You are on page 1of 33

EPISTAKSIS

DEFINISI Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu gejala atau keluhan, bukan

penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.

VASKULARISASI Hidung kita kaya pembuluh darah, yang berasal dari A. karotis eksterna dan interna. Arteri karotis eksterna mensuplai hidung melalui A. maksilaris interna dan A. fasialis. Cabang terminal A. fasialis yaitu A. labialis superior, mensuplai darah ke dasar hidung dan septum bagian anterior. Sedangkan A. maksilaris interna akan masuk fossa pterigomaksilaris dan kemudian membentuk percabangan arteri, yaitu posterior superior alveolar, descending palayine, infraorbital, sphenopalatine, pterygoid canal, dan pharyngeal. A. descending palatin berjalan ke bawah melalui kanalis paatine mayor dan mensuplai darah ke dindidng lateral hidung, serta juga septum hidung bagian anterior lewat percabangan ke forame incisivus. Adapaun A. sphenopalatine masuk ke hidung dekat area perlekatan posterior konka media untuk kemudian mensuplai darah di dinding lateral hidung, dan juga membeika percabangannya ke septum hidung anterior. Aeteri karotis interna memberikan kontribusi pada sistem baskularisasi hidung, terutama lewat cabangnya, A. ophtalmicus. Pleksus Kiesselbach atau area little, terletak di bagian anterior tulang rawan septum. Setiapa cabang arteri yang menyuplai hidung ke area ini saling berhubungan membentuk anastomosis.

Vaskularisasi cavum nasi

Modul 1Blok 19 Thanty

ETIOLOGI Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. 80 perdarahan berasal dari pembluh darah Pleksus Kiesselbach (area little). Pleksus Kiesselbach terletaj di spetu nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab local dan umum atau kelainan sistemik. 1) Lokal a. Trauma. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekeret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti dipukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. b. Infeksi. Infeksi hidung dan sinus paranasalis, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis, dan lepra. c. Neoplasma. Epistaksis yang berhbungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermitten, kadang-kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah. Hemangioma karsinoma serta angiofibroma dapat menyebabkan eistaksis berat. d. Kelainan konginetal. Kelainan konginetal yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telengiektasis kherediter (Osles;s disease). Pasien ini juga menderita telengiektsis di wajah, tangan atau bahkan di takrus gastrointestinal dan atau pembuluh darah paru. e. Sebab sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi presdiposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau erforasi, akan terpapar aliran udara perafasan yang cenderung mengeringkan sekeresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkantrauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane mukosa spetum dan kemudian perdarahan. f. Pengaruh lingkungan. Misalnya tinggal di daerah yang snagat tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan yang sangat kering. 2) Sistemik a. Kelainan darah, misalnya trombositopenia, hemophilia, dan leukemia, obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin, dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang. b. Penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi bias any hebat, sering kambuh, dan prognosisnya tidak baik. c. Infeksi akut, demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid. d. Gangguan endokrin. Pada wanita hamil, menarche, menopause sering terjadi epistaksis, kdangkadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi. e. Defisiensi vitamin C dan K f. Alkoholisme g. Penyakit von Willebrand

Modul 1Blok 19 Thanty

SUMBER PERDARAHAN Melihat asal pendarahan epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber pendarahan walaupun kadang-kadang sulit. 1. Epistaksis Anterior Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau arteri etmoidalis anterior. Pendarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, sering kali berulang. Pendarahan dapat berhenti sendiri dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana. 2. Epistaksis Postrior Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Pendarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriorsklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.

PATOFISIOLOGI Semua perdarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung yang mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan. Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan. Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

Modul 1Blok 19 Thanty

GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.

Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum-minuman keras. Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung dan dengan warna darah berwarna merah segar. Dan pada epistaksis posterior jika dilakukan pemeriksaan perdarahaan berasal dari dinding nasal lateral dan seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan yang terjadilebih hebat. Sehingga jarang berhenti spontan. Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia ini disebabkan karena lebih banyak penyebab epistaksis posrerior dari penyakit kardiovaskuler atau penyakit sistemik lainnya. Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan hemoptysis atau hematemesis. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku, sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa: a. Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan cermat.

Modul 1Blok 19 Thanty

b.

Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang

dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

c.

Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat

menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. d. Rontgen sinus Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi. e. Skrining terhadap koagulopati Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. f. Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.

DIAGNOSIS Dalam mendiagnosis pasien epistaxis memerlukan anamnesis yang lengkap untuk mengetahui penyebab pasti epistaxis. Dalam anamnesis ditanyakan : Lamanya pendarahan dan frekuensinya Apakah darah ada mengalir ke tenggorokan Riwayat pendarahan sebelumnya Menanyakan riwayat penyakit seperti ada tidaknya hipertensi, diabetes mellitus, gangguan pendarahan dalam keluarga, kelainan darah, infeksi local atau infeksi sistemik Kemudian melakukan pemeriksaan fisik berupa : Keadaan umum dan kesadaran pasien Pengukuran tekanan darah Frekuensi denyut nadi Frekuensi pernafasan Suhu tubuh

Modul 1Blok 19 Thanty

Pemeriksaan Penunjang Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis. o o o o o o Pemeriksaan darah tepi lengkap. Fungsi hemostatis EKG Tes fungsi hati dan ginjal Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.

DIAGNOSIS BANDING Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak anterior dalam cavitas nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa akibat memasukkan objek (lazim suatu jari tangan). Keadaan kering, terutama musim dingin, akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban, maka membrana hidung menjadi kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat mengelilingi perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran udara hidung abnormal dan bisa timbul perdarahan. Pada kelompok usia pediatri, benda asing dan alergi menjadi sebab lazim epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum yang membesar yang muncul dari lantai hidung. Perdarahan juga dapat terjadi pada trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang kemudian masuk ke hidung melalui sinus sphenoid atau tuba eustachius.

PENATALAKSANAAN Prinsipnya penatalaksanaan epistaxis 1. Awalnya perbaiki keadaan umum pasien, bila ada kelainan diatasi terlebih dulu misalnya dengan pemasangan infuse. Bila jalan nafas tersumbat oleh darah atau bekuan darah, maka dibersihkan atau diisap. 2. Mencari sumber pendarahan apakah dari anterior atau posterior. Diperlukan alat pemeriksaan berupa lampu kepala, speculum hidung, dan alat pengisap. Pasien diperiksa dalam posisi duduk biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Pasien dengan keadaan lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan posisi kepala ditinggikan. Untuk pasien anak-anak duduk dipangku dengan kepala dipegang agar tidak bergerak-gerak. 3. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain 2%, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. Tampon dibiarkan 10-15 menit lalu dapat dilihat apakah pendarahan dari anterior atau posterior. 4. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesik topikal terlebih dahulu. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus

Modul 1Blok 19 Thanty

berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dan diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari. 5. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).

Teknik Pemasangan Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat. Semakin meningkatnya penggunaan endoskop, akhir-akhir ini dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi pada arteri sfenopalatina dengan panduan endoskop.

KOMPLIKASI Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat perdarahan hebat : 1. Aspirasi darah ke dalam saluran pernapasan bawah 2. Syok dan anemia 3. Gagal ginjal 4. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. 5. Pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan infeksi Akibat pemasangan tampon : 1. Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinusitis, otitis media, dan septikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon hidung harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut, dipasang tampon baru. 2. Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui tuba Eustachius, dapat terjadi hemotimpanum

Modul 1Blok 19 Thanty

3. Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, dapat terjadi air mata berdarah (bloody tears).

4. Pada pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat terjadi laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. 5. Kateter balon atau tampon balon yang dipompa terlalu keras dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

PENATALAKSANAAN Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior. Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.

A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.5 Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau

Modul 1Blok 19 Thanty

dengan asam triklorasetat 10%.2 Becker (1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser. 2. Tampon Anterior Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Pemakaina pelumas ini agar tampon mudah dimasukan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukan atau dicabut. Tampon dimasukan sebanyak2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampn baru.

B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, balloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi. 1. Tampon Posterior Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.

Modul 1Blok 19 Thanty

2.

Tampon Balon Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon

posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior. 3. Ligasi Arteri Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung. a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.12 Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi local atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell Luc dan buat lubang

Modul 1Blok 19 Thanty

10

pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam. Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan. c. Ligasi Arteri Etmoidalis Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari Krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma. 4. Angiografi dan Embolisasi Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan

Modul 1Blok 19 Thanty

11

dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

PROGNOSIS Untuk sebagian besardari populasi umum, epistaksis hanyalah gangguan. Namun, masalahnya kadang-kadang dapat mengancam jiwa, terutama pada pasien lanjut usia dan pada pasien dengan masalah medis yang mendasari. Untungnya, kematian jarang terjadi dan biasanya akibat komplikasi dari hipovolemia, dengan pendarahan parah atau penyakit yang mendasari. Secara keseluruhan, prognosis yang baik tetapi variabel,dengan perawatan yang tepat, itu sangat baik. Ketika perawatan suportif yang memadai dan masalah medis yang mendasari dikontrol, kebanyakan pasien tidak mengalami perdarahan ulang apapun. Hal lain dapat kambuh kecil yang menghilang secara spontan atau dengan pengobatan diri yang minimal. Sebagian kecil pasien mungkin memerlukan perawatan mengemas ulang atau lebih agresif. Pasien dengan epistaksis yang terjadi dari membran kering atau trauma ringan melakukannya dengan baik, tanpa efek jangka panjang. Pasien dengan HHT cenderung memiliki beberapa kambuh terlepas dari modalitas pengobatan. Pasien dengan perdarahan dari masalah hematologi atau kanker memiliki prognosis variabel. Pasien yang telah menjalani kemasan hidung tunduk pada peningkatan morbiditas. 90 % kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.

Syarat merujuk Pasien Epistaksis : 1. Perbaiki keadaan Umum (nadi, suhu, pernapasan, tekanan darah) hingga terkontrol 2. Atasi perdarahan 3. Cari penyebab perdarahan 4. Bila penyebab tidak dapat diatasi atau ditangani, segera rujuk ke spesialis.

Modul 1Blok 19 Thanty

12

ANGIOFIBROMA

PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologis terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun secara histologis jinak, tetapi secara klinis tumor ini bersifat tumor ganas karen mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Angiofibroma nasofaring sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Tumor ini jarang ditemukan, merupakan 0,05% dari tumor keala dan leher. Biasanya ditemukan pada laki-laki dan remaja antara usia 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia lebi dari 25 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala tanda klinis adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring. Penanganan angiofibroma nasofaring dapat berupa pembedahan (ekstirpasi tumor), radioterapi, terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama dan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Pengobatan lain seperti pemberian hormonal, sitostatika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberi sebelum operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan selama operasi. Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain juvenile angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.

ANATOMI Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. 1. 2. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller. 3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole. 4. 5. Koana pada posterior rongga hidung. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori. 6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus. 7. Tulang temporalis bagian petrosa dan feromen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring.

Modul 1Blok 19 Thanty

13

8.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid. Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.

EPIDEMIOLOGI JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun. Insiden JNA adalah 1 dari 5.000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,05% dari semua tumor kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2.000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15.000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

ETIOLOGI Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang berada di occipital plate. Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid. Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri maksilaris juga dipostulasikan. Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene. Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonal dikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon

Modul 1Blok 19 Thanty

14

muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

PATOFISIOLOGI Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini. Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina. Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (bengkok) ke sisi lainnya. Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat diserbu atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut. Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi. Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor. Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.

Modul 1Blok 19 Thanty

15

Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abuabu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah. Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas. Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas kedalam : a. b. c. d. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat diserang. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas face-frog. Masuk melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior. e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering. Ada 2 jalan masuknya : Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.

PATOGENESIS Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa pendapat dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis. Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor

Modul 1Blok 19 Thanty

16

androgen (RA), reseptor progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki. Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile. Tumor ini mulai tumbuh di nasofaring, kemudian dapat meluas ke rongga hidung, sinus maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada pemeriksaan mungkin ditemukan benjolan pada pipi atau proptosis, ini disebabkan karena ekspansi masa tumor ke dalam spasium pterigomaksila dan orbita. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.

GEJALA KLINIS Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial. Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah besar.

Gejala 1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. 2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent). 3. 4. 5. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.

Modul 1Blok 19 Thanty

17

6.

Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.

7.

Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.

Tanda 1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%. 2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%. 3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Penemuan Histologis Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan. Laboratorium Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini. Biopsi Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi. Pemeriksaan Radiologis FOTO SINAR-X Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur

Modul 1Blok 19 Thanty

18

pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai tanda antral dan terdiri dari tulang anterior dari dinding posterior dari antrum maksillaris. Tanda ini sering sulit untuk dikenali. CT SCAN Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat. MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING) Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial. ANGIOGRAFI Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

STADIUM Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC.

Stadium I : Tumor di nasofaring. Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid. Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :


Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang. Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan destruksi tulang.

Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar menyisakan lateral ke sinus kavernosus.

Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pituitary.

Klasifikasi menurut Sessions : Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring. Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis. Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris. Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa erosi superior dari tulang orbita.

Modul 1Blok 19 Thanty

19

Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid); perluasan minimal intrakranial.

Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus kavernosus.

DIAGNOSIS BANDING 1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous). 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma). Polip koanal (choanal polyp). Polip angiomatosa (angiomatous polyp). Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst). Kordoma (chordoma). Karsinoma (carcinoma).

10. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, squamous cell carcinoma) 11. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal. 12. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital swellings).

PENATALAKSANAAN Terapi Medis Hormonal Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin. o o Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone receptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%. Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects). o o Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh. Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktorfaktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable). Radioterapi Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna

Modul 1Blok 19 Thanty

20

dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren. o o Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi radiasi. Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang berulang. o Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity). o External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah. Embolisasi Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.

Terapi Pembedahan Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA. Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II). Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral. Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior terhadap tumor. Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk. Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus. Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung dan sinus paranasal.

KOMPLIKASI Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan transfusi perioperative.

Modul 1Blok 19 Thanty

21

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.

PROGNOSIS Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor. Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan. Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %.

KONDISI YANG HARUS DILAKUKAN PASIEN UNTUK DIBAWA KE GAWAT DARURAT . Mencari perawatan medis melalui dokter atau ruang gawat darurat jika : a. Anda tidak dapat menghentikan perdarahan setelah lebih dari 15 sampai 20 menit dengan penekanan pada hidung b. c. Anda mengalami episode berulang dari perdarahan. Perdarahannya cepat & kehilangan darah dalam jumlah banyak ( melebihi secangkir kopi) Pendarahan disebabkan oleh cedera, seperti jatuh atau pukulan lain pada hidung atau wajah. Anda merasa lemah dan pingsan. Darah keluar melalui bagian belakang tenggorokan dan bukan melalui hidung walaupun Anda sedang dalam kondisi duduk dan kepala agak menunduk kedepan ( Hal ini sering terjadi pada orang tua dan dengan pasien tekanan darah tinggi).

d.
e. f.

Modul 1Blok 19 Thanty

22

KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, ia menduduki tempat ke empat setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit. Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini, disamping gejala dini lain yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebanya adalah tumor ganas di nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pengdengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berbunyi atau rasa nyeri di telinga. Lokasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel. Dalam penyebarannya, tumor dapat mendesak Tuba Eustachius serta mengganggu pergerakan otot Levator Palatini., yang berfungsi membuka tuba, sehingga fungsi tuba terganggu dan mengakibatkan gangguan pendengaran berupa menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang bersifat Reversibel.

EPIDEMIOLOGI Penyakit ini banyak ditemukan pada ras cina terutama yang tinggal di daerah selatan. Ras mongloid merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring, sehingga sering timbul di Negara-negara asia bagian selatan. Penyakit ini juga ditemukan pada orang-orang yang hidup di daerah iklim dingin, hal ini diduga karena penggunaan pengawet nitrosamine pada makanan-makanan yang mereka simpan.

ETIOLOGI Penyebab penyakit ini dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.

PATOFISIOLOGI Sudah hampir dipastikan bahwa penyebab dari kanker nasofaring adalah infeksi virus Epstein Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan kadar antivirus Virus Epstein Barr didapatkan cukup tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi adalah letak geografis yang sudah disebutkan diatas, penyakit ini lebih sering ditemukan pada laki-laki walaupun alasannya belum dapat dibuktikan hingga saat ini. Faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor lingkungan seperti iritasi oleh bahan kimia, asap, bumbu masakan, bahan pengawet, masakan yang terlalu panas, air yang memiliki kadar nikel yang cukup tinggi, dan kebiasaan seperti orang Eskimo yang mengawetkan ikannya dengan menggunakan nitrosamine. Tentang faktor keturunan sudah banyak diteliti tetapi hingga sekarang belum dapat ditarik kesimpulan. Satu hal lagi yang

Modul 1Blok 19 Thanty

23

penting diketahui adalah bahwa penyakit ini seringkali menyerang masyarakat dengan golongan sosial yang rendah, hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan dan lingkungan hidup di sekitar orang-orang tersebut

KLASIFIKASI WHO 1. 2. 3. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi

GEJALA DINI Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring. Gejala telinga Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius ( fosa Rosenmuller ). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman pada telinga sampai rasa nyeri di telinga. Gejala Hidung Epistaksis. Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus. Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala mata Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, V, VI, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien ke dokter mata. Gejala saraf Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jakson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrome unilateral. Gejala akibat metastasis Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

Modul 1Blok 19 Thanty

24

STADIUM Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002). T = Tumor primer

T0 - Tidak tampak tumor. T1 - Tumor terbatas di nasofaring T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak T2a : perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring T2b : disertai perluasan ke parafaring T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal T4 - Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

N N NXN0 N1

= Nodule Pembesaran kelenjar getah bening regional . pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai Tidak ada pembesaran. metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula .

N2 - .metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula N3 - metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak didalam fossa supraklavikula. N3a : ukuran lebih dari 6 cm N3b : di dalam fossa supraklavikula

M = Metastasis M = Metastesis jauh MX metastase jauh tidak dapat dinilai M0 - Tidak ada metastesis jauh. M1 Terdapat Metastesis jauh .

Stadium : Stadium O Stadium I Stadium II A Stadium II B : T1s dan N0 dan M0 : T1 No Mo : T2a dan No dan Mo : T1 N1 Mo T2a N1 Mo T2b No, N1 Mo

Modul 1Blok 19 Thanty

25

Stadium III

: T1 N2 dan M0 T2a, T2b N2 Mo T3 N2 Mo

Stadium IVa

: T4 N0, N1, N2 dan M0

IVb : semua T N3 Mo IVc : semua T semua N M1

PENATALAKSANAAN Stadium I Stadium II & III : radioterapi : kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tambahan yang dapat diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, kemoterapi, dan vaksin antivirus. Perhatian terhadap efek samping dari pemberian radioterapi seperti, mulut terasa kering, jamur pada mulut, rasa kaku di leher, sakit kepala, mual dan muntah kadang-kadang dapat timbul. Oleh karena itu dapat dianjurkan pada penderita untuk membawa air minum dalam aktivitas dan berusaha menjaga kebersihan pada mulut dan gigi. Pemberian vaksin pada penduduk dengan resiko tinggi dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian penyakit ini pada daerah tersebut

Modul 1Blok 19 Thanty

26

TUMOR HIDUNG DAN SINONASAL

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulangtulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.

DEFINISI Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi.

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2 per 10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki banding wanita sebesar 2 : 1. Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar. Banyak laporan mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja industri penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan. Di Amerika Serikat, insidensi tumor hidung tiap tahun kurang dari 1:100.000 penduduk, yang menyumbang sekitar 3% kanker dari saluran pernapasan atas. Di Jepang dan Uganda, frekuensi tumor ini dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat. Kecuali untuk tumor non-epitel, tumor hidung ganas hampir tidak ditemukan pada anak-anak. Prevalensi tumor hidung ganas meningkat sesuai umur yaitu 7 : 100.000 pada pasien dalam delapan dekade. Rousch (1999) memperkirakan bahwa di atas 80% dari semua tumor ganas pada manusia dihubungkan dengan lingkungan. Bagaimanapun perkiraan ini kemungkinan tinggi, bukti adanya penyebab lingkungan dari tumor hidung terutama pada pasien-pasien yang terpapar nikel, chromium, hydrocarbon dan isopropyl oils.

Modul 1Blok 19 Thanty

27

Risiko kanker meningkat pada tukang kayu, tukang sepatu dan boot, dan pembuat furniture. Karena kompleksnya paparan faktor lingkungan pada kelompok ini, agen yang berperan sulit diidentifikasi. Paparan hidrokarbon juga meningkatkan juga meningkatkan kanker hidung. Sekitar 55% tumor hidung dan sinus berasal dari sinus maxillary, 35% dari kavum nasi, 9% sinus ethmoid, dan 1% sinus frontal dan sphenoid dan septum. Untuk tumor yang besar, asal tumor sulit untuk diidentifikasi.

JENIS HISTOPATOLOGI Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non-epitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain. Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non epitelial ganas adalah hemangioperisitoma, bermacammacam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum, plasmasitoma atau pun polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah ini. Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan operasi harus radikal.

KLASIFIKASI A. Tumor Jinak Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted. Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media. Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke anterior.

B.

Tumor Ganas Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma yang

berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena.

Modul 1Blok 19 Thanty

28

Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik. Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.

Karsinoma Sel Skuamosa Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang mengenai sinus

maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini. Sel skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat 70% diikuti keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik. Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T 3/T4). Reseksi bedah diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-kasus yang dapat direseksi.

Adenokarsinoma Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung dan sinus paranasal

pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara histologis menjadi tingkat tinggi dan rendah.

Melanoma Maligna Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan kanker

yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan. Keseluruhan prognosisnya buruk.

Estesioneuroblastoma Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius yang jarang terjadi.

Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan apakah terdapat perluasan pada intrakranial.

Modul 1Blok 19 Thanty

29

C.

Invasi Sekunder a. Pituitary adenomas b. Chordomas c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik, neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus lakrimal).

PEMERIKSAAN A. Gejala dan Tanda : Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial. Tergantung dari perluasan tumor, gejala - gejalanya dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Gejala Nasal : gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. b. Gejala Orbital : perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. c. Gejala Oral : perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. d. Gejala Fasial : perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus. e. Gejala Intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

B.

Pemeriksaan Fisik : Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak.

Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.

Modul 1Blok 19 Thanty

30

C.

Pemeriksaan Penunjang Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat

unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.

DIAGNOSIS Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.

STAGING : Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di Indonesia adalah klasifikasi UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk sinus sphenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Perlu diingat bahwa keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma malignum di kulit sekitar hidung dan sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor hidung dan sinus paranasal. Perluasan tumor primer dikatagorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan T1, tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, yakni tumor meluas ke orbita, sinus sphenoid dan frontal dan atau rongga intracranial. Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikatagorikan dengan N0 (tidak diketemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar kurang atau sama dengan 3 centimeter (cm), N2 (diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan N3 (diameter terbesar lebih dari 6 cm). Metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada metastasis) dan M1 (ada metastasis). Adapun pembagian sistem TNM menurut Simson, adalah sebagai berikut : T T1 : Tumor. :

a. Tumor pada dinding anterior antrum. b. Tumor pada dinding nasoantral inferior. c. Tumor pada palatum bagian anteromedial. T2 :

a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot. b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.

Modul 1Blok 19 Thanty

31

T3

a. Invasi ke m. pterigoid. b. Invasi ke orbita c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa. d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya. T4 :

a. Invasi ke lamina kribrosa. b. Invasi ke fosa pterigoid. c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra lateral. d. Invasi ke lamina pterigoid. e. Invasi ke selule etmoid posterior. f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N N1 N2

: Kelenjar Getah Bening Regional. : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan. : Tidak dapat digerakkan.

: Metastasis.

M1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus. M2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadiumnya, yaitu stadium dini (stadium 1 dan 2) dan stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.

Stadium : Stadium 0 Stadium I Stadium IIA Stadium IIB T1s T1 T2a T1 T2a T2b Stadium III T1 T2a,T2b T3 Stadium IV A Stadium IV B Stadium IV C T4 Semua T Semua T N2 N2 N2 N0,N1,N2 N3 Semua N N0 N0 N0 N1 N1 N0,N1 M0 M0 M0 M0 M0 M1 M0 M0 M0 M0 M0 M0

Modul 1Blok 19 Thanty

32

PENATALAKSANAAN Pada tumor jinak dilakukan eksterpasing sebersih mungkin. Pada tumor ganas, terapi merupakankombinasi operasi, radioterapi (sesudah atau sebelim operasi), dan kemoterapi. Kadang-kadang setelah operasi diperlukan rekontruksi dengan protese (bedah plastik) dan rehabilitasi.

Terapi Tumor jinak: Terapi pilihan adalah pembedahan dengan pendekatan antara lain: 1. Rinotomi lateral 2. Caldwell-Luc 3. Pendekatan trans-palatal

Tumor ganas: 1. Pembedahan: Reseksi: o Rinotomi lateral o Maksilektomi partial/total (kombinasi eksenterasi orbita atau dengan kombinasi deseksi leher radikal) Paliatif: mengurangi besar tumor (debulking) sebelum radiasi. 2. Radiasi: Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (misalnya Karsinoma Anaplastik undifferentiated) 3. Kemoterapi: Dilakukan atas indikasi tertentu (misalnya Tumor sangat besar/inoperable, metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi)

PROGNOSIS Prognosis meningkat pada pasien penyajian dengan primary ethmoid, awal lesi diobati dengan baik radiasi dan pembedahan, dan dengan sejarah terbalik papilloma.20 SCCA lain seperti kepala dan leher, getah bening keterlibatan node adalah langka dan selektif getah bening node diseksi tidak menganjurkan . Tingkat ketahanan hidup 5 tahun adalah 60-64%, dan tingkat kekambuhan diperkirakan 31%.

Modul 1Blok 19 Thanty

33

You might also like