. Walaupun demikian, pada beberapa orang dengan asma, wheezing dapat tidak ada atau hanya dapat dideteksi bila melakukan ekspirasi maksimum ataupun pada keterbatasan aliran udara yang signifikan. Kadang kadang, ada eksaserbasi berat asma, wheezing dapat tidak ada karena adanya penurunan aliran udara dan ventilasi. Walaupun demikian, pasien seperti ini memiliki tanda fisik yang merefleksikan eksaserbasi dan beratnya eksaserbasi tersebut, seperti sianosis, susah berbicara, takikardia, hiperinflasi, penggunaan otot otot aksesorius, dan resesi interkostal. Tanda klinis yang lain dapat hanya muncul pada pemeriksaan saat periode simtomatik. Hiperinflasi terjadi karena pasien bernafas dengan volume paru yang lebih besar untuk meningkatkan retraksi outward jalan nafas dan menjaga patensi jalan nafas yang lebih kecil (yang menyempit karena kontraksi otot polos pernafasan, edema , dan hipersekresi mucus). Kombinasi hiperinflasi dan keterbatasan aliran nafas pada eksaserbasi asma meningkatkan kerja pernafasan. Uji untuk Diagnosis dan Monitoring Pengukuran Fungsi Paru. Diagnosis asma biasanya berdasarkan adanya gejala yang khas. Walaupun demikian, pengukuran fungsi paru dan terutama demonstrasi adanya abnormalitas fungsi paru yang reversibel dapat meyakinkan diagnosis. Hal ini karena pasien asma seringkali kurang mengenali gejala gejala yang terjadi dan memiliki persepsi yang kurang terhadap berat ringannya gejala, terutama pada asma yang lama terjadi. Penilaian gejala seperti dyspnea dan wheezing oleh dokter juga dapat kurang

akurat. Pengukuran fungsi paru dapat menyediakan pengukuran berat ringannya keterbatasan aliran udara, reversibilitasnya, dan variabilitasnya dan juga konfirmasi diagnosis asma. Walaupun pengukuran ini tidak berkorelasi kuat dengan gejala atau pengukuran lain untuk mengontrol asma, perngukuran ini memberikan informasi mengenai aspek lain dalam pengontrolan asma. Beberapa metode digunakan untuk menilai keterbatasan aliran udara, anmun ada 2 metode yang dapat diterapkan pada pasien usia 5 tahun ke atas yaitu dengan pengukuran FEV1 (forced expiratory volume dalam 1 detik) dan FVC (forced vital capacity) serta pengukuran PEF (peak expiratory volume). Istilah reversibilitas dan variabilitas merujuk pada perubahan gejala yang terjadi seiring dengan perubahan keterbatasan aliran udara yang terjadi secara spontan ataupun sebagai respon terapi. Reversibilitas diaplikasikan secara umum sebagai peningkatan FEV1 (atau PEF) yang cepat, dalam hitungan menit, setelah inhalasi bronchodilator kerja cepat atau kemajuan yang bertahap selama beberapa hari ataupun minggu setelah diberikan controller seperti glukokortikoid inhalasi. Variabilitas merujuk pada perkembangan ataupun perburukan gejala dan fungsi paru dalam jangka waktu tertentu. Variabilitas dapat terjadi dalam 1 hari (diurnal), hari ke hari, bulan ke bulan, ataupun musiman. Mendapatkan riwayat variabilitas merupakan komponen penting dalam diagnosis asma. Variabilitas merupakan bagian dari peniliaian dalam pengontrolan asma. Spirometri direkomendasikan sebagai metode untuk mengukur keterbatasan aliran udara dan reversibilitas untuk menegakkan diagnosis asma. Derajat reversibilitas pada FEV1 yang mengindikasikan diagnosis asma yaitu > 12% dan > 200 ml dari nilai pre-bronkhodilator. Reversibilitas seringkali tidak ditemukan pada pasien asma sehingga kadang diperlukan beberapa kali test. Pada penilaiand dengan spirometri diperlukan penjelasan pada pasien untuk melakukan forced expiratory maneuver dan hasil yang diambil adalah hasil tertinggi dari 3 kali penilaian. Nilai spirometri berbeda pada etnis yang berbeda sehingga diperlukan pengukuran rasio FEV1 dan FVC. Nilai normal rasio FEV1/FVC adalah lebih dari 0,75 0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada anak anak. Nilai yang lebih rendah mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara. Pengukuran Peak Expiratory Flow dilakukan menggunakan peak flow meter dan merupakan alat yang penting untuk diagnosis dan monitoring asma. Walaupun spirometri merupakan metode yang lebih sering dipilih untuk mendokumentasikan keterbatasan aliran udara, peningkatan 60L/menit (> 20% prebronkhodilator PEF) setelah inhalasi bronchodilator ataupun variasi diurnal PEF > 20% (dengan 2 kali

pembacaan dalam 1 hari, > 10%) menegakkan diagnosis asma. Selain itu PEF dapat pula untuk mengidentifikasi penyebab gejala asma dengan pengukuran PEF setiap hari atau setelah terpapar faktor resioko atau selama olah raga atau aktivitas lain yang dapat mencetuskan asma, dan pada saat periode tidak terpapar. Pengukuran Responsivitas Jalan Nafas. Untuk pasien dengan gejala yang konsisten dengan asma namun dengan fungsi paru normal, perlu dilakukan pengukuran responsivitas jalan nafas dengan direct airway challeng seperti methacholine inhalasi dan histamine atau indirect airway challenge seperti mannitol inhalasi ataupun challenge dengan olah raga. Pengukuran ini merefleksikan sensitivitas jalan nafas terhadap faktor yang dapat menyebabkan gejala asma, dan kadang kadang disebut trigger atau pencetus dan hasil tes biasanya diekspresikan sebagai dosis/konsentrasi provokatif mengakibatkan penurunan FEV1 (biasanya 20). Test ini sensitif untuk asma namun memiliki spesifisitas yang rendah. Hal ini berarti hasil negative dapat mengekslusi diagnosis persisten asma pada pasien yang tidak mendapatkan inhalasi glukosotikoid namun hasil positif tidak selalu berarti pasien memiliki asma. Hal ini terjadi karena hiperresponsif juga rejadi pada rhinitis alergi dan keterbatasan aliran udara lain seperti pada fibrosis kistik, bronkiektasis, dan PPOK. Marker Non Invasif pada Inflamasi Jalan Nafas Evaluasi inflamasi jalan nafas yang berhubungan dengan asma dapat dilakukan dengan penilaian sputum yang diinduksi oleh larutan garam hipertonis ataupun sputum spontan untuk melihat adanya inflamasi eosinofil atau neutrofil. Selain itu, kadar nitric oksida (FeNO) dan karbon monoksida (FeCO) merupakan marker non invasive inflamasi jalan nafas pada asma. Kadar FeNO meningkat pada asma (yang tidak menggunakan glukokortikoid inhalasi) namun tidak spesifik untuk asma. Pengukuran eosinofilia pada sputum dan FeNO berguna untuk menentukan terapi yang optimal. Penilaian Status Alergi Karena hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi, adanya alergi, penyakit alergi dan rhinitis alergi meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada pasien dengan gejala respiratori. Adanya alergi pada pasien asma (tes kulit dengan allergen atau IgE serum) dapat membantu identifikasi faktor resiko yang mengakibatkan gejala asma.

DIAGNOSTIC CHALLENGE DAN DIAGNOSIS BANDING Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat dengan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel dan variabel (spirometri) dapat mengkonfirmasi diagnosis asma. Kategori berikut ini perlu juga dipikirkan, yaitu : Sindrom hiperventilasi atau serangan panic Obstruksi jalan nafas atas dan benda asing yang terinhalasi Disfungsi pita suara Bentuk lain penyakit paru obstruktif Penyakit paru non obstruktif seperti penyakit parenkim paru Gejala yang tidak disebabkan oleh pernafasan seperti gagal jantung kiri

Orang tua Asma yang tidak terdiagnosis seringkali merupakan gejala pernafasan padan orang tua dan adanya komorbid memperberat diagnosis. Mengi, sesak nagas dan batuk karena gagal jantung kiri seringkali disebut sebagai cardiac asma. Peningkatan gejala dengan olah raga dan saat malam hari dapat mengakibatkan kebingungan dalam diagnosis apakah asma atau gagal jantung kiri. Penggunaan beta blocker sering ditemukan pada kelompok usia ini. Namun anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat serta EKG dapat memudahkan diagnosis. Pada orang tua, sulit untuk membedakan asma dengan PPOK dan memerlukan percobaan pengobatan dengan bronkodilator ataupun glukokortikoid. Asma Okupasional Seringkali diagnosis asma okupasional terlewat , karena onsetnya yang mendadak seringkali didiagnosa sebagai bronchitis kronis ataupun PPOK. Adanya gejala baru rhinitis, batuk, dan atau mengi terutama pada orang yang tidak merokok perlu dicurigai. Deteksi asma okupasional ini memerlukan adanya riwayat paparan sensitizing agent, tidak adanya gejala asma sebelum bekerja,atau adanya perburukan asma setelah bekerja. Karena penatalaksanaan asma ini memerlukan penggantian pekerjaan, dan memperngaruhi sosioekonomi, diagnosis harus objektif dan memerlukan te provokasi bronchial. Selain itu dapat juga menggunakan monitor PEF setidaknya 4X dalam 1 hari selama 2 minggu saat bekerja dan saat tidak bekerja.

Menyingkirkan Asma dengan PPOK PPOK memiliki cirri khas yaitu keterbatasan aliran udara yang tidak reversibel dan biasanya progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi abnormal terhadap partikel atau gas tertentu. Namun individu asma yang terpapar gas seperti rokok dapat juga berkembang menjadi keterbatasan aliran udara yang menetap seperti PPOK. Dan bila telah terjadi hal ini, akan sulit dibedakan dengan asma. KLASIFIKASI ASMA Etiologi Banyak yang mengklasifikasikan asma berdasarkan etiologi, terutama sensitizing agents di lingkungan. Namun klasifikasi ini terbatas pada asma tanpa penyabab lingkungan. Berat Ringannya Asma Klasifikasi asma menurut GINA berdasarkan berat ringannya gejala, keterbatasan aliran udara, dan variabilitas fungsi paru, yaitu : intermitten, mild persistent, atau severe persistent. Klasifikasi ini berguna untuk penatalaksanaan saat penilaian pasien.

Kontrol Asma Kontrol asma dapat didefinisikan dalam beberapa cara. Secara umum, istilah control mengindikasikan adanya pencegahan penyakit maupun penyembuhan. Walaupun demikian, pada asma istilah ini berarti adanya kontrol terhadap manifestasi penyakit dan juga abnormalitas fungsi paru. karakteristik Terkontrol (semua) Sebagian terkontrol (beberapa muncul minggu) Gejala di siang hari Keterbatasan aktivitas Gejala nocturnal Tidak ada (<2/minggu) Tidak ada / Tidak ada >2 x/minggu Ada Ada > 3 gejala sebagian terkontrol beberapa minggu pada gejala beberapa Tidak terkontrol

terbangun Perlunya reliever/pengobatan segera Fungsi paru (PEF atau Normal FEV1) eksaserbasi Tidak ada < 1 / tahun 1 dalam beberapa < 80% Tidak ada (<2x/minggu) >2x/minggu

minggu

PENGOBATAN ASMA Tujuan dari pengobatan asma adalah untuk mengontrol keadaan klinis asma. Pengobatan asma di klasifikasikan menjadi controller dan relievers. Controller adalah obat-obatan yang digunakan sehari-hari dalam jangka panjang untuk menjaga asma tetap dalam kondisi klinis yang terkontrol. Obat-obatan ini memiliki efek antiinflamasi. Yang termasuk golongan ini adalah glukokortikosteroid sistemik ataupun inhalasi, leukotriene modifiers, long-acting inhaled 2agonists yang dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, sustained-release

theophylline, cromones, anti-IgE dll. Yang paling efektif adalah glukokortikosteroid inhalasi. Sedangkan relievers adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi

bronkokonstriksi dan mengobati gejala-gejala asma. Yang termasuk obat-obatan golongan ini adalah rapid acting Inhaled 2-agonists,antikolinergik inhalasi, short acting theophylline dan short acting oral 2-agonists.

Cara Pemberian Cara pemberian dapat berupa inhalasi, oral, parenteral ( IM, subkutan, atau IV ). Keuntungan dari pengobatan yang diberikan secara inhalasi adalah obat dapat langsung masuk ke saluran nafas, yang dapat meningkatkan konsentrasi lokal obat dalam saluran napas dan memiliki risiko sistemik yang sangat minimal.

Contoh jenis obat yang diberikan secara inhalasi : pressurized metered-dose inhalers (MDIs), breath-actuated MDIs, dry powder inhalers (DPIs), soft mist inhalers, and nebulized or wet aerosols. Pressured MDI membutuhkan training dan keterampilan untuk penggunaannya. Obatobat terdapat dalam bentuk suspense dengan chlorofluorocarbon (CFC) atau larutan dalam hydrofluoroalkanes (HFAs)

A. PENGOBATAN CONTROLLER a. Glukokortikosteroid Inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat anti inflamasi yang paling efektif untuk asma. Obat ini dapat mengurangi gejala-gejala asma, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi airway hiperresponsiveness, mengontrol inflamasi jalan nafas, mengurangi frekuensi kekambuhan dan keparahan eksaserbasi serta menurunkan mortilitas. Namun obat-obatan jenis ini tidak dapat menyembuhkan asma.

Efek samping dari obat-obatan jenis ini adalah: Efek samping lokal : kandidiasis orofaring, dysphonia, batuk yang disebabkan oleh iritasi saluran nafas bawah. Efek samping sistemik (jika digunakan dalam jangka waktu lama dan dosis yang tinggi) : mudah memar, supresi adrenal, penurunan BMD, katarak, dan glaucoma. Risiko terjadinya efek samping sistemik ini tergantung dari dosis dan potensi obat, cara pemberian, bioavailabilitas sistemik, first-pass metabolism di hati, waktu paruh obat yang diabsorpsi secara sistemik. Ciclesonide, budesonide, dan fluticasone propionate memiliki efek samping sistemik yang minimal.

b. Leukotriene Modifier Obat-obatan golongan ini adalah cysteinylleukotriene 1 (CysLT1) receptor antagonists (montelukast, pranlukast, and zafirlukast) dan 5-lipoxygenase inhibitor (zileuton). Leukotriene modifier memiliki efek bronkodilator yang minimal, dapat mengurangi gejala batuk, meningkatkan fungsi paru, mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi asma. Dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien mild persistent asthma dan pasien yang sensitif terhadap aspirin. Jika digunakan tanpa kombinasi, efek obat ini lebih rendah dibandingkan dengan glukokortikosteroid inhalasi. Leukotriene modifier yang dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi dapat mengurangi dosis glukokortikosteroid yang digunakan dan dapat meningkatkan pengontrolan asma pada pasien yang tidak dapat dikontrol dengan glukokortikosteroid. Efek samping yang ditimbulkan obat ini minimal. Zileuton dapat menyebabkan liver toxicity, oleh karena itu, fungsi hepar harus dimonitor selama terapi. Leukotriene modifier berhubungan dengan Churg-Strauss Syndrome.

c. Long acting inhaled 2 agonist Long acting inhaled 2 agonist seperti formoterol dan salmeterol, sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi karena obat-obatan ini tidak terlalu mempengaruhi inflamasi jalan nafas, sangat efektif jika dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi dan merupakan

terapi pilihan jika pengobatan dengan glukokortikosteroid dosis medium gagal dalam mengontrol asma. Penambahan long acting inhaled 2 agonist dalam regimen harian glukokortikosteroid inhalasi dapat meningkatkan symptom score, menurunkan nocturnal asthma, meningkatkan fungsi paru, mengurangi penggunaan rapid-acting inhaled 2 agonist, mengurangi frekuensi eksaserbasi serta memiliki efek klinis yang lebih cepat dibandingkan dengan glukokortikosteroid yang diberikan tanpa kombinasi. Obat yang dikombinasikan adalah fluticasone propionate + salmeterol, budesonide + formoterol. Long acting inhaled 2 agonist juga dapat mencegah timbulnya exercise-induced bronchospasm. Efek samping sistemik seperti stimulasi system kardivaskular, tremor dan hipokalemi yang ditimbulkan lebih sedikit dibandingkan dengan terapi oral.

d. Theophylline Merupakan bronkodilator dan jika diberikan dalam dosis rendah memiliki efek antiiflamasi. Sediaan yang ada adalah sustained-release. Obat ini efektif jika dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, namun kurang efektif dibandingkan dengan long acting inhaled 2 agonist. Efek samping timbul apabila digunakan dalam dosis tinggi (> 10 mg/kgBB/hari). Efek samping antara lain : GI symptoms, BAB jarang, aritmia, kejang, bahkan kematian. Mual muntah merupakan efek samping yang paling sering. Kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi metabolism theophylline adalah febris, kehamilan, pengobatan anti TB, penyakit hepar, dekompensatio kordis, obat-obatan : cimetidine, quinolone, makrolida, dapat meningkatkan toksisitas.

e. Cromones : sodium cromoglycate dan nedocromil sodium Obat ini memiliki efek anti inflamasi yang lemah dan kurang efektif dibandingkan dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efektif pada pasien dengan mild persisten asthma dan exercise-induced bronchospasm. Efek samping antara lain batuk dan sakit tenggorokan. Nedocromil sodium memiliki rasa yang tidak enak.

f. Long acting oral 2 agonist

Penggunaan long acting oral 2 agonist adalah apabila dibutuhkan bronkodilator tambahan. Jenis obatnya antara lain slow released salbutamol, terbutaline, bambuterol (prodrug terbutaline). Efek samping yang ditimbulkan lebih banyak dibandingkan sediaan inhalasi antara lain takikardi, cemas, dan tremor. Kombinasi obat ini dengan theophylline dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak boleh diberikan secara monoterapi, harus dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi.

g. Anti IgE Obat ini terbatas digunakan pada pasien dengan peningkatan kadar IgE serum. Indikasi nya adalah pada pasien asma alergi yang parah yang tidak dapat dikontrol dengan glukokortikosteroid inhalasi. Anti IgE aman digunakan untuk tambahan dalam terapi.

h. Glukokortikosteroid Sistemik Penggunaan glukokortikosteroid oral > 2 minggu dibutuhkan pada kasus asma yang berat dan tidak terkontrol, namun memiliki efek samping yang besar. Sediaan oral lebih dipilih daripada parenteral untuk terapi jangka panjang. Efek samping yang ditimbulkan antara lain osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi hypothalamicpytuitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glaucoma, penipisan kulit, mudah memar, serta kelemahan otot. Harus hati-hati menggunakan glukokortikosteroid sistemik pada pasien-pasien dengan TB, infeksi parasit, infeksi virus herpes, osteoporosis, glaucoma, diabetes, depresi yang parah atau ulkus peptikum.

i. Sedian Anti-alergi Oral Digunakan untuk pengobatan mild to moderate allergic asthma. Obat-obatnya adalah tranilast, repirinast, tazanolast, pemirolast, ozagrel, celatrodast, amlexanox, and ibudilast. Efek anti asma obat ini terbatas, dapat digunakan pada terapi asma jangka panjang. Efek sampingnya adalah sedasi.

j. Obat Controller lainnya Obat-obat ini dapat menurunkan dosis glukokortikosteroid oral yang diperlukan pada pasien severe asthma. Jika digunakan, harus dalam supervisi spesialis, karena efek samping yang besar. Contoh obatnya adalah metrotrexate, cyclosporin, troleandromycin (makrolida).

Efek samping makrolida dapat menyababkan mual, muntah, nyeri abdomen serta liver toxicity. MTX menyebabkan GI symptoms, hepatic dan diffuse pulmonary parenchymal disease serta efek pada hematologi dan teratogenik.

k. Allergen specific immunotherapy Kegunaannya dalam terapi asma masih terbatas. Terapi ini dapat menurunkan symptom score asma dan obat-obatan yang dibutuhkan serta memperbaiki airway hiperresponsiveness. Immunoterapi spesifik hanya dapat diberikan pada pasien yang sudah benar-benar menjauhi faktor-faktor pencetus asma yang ada di lingkungan dan jika glukokortikosteroid inhalasi tidak dapat mengontrol asma. Efek samping : reaksi yang ditimbulkan pada tempat injeksi, nyeri, serta respon alergi tipe lambat.

B. PENGOBATAN RELIEVER Pengobatan reliever dapat secara cepat menyembuhkan bronkokonstriksi ada gejalagejala akut yang menyertainya. a. Rapid acting inhaled 2 agonist Rapid acting inhaled 2 agonist merupakan terapi pilihan untuk menyembuhkan bronkospasme selama eksaserbasi akut asma dan sebagai pretreatment dari exercise-induced bronchoconstriction. Yang termasuk obat-obatan golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, reproterol, dan pirbuterol. Formeterol, long acting 2 agonist, dipilih untuk menghilangkan gejala karena memilki onset kerja yang cepat, namun hanya digunakan pada pasien yang sudah rutin menggunakan terapi controller dengan glukokortikosteroid inhalasi. Rapid acting inhaled 2 agonist hanya digunakan jika diperlukan saja dengan dosis yang paling rendah dan frekuensi ynag sesuai. Kegagalan dalam menyembuhkan gejala dalam waktu yang singkat dalam menggunakan 2 agonist selama eksaserbasi mengindikasikan diperlukanannya terapi jangka pendek dengan glukokortikosteroid oral. Efek samping dari obat ini tidak sebanyak efek samping yang ditimbulkan jika menggunakan sediaan oral (tremor, takikardi).

b. Glukokortikosteroid Sistemik Glukokortikosteroid sistemik umumnya tidak dianggap sebagai terapi reliever, namun sangat bermanfaat untuk terapi eksaserbasi akut asma yang berat karena obat ini dapat mencegah progresi dari eksaserbasi asma, dapat mengurangi risiko di pasien rujuk ke UGD dan di rawat, mencegah relapse setelah perawatan gawat darurat, dan dapat menurunkan morbiditas penyakit. Efek utama dari glukokortikosteroid sistemik pada serangan akut asma dapat terlihat setelah 4 sampai 6 jam. Dosis glukokortikosteroid oral untuk eksaserbasi adalah 40-50 mg, prednisone diberikan tiap hari sampai 5-10 hari tergantung dari berat nya eksaserbasi. Jika gejala sudah berkurang dan fungsi paru sudah membaik, maka dosis di tapering off. Efek samping yang ditimbulkan dari terapi glukokortikosteroid sistemik jangka pendek dalam dosis yang tinggi adalah gangguan metabolism glukosa, meningkatnya nafsu makan, retensi cairan, penambahan berat badan, moon face, perubahan mood, hipertensi, ulkus peptikus, dan aseptic necrosis pada femur.

c. Anti kolinergik Efek dari antikolinergik adalah bronkodilator. Preparat yang digunakan untuk asma adalah iprapropium bromide dan oxitropium bromide. iprapropium bromide inhalasi kurang efektif sebagai terapi reliever dibandingkan dengan rapid acting inhaled 2 agonist. Antikolinergik dapat meningkatkan fungsi paru dan menurunkan risiko untuk dirawat di RS. Obat golongan ini diberikan sebagai terapi alternative pada pasien yang mengalami efek samping jika menggunakan rapid acting inhaled 2 agonist. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan secara inhalasi antara lain mulut kering, dan bitter taste.

d. Theophylline Short-acting theophylline digunakan untuk menyembuhkan gejala-gejala asma. Kegunaan theophylline dalam eksaserbasi asma masih menjadi kontroversi. Throphylline tidak memiliki efek bronkodilator tambahan dibandingkan rapid acting inhaled 2 agonist. Efek samping theophylline dapat dihindari dengan menggunakan dosis yang sesuai dan monitoring terapi. Short-acting theophylline tidak boleh diberikan pada pasien yang sudah dalam terapi sustained-release theophylline.

e. Short-acting oral 2 agonist Short-acting oral 2 agonist tepat diberikan pada beberapa pasien yang tidak dapat menggunakan sediaan inhalasi. Namun, efek samping yang ditimbulkan sangat berat.

C. PENGOBATAN ALTERNATIF Keuntungan pengobatan alternatif pada pasien asma masih diragukan. Yang termasuk pengobatan ini antara lain akupuntur, homeopathy, terapi herbal, terapi ayurvedic, ionizer, osteopathy dan chiropractic manipulation.

PENATALAKSANAN Studi klinis telah menunjukkan bahwa asma dapat terkontrol secara efektif dengan mengurangi proses inflamasi pada asma dan juga mengobati bronkokonstriksi serta gejala-gejala lainnya. Intervensi awal untuk mencegah paparan terhadap faktor pencetus dapat membantu mengontrol asma dan mengurangi penggunaan obat-obatan asma. Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah untuk: mencapai dan mempertahankan kontrol dari gejala asma mempertahankan kemampuan aktivitas normal, termasuk dalam latihan jasmani mempertahankan fungsi paru-paru sedekat mungkin dengan fungsi normalnya mencegah eksaserbasi asma menghindari efek samping yang diperoleh dari pengobatan asma mencegah kematian

Penatalaksanaan asma tergantung pada lima komponen berikut: a. b. c. d. e. Kerjasama pasien-dokter Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma Penanganan eksaserbasi asma Pertimbangan khusus

A.

Kerjasama pasien-dokter Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk menjadikan pasien asma memperoleh pengetahuan, kepercayaan, dan kecakapan dalam penatalaksanaan asma.

Penatalaksanaan ini memerlukan hubungan yang baik antara pasien asma dan pelayan kesehatan atau keluarga pasien sekiranya pasien merupakan anak kecil. Komponen ini bertujuan membentuk pasien yang kemampuan mengawal kondisi asma mereka dengan dibantu oleh tenaga pelayanan medis yang profesional. Cara ini dapat dicapai melalui persefahaman pasien tentang sasaran pengobatan, membuat jadwal pengobatan dan monitoring secara mandiri dan follow-up yang rutin dengan tenaga pelayanan medis. Penyuluhan ke pasien ini merupakan pendekatan inti antara kerjasama dokter dan pasien dan relevan pada pasien asma untuk semua peringkat umur. Tindakan mandiri pasien asma dapat membantu pasien mengubah pola pengobatan sekiranya terdapat perubahan dalam tingkat keparahan asma pasien. Ini berpandukan pada gejala dan/atau volume espirasi maksimal berserta panduan bertulis dari tenaga medis yang profesional.

B.

Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko Pencegahan Asma Pencegahan timbulnya asma dapat dengan cara mencegah sensitisasi oleh alergen (faktor risiko) atau mencegah terjadinya perkembangan penyakit asma pada orang yang telah tersensitisasi. Telah diketahui bahwa sensitisasi alergi dapat timbul sejak masa prenatal, tetapi belum ada data mengenai dosis dan waktu paparan dari alergen yang akan menimbulkan sensitisasi prenatal ini, dan belum ada cara yang tepat untuk mencegah hal ini. Pencegahan Gejala dan Eksaserbasi Asma Eksaserbasi asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang disebut sebagai pencetus (trigger). Pencetus dapat berupa alergen, infeksi virus, polutan, dan obat. Mengurangi paparan pasien terhadap faktor-faktor tersebut akan meningkatkan kontrol terhadap asma dan mengurangi kebutuhan akan penggunaan obat asma. Pemberian obat yang tepat untuk mengontrol asma adalah berperan penting, karena pasien akan menjadi kurang sensitif terhadap faktor pencetus apabila gejala asmanya berada dalam kontrol yang baik.

C.

Penilaian, pengobatan, dan monitor gejala asma Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma digunakan untuk penatalaksanaan

jangka panjang pada penderita asma. Penilaian Kontrol Asma Penilaian untuk kontrol pasien asma dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.
Karakteristik Gejala harian Keterbatasan aktivitas fisik

Tingkat Kontrol Dari Asma


Terkontrol - ( 2x/minggu) dalam Terkontrol Sebagian 2x/minggu (+) Tidak Terkontrol Tiga atau lebih dari terkontrol dapat

karakteristik tingkat

Gejala malam hari Penggunaan reliever Fungsi paru

- ( 2x/minggu)

(+) 2x/minggu < 80% prediksi/nilai terbaik 1x/tahun

sebagian (+)/minggu

(APE Normal

atau VEP1) Eksaserbasi -

1x

Pengobatan Untuk Mengontrol Asma Tingkat kontrol asma dari seorang pasien dan pengobatan yang didapat

sebelumnya menentukan pemilihan obat untuk mengontrol asma. Jika asma tidak terkontrol dengan regimen pengobatan sebelumnya, maka pengobatan ditingkatkan sampai asma terkontrol. Jika kontrol asma dapat dipertahankan selama paling sedikit 3 bulan, maka pengobatan dapat diturunkan untuk mencapai dosis serendah mungkin dalam mengontrol asma.

Monitor dan Mempertahankan Kontrol Asma Ketika kontrol asma telah tercapai, monitoring lebih lanjut diperlukan untuk

mempertahankan kontrol dan meminimalisir biaya serta memaksimalkan keamanan dari pengobatan. Pengobatan harus disesuaikan secara berkala, sesuai dengan tingkat kontrol asma pasien.

D.

Penanganan eksaserbasi asma Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

Bagan 2.

Penilaian awal Anamnesis dan pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, denyut jantung, frekuensi nafas), APE atau VEP, saturasi O2, AGD Pengobatan awal Oksigen untuk mencapai saturasi O2 90 % Inhalasi agonis 2 kerja, kontinu selama satu jam Glukokortikosteroid sistemik jika tidak ada respon, atau pasien sedang dalam penggunaan glukokortikosteroid sistemik, atau serangan asma berat Penggunaan sedatif merupakan kontraindikasi pada keadaan eksaserbasi

Dinilai setelah satu jam Pemeriksaan fisik, APE, saturasi O2, dan pemeriksaan lain yang diperlukan

Kriteria episode sedang: APE 60-80% prediksi/nilai terbaik Pemeriksaan fisik: gejala serangan asma sedang, penggunaan otot nafas bantu Pengobatan: a. oksigen b. beta-2 agonis hirup dan antikolinergik hirup setiap 60 menit c. glukokortikosteroid oral Lanjutkan pengobatan sampai 1-3 jam

Kriteria episode berat: Riwayat faktor risiko pencetus asma APE <60% prediksi/nilai terbaik Pemeriksaan fisik: gejala serangan asma berat, retraksi otot dinding dada Tidak ada perbaikan setelah pengobatan awal

Dinilai setelah 1-2 jam

Respon baik setelah 1-2 jam: respon (+) dalam 60 menit setelah pengobatan terakhir pemeriksaan fisik: normal, tidak ada distres APE >70% Saturasi O2 >90%

Respon inkomplit dalam 1-2 jam: faktor risiko pemeriksaan fisik: gejala ringan sedang APE <60% Saturasi O2 tidak membaik

Respon buruk dalam 1-2 jam: Faktor risiko Pemeriksaan fisik: gejala berat, mengantuk, gelisah APE <30% PCO2 > 45 mmHg P O2 <60 mmHg

Dirawat di RS: oksigen beta-2 agonis hirup antikolinergik glukokortikosteroid sistemik Mg i.v Monitor APE, saturasi O2, denyut nadi

Dirawat di ICU: oksigen beta-2 agonis + antikolinergik glukokortikosteroid i.v pertimbangkan beta2 agonis i.v pertimbangkan teofilin i.v intubasi dan ventilasi mekanik

Penilaian ulang

Perbaikan: Kriteria pulang: - APE > 60% prediksi/nilai terbaik - Pengobatan oral/inhalasi Pengobatan di rumah: lanjutkan beta-2 agonis hirup pertimbangkan, glukokortikosteroid oral pertimbangkan kombinasi tambahan: inhaler edukasi pasien

Respon buruk: - masuk ICU

Respon inkomplit dalam 6-12 jam: - pertimbangkan untuk masuk ICU bila tak ada perbaikan dalam Ada perbaikan 6-12 jam

E.

Pertimbangan khusus Pertimbangan khusus dibutuhkan untuk penanganan asma pada: kehamilan; pembedahan;

rinitis, sinusitis, dan polip nasal; asma karena pekerjaan; infeksi saluran respiratorik; refluks esofageal; asma terinduksi aspirin; dan anafilaksis.

Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, seperti: 1. Mencegah ikatan alergen-IgE Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan hiposensitisasi. 2. Mencegah pelepasan mediator Antara lain dengan pemberian natrium kromolin, agonis beta 2, maupun teofilin. 3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah agonis beta 2, dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Epinefrin subkutan diberikan pada serangan asma berat, dianjurkan hanya untuk anak atau dewasa muda. Aminofilin: digunakan pada serangan asma akut Kortikosteroid: bukan golongan bronkodilator, tetapi secara tidak langsung dapat melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan. 4. Antikolinergik

Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas Dapat diberikan natrium kromolin atau dengan kortikosteroid baik per oral, parenteral atau inhalasi.

Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi: a. Pencegah (controller) Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga agar gejala asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk golongan ini antara lain Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers, beta 2 agonis inhalasi kerja panjang

dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin lepas lambat, kromon, dan anti IgE. Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan pencegah yang paling efektif saat ini. b. Penghilang gejala (reliever) Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk golongan ini adalah beta 2 agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin kerja cepat, dan beta 2 agonis oral kerja cepat. Pengobatan Farmakologis Berdasarkan Anak Tangga
Derajat Klinis Sebelum Pengobatan Asma Intermiten seminggu serangan singkat - gejala intermiten 1x >80% <20%) Bila timbul serangan dapat digunakan agonis beta 2 hirup, bila serangan berat timbul, ditambahkan pemberian glukokortikoid sistemik. (jamhari) - serangan malam 2x/bulan Asma Persisten Ringan (<1x per hari) - serangan mengganggu aktivitas & tidur serangan malam (var: 30%) 20- Alternatif: teofilin lepas lambat, kromolin, nedokromil anti-leukotrien, - gejala >2x seminggu 80% Glukokortikoid hirup dosis rendah (var: Tidak diperlukan Nilai VEP1 Obat Pencegah Harian

>2x/bulan Asma Persisten -gejala (+) setiap hari > 60%-< Glukokortikoid dosis rendah-sedang hirup dan agonis beta-2 hirup kerja

Sedang

-serangan mengganggu 80% aktivitas & tidur (var: >30%) -serangan >1x/minggu malam

panjang. Alternatif: teofilin anti-leukotrien atau

Asma Persisten Berat

-gejala terus menerus, 60% sering serangan -aktivitas fisik terbatas karena gejala asma -serangan malam sering mendapat (var: > 30%)

Glukokortikoid hirup dosis tinggi dan beta-2 agonis hirup kerja

panjang, dan jika perlu ditambahkan glukokortikoid tabl atau sirup kerja panjang (2 mkg/hari,

maks. 60 mg/hari).

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma Management And Prevention. MRC Vision Inc. 2008. 2. Kasper, D. L., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine: Asthma. 16th Edition. McGraw-Hill Professional. 2004.

Clinical Science Session

ASMA
Disusun oleh : Hanna Tetty E.S 1301 1209 0086

SUB-BAGIAN PULMONOLOGI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FK UNPAD / RS dr. HASAN SADIKIN BANDUNG 2010

You might also like