You are on page 1of 21

LONG CASE TONSILITIS KRONIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan THT

RSUD Panembahan Senopati

Pembimbing dr. I Wayan Marthana WK, M.Kes, Sp. THT

Disusun oleh Khoirurrohmah Nuzula 2008 031 0068

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014

HALAMAN PENGESAHAN TONSILITIS KRONIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh: Khoirurrohmah Nuzula 20080310068

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal Oleh : Dokter Penguji

Februari 2014

dr. I Wayan Marthana, M.Kes, Sp.THT

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Tanggal Lahir Umur Alamat Pendidikan Pekerjaan Agama Bangsa Tanggal Masuk RS No. RM : An. ZA : Laki-laki : 5 Juni 2006 : 8 tahun : Sanden,Trirenggo, Sewon, Bantul : SD : Pelajar : Islam : Indonesia : 5 Januari 2014 : 450672

II. ANAMNESIS Alloanamnesa oleh nenek dan ayah pasien pada 5 Januari 2014 A. Keluhan Utama: Pasien mendengkur saat tidur sejak 3 tahun yang lalu. B. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli untuk rencana operasi amandel. Menurut pengakuan ayah dan nenek pasien, pasien sering mendengkur pada saat tidur dan keluhan ini dirasakan sudah lama dan sangat menganggu. Terkadang beberapakali pasien tampak berhenti bernapas pada saat tidur kemudian bernapas normal kembali sambil mendengkur. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu. Menurut nenek pasien, tidak ada keluhan lain yang dirasakan, sulit menelan (-) baik minuman ataupun makanan padat hanya saja pasien susah makan (+). Pasien sering batuk berdahak dan pilek (+) yang hilang timbul. Menurut ayah pasien, makanan dan minuman anaknya sudah dijaga dengan baik, tidak pernah jajan diluar. Pendengaran terganggu, nyeri telinga, dan pusing disangkal pasien. Riwayat alergi obat, cuaca dingin, dan makanan disangkal pasien. Pasien sudah sering berobat ke dokter dan diberi obat oleh dokter

tersebut namun tidak kunjung sembuh. Menurut dokter yang sebelumnya, keluhan tersebut diakibatkan pembesaran amandel yang terjadi pada pasien. Karena keluhan yang dirasakan tidak berkurang maka ayah dan nenek pasien membawa pasien untuk diperiksakan ke poliklinik THT RSUD Panembahan Senopati untuk minta dilakukan operasi amandel.

C. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat batuk pilek berulang (+) Riwayat amandel membesar kambuh-kambuhan (+)

D. Riwayat Penyakit Keluarga: Ibu pasien juga memiliki riwayat pembesaran amandel dan dilakukan operasi pada waktu SD.

E. Anamnesis Sistem Sistem serebrospinal Sistem respiratorius Sistem Kardiovaskuler Sistem gastrointestinal Sistem genitalia Sistem muskuloskeletal Sistem Integumentum : demam (-), pusing (-) : snooring (+) batuk (-) pilek (-) : berdebar-debar (-) : dysfagia (-) : tidak ada keluhan : tidak ada hambatan dalam bergerak : Akral teraba hangat

III. PEMERIKSAAN Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : tampak sakit ringan : Composmentis : : tidak dilakukan : afebris : 92 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup : 22 x/menit, reguler

Tekanan Darah Suhu Nadi Respirasi Rate

Status Lokalis 1. Hidung dan Paranasal Inspeksi Simetris (+), deformitas (-), deviasi nasal (-), massa (-), rhinorea (-), pembengkakan (-),hiperemis (-) SPN: edema(-), warna normal. Palpasi nyeri tekan (-), massa (-/-) SPN : nyeri tekan sinus (-) Transiluminasi (-/-) Aliran udara tak ada hambatan (-/) Rhinoskopi Anterior Tidak dilakukan Rhinskopi Posterior Tidak dilakukan

2. Telinga Inspeksi, Palpasi AD/AS : hematom (-/-), edema (-/-), otore (-/-), nyeri tragus (-/-), nyeri mastoid (-/-), nyeri retro auriculer (-/-), fistel (-/-), nll. tidak teraba.

Otoskopi AD/AS : tidak dilakukan

Fungsional (Test Pendengaran: Garpu Tala) Rinne Webber : tidak dilakukan : tidak dilakukan

Schwabh : tidak dilakukan

3. Tenggorokan dan Laring (Leher) Inspeksi, Palpasi Trakhea letak sentral, gld.thyroid tak teraba, massa(-), retraksi(-). Cavum oris : caries dentis (+), gigi tanggal (-), mukosa mulut dalam batas normal, papil lidah dalam batas normal, lidah mobile, uvula sentral, massa (-) Faring : mukosa tidak hiperemis, edema (-), massa (-) Uvula : deviasi (-) Tonsil : hiperemis (-), T4-T4, kripta melebar (+) detritus (-) Arcus palatoglosus : tidak hiperemis, protrusi asimetris (-), massa(-) Arcus palatopharingeus : hiperemis (-), protrusi asimetris (-), massa(-)

Laringoskopi Indirek Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Rontgen Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal Laboratorium : Hb : 11,7 gr/dl

AL AT AE HMT Eosinophil Basophil Batang Segmen Limposit Monosit PPT APTT Control PPT Control APTT Ureum Kreatinin Albumin GDS Natrium Kalium Klorida HbsAg V. DIAGNOSIS Tonsilitis kronis VI. RENCANA TERAPI : 97 : 140,3 : 3,58 : 108,6

: 8,9 ribu/ul : 270 ribu/ul : 4,67 ribu/ul : 38,6 % :3 :0 :2 : 93 : 28 :6 : 13,1 detik : 30,5 detik : 13,5 : 32,6 : 15 mg/dl : 0,61 mg/dl : 3,99 g/dl

: negatif

1. Planning tonsilodektomi 2. Edukasi : Hindari minum minuman dingin Hindari makanan yang berminyak, makanan ringan Menjaga kebersihan di sekitar mulut

VII. PROGNOSIS Que ad vitam Que ad fungsionam Que ad sanam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. 2.1. EMBRIOLOGI TONSIL Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik. Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).

Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil B. ANATOMI TONSIL Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.

Gambar 2 : Cincin Waldeyer Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjarkelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs). Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.

Gambar 3. Tonsil Palatina

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Anterior : arcus palatoglossus Posterior : arcus palatopharyngeus Superior : palatum mole Inferior : 1/3 posterior lidah Medial : ruang orofaring Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.

A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.

Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral. Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.

Gambar 5. Adenoid Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian membentuk septa. Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah. Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum

mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.

Gambar 6. Pendarahan Tonsil Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus. Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX).

Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher

Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil. Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.

2.3. Fisiologi Tonsil Tonsila palaitna adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris dikedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta (Amaruddin T, 2007). Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel sel fagositik mononuklear pertama tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen (Farokah, 2005). Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Kartika H, 2008). Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah

terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsilitis (tonsillolith). Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun (Amarudin T, 2007). 2.4. Patogenesis dan Patofisiologi Tonsilitis Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte kriptenya, sampai disitu secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan (Aritomoyo D, 1980 dalam Boedi Siswantoro, 2003). Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik yang melalui hidung maupun mulut. Kuman yang masuk kesitu dihancurkan oleh makrofag, sel sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman kuman semuanya, akibatnya kuman bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (tonsil sebagai fokal infeksi). Sewaktu waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan umum yang menurun (Aritomoyo D, 1980 dalam Boedi Siswantoro, 2003).

2.5. Definisi Tonisilitis Kronis Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun. Tonsilitis kronis dapat berasal dari tonsilitis akut yang dibiarkan saja atau karena pengobatan yang tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi dari tempat lain, misalnya karena adanya sekret dari infeksi di sinus dan di hidung (sinusistis kronis dan rhinitis kronik), atau karies gigi. Pada sinusitis kronik dan rhinitis kronik terdapat sekret di hidung yang mengandung kuman penyakit. Sekret tersebut kontak dengan permukaan tonsil. Sedangkan penyebaran infeksinya adalah secara hematogen maupun secara limfogen ke tempat jaringan yang lain. Adapun yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik pada tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel sel radang (Rivai L. dalam Boedi Siswantoro, 2003).

Mikroabses pada tonsilitis kronis maka tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain lain (Mawson S, 1987 dalam Boedi Siswantoro, 2003). Fokal infeksi adalah sumber bakteri / kuman didalam tubuh dimana kuman / produk produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan panyakit (Pradono AP, 1978 dalam Boedi Siswantoro, 2003). Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi. Penyebaran kuman atau toksin dapat melalui beberapa jalan. Penyebaran jarak dekat biasanya terjadi secara limfogen, sedangkan penyebaran jarak jauh secara hematogen. Fokal infeksi secara periodik menyebabkan bakterimia atau toksemia (Ahmad A, 1988 dalam Boedi Siswantoro, 2003). Bakterimia adalah terdapatnya kuman dalam darah. Kuman kuman yang masuk ke dalam aliran darah dapat berasal dari berbagai tempat pada tubuh. Darah merupakan jaringan yang mempunyai kemampuan dalam batas batas tertentu untuk membunuh kuman - kuman karena adanya imun respon. Maka dalam tubuh sering terjadi bakterimia sementara. Bakterimia sementara berlangsung selama 10 menit sampai beberapa jam setelah tindakan (Boedi Siswantoro, 2003).

2.6. Etiologi Tonsilitis Kronis Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram positif (Kazzi AA, 2002 ; Arif Mansyoer dkk, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus hemolyticus. Beberapa jenis bakteri lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus influenza, virus, jamur dan bakteri anaerob. Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab tonsilofaringitis kronis yaitu Streptococcus alpha, Staphylococcus aurius, Streptococcus hemolyticus group A, Enterobacter, Streptococcus pneumonie, Pseudomonas aeroginosa,

Klabsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus epidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah 2005). Meskipun tonsilitis kronis dapat disebabkan berbagai bakteri namun streptococcus hemolyticus group A perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius diantaranya demam rematik, penyakit jantung rematik, penyakit sendi rematik dan glomerulonefritis. 2.7. Faktor Predisposisi Tonsilitis Kronis Adapun faktor predisposisi dari Tonsilitis Kronis yaitu : Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat Higiene mulut yang buruk Pengaruh cuaca Kelelahan fisik Merokok Makanan

2.8. Gejala dan Tanda Klinis Tonsilitis Kronis Gejala klinis tonsilitis kronik adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, kadang kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok dimana mulut berbau, badan lesu, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang meriang. Tanda klinik pada tonsilitis kronis adalah (Primara IW,1999 dalam Boedi Siswantoro, 2003) : Pilar/plika anterior hiperemis Kripte tonsil melebar Pembesaran kelenjar sub angulus mandibular teraba Muara kripte terisi pus Tonsil tertanam atau membesar

Tanda klinik tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripte melebar dan pembesaran kelenjar sub angulus mandibula. Gabungan tanda klinik yang sering muncul adalah kripte melebar, pembesaran kelenjar angulus mandibula dan tonsil tertanam atau membesar (Boedi Siswantoro, 2003).

2.9. Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang Tonsilitis Kronis Dari pemeriksaan dapat dijumpai : a. Tonsil dapat membesar bervariasi. b. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil c. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju d. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil. Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah 2005). Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 T4 : T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula T2 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior uvula sampai jarak anterior uvula T3 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior uvula sampai jarak pilar anterior uvula T4 : batas medial tonsil melewati jarak anterior uvula sampai uvula atau lebih Klasifikasi pembesaran tonsil menurut Friedman adalah sebagai berikut :

Sedangkan pembesaran tonsil menurut Brodsky adalah sebagai berikut :

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu secara mikrobiologi. Pemeriksaan dengan antimikroba sering gagal untuk segera dikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi anitbiotika yang inadekuat.

2.10. Pengobatan pada Tonsilitis Kronis Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil. Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes diagnostik yang menjanjikan (Kote Noordhianta, Tonny B S dan Lina Lasminingrum, 2009). Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin ditambah Metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononucleosis atau absees), amoksisilin dengan asam clavulanat (jika bukan disebabkan mononucleosis). Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Arsyad Soepardi E dkk, 2007).

Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorokan 4 6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut. Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah kuman patogen yang ditemukan pada permukaan tonsil tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil paska tonsilektomi, ditemukan jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan tonsil sebelum pemberian antibiotik (Amarudin T, Christanto A, 1999). Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAOHNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah seperti berikut: Indikasi Absolut a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam Indikasi Relatif a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten d. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan

2.11. Komplikasi Tonsilitis Kronis Komplikasi secara kontinuitatum kedaerah sekitar berupa rhinitis kronis, sinusitis dan otitis media. Komplikasi secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil seperti endokarditis, arthiritis, miositis, uveitis, nefritis, dermatitis, urtikari, furunkolitis,dll (Arif Mansyoer dkk, 2001).

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Arsyad Soepardi E dkk, 2007).

2.12. Prognosa Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.

2.13. Pencegahan Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.

You might also like