You are on page 1of 11

DERMATITIS SEBOROIK: TERKINI

RINGKASAN. Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit berupa peradangan kronis kambuhan yang secara klinis ditandai dengan kulit bersisik dan bercak (patch) eritematosa yang buruk. Prevalensi dermatitis seboroik dewasa diperkirakan sebesar 5%. Meskipun penyebab pasti dari dermatitis seboroik belum dipahami, Malassezia yeast, hormon (androgen), kadar sebum dan respon imun diketahu berperan penting dalam perkembangannya. Faktor tambahan termasuk obat, suhu dingin dan stres dapat memperburuk dermatitis seboroik. Berbagai modalitas pengobatan yang tersedia, termasuk agen antijamur, steroid dosis rendah topikal dan inhibitor kalsineurin (imunomodulator). Ulasan ini merangkum pengetahuan terkini mengenai etiopatogenesis dan terapi dermatitis seboroik pada orang dewasa.

Kata kunci : dermatitis seboroik, Malassezia yeast, sebum, agen antijamur.

PENDAHULUAN Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit berupa inflamasi kronis kambuhan yang secara klinis ditandai dengan bercak (patch) eritematosa yang buruk dan kulit bersisik (scaling). Dermatitis seboroik terutama mempengaruhi daerah yang kaya sebum, termasuk kulit kepala, wajah, dada bagian atas dan punggung (1). Prevalensi dermatitis seboroik dewasa diperkirakan sebesar 5% (2). Kondisi ini lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Pada orang dewasa, puncak kejadian dalam dekade ketiga dan keempat kehidupan. Meskipun penyebab jelas dermatitis seboroik belum dipahami, Malassezia yeast, hormon (androgen), kadar sebum dan respon imun diketahui berperan penting dalam etiopatogenesisnya (3). Beberapa peneliti mengemukakan Malassezia yeast (sebelumnya disebut Pityrosporum ovale) berperan sangat penting pada dermatitis seboroik (4). Terapi antijamur menyebabkan penurunan kolonisasi Malassezia spp. dan hilangnya seiring dengan lesi kulit, yang dapat merupakan bukti terkuat bahwa Malassezia spp. memiliki peran penting dalam perkembangan dermatitis

seboroik (5). Pilihan terapi lainnya termasuk kortikosteroid, imunomodulator dan antibiotik.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Meskipun cukup tingginya prevalensi kelainan ini, penyebab pastinya kurang dipahami. Namun, beberapa faktor (Malassezia yeast, hormon, kadar sebum, respon imun, faktor neurogenik, faktor eksternal) tampaknya terlibat dalam etiopatogenesis dermatitis seboroik, tetapi mekanisme patogenesis yang tepat masih kontroversial.

Spesies Malassezia Bukti pertumbuhan menunjukkan bahwa Malassezia spp. merupakan faktor etiologi utama dalam perkembangan dermatitis seboroik. Jumlah Malassezia spp. menurun setelah diberikan terapi antijamur seiring dengan hilangnya lesi kulit. Hal ini mungkin adalah bukti terkuat bahwa Malassezia spp. memiliki peran penting dalam perkembangan dermatitis seboroik. Malassezia spp. adalah ragi lipofilik terdapat di kulit pada semua tempat (8). Mereka sebagian besar terletak di daerah anatomi yang kaya lipid. Dari sebelas spesies yang telah diidentifikasi, tujuh spesies terkait dengan flora kulit manusia dan dermatitis seboroik. Malassezia (M.) furfur, M. restricta, M. sympodialis, M. globosa, M. obobtusa dan M. slooffiae telah terdeteksi pada kulit yang terkena (9). Namun, M. globosa dan M. restricta mendominasi pada lesi dermatitis seboroik, terutama pada kulit kepala (10). Karena Malassezia spp. memiliki kemampuan untuk menghasilkan lipase, mereka dapat memulai respon inflamasi dengan melepaskan asam oleat dan arakidonat dari lipid sebum (11,12). Kedua asam lemak tak jenuh ini memiliki efek iritasi dan deskuamasi langsung pada keratinosit. Selanjutnya, asam arakhidonat dimetabolisme oleh siklooksigenase yang berfungsi sebagai sumber proinflamasi eikosanoid (terutama prostaglandin), menyebabkan peradangan dan kerusakan stratum corneum. Keratinosit di daerah yang terkena dirangsang untuk memproduksi sitokin proinflamasi untuk lebih meningkatkan dan mengendalikan respon inflamasi. Perjalanan patogenesis Malassezia seperti "lingkaran setan"

berakhir karena fakta bahwa asam lemak jenuh dilepaskan oleh lipase Malassezia, yang digunakan sebagai bahan bakar proliferasi" untuk ragi tersebut.

Hormon dan Lipid Kulit Dermatitis seboroik tidak selalu berhubungan dengan sekresi berlebihan dari sebum (13). Namun, 50% dari pasien memiliki kulit berminyak yang kaya sebum. Sebagaimana disebutkan di atas, lipid sebum sangat penting untuk proliferasi Malassezia dan sintesis faktor proinflamasi awal, sehingga jumlah sebum tertentu selalu dibutuhkan dalam memberikan kondisi permisif untuk perkembangan dermatitis seboroik. Oleh karena itu, lesi dermatitis seboroik sebagian besar terletak pada daerah kulit yang kaya kelenjar sebaseus. Dermatitis seboroik adalah hal yang paling umum terjadi pada masa pubertas dan remaja, selama periode produksi sebum tertinggi. Ada juga kemungkinan faktor hormonal : tidak hanya penyakit terjadi pada masa pubertas, tetapi dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan, menunjukkan adanya pengaruh hormon androgen pada unit pilosebasea (14).

Respon Imun Dermatitis seboroik adalah kondisi peradangan yang sebagian besar disertai dengan keterlibatan Malassezia yeast, hal tersebut masuk akal untuk mengasumsikan bahwa respon imun yang tidak baik dapat berkontribusi pada patogenesis dermatitis seboroik. Meskipun mekanisme immunopatogenesis yang terlibat dalam perkembangan dermatitis seboroik tidak dipahami dengan jelas, beberapa penelitian menunjukkan disfungsi imun pada pasien dermatitis seboroik. Bukti terkuat untuk immunodefisiensi sebagai faktor etiologi berasal dari temuan bahwa prevalensi dermatitis seboroik secara signifikan lebih tinggi (34% - 83%) pada pasien AIDS dan positif HIV dibandingkan dengan populasi umum (sekitar 3%). Selain itu, pada pasien positif HIV, temuan klinis yang lebih berat (sering berdampak bahkan pada ekstremitas) telah diamati, maka dermatitis seboroik pada pasien ini dianggap oleh beberapa penulis sebagai suatu hal yang berbeda ("Seboroik seperti dermatitis dari sindrom immunodefisiensi yang didapat"). Penelitian yang dilakukan oleh Bergbrant et al. secara langsung menunjukkan

gangguan fungsi sel T dan meningkatkan jumlah sel NK dalam darah perifer pasien dermatitis seboroik dibandingkan dengan kelompok kontrol (15). Penelitian yang sama menunjukkan peningkatan kadar total serum antibodi IgA dan IgG pada pasien dengan dermatitis seboroik, yang juga dikonfirmasi oleh beberapa penelitian lain. Menariknya, meskipun kehadiran

hipergammaglobulinemia pada pasien dermatitis seboroik, tidak ada titer antibodi spesifik yang tinggi terhadap antigen Malassezia, menunjukkan bahwa peningkatan produksi imunoglobulin terjadi sebagai respon terhadap racun ragi dan aktivitas lipase. Faergemann et al. menemukan infiltrasi sel NK dan makrofag di daerah kulit yang terkena dermatitis seboroik, bersamaan dengan aktivasi komplemen lokal dan induksi sitokin proinflamasi, yang semuanya dapat menyebabkan kerusakan epidermis (16). Mengingat fakta bahwa Malassezia dapat hadir pada kulit, tanpa merangsang reaksi imun atau inflamasi, dapat disimpulkan bahwa pada pasien dermatitis seboroik, reaksi imun yang abnormal terhadap ragi terjadi, yang dipengaruhi oleh interaksi faktor patogenesis lainnya yang dapat mengatur respon imun individu.

Faktor Neurogenik Dermatitis seboroik sering terjadi pada pasien dengan Penyakit Parkinson yang telah lama diamati secara klinis, terutama pada mereka dengan seborrhea berkepanjangan dan berat, yang memberikan kondisi permisif untuk proliferasi Malassezia (17). Ketika seborrhea bilateral terjadi pada pasien dengan parkinson unilateral, dapat terlihat perubahan pada kadar sebum yang lebih dipengaruhi endokrin daripada neurologis (18). Hal ini didukung oleh temuan peningkatan kadar plasma -Melanocyte Stimulating Hormone (-MSH) pada pasien dengan penyakit Parkinson, mungkin karena kurangnya MSH-inhibiting factor, sebagai konsekuensi dari kurangnya aktivitas neuronal dopaminergik (19). Pengobatan dengan L - dopa berhasil mengembalikan sintesis MSH-inhibiting factor dan mengurangi sekresi sebum pada pasien parkinsonian. Efek sebostatic dari L - dopa ini dibatasi hanya untuk pasien dengan Penyakit Parkinson, sedangkan dalam kondisi seboroik lainnya seperti jerawat, L-dopa tidak berpengaruh pada produksi sebum (19). Selanjutnya, imobilitas wajah pasien penyakit Parkinson (wajah

seperti topeng) dapat menyebabkan peningkatan akumulasi sebum, sehingga dapat menjadi tambahan kontribusi terhadap kecenderungan perkembangan dermatitis seboroik. Mekanisme yang sama mungkin, setidaknya sebagian, bertanggung jawab untuk seringnya kejadian dermatitis seboroik pada pasien yang diobati dengan obat neuroleptik, serta pada pasien dengan tardive dyskinesia, trauma sistem saraf pusat dan kelumpuhan N. facialis. Seringnya kejadian dermatitis seboroik juga diamati pada gangguan depresi, tetapi ini bisa dikaitkan dengan kecenderungan pasien depresi yang sering berada di dalam ruangan, maupun perubahan kebersihan lingkungannya.

Faktor-Faktor Lain Dermatitis seboroik memiliki aspek musiman, penyakit ini lebih sering kambuh pada musim gugur dan menurun pada musim dingin. Kondisi dapat dipicu oleh stres emosional, tingkat tinggi seborrhea dilaporkan pada pasukan tempur pada waktu perang (20). Secara tradisional, diet disalahkan pada perkembangan dermatitis seboroik. Kekurangan zinc berat pada pasien dengan enteropathica acrodermatitis dan seperti kondisi acrodermatitis dapat

menghasilkan ruam seperti dermatitis (20). Umumnya dermatitis seboroik tidak respon dengan terapi zinc tambahan.

GAMBARAN KLINIS Lesi khas dermatitis seboroik adalah bercak (patch) eritematosa dengan sisik berminyak yang luas. Kelainan ini memiliki kecenderungan pada daerah dengan banyak kelenjar sebaseus, seperti kulit kepala, garis rambut, alis, glabella, lipatan nasolabial, telinga, bagian atas dada, punggung, aksila, umbilikus dan lipat paha. Pasien sering mengeluhkan gatal, terutama pada kulit kepala dan di liang telinga. Lesi kulit kepala dapat meluas ke kulit dahi dan bentuk perbatasan bersisik eritematosa disebut "Corona seborrheica". Dua bentuk dermatitis seboroik mungkin terjadi pada dada, jenis petaloid umum dan pityriasiform yang cukup jarang (6). Jenis petaloid diawali dengan folikel kemerahan sampai coklat dan papul perifollicular, yang berkembang menjadi patch yang menyerupai bentuk

kelopak bunga atau medali. Jenis pityriasiform mungkin bentuk akut berat dari dermatitis seboroik petaloid (7). Jenis ini berupa macula umum dan patch yang mengikuti garis-garis kulit mirip dengan pityriasis rosea. Pada beberapa individu, dermatitis kronis pada kanal telinga merupakan manifestasi dari dermatitis seboroik. Gejala lain yang umum pada dermatitis seboroik adalah blepharitis dengan krusta berwarna madu sepanjang tepi kelopak mata. Bila hanya manifestasi ini yang tampak, diagnosis tidak sederhana. Sebuah kelainan kulit serius ini umum disebut sebagai eritroderma eksfoliatif (seborrheic eritroderma).

DIAGNOSIS DIFERENSIAL Meskipun dalam prakteknya sehari-hari dermatitis seboroik biasanya dapat didiagnosis saat kita lihat pertama kali, pasien dengan lesi kulit yang diduga dermatitis seboroik harus benar-benar dipertimbangkan untuk kemungkinan lainnya, kelainan dermatologi yang lebih serius, yang secara klinis diwujudkan dengan eczematous kronis dan lesi papulosquamous. Usia pasien, jenis kelamin, tempat yang terkena, adanya kondisi yang menyertai dan penyakit (terutama immunocompromised), riwayat keluarga serta kebiasaan sehari-hari harus menjadi pertimbangan pada diagnosis diferensial. Seorang pasien dengan erythematous dan plak bersisik di daerah seperti kulit kepala, lipatan nasolabial, alis dan daerah retroauricular memiliki kemungkinan besar dermatitis seboroik, tetapi secara klinis karakteristik dermatitis seboroik mungkin sulit dibedakan dengan psoriasis, menyebabkan misdiagnosis. Untuk memudahkan pembedaan, temuan plak kulit kepala berbatas tegas, kuku yang berbintik-bintik dan onycholysis distal dapat membantu, karena mereka biasanya terdapat pada pasien psoriasis (21). Kejadian yang disebut seborrhiasis dapat ditemukan, menunjukkan kondisi yang tumpang tindih dengan psoriasis dan dermatitis seboroik pada wajah. Lesi dermatitis seboroik pada wajah dapat menyerupai perubahan kulit yang ditemukan pada lupus eritematosus sistemik (jika dicurigai, penilaian imunologi diperlukan) dan dalam keadaan tertentu fotodermatosis. Perubahan dermatitis seboroik pada tubuh kadang-kadang mungkin disalahartikan sebagai panu yang dapat dengan mudah dibedakan dengan pemeriksaan lampu wood dan adanya hifa pada pemeriksaan sitologi KOH. Selanjutnya, diferensial diagnosis juga termasuk dermatitis atopik

dan kontak, rosacea, dermatofitosis, kandidiasis, dan jarang limfoma cutaneus atau histiocytosis sel Langerhans. Biopsi kulit jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan terkait dengan perubahan histologis dapat bervariasi dari acanthosis dan parakeratosis untuk spongiosis.

PENGELOLAAN DAN TERAPI Karena mekanisme kunci patogenesis yang mendasari dari dermatitis seboroik termasuk proliferasi Mallasezia spp. yang berlebihan dengan induksi akibat dari respon peradangan kulit lokal, pendekatan terapi saat ini umumnya didasarkan pada antijamur topikal, antiinflamasi dan agen imunomodulator. Mengingat bahwa deskuamasi tampak reguler, keratolitik juga sangat efektif. Pada beberapa pasien, peningkatan yang signifikan juga dapat dicapai dengan antibiotik (metronidazol), tar dan fototerapi. Terapi sistemik jarang diperlukan, hanya pada kasus yang parah dengan lesi yang luas, serta dalam kasus-kasus yang tidak responsif terhadap pengobatan topikal. Beberapa pendekatan terapi alternatif juga telah dilaporkan, seperti minyak pohon teh dan 90% madu diencerkan dalam air hangat.

TERAPI TOPIKAL Agen topikal yang efektif dan ditoleransi dengan baik pada sebagian besar kasus dermatitis seboroik, seperti yang ditunjukkan dan disahkan oleh beberapa uji klinis acak, tetapi secara empiris juga terkenal dalam praktek klinis sehari-hari.

Obat Antijamur Meskipun pendekatan pengobatan lebih dini difokuskan pada agen antiinflamasi, saat ini umumnya diterima bahwa terapi awal untuk dermatitis seboroik sebaiknya didasarkan pada antimycotics topikal. Kelas azol dari agen antijamur (lanosterol 14 inhibitor -demethylase) terbukti paling efektif dalam penghambatan pertumbuhan Malassezia spp., terkait dengan perkembangan dermatitis seboroik.

Di antara azoles, ketoconazole diterapkan di berbagai tempat menunjukkan efek yang unggul, dan karena itu adalah pengobatan lini pertama untuk dermatitis seboroik. Ketokonazol tersedia dalam topikal yang berbeda, seperti shampoo, krim dan gel. Ketokonazol shampoo 2% efektif dalam mengobati dermatitis seboroik kulit kepala, digunakan dua kali seminggu. penggunaan intermiten shampoo ketoconazole 2% (sekali seminggu) telah terbukti memiliki efek profilaksis signifikan (22). Krim Ketokonazol 2% secara signifikan mengobati lesi dermatitis seboroik di wajah dan dada yang digunakan dua kali sehari (efektif hidrokortison 1% krim) dan, jika digunakan secara teratur juga efektif mempertahankan remisi (23). Ketoconazole juga memiliki sifat antiinflamasi ringan, dan itu terutama terdapat dalam semua sediaan yang tersedia. Krim Bifonazole 1%, digunakan sekali sehari, biasanya efektif dalam pengobatan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan wajah (24,25). Sebuah kombinasi salep yang mengandung 1% bifonazole dan 40% urea membantu mengurangi gejala dermatitis seboroik kulit kepala (26). Miconazole adalah azol yang juga dapat secara efektif digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan hidrokortison (27). Agen antijamur topikal lain, krim ciclopirox 1%, juga efektif dan memberikan pengurangan gejala bila digunakan dua kali sehari. Ciclopirox memiliki sifat baik antijamur dan antiinflamasi (28). Kombinasi shampoo ciclopirox 1,5% dengan salisilat asam 3% atau zinc pyrithione 1% juga efektif (29). Penelitian terbaru menunjukkan statistik non- inferioritas ciclopirox dibandingkan dengan ketokonazol (30).

Kortikosteroid Dalam kasus yang parah dari dermatitis seboroik, kortikosteroid dosis rendah sampai sedang efektif dalam pembersihan cepat tanda-tanda yang muncul dan gejala yang berhubungan (31). Kortikosteroid topikal dapat digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan agen antijamur. Penggunaan sering dan berkepanjangan tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan efek seperti atrofi,

telangiectasias, hipertrikosis dan dermatitis perioral. Agen antijamur masih pilihan pertama dalam pengobatan dermatitis seboroik karena fakta bahwa ketokonazol 2% telah terbukti lebih unggul daripada betametason diproprionate 0,05% dalam mengurangi gejala dan menurunkan jumlah Malassezia spp. (32). Ada konsensus bahwa kortikosteroid topikal berguna dalam jangka pendek terutama untuk mengendalikan eritema dan gatal-gatal.

Metronidazole Ada data yang bertentangan pada efektivitas topikal metronidazol 0,75% gel. Dalam dua percobaan, metronidazole menunjukkan efikasi yang lebih baik daripada plasebo dan sama efektifnya dengan krim ketoconazole 2% (33,34). Sebaliknya, Koca et al. metemukan metronidazole tidak lebih baik dengan plasebo pada pasien dermatitis seboroik (35).

Inhibitor Kalsineurin Inhibitor kalsineurin topikal, krim pimecrolimus 1% dan salep tacrolimus 0,03% dan 0,1% mengurangi peradangan kulit dengan menghambat T-lymphocyte yang memproduksi sitokin (36). Agen ini tidak terkait dengan profil efek samping kortikosteroid. Dalam penelitian acak, double blind, sample kontrol diuji efikasi selama 4 minggu, yaitu dua kali sehari terhadap krim pimecrolimus 1% pada 96 pasien, kalsineurin topikal terapi inhibitor efektif dan ditoleransi dengan baik dalam pengobatan dermatitis seboroik (37). Dalam dua acak uji klinis, pimecrolimus 1% terbukti efektif sebagai kortikosteroid topikal (hidrokortison asetat 1% krim atau betametason 17-valerat 0,1% krim) (1). Namun, kasus yang jarang terjadi keganasan (misalnya, kulit dan limfoma) telah dilaporkan pada pasien yang diobati dengan inhibitor kalsineurin topikal. Karena fakta ini, penggunaan jangka panjang tidak dianjurkan dan aplikasi harus dibatasi pada lesi dermatitis seboroik (38).

Zinc Pyrithione Zinc pyrithione adalah bahan aktif yang umum sebagai shampo anti ketombe dan memiliki kedua efek antijamur dan antimikroba (39). Agen ini

tersedia dalam konsentrasi 1% dan 2% pada shampoo serta formulasi 1% cream (40). Pyrithione seng telah menunjukkan efikasi rendah dari ketoconazole dalam beberapa uji, tapi mungkin masih efektif untuk membersihkan tanda-tanda penyakit bila digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan ketoconazole (41).

Garam Lithium Topical suksinat lithium dan lithium glukonat adalah agen efektif dalam mengobati dermatitis seboroik di daerah lain selain kulit kepala, mungkin karena efek anti inflamasi. Dalam uji coba secara acak yang melibatkan 12 pasien, lithium suksinat 8% salep menunjukkan keberhasilan yang lebih besar dibandingkan plasebo dalam pengobatan terhadap tanda-tanda yang muncul pada pasien HIV - positif (42). Lithium glukonat 8% salep, digunakan dua kali sehari, ditunjukkan untuk menjadi lebih efektif daripada plasebo, dalam 8 minggu percobaan melibatkan 129 pasien dengan lesi di wajah (43). Glukonat lithium 8% salep lebih efektif daripada ketokonazol 2%.

Selenium Sulfida Dalam uji coba double-blind acak yang melibatkan 246 pasien dengan ketombe sedang sampai berat, selenium sulfida 2,5% diuji terhadap ketokonazol 2% dan plasebo. Kedua pengobatan shampoo menunjukkan lebih besar kemanjuran dibandingkan plasebo, tapi ketoconazole lebih baik ditoleransi (44).

Fototerapi Banyak pasien terlihat perbaikan selama musim panas. Fototerapi menggunakan sinar UVB kadang-kadang sebagai pilihan untuk dermatitis seboroik berat. Dalam sebuah penelitian prospektif terbuka, 18 pasien dengan dermatitis seboroik berat diobati dengan UVB spectrum sempit tiga kali per minggu sampai menyelesaikan 2 bulan terapi (45). Jumlah rata-rata sesi pengobatan adalah 23 dan median kumulatif dosis UVB adalah 9,8 J/cm2. Semua pasien menunjukkan perbaikan, terutama mereka dengan penyakit berat, tetapi terbakar dan gatal-gatal dapat terjadi selama fototerapi. Kelemahan terbesar dari UVB iradiasi adalah penyakit yang cepat kambuh muncul 2-6 minggu setelah

10

pengobatan. Juga, ada risiko yang terkait dengan melebihi seumur hidup maksimum yang diijinkan dosis kumulatif dan efek karsinogenik pada kulit .

TERAPI SISTEMIK : PENGOBATAN ANTIJAMUR ORAL Data efektivitas terapi antijamur sistemik tidak konsisten. Dalam penelitian acak, double blind, plasebo-terkontrol, 174 pasien dengan dermatitis seboroik menerima baik 250 mg atau plasebo terbinafine selama 6 minggu. Terbinafine oral tidak lebih efektif dibandingkan plasebo pada pasien dengan dermatitis seboroik di wajah, tetapi dalam hal lain daerah terbinafine menunjukkan keberhasilan yang lebih besar dibandingkan plasebo (46). Dalam studi buta ganda lain yang melibatkan 63 pasien, flukonazol oral 300 mg dosis tunggal mingguan tidak menunjukkan efek terapeutik yang signifikan (47). Di satu percobaan yang melibatkan 19 pasien, ketoconazole (200 mg dosis harian selama 4 minggu) menunjukkan perbaikan yang signifikan (48). Saat memutuskan terapi antimikotik oral, rasio biaya-manfaat harus dipertimbangkan dengan cermat karena efek hepatotoksik yang mungkin terjadi karena antijamur sistemik.

KESIMPULAN Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang merupakan inflamasi kronis, kambuhan, papulosquamous, yang harus secara ketat dibedakan dari seborrhea. Etiologi masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi di antara banyak faktor etiopatogenesis yang diidentifikasi, Malassezia yeast memiliki peran penting. Dalam mayoritas kasus, hasil terapi yang memuaskan yang dicapai oleh agen antijamur topikal dari golongan azole yang terutama ditoleransi tanpa efek samping yang signifikan, dan oleh karena itu saat ini dianggap sebagai pengobatan pilihan pertama untuk dermatitis seboroik. Glukokortikoid lokal juga efektif, tetapi penggunaan jangka panjang harus dihindari karena efek sampingnya jelas. Meskipun dermatitis seboroik tidak serius mengganggu kualitas hidup pasien, harus diingat bahwa kejadian tersebut, terutama dalam kasus berat, bentuk resisten terapi, dapat menjadi prediktor dari beberapa kondisi serius seperti infeksi HIV .

11

You might also like