You are on page 1of 26

EMFISEMA A. KONSEP DASAR 1.

DEFINISI Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat berkurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveolus. Kerusakan dapat terbatas hanya di bagian sentral lobus, dimana dalam hal ini yang paling terpengaruh adalah integritas dinding bronkiolus, atau dapat mengenai paru keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan alveolus. Ada 4 jenis emfisema yaitu: Emfisema sentrilobuler (sentriasiner), mengenai ruang udara di bagian tengah lobulus. Emfisema panlobuler (panasiner), mengenai seluruh ruang udara sebelah distal dari bronkiolus terminalis. Emfisema paraseptal (distal asinus), mengenai ruang udara sebelah tepi lobus, terutama yang dekat dengan pleura. Emfisema ireguler, secara tidak teratur mengenai asinus respiratorus. 2. ETIOLOGI Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan tetapi, pada sedikit pasien (dalam presentase yang kecil) terdapat predisposisi familial terhadap emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-1, yang merupakan suatu enzim inhibitir. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara genetik sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen) dan pada waktunya mengalami gejala-gejala obstruktif kronis. 3. PATOFISIOLOGI Pada emfisema, beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu: inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastis jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan (suatu proses yang dipercepat oleh infeksi kambahan), area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.

Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor-pulmonal) adalah salah satu komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena leher, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung. Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronik dengan demikian menetap dalam paru-paru yang mengalami emfisema, memperberat masalah. Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik (ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas) ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru-paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang. Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian atas secara abnormal bentuknya menjadi membulat atau cembung. Beberapa pasien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot aksesori pernapasan. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan. Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga berkontraksi saat inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak memungkinkan. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio dari volume ekspirasi kuat dalam 1-detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas alveoli sangat menurun. Upaya yang dibutuhkan pasien untuk menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan. Kemampuan untuk mengadaptasi terhadap perubahan kebutuhan oksigenasi sangat terganggu. 4. MANIFESTASI KLINIK Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan dada mengembang. Penurunan pertukaran gas akibat rusaknya dinding alveolus, sehingga kecepatan difusi oksigen dan karbon dioksida berkurang yang menimbulkan hipoksia dan hiperkapnia. Takipnu (peningkatan kecepatan pernapasan) akibat hipoksia dan hiperkapnia. Karena peningkatan kecepatan pernapasan pada penyakit ini efektif, maka sebagian besar individu yang mengidap emfisema tidak memperlihatkan perubahan yang bermakna dalam gas darah arteri sampai penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan pernapasan tidak dapat mengatasi hipoksia dan hiperkapnia. Akhirnya, semua nilai gas darah memburuk dan timbul hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis. Susunan saraf pusat dapat tertekan

akibat tingginya kadar karbon dioksida (narkosis karbon dioksida). Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronkitis kronik adalah pada emfisema tidak terjadi pembentukan mukus. 5. KOMPLIKASI

Hipertensi paru akibat vasokonstriksi hipoksik paru kronik, yang akhirnya menyebabkan kor pulmonale. 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG Gejala-gejala pasien dan temuan klinis saat pemeriksaan fisik memberikan petunjuk awal pada masalah pasien. Pemeriksaan diagnostik lainnya termasuk rontgen dada. Pemeriksaan fungsi pulmonari (terutama spirometri), gas-gas darah arteri (untuk mengkaji fungsi ventilasi dan pertukaran gas pulmonari), serta hitung darah lengkap (HDL). Pemeriksaan fungsi pulmonari biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami pasien dalam mendorong udara keluar dari paru-paru. Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Rontgen dada menunjukkan hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran margin interkosta, dan jantung normal. Dengan berkembangnya penyakit, gas-gas darah arteri dapat menunjukkan hipoksia ringan dan hiperkapnia. 7. PENATALAKSANAAN Pengobatan emfisema ditujukan untuk menghilangkan gejala dan mencegah perburukan keadaan. Emfisema tidak dapat disembuhkan. Pengobatan mencakup: Mendorong pasien agar berhenti merokok. Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara yang terperangkap. Memberi pengajaran mengenai teknik-teknik relaksasi dan cara-cara untuk menyimpan energi. Banyak pasien emfisema akhirnya akan memerlukan terapi oksigen agar dapat menjalankan tugas sehari-hari.

B. ASUHAN KEPERAWATAN I. PENGKAJIAN Aktivitas/istirahat Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas, ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan. Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa otot. Sirkulasi Gejala: Pembengkakan pada ekstremitas bawah. Tanda: Peningkatan TD, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher (penyakit berat), edema dependen, bunyi jantung redup, warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/ sianosis; kuku tabuh dan sianosis perifer, pucat dapat menunjukkan anemia. Integritas ego Gejala: Peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup. Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsang. Makanan/cairan Gejala: Mual/muntah, napsu makan buruk/anoreksia, ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan, penurunan berat badan menetap. Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan. Higiene Gejala: Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari. Tanda: Kebersihan buruk, bau badan. Pernapasan Gejala: Napas pendek khususnya pada kerja, lapar udara kronis, batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun, episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif, riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan pernapasan dalam jangka panjang, faktor keluarga dan keturunan, mis: defisiensi alfa-antitripsin, penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus. Tanda: Pernapasan: biasanya cepat, dapat lambat; fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur, napas bibir, penggunaan otot bantu pernapasan, dada: dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk-barrel); gerakan diafragma minimal, bunyi napas: mungkin redup dengan ekspirasi

mengi, perkusi: hipersonan pada area paru, kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus, warna: pink puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernapasan cepat, tabuh pada jari-jari. Keamanan Gejala: Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan, adanya/berulangnya infeksi. Seksualitas Gejala: Penurunan libido. Interaksi sosial Gejala: Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang terdekat, penyakit lama atau ketidakmampuan membaik. Tanda: Ketidakmampuan untuk membuat/mempertahankan suara karena distres pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain. Penyuluhan/pembelajaran Gejala: Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kesulitan menghentikan merokok, penggunaan alkohol secara teratur, kegagalan untuk membaik. Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 5,9 hari. Rencana pemulangan: Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan rumah/mempertahankan tugas rumah, perubahan pengobatan/program terapeutik. II. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi-perfusi. 2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi lendir. 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia. 4. Defisit perawatan diri b/d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi. 5. Kecemasan b/d perubahan status kesehatan. 6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit yang dideritanya. III. INTERVENSI 1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi-perfusi. Tujuan: Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan. Intervensi: 1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas bibir, ketidak

mampuan bicara/berbincang. R/ Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit. 2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan/toleransi individu. R/ Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas. 3) Berikan bronkodilator sesuai yang diharuskan. Dapat diberikan peroral, IV, rektal, atau inhalasi. Berikan bronkodilator oral atau IV pada waktu yang berselingan dengan tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB untuk memperpanjang keefektifan obat. Observasi efek samping: takikardia, disritmia, eksitasi SSP, mual dan muntah. R/ Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronkial dan spasme muskular. Karena efek samping dapat terjadi pada tindakan ini, dosis obat disesuaikan dengan cermat untuk setiap pasien, sesuai dengan toleransi dan respons klinisnya. 4) Evaluasi efektivitas tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB. Kaji penurunan sesak napas, penurunan mengi atau krekels, kelonggaran sekresi, penurunan ansietas. Pastikan bahwa tindakan diberikan sebelum makan untuk menghindari mual dan untuk mengurangi keletihan yang menyertai aktivitas makan. R/ Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodilator nebulisasi biasanya digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi. Pemberian tindakan yang tidak tepat akan mengurangi keefektifannya. Aerolisasi memudahkan klirens bronkial, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi. 5) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk yang efektif. R/ Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas & membersihkan jalan napas dari sputum. Perbaikan pertukaran gas. 6) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien. R/ Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia. 2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi lendirl. Tujuan: Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas. Intervensi: 1) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara, sebagai pengganti makan. R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma. 2) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk. R/ Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa menyebabkan sesak napas dan keletihan. 3) Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebuliser ultranik, humidifier aerosol ruangan. R/ Kelembaban menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran dan dapat membantu menurunkan/mencegah pembentukan mukosa tebal pada bronkus.

4) Bantu pengobatan pernapasan, mis: IPPB, fisioterapi dada. R/ Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyaknya sekresi/kental dan memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru. 5) Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan dalam warna sputum, peningkatan kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak di dada, keletihan, peningkatan batuk. R/ Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan konsekuensi pada individu dengan paru-paru yang normal dapat menyebabkan gangguan fatal. Pengenalan diri sangat penting. 6) Berikan antibiotik sesuai resep dokter. R/ Antibiotik untuk mencegah atau mengatasi infeksi. 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia. Tujuan: Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan berat yang tepat. Intervensi: 1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh. R/ Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat. 2) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu. R/ Rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama terhadap napsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan napas. 3) Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering. R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan meningkatkan masukan kalori total. 4) Konsultasikan dengan ahli gizi/nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah di cerna, secara nutrisi seimbang, mis: tambahan oral/selang, nutrisi parenteral. R/ Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi/kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/penggunaan energi. 5) Kaji pemeriksaan laboratorium, mis: albumin serum, transferin, profil asam amino, besi, pemeriksaan keseimbangan nitrogen, glukosa, pemeriksaan fungsi hati, elektrolit. Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi. R/ Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi. 4. Defisit perawatan diri b/d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi. Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri. Intervensi: 1) Ajarkan klien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas (mis: berjalan, membungkuk).

R/ Akan memungkinkan klien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas. 2) Berikan dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan, dan minum cairan. Bahas tentang tindakan penghematan energi. R/ Sejalan dengan teratasinya kondisi, klien mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan. 3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan. R/ Memberikan dorongan untuk terlibat dalam perawatan dirinya, membangun harga diri dan menyiapkan klien untuk mengatasinya di rumah. 5. Kecemasan b/d perubahan status kesehatan. Tujuan: Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program rehabilisasi paru. Intervensi: 1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada klien. R/ Suatu perasaan harapan atau memberikan klien sesuatu yang dapat dikerjakan dan bukan sikap yang merasa kalah tidak berdaya. 2) Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala. R/ Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan klien menjadi terkondisi. 3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi klien. R/ Relaksasi mengurangi stress dan ansietas serta membantu klien untuk mengatasi ketidakmampuannya. 4) Daftarkan klien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia. R/ Program rehabilitasi paru telah menunjukkan dapat meningkatkan perbaikan subjektif status dan harga diri pasien juga meningkatkan toleransi latihan serta mengurangi hospitalisasi. 5) Sarankan konseling vokasional untuk menggali kesempatan alternatif pekerjaan (jika memungkinkan). R/ Modifikasi pekerjaan mungkin harus dibuat dan sumber-sumber yang sesuai digunakan untuk mencapai tujuan ini. 6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit yang dideritanya. Tujuan: Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan. Intervensi: 1) Bantu klien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Ajarkan klien tentang penyakit dan perawatannya. R/ Klien harus mengetahui bahwa ada rencana dan metode dimana ia memainkan peranan yang besar, pasien harus mengetahui apa yang diperkirakan. Mengajarkan klien tentang kondisinya adalah salah satu aspek yang paling penting dari perawatannya; tindakan ini akan menyiapkan klien untuk hidup dalam dan mengatasi kondisi serta memperbaiki kualitas hidup. 2) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok, berikan informasi tentang sumber-sumber kelompok. R/ Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan mekanisme proteksi

paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun. IV. EVALUASI 1. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan. 2. Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas. 3. Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan berat yang tepat. 4. Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri. 5. Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program rehabilisasi paru. 6. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.

BAB II PEMBAHASAN II.1 Definisi Asma Penyakit asma berasal dari kata Asthma yang diambil dari bahasa yunani yang berarti sukar bernapas. Penyakit asma dikenal karena adanya gejala sesak napas, batuk yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas. Asma juga disebut penyakit paru-paru kronis yang menyebabkan penderita sulit bernapas. Hal ini disebabkan karena pengencangan dari otot sekitar saluran napas, peradangan, rasa nyeri, pembengkakan dan iritasi pada saluran napas di paru-paru. Hal lain disebut juga bahwa asma adalah penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon dari trachea dan bronkus terhadap bermacammacam stimuli yang di tandai dengan penyempitan bronkus atau bronkiolus dan sekresi berlebih dari kelenjar di mukosa bronkus. Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) pada National Institute of Health (NIH) Amerika, asma (dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan sebagai penyakit radang/inflamasi kronik pada paru, yang dikarakterisir oleh adanya : (1) penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible (dapat balik), baik secara spontan maupun dengan pengobatan, (2) peradangan pada jalan nafas, dan (3) peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (hiper- responsivitas) (NAEPP, 1997). Pada saat seseorang menderita asma terkena faktor pemicunya, maka dinding saluran mafasnya akan menyempit dan membengkak menyebabkan sesak napas. Kadang dinding saluran napas dilumuri oleh lendir yang lengket sehingga dapat menyebabkan sesak napas yang lebih parah. Jika tidak dapat ditangani dengan baik maka asma dapat menyebabkan kematian.

II.2 Klasifikasi Penyakit Asma Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : 1. Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh alegren yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada alegren spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. 2. Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap faktor yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik. Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial. 1. Faktor predisposisi Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan. 2. Faktor presipitasi A. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi) b) Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan) c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam tangan) B. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu. C. Stress Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati. D. Lingkungan kerja Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. E.Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut. II.3 Gejala-gejala Penyakit Asma Secara umum gejala penyakit asma adalah sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi dimana serinya gejala ini timbul pada pagi hari menjelang waktu subuh, hal ini dikarenakan pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang kadarnya rendah ketika pagi hari. Penderita asma akan mengeluhkan sesak napas karena udara pada waktu bernapas tidak dapat mengalir dengan lancar pada saluran napas yang sempit hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi pada saat bernapas. Pada penderita asma, penyempitan saluran napas yang terjadi dapat berupa pegerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang diproduksi secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk mengeluarkan dahak tersebut. Salah satu ciri asma adalah hilangnya keluhan diluar serangan. Artinya, pada saat serangan, penderita asma bisa kelihatan amat menderita (banyak batuk, sesak napas, hebat bahkan sampai tercekik) tetapi diluar serangan penderita sehat-sehat saja. Inilah salah satu yang membedakannya dengan penyakit lain. II.4 Patofisiologi Penyakit Asma

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya.

Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan

adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest. II.5 Manifestasi Klinik A. Asma Kronik Asma kronik ditandai dengan episode dispnea yang disertai dengan bengek, tapi gambaran klinik asma beragam. Pasien dapat mengeluhkan sempit dada, betuk atau bunyi saat bernapas. Hal ini sering terjadi saat latihan fisik yang dapat terjadi secara spontan atau berhubungan dengan allergen tertentu. Tanda-tandanya termasuk bunyi disaat ekspirasi dengan pemeriksaan auskultasi, batuk kering yang berulang atau tanda atopi. Asma dapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai gejala yang berselang. Terdapat keparahan dan remisi berulang dan interval antar gejala mingguan, bulanan atau tahunan. Keparahan ditentukan oleh fungsi paru-paru dan gejala sebelum terapi disamping jumlah obat dalam mengontrol gejala. Pasien dapat menunjukkan gejala berselang ringan yang tidak memerlukan pengobatan atau hanya penggunaan sewaktuwaktu agonis beta inhalasi. B. Asma Parah Akut Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi akut dimana inflamasi, edema jalan udara, akumulasi mukus yang berlebihan dan bronkospasmus parah yang menyebabkan penyempitan jalan udara yang serius tidak responsif terhadap terapi bronkodilator biasa. Pasien mengalami kecemasan dan mengeluhkan dispnea parah, nafas pendek, sempit dada atau rasa terbakar. Penderita mungkin hanya dapat mengucapkan kata dalam satu napas. Gejala tidak responsif terhadap penanganan biasa. Tanda termasuk bunyi yang terdengar dengan auskultasi saat inspirasi dan ekspirasi, batuk kering yang berulang, takhipnea, kulit pucat atau kebiruan dan dada yang mengembang disertai dengan retraksi interkostal dan supra klavilar. Bunyi nafas dapat hilang bila obstruksi sangat parah. II.6 Penatalaksanaan Penyakit Asma Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka kematian akibat asma Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka pendek dapat menyebabkan kematian , sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun. Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat yang tepat cara untuk menghindari faktor pencetus Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam rumah seperti tungau

1. 2. 3.

A.

B.

debu rumah alergen dari hewan, jamur, dan alergen di luar rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, ja mur, polusi udara. Obat aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma. Olah raga dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Psikoterapi dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma. Prinsip umum pengobatan penyakit asma adalah : Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya. Pengobatan pada asma ada dua yakni : Terapi Non Farmakologi Untuk terapi non farmakologi, dapat dilakukan dengan olah raga secara teratur, misalnya saja renang. Sebagian orang berpendapat bahwa dengan berenang, gejala sesak nafas akan semakin jarang terjadi. Hal ini mungkin karena dengan berenang, pasien dituntut untuk menarik nafas panjang-panjang, yang berfungsi untuk latihan pernafasan, sehingga otot-otot pernafasan menjadi lebih kuat. Selain itu, lama kelamaan pasien akan terbiasa dengan udara dingin sehingga mengurangi timbulnya gejala asma. Namun hendaknya olah raga ini dilakukan secara bertahap dan dengan melihat kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan penjelasan kepada pasien agar menghindari atau menjauhkan diri dari faktor-faktor yang diketahui dapat menyebabkan timbulnya asma, serta penanganan yang harus dilakukan jika serangan asma terjadi Terapi Farmakologi. Terapi Farmakologi Obat asma di gunakan untuk menghilangkan da n mencegah timbulnya gejala da n obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu reliever dan controller. reliever adalah obat yang cepatmenghilangkan gejala asma yaitu obstruksi saluran napas. Sedangkan controlleradalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Obat yang termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2, antikolinergik teofilin,dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis Beta-2 mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler , dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat agonis beta-2 seperti salbutamol terbutalin, fenoterol, prokaterol dan isoprenalin merupakan obat golongan simptomatik. Efek samping obat golongan agonis beta-2 dapat berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan tekanan darah, tremor, palpitasi, takikardi

dan sakit kepala. Pemakaian agonis beta-2 secara reguler hanya diberikan kepada asma kronik berat yang tidak lepas dari bronkodilator. Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator seperti ipratropium bromid dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa kering dimulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan dengan kerja agonis beta-2 yang diberikan inhalasi. Ipratropium bromid digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrim atau penderita yang disertai bronkitis kronis. Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat bronkodilator yang lemah tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena efektif, aman, dan harganya murah. Dosis teofilin per oral 4 mg/kgBB/kali pada orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek samping yang ditimbulkan pada pemberian teofilin per oral. Terutama mengenai sistem gastrointestinal seperti mual, muntah, rasa kembung dan nafsu makan berkurang. Efek samping lain adalah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi, takikardia, dan aritmia, stimulasi sistem saraf pusat. Obat yang termasuk golongan controller adalah obat anti inflamasi seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil, dan antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap lebih aman daripada kortikosteroid. Perkembangan terbaru natrium kromoglikat menghasilkan natrium nodeksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi belum mendapatkan hasil yang optimal. Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik seperti rinitis alergi. Pemberian antihismtamin selama tiga bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma. Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang paling kuat. Kortikosteroid menekan respon inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokinin mencegah kemotaksis dan aktivitas sel inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin. Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernapasan yang dipengaruhi oleh stimulasi beta-2

melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian steroid dianjurkan dengan seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan, atau dosis tunggal pagi selang sehari (alternate day) atau dosis tunggal pagi hari. Pemberian kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis, peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri hipokalemi, moonface, retensi natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom, bullneck, dan yang paling adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal. Efek samping timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama, maka lebih baik diberikan obat steroid kerja pendek misalnya prednison, hidrokortison atau metil prednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral. Kemudian diturunkan secara bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison diberikan 4 mg/kgBB secara bolus diikuti 3 mg/kgBB/6 jam secara intravena. Dosis budesonide inhalasi untuk orang dewasa bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200400 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi lebih baik dibandingkan pemberian secara sistemik karena konsentrasi obat yang tinggi pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernapasan dan bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek samping sistemik yang kecil. Penelitian dari agertoft dan pederser menunjukkan bahwa pemakaian budesonide tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid sistemik pada penderita asam kronik yang berat. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi paru dan kerusakan mukosa pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan bronkospasme pada penggunaan kortikosteroid inhalasi. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa penggunaan kortikosteroid secara inhalasi tidak menyebabkan terjadinya osteoporosis, gangguan pertumbuhan dan gangguan toleransi glukosa. Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek sampin, maka sekarang dikembangkan pemberian secara inhalasi. Keuntungan pemberian inhalasi yaitu mula kerjanya yang cepat karena obat bekerja langsung pada organ target diperlukan dosis yang kecil secara lokal dan efek samping yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan yang baik.

CARA PENGGUNAAN INHALER

a) b) c) d) e)

f) g) h)

Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin Ambillah inhaler, kemudian kocok Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler) Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif) Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh) Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi.

BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi gejala yang timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh karena itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin meningkat.

PATOFISIOLOGI ASMA Definisi Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990). Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1994) Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994) menjelaskan asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infliltrasi sel eosinofil. Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan nafas) (Joyce M. Black,1996). Menurut Crocket (1997) asthma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel. Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik) Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin,

Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin. Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas. Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus .Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif. Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik) Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas. Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 35 cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).

Asma Bronkiale Campuran (Mixed) Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Lorraine M.wilson,1995). Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring,trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis (N.L.G.Yasmin, 1995 dan Syaifuddin,1997). Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epiotel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang sisekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembulu darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapanya mencapai 100%(Lorraine M. Wilson, 1995). Asna dutabdau dengan mengi (wheezing), batuk dan rasa sesak di dada berjala atau kronis, sebagai akibat adanya bronkokonstriksi. Angka kesakitan dan kematian terus meningkat, dan meskipun telah dilakukan penelitian intensif, dasar penyebabnya masih belum diketahui. Namun terdapat 3 kelainan pada asma : sumbatan jalan napas yang sebagian reversible, inflamasi jalan napasserta hiperrespins jalan napas etrhadap berbagai rangsang. Adanya kaitan dengan alergi telah lama diketahui, dan kadar IgE plasma seringkali meningkat. Protein yang dilepaskan dari eosinofil pada reaksi inflamasi dapat merusak epitel saluran napas dan ikut berperan pada hiperrespons. Eosinofil dan sel mast melepaskan leukotrien yang menyebebakan bronkokonstriksi. Takikinin yang dilepas dari saraf sensorik pada saluran napas mungkin ikut berperan, dan didapatkan bukti adanya defisiensi VIP, suatu bronkodilator. Serangan asma lebih berat saat larut malam dan dini hari, karena seperti telah diuraikan sebelumnya, saat itu merupakan periode konstriksi maksimal irama sirkadian tonun bronkus. Udara dingin dan latihan fisik, yang keduanya biasanya menyebabkan brokokonstriksi, juga memicu serangan asma, dan pengaruh keduanya dicegah oleh penghambat sintesis atau kerja leukotrien. Rseptpr adrenergik memperantarai bronkodilatasi, dan pengobatan dengan inhalasi agonis adrenergik- merupaka terapi standar ams. Reseptor muskarinik memperantarai bronkokonstriksi, dan obat penghambat muskarinik kolinergik juga digunakan untuk pengobatan asma. Obat tambahan lain yang lazim digunakan adalah kromolin, yang menghamat pelepasan produk sel mast, dan glukokortikoid, yang menghambat respons inflamasi. Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa

tempat terdapat follikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak, (Syaifuddin,1997). Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya (Syaifuddin,1997). Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah, (Larroin M.W, 1995). Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubaungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukusa, (Syaifuddin,1997). Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yamg terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang . Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang,(Syaifuddin,1997). Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus,(Lorraine M. Wilson,1995). Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru. (Lorraine M.Wilson,1995 ). Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tianggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan menurunan tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekita 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran

udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru,(Lorraine M. Wilson,1995). Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli,(John Gibson,1995). Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah. Oksigen dapat masik ke jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikata dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah (Lorraine M.Wilson, 1995). Fungsi sebagain pengaturan keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun tambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan Pa CO2 turun akibat hiper ventilasi, (Hudak dan Gallo,1997 ). Patofisiologi Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.

Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 ) Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ). Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ). Faktor Pencetus Serangan Asthma Bronkiale Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asthma bronkiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah : (1) Alergen Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan asthma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya. (2) Infeksi saluran nafas Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asthma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga penderita asthma dewasa serangan asthmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 1991). (3) Tekanan jiwa Tekanan jiwa bukan sebagai penyebab asthma tetapi sebagai pencetus asthma, karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asthma bronkiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asthma terutama pada orang yang

agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Yunus, 1994). (4) Olah raga / kegiatan jasmani yang berat Sebagian penderita asthma bronkiale akan mendapatkan serangan asthma bila melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asthma. Serangan asthma karena kegiatan jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga. (5) Obat-obatan Beberapa pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya. (6) Polusi udara Pasien asthma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam. (7) Lingkungan kerja Diperkirakan 2 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja (Sundaru, 1991).

Dampak yang Ditimbulkan Oleh Asthma Bronkiale Dampak yang ditimbulkan oleh asma Bronkhiale adalah : Sistem Pernafasan
1.

Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas, perpendekan periode inspirasi, pemanjangan ekspirasi

Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi sternum, pengangkatan bahu waktu bernafas). a. Pernafasan cuping hidung. b. Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop. c. Batuk keras, kering dan akhirnya batuk produktif. d. Faal paru terdapat penurunan FEV1. Sistem Kardiovaskuler 1. Takikardia 2. Tensi meningkat 3. Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah) 10 mmHg pada waktu inspirasi). 4. Sianosis 5. Diaforesis 6. Dehidrasi Psikologis
1. 2.

2.

Peningkatan ansietas (kecemasan) : takut mati, takut menderita, panik, gelisah. Ekspresi marah, sedih, tidak percaya dengan orang lain, tidak perhatian.

3.

Ekspresi tidak punya harapan, helplessness.

Sosial
1. 2. 3. 4.

Ketakutan berinteraksi dengan orang lain. Gangguan berkomunikasi Inappropiate dress Hostility toward others

Hematologi
1. 2. 3.

Eosinofil meningkat > 250 / mm3 Penurunan limfosit dan komponen sel darah putih yang lain. Penurunan Immunoglobulin A (IgA)

Penatalaksanaan Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik. 1. Penobatan non farmakologik a) Penyuluhan Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan. b) Menghindari faktor pencetus Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien. c) Fisioterapi Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada. 2. Pengobatan farmakologik a) Agonis beta Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ). b) Metil Xantin Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari. c) Kortikosteroid Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan

disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat. d) Kromolin Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari. e) Ketotifen Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral. f) Iprutropioum bromide (Atroven) Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator. (Evelin dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 ) 3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam. d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan. e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena. f) Antibiotik spektrum luas. (Pedoman penatalaksanaan status asthmatikus UPF paru RSUD Dr Soetomo Surabaya ).
About these ads

You might also like