You are on page 1of 86

VASKULARISASI OTAK (STROKE)

Arterialisasi: 1. A. Spinalis anterior (1 buah): Merupakan cabang dari a. Vertebralis (=cabang dari a. Subclavia) kiri dan kanan, yang kemudian bergabung menjadi satu pembuluh, yaitu a. Spinalis anterior. 2. A. Spinalis posterior (2 buah): Merupakan cabang dari a. Vertebralis kiri dan kanan, tidak menggabung menjadi satu, akan tetapi tetap berupa dua arteri, yaitu : A. Spinalis posterior sinistra dan a. Spinalis posterior dextra. 3. Rami spinalis: terbagi menjadi 4, yaitu: Pars cervicalis, Pars thoracica, Pars lumbalis, Pars sacralis.

Rami spinalis pars cervicalis: masing-masing merupakan cabang dari a. vertebralis dan/atau a .cervicalis ascendens. Rami spinalis pars thoracica: I dan II merupakan cabang dari a. Intercostalis suprema. III sampai XII merupakan cabang dari ramus dorsalis a. Intercostalis III sampai dengan XII, yang masing-masing adalah cabang dari aorta thoracalis. Rami spinalis pars lumbalis: I sampai dengan V merupakan cabang dari a. Lumbalis. Rami spinalis pars sacralis: I sampai dengan V merupakan cabang dari a. Sacralis lateralis. Rami spinalis tersebut akan pecah menjadi dua, yaitu a. Adicularis anterior dan a. Radicularis posterior yang mengikuti jalannya radix anterior dan radix posterior. Kedua arteri ini kemudian, bersama-sama denga a. spinalis anterior dan a. Spinalis posterior membentuk suatu lingkaran pembuluh di dalam pia mater medulla spinalis yang disbut vasa corona anteriosum. Dari sini kemudian dikeluarkan cabang-cabang yang menembus pia mater dan yang memberi darah kepada substantia alba medulla spinalis. Untuk substantia grisea medulla spinalis, darahnya dating dari cabang a. spinalis anterior(ada 2 cabang), yaitu yang disebut a. sulco-commisuralis. Arteri ini akan pecah menjadi pembuluh-pembuluh yang memberikan darahnya kepada substantia grisea.

Aliran darah venous: Darah venous dari medulla spinalis disalurkan melalui pembuluh-pembuluh yang kemudian membentuk suatu plexus venosus di dalam pia mater.

Di dalam plexus venosus ini masuk pula: 1. V. Spinalis anterior (2 buah), yang seterusnya pergi ke v. Vertebralis, lalu masuk ke dalam v. Anonyma.

Modul 2 Blok 19 Thanty

2. V. Spinalis posterior (1 buah), yang masuk ke dalam v. Vertebralis dan selanjutnya ke dalam v. Anonyma. 3. V. Radicularis anterior dan v. Radicularis posterior bergabung menjadi satu dan membentuk v. Intervertebralis.

Vena spinalis anterior et posterior, vena radicularis anterior et posterior, dan plexus venosus yang terdapat di dalam pia mater medulla spinalis membentuk suatu lingkaran venosus yang disebut vasa coronavenosum. Darah dari v. Intervertebralis kemudian disalurkan sebagai berikut: 1. Pars cervicalis: Ke v. Vertebralis, kemudian ke v. anonyma. 2. Pars thoracica I + II masuk ke dalam v. Intercostalis suprema. Kemudian yang sinistra masuk ke dalam v. Hemiazygos accesoria, ke v. Azygos, lalu ke v. Cava superior. Yang dextra masuk ke dalam v. Azygos dan v. Cava superior. 3. Pars thoracica III sampai XII: Masuk ke dalam v. intercostalis. Kemudian yang sinistra masuk ke dalam v. Hemiazygos, terus ke v. Cava superior. Yang dextra masuk ke dalam v. Azygos, lalu ke v. Cava superior. 4. Pars lumbalis: Akan masuk ke dalam v. Lumbalis. Yang sinistra kemudian masuk ke dalam v. Hemiazygos dan v. Cava superior. 5. Pars sacralis: Akan masuk ke dalam v. Sacralis lateralis, lalu ke v. Glutea superior, v. hypogastrica, v. iliaca communis dan akhirnya masuk ke dalam v. Cava inferior.

Modul 2 Blok 19 Thanty

PENURUNAN KESADARAN

PENGERTIAN Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Sementara penurunan kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga / tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal / mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.

Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu : 1. Kompos mentis Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dalam. 2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun. 3. Stupor / Sopor Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri. 4. Soporokoma / Semikoma Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif. 5. Koma Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara maupun reaksi motorik.

ETIOLOGI Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah SEMENITE yaitu : a. S: Sirkulasi Meliputi stroke dan penyakit jantung b. E: Ensefalitis Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan. c. M: Metabolik Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum d. E: Elektrolit Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. Modul 2 Blok 19 Thanty 3

e. N: Neoplasma Tumor otak baik primer maupun metastasis f. I: Intoksikasi Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan kesadaran g. T: Trauma Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. h. E: Epilepsi Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

MEKANISME PENURUNAN KESADARAN Kesadaran sangat tergantung dari 2 hal, yaitu RAS (Reticular Activating System) dan Korteks Serebri Bilateral. Sehingga Kesadaran akan terganggu jika salah satu dua hal tersebut mengalami gangguan yang etiologinya sudah disebutkan diatas.

Korteks Serebral

Brain stem

Reticular Activating System

MANIFESTASI KLINIS Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah : Penurunan kesadaran secara kwalitatif GCS kurang dari 13 Sakit kepala hebat Muntah proyektil Papil edema Asimetris pupil Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif Demam Gelisah Kejang Retensi lendir / sputum di tenggorokan Retensi atau inkontinensia urin Hipertensi atau hipotensi Takikardi atau bradikardi Takipnu atau dispnea Edema lokal atau anasarka Sianosis, pucat dan sebagainya. 4

Modul 2 Blok 19 Thanty

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab penurunan kesadaran yaitu : - Laboratorium darah ;Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah ( BUN ), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol, obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ). - CT Scan ; pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak - PET ( Positron Emission Tomography );untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak. - SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography );untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke. - MRI ; Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak. - Angiografi serebral ; Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi arteriovena. - Ekoensefalography ; Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas dan neoplasma. - EEG ( elektroensefalography ); Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses, jaringan parut otak, infeksi otak. - EMG ( Elektromiography ); Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit lain.

PENGKAJIAN PRIMER 1. Airway a. Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas b. Terjadi penurunan kesadaran c. Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll d. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan 2. Breathing a. Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll b. Sianosis c. Takipnu 3. Circulation a. Hipotensi / hipertensi b. Takipnu c. Hipotermi d. Pucat Modul 2 Blok 19 Thanty e. Ekstremitas dingin f. Penurunan capillary refill g. Produksi urin menurun h. Nyeri 5 d. Dispnea e. Hipoksia f. Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi e. Gelisah f. Sianosis g. Kejang h. Retensi lendir / sputum di tenggorokan i. Suara serak j. Batuk

i. Pembesaran

kelenjar

getah

bening

PENGKAJIAN SEKUNDER 1. Riwayat penyakit sebelumnya Apakah klien pernah menderita : a. Penyakit stroke b. Infeksi otak c. DM d. Diare dan muntah yang berlebihan e. Tumor otak f. Intoksiaksi insektisida g. Trauma kepala h. Epilepsi dll.

2.

Pemeriksaan fisik a. Aktivitas dan istirahat Data Subyektif: kesulitan dalam beraktivitas kelemahan kehilangan sensasi atau paralysis. Data obyektif: Perubahan tingkat kesadaran Perubahan tonus otot (flasid atau spastic), paraliysis (hemiplegia) , kelemahan umum. gangguan penglihatan b. Sirkulasi Data Subyektif: Riwayat penyakit stroke Riwayat penyakit jantung Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung, endokarditis bacterial. Polisitemia. Data obyektif: Hipertensi arterial Disritmia Perubahan EKG Pulsasi : kemungkinan bervariasi Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal c. Eliminasi Data Subyektif: Inkontinensia urin / alvi Anuria Data obyektif Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ) mudah lelah kesulitan istirahat nyeri atau kejang otot

Modul 2 Blok 19 Thanty

Tidak adanya suara usus( ileus paralitik ) d. Makan/ minum Data Subyektif: Nafsu makan hilang Nausea Vomitus menandakan adanya PTIK Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan Disfagia Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah Data obyektif: Obesitas ( faktor resiko ) e. Sensori neural Data Subyektif: Syncope Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid. Kelemahan Kesemutan/kebas Penglihatan berkurang Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada muka Gangguan rasa pengecapan Gangguan penciuman Data obyektif: Status mental Penurunan kesadaran Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis, menyerang) Gangguan fungsi kognitif Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam Wajah: paralisis / parese Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan

berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya. ) Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli taktil Kehilangan kemampuan mendengar Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya positif / negatif, ukuran pupil isokor / anisokor, diameter pupil f. Nyeri / kenyamanan Modul 2 Blok 19 Thanty 7

Data Subyektif: Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya Data obyektif: Tingkah laku yang tidak stabil Gelisah Ketegangan otot

g. Respirasi Data Subyektif : perokok ( faktor resiko ) h. Keamanan Data obyektif: Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan Perubahan persepsi terhadap tubuh Kesulitan untuk melihat objek Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan Berkurang kesadaran diri i. Interaksi sosial Data obyektif: Problem berbicara Ketidakmampuan berkomunikasi

3.

Menilai GCS Ada 3 hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan Skala Coma Glasgow : Respon motorik Respon bicara Pembukaan mata Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan. Penilaian pada Glasgow Coma Scale Respon motorik Nillai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan, menunjukkan jumlah jari-jari dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa, melepaskan gangguan. Nilai 5: Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan seperti tekanan pada sternum, cubitan pada M. Trapezius Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak mampu menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan tangannya. Nilai 3 : fleksi abnormal . 8

Modul 2 Blok 19 Thanty

Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decorticate rigidity ) Nilai 2 : ekstensi abnormal. Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity ) Nilai 1 : Catatan : - Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat - Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu negatif Respon verbal atau bicara Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini tidak berlaku bila pasien : - Dispasia atau apasia - Mengalami trauma mulut - Dipasang intubasi trakhea (ETT) Nilai 5 : pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara . siapa dirinya , berada dimana, tanggal hari. Nilai 4 : Nilai 3 : pasien confuse atau tidak orientasi penuh bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak menyambung dengan apa yang sedang dibicarakan Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya (ngrenyem), suara-suara tidak dapat dikenali makna katanya Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri orientasi waktu, tempat , orang, Sama sekali tidak ada respon

Respon membukanya mata Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau kedua matanya Catatan: Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata. Nilai 4 : Nilai 3 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau diperintahkan membuka mata Nilai 2 : Nilai 1 : Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri

4.

Menilai reflek-reflek patologis : a. Reflek Babinsky Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar b. Reflek Kremaster :

Modul 2 Blok 19 Thanty

Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya atau mengerutnya testis. Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus corticulspinal

5.

Uji syaraf kranial : NI.N. Olfaktorius penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau, wangi-wangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup N.II. N. Opticus Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata . digunakan optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus ditentukan dengan kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala arah , diameter pupil , reflek cahaya dan reflek akomodasi N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik, Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang bawah serta goresan kapas dan mata tertutup Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi depan )bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang dijulurkan (gula , garam , asam) N.VIII/ Vestibulo - acusticus Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber , Schwabach dengan garpu tala. N.IX/ Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan ( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus , gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam.

DIAGNOSIS DAN INTERVENSI 1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam. Modul 2 Blok 19 Thanty 10

Kriteria hasil : - Tidak ada tanda tanda peningkatan TIK - Tanda tanda vital dalam batas normal - Tidak adanya penurunan kesadaran Intervensi : Mandiri : - Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK - Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart - Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana - Pantau tekanan darah - Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan penglihatan kabur - Pantau suhu lingkungan - Pantau intake, output, turgor - Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah - Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai - Tinggikan kepala 15-45 derajat Kolaborasi : - Berikan oksigen sesuai indikasi - Berikan obat sesuai indikasi 2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam. Kriteria hasil: - Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas - Ekspansi dada simetris - Bunyi napas bersih saat auskultasi - Tidak terdapat tanda distress pernapasan - GDA dan tanda vital dalam batas normal Intervensi: Mandiri : - Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi - Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal - Penghisapan sekresi - Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam Kolaborasi : - Berikan oksigenasi sesuai advis - Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi Modul 2 Blok 19 Thanty 11

3.

Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan Tujuan : Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam Kriteria hasil: - RR 16-24 x permenit - Ekspansi dada normal - Sesak nafas hilang / berkurang - Tidak suara nafas abnormal Intervensi : Mandiri : - Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. - Auskultasi bunyi nafas. - Pantau penurunan bunyi nafas. - Berikan posisi yang nyaman : semi fowler - Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan Kolaborasi : - Berikan oksigenasi sesuai advis - Berikan obat sesuai indikasi

4.

Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap hipoventilasi Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat Kriteria Hasil : Pasien mampu menunjukkan : - Bunyi paru bersih - Warna kulit normal - Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan Intervensi : Mandiri : - Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia - Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter. - Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2 - Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP. - Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam

Modul 2 Blok 19 Thanty

12

- Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan - Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen. - Pantau irama jantung Kolaboraasi : - Berikan cairan parenteral sesuai pesanan - Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

KEJANG

ETIOLOGI KEJANG : a. b. Kejang Demam Infeksi : Meningitis Ensefalitis c. Gangguan Metabolik : Hipoglikemia, Hiponatremia, Hipoksemia, Hipokalsemia, Gangguan Elektrolit, Defisiensi Piridoksin, Gagal Ginjal, Gagal Hati, Gangguan Metabolik Bawaan. d. e. Trauma Kepala Keracunan : Alkohol, Teofilin f. g. Penghentian Obat Anti Epilepsi Lain-Lain: Enselopati Hipertensi, Tumor Otak, Perdarahan Intrakranial, Idiopatik

MEKANISME TERJADINYA KEJANG Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran. Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh : 1. 2. 3. Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter Asam Gama Amino Butirat (GABA) Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat inhibisi yang tidak sempurna.

Modul 2 Blok 19 Thanty

13

STROKE DEFINISI STROKE Menurut WHO (2004) definisi stroke adalah terganggunya aliran darah di otak yang menyebabkan gangguan fungsional otak fokal maupun menyeluruh yang mendadak dan akut yang berlangsung kurang dari 24 jam dan dapat menimbulkan kematian (WHO,2004)

FAKTOR RESIKO STROKE Faktor risiko adalah karakteristik (demografi, psikologi, anatomi, fisiologi dan patologi) yang ada pada seseorang yang dapat menimbulkan atau meningkatkan risiko untuk menderita penyakit tertentu. Berbagai macam faktor risiko dilaporkan pada patogenesis terjadinya stroke namun faktor usia, hipertensi, merokok, dan diabetes dikatakan sebagai faktor risiko yang mendahului pada semua jenis stroke. Penyakit jantung juga banyak didapatkan dalam kaitan dengan stroke iskemik. Faktor resiko adalah faktor yang dapat menyebabkan seseorang mudah mengalami stroke. Faktor resiko stroke dibagi menjadi 2 yaitu : Faktor yang tidak dimodifikasi yaitu usia, jenis kelamin, ras /suku dan keturunan Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu hipertensi, atrial fibrilasi, Diabetes Melitus, dislipidemia, merokok, alkohol dan kurang beraktivitas. Faktor risiko terjadinya stroke dapat dibagi dalam: a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah (Non Modifiable) 1. Usia Insiden stroke akan meningkat secara eksponensial menjadi dua hingg tiga kali lipat setiap dekade diatas usia 50 tahun dan ada data yang menyebutkan 1 dari 3 orang yang berusia diatas 60 tahun akan tenderita salah satu jenis stroke. 2. Jenis kelamin Ternyata pria lebih berisiko kena serangan stroke, demikian hasil penelitian. Tetapi lebih banyak wanita yang meninggal karena stroke. Serangan stroke pada pria umumnya terjadi pada usia lebih muda dibanding wanita, sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Wanita, meski jarang kena stroke, namun serangan itu datang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan meninggal lebih besar. 3. Genetik Riwayat stroke pada orang tua (baik ayah maupun ibu) akan meningkatkan risiko stroke. Peningkatan risiko stroke ini dapat diperantarai oleh beberapa mekanisme, yaitu: penurunan genetis faktor risiko stroke,, penurunan kepekaan terhadap faktor risiko stroke, pengaruh keluarga pada pola hidup dan paparan lingkungan,, interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.

Modul 2 Blok 19 Thanty

14

4.

Ras Di Amerika Serikat, berbagai laporan epidemiologi menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dalam hal insidensi untuk semua jenis stroke dan infark serebri lebih besar pada kelompok berkulit hitam. Lebih banyak dijumpai faktor risiko seperti hipertensi dan diabetes pada kelompok berkulit hitam.

b. Faktor risiko yang telah diketahui dan dapat diubah 1. Hipertensi Hipertensi memegang peranan penting dan sering menyebabkan gangguan fungsi otak dan struktur otak manusia melalui mekanisme gangguan vaskuler. Infark dan perdarahan otak merupakan stadium akhir akibat memburuknya gangguan vaskuler di otak. Stroke yang terjadi akibat hipertensi disebabkan adanya perubahan patologis yang terjadi pada pembuluh arah serebral di alam jaringan otak yang mempunyai dinding relative tipis. Perubahan ini menunjukkan faktor predisposisi stroke secara langsung dan peningkatan proses aterogenesis merupakan faktor predisposisi perdarahan dan infark otak. Selain itu hipertensi menyebabkan gangguan autoregulasi pembuluh darah otak sehingga aliran darah otak menurun. Patofisiologi bagaimana hipertensi menyebabkan stroke berkaitan dengan perubahan struktur dalam arteri-arteri kecil dan arteriol yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah progresif. Akibat dari penyempitan pembuluh darah ini makan aliran darah arteri akan terganggu dan dapat menyebabkan mikroinfark jaringan. Obstruksi atau rupture pembuluh darah otak merupakan penyebab sekiar sepertiga kematian akibat hipertensi. 2. Merokok Merokok dapat menigkatkan koagubilitas, viskositas, konsentrasi fibrinogen, hematokrit, tekana darah, menurunkan kadar HDL, dan mendorong agregasi platelet. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terjadinya penebalan endotel pembuluh darah. Merokok dapat mempengaruhi faktor-faktor fisiologis, patologis, hematologis,dan metabolik yang masing-masing faktor tersebut dapat berperan pada mulainya, perkembangannya, dan akhirnya timbul aterosklerosis. Mekanisme terjadinya ateroma akibat merokok belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan akibat: stimulasi system saraf simpatis oleh nikotin dan ikatan O2 dengan Hb akan digantikan oleh CO2 , reaksi imunologi direk pada ining pembuluh darah, peningkatan agregasi trombosit, dan peningkatan permeabilitas endotel terhadap lipid akibat zat-zat yang terdapat di dalam rokok. 3. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan secara bermakna meningkatkan kemungkina timbulnya aterosklerosis. DM mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang berukuran besar, sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah dan mengganggu kelancaran aliran darah otak, dan pada akhirnya akan menyebabkan infark sel otak. Modul 2 Blok 19 Thanty 15

4.

Hiperkolesterolemia Meningkatnya kadar kolesterol dalam darah,terutama LDL, penurunan kadar HDL merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya aterosklerosis.

Tabel klasifikasi kolesterol total, LDL, HDL dan TG (NCEP-ATP III) Jenis Lipid Kadar (mg/dl) < 200 Kolesterol Total 200-239 240 < 100 100-129 LDL 130-159 160-189 190 HDL < 40 60 < 150 Trigliserida 150-199 200-499 500 Keterangan Optimal Diinginkan Tinggi Optimal Mendekati Optimal Diinginkan Tinggi Sangat Tinggi Rendah Tinggi Optimal Diinginkan Tinggi Sangat Tinggi

5.

Penyalahgunaan alkohol Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis, biasanya terjadi pada penderita dengan hipertensi dan diabetes mellitus.

6.

Obesitas Secara fisiologis, obesitas diefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung dan faktor resiko sekunder untuk stroke melalui penyakit jantung terlebih dahulu.

7.

Penyakit jantung Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke di kemudian hari. Penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot jantung, dan gangguan irama denyut jantung merupakan faktor resiko stroke yang cukup potensial. Faktor resiko ini pada umumnya akan menimbulkan sumbatan aliran darah ke otak Karen ajantung melepas gumpalan darah atau sel-sel yang telah mati ke dalam aliran darah/emboli.

Modul 2 Blok 19 Thanty

16

8.

Fibrilasi atrium Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang pria dewasa, AF ditemukan pada 1-1,5% populasi di negara-negara barat dan merupakan salah satu faktor risiko independen stroke Atrial fibrilasi apapun penyebabnya dapat menyebabkan terjadinya emboli/sumabatn darah yang memicu terjadinya suatu stroke Atrial fibrilasi non valvuler sebagai penyebab sumber emboli mempunyai variasi yang luas yaitu mulai dari lone atrial fibrillation sampai ventrikel dengan gagal jantung kongestif. Pasien dengan atrial fibrilasi paroksismal maupun persisten dan penyakit jantung katup seperti stenosis mitral memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya emboli pada masa yang akan datang dan membutuhkan antikoagulan . Atrial fibrilasi sangat penting, merupakan faktor risiko stroke yang dapat diatasi. Risiko terjadinya stroke diketahui rendah (2% pertahun) pada pasien yang diterapi dengan asprin. Perlu menjadi catatan bahwa pedoman dapat bervariasi pada pengelolaan faktor risiko stroke.

KLASIFIKASI STROKE : Klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) Stroke diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Berdasarkan kelainan patologis a) Stroke hemoragik Perdarahan intra serebral Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid) b) Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan) Stroke akibat trombosis serebri Emboli serebri Hipoperfusi sistemik 2. Berdasarkan waktu terjadinya a) Transient Ischemic Attack (TIA) b) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) c) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke d) Completed stroke 3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler a) Sistem karotis Motorik : hemiparese kontralateral, disartria Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia Modul 2 Blok 19 Thanty 17

b) Sistem vertebrobasiler Motorik : hemiparese alternans, disartria Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

PATOFISIOLOGI

Modul 2 Blok 19 Thanty

18

Penetapan Jenis Stroke berdasarkan Algoritma Stroke Gadjah Mada ALGORITMA STROKE GADJAH MADA
PENDERITA STROKE AKUT

Dengan atau tanpa PENURUNAN KESADARAN NYERI KEPALA REFLEKS BABINSKI

Ketiganya atau 2 dari ketiganya ada (+)

Ya

Stroke perdarahan intraserebral

Tidak Penurunan kesadaran (+) Nyeri kepala (-) Refleks Babinski (-)

Ya

Stroke perdarahan intraserebral

Tidak

Tidak
Penurunan kesadaran (-) Nyeri kepala (+) Refleks Babinski (-) Ya Stroke perdarahan intraserebral

Tidak Penurunan kesadaran (-) Nyeri kepala (-) Refleks Babinski (+) Tidak Penurunan kesadaran (-) Nyeri kepala (-) Refleks Babinski (-) Stroke iskemik akut atau sroke infark Stroke iskemik akut atau stroke infark

Ya

Ya

Modul 2 Blok 19 Thanty

19

Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj stroke score

SIRIRAJ STROKE SCORE (SSS) No 1. GEJALA/TANDA KESADARAN PENILAIAN (0) Kompos mentis (1) Mengantuk (2) Semi koma/koma (0) Tidak (1) Ya (0) Tidak (1) Ya Diastolik (0) Tidak (1) Ya INDEKS X 2,5 SKOR +

2. 3. 4. 5.

MUNTAH NYERI KEPALA TEKANAN DARAH ATEROMA a. DM b. Angina pektoris c. Klaudikasio Intermiten KONSTANTE HASIL SSS

X2 X2 X 10 % X (-3)

+ + + -

6.

- 12

-12

CATATAN

: 1. SSS > 1 = Stroke hemoragik 2. SSS < -1 = Stroke non hemoragik

Modul 2 Blok 19 Thanty

20

STROKE HEMORAGIK

Menurut WHO, dalam International Statistic Classification of Disease and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas: 1. Perdarahan Intraserebral (PIS) 2. Perdarahan Subaraknoidal (PSA)

PERDARAHAN INTRASEREBRAL (PIS) Definisi Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vascular. Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer adalah suatu sindroma yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam substansi otak.

Epidemiologi Perdarahan intraserebral dua kali lebih banyak dibanding perdarahan subarakhnoid (PSA) dan lebih berpotensi menyebabkan kematian atau disabilitas dibanding infark serebri atau PSA. Sekitar 10% kasus stroke disebabkan oleh PIS. Sumber data dari Stroke Data Bank (SDB), menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari 10 kasus stroke disebabkan oleh perdarahan parenkim otak. Populasi dimana frekuensi hipertensinya tinggi, seperti Amerika-Afrika dan orang-orang Cina, Jepang dan keturunan Thai, memiliki frekuensi yang tinggi terjadinya PIS. Perdarahan intraserebral dapat terjadi pada rentang umur yang lebar, dapat terjadi pada dekade tujuh puluh, delapan puluh dan sembilan puluh. Walaupun persentase tertinggi kasus stroke pada usia dibawah 40 tahun adalah kasus perdarahan, PIS sering juga terjadi pada usia yang lebih lanjut. Usia lanjut dan hipertensi merupakan faktor resiko paling penting dalam PIS. Perdarahan intraserebral terjadi sedikit lebih sering pada pria dibanding wanita dan lebih sering pada usia muda dan setengah-baya pada ras kulit hitam dibanding kulit putih di usia yang sama.

Patofisiologi Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik. Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil, terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak.

Modul 2 Blok 19 Thanty

21

Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS dapat disebabkan adanya cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan ini disebabkan adanya akumulasi protein -amyloid didalam dinding arteri leptomeningen dan kortikal yang berukuran kecil dan sedang. Penumpukan protein -amyloid ini menggantikan kolagen dan elemen-elemen kontraktil, menyebabkan arteri menjadi rapuh dan lemah, yang memudahkan terjadinya resiko ruptur spontan. Berkurangnya elemen-elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat menimbulkan perdarahan masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang subdural. Selanjutnya, berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan perdarahan di kemudian hari. Hal ini memiliki hubungan yang signifikan antara apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang berhubungan dengan amyloid angiopathy. Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation/AVM) pada otak dapat ruptur dan menimbulkan perdarahan intraserebral tipe lobular. Gangguan aliran venous karena stenosis atau oklusi dari aliran vena akan meningkatkan terjadinya perdarahan dari suatu AVM. Terapi antikoagulan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan intraserebral, terutama pada pasien-pasien dengan trombosis vena, emboli paru, penyakit serebrovaskular dengan transient ischemic attack (TIA) atau katub jantung prostetik. Nilai international normalized ratio (INR) 2,0 - 3,0 merupakan batas adekuat antikoagulasi pada semua kasus kecuali untuk pencegahan emboli pada katub jantung prostetik, dimana nilai yang direkomendasikan berkisar 2,5 - 3,5. Antikoagulan lain seperti heparin, trombolitik dan aspirin meningkatkan resiko PIS. Penggunaan trornbolitik setelah infark miokard sering diikuti terjadinya PIS pada beberapa ribu pasien tiap tahunnya.

Gejala Klinis Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran yang berkembang cepat sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di dapati hipertensi kronik. Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi uncal dengan hiiangnya fungsi batang otak dapat terjadi. Pasien yang selamat secara bertahap mengalami pemulihan kesadaran dalam beberapa hari. Pasien dengan perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral. Pasien usia tua dengan tekanan darah normal yang mengalami PIS atau perdarahan intraserebellar karena amyloid angiopathy biasanya telah menderita penyakit Alzheimer atau demensia progresif tipe Alzheimer dan dalam perjalanannnya perdarahan dapat memasuki rongga subarakhnoid. Serangan sering kali di siang hari, waku bergiat atau emosi/marah. Sifat nyeri kepala : nyeri hebat sekali. Mual-muntah, sering terdapat pada permulaan serangan. Hemiparese atau hemiplegi biasa terjadi sejak permulaan serangan. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma.

Diagnosis Pemeriksaan saat serangan danriwayat medis sebelumnya memberi nilai penting akan penyebab perdarahan. Sebagai tambahan, pemeriksaan fisik umum dengan teliti serta pemeriksaan neurologis adalah esensial. Berdasar temuan tersebut dan pengetahuan akan tampilan klinis PIS, harus mewaspadakan kita akan adanya lesi massa intrakranial, namun juga kemungkinan etiologi dan lokasi. Modul 2 Blok 19 Thanty 22

1.

Pungsi lumbar Walau gambaran klinis sering cukup untuk memperkirakan diagnosis, ia tak dapat ditegakkan

dengan pasti hingga adanya ruptur aneurisma disingkirkan. Pungsi lumbar dilakukan pada semua kasus yang diperkirakan tidak disertai peninggian tekanan intrakranial. 2. Tomografi terkomputer Hematoma intraserebral segar tampak jelas, juga ukuran dan lokasi terhadap substansi putih dan kelabu dari otak. Distribusi anatomis hematoma sendiri memberi pengarahan yang kuat akan etiologinya. CT scan memungkinkan diagnosis yang cepat dan akurat atas PIS spontan. Tampilan sering

mengarahkan pada lesi spesifik. CT scan dengan kontras intravena mungkin menunjukkan adanya tumor atau AVM, pengenalan atas kemungkinan penyebab perdarahan. 3. Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) Dengan gadolinium intravena diindikasikan untuk pasien yang klinis stabil bila perdarahan spontan terjadi pada pasien nonhipertensif dengan pemeriksaan koagulasi normal, perdarahan pada lokasi yang tidak biasa pada pasien hipertensif, tampilan klinis mengarah pada penyebab nonhipertensif, atau CT scan inisial menunjukan lesi yang bertanggung-jawab seperti tumor. 4. Angiografi Angiografi serebral haus dilakukan pada semua pasien yang diduga mempunyai PIS akibat aneurisma, fistula arteriovenosa, malformasi vaskuler, atau vaskulitis. Terkadang, angiogram inisial mungkin negatif akibat penekanan oleh hematoma pada kelainan vaskuler. Bila lesi vaskuler yang bertanggung-jawab sangat diduga angiografu ulang harus dilakukan 2-3 minggu setelah hematoma berkurang serta edema berkurang. Hanya angiografi yang dapat memberikan jawaban pasti atas

pertanyaan akan kelainan vaskuler yang mendasari.

Penatalaksanaan Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung serta mencegah perburukan neurologis berikutnya. Tindakan terhadap pengendalian TIK

medis seperti hiperventilasi, diuretik

osmotik dan steroid digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas dan terletak dalam dapat meninggikan survival pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan segera setelah onset perdarahan. Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien yang

memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia terletak pada hemisfer yang nondominan, bila ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang tindakan medis maksimal. Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya kelainan neurologis menetap dan diikuti perburukan neurologis walau telah diberikan

tampaknya memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih. Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien kedalam tiga kelompok: Modul 2 Blok 19 Thanty 23

1. Perdarahan progresif fatal Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur catu darahnya, gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan. Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah ketingkat yang tepat, memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol, steroid serta tindakan hiperventilasi. 2. Kelompok sakit ringan 3. Kelompok intermediet dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat bertahan hidup. Tindakan medikal diatas diberikan hingga ia keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma, terutama yang terletak pada substansi putih, dilakukan secara bedah. Akhir-akhir ini diteliti bahwa bila tanpa disertai efek massa jelas, tidak terbukti bahwa operasi terhadap PIS kecil, terutama bila terletak superfisial pada substansi putih subkortikal, akan memperbaiki outcome. Dalam mempertimbangkan tindakan operasi tersangka PIS hipertensif, angiogram penting untuk

mencari penyebab potensial lain seperti aneurisma, AVM atau tumor. Sayangnya kemungkinan amiloid tidak begitu dapat diprediksi dan bila ditemukan mungkin agak menimbulkan kesulitan saat operasi dalam hal mengatasi perdarahan. Juga sangat penting untuk mencari kelainan perdarahan sebelum operasi dan mengoreksinya bila mungkin. Perdarahan primer fossa posterior mempunyai keistimewaan dimana evakuasi dini dari

hematoma pada pasien yang hidup setelah perdarahan inisial merupakan urgensi yang sangat. Obstruksi jalur CSS baik pada akuaduk atau ventrikel keempat menyebabkan hidrosefalus segera yang

memperburuk keadaan pada pasien yang perdarahannya sendiri belum tentu mengancam jiwa. Perdarahan serebeler biasanya timbul tanpa disertai kehilangan kesadaran, ataupun defisit motorik atau sensorik. Namun nyeri kepala, pusing, serta kesulitan berjalan, dan gerak mata abnormal sering terjadi. Karena perburukan klinis sering terjadi sangat cepat dan tindakan evakuasi secara bedah telah diperlihatkan bermanfaat, penting sekali menemukan kelainan klinisnya sesegera mungkin.

Penatalaksanaan secara medik 1. Penilaian dan Pengelolaan Inisial spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien serta etiologi, ukuran serta lokasi

Pengelolaan

perdarahan. Tak peduli apakah tindakan konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal inisial terhadap pasien adalah sama. Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus dilakukan bersama tanpa penundaan yang tak perlu. Pemeriksaan neurologis inisial, yang dapat dilakukan dalam 10 menit,

Modul 2 Blok 19 Thanty

24

harus menyeluruh. Informasi ini penting tidak saja untuk memastikan prognosis, namun juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial harus dilakukan. Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera serebral sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan darah penting baik pada pasien hipertensif maupun nonhipertensif. Jalur arterial

dipasang untuk pemantauan yang sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah hipertensif. Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara berlebihan pada massa intrakranial pasien dengan lesi

dan peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan tekanan perfusi

serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 160mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180mmHg pada pasien koma, walau nilai ini terkadang tidak mutlak dan akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan riwayat hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 180mmHg, namun biasanya dibawah 210mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal hipertensinya lebih disukai labetolol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu. Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa. Bila jalan nafas tak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intra-kranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang, diberikan mannitol 1.5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria progresif, atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan

elektrokardiografi, dazdenyut nadi dipantau. Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin serum, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu. Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT scan kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk mendapatkan yang diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi atau pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta pemeriksaan radiologis lain

kebangsal, tergantung status klinis

etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah

pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum serta pencegahan komplikasi. 2. Pencegahan atas Perdarahan Ulang Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien sampai didokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Hal yang sama, risiko perdarahan ulang dari AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama yang dilakukan untuk mencegah perdarahan ulang adalah mengontrol tekanan darah seperti dijelaskan diatas. Modul 2 Blok 19 Thanty 25

Pada perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko perdarahan ulang lebih tinggi. Dilakukan usaha untuk mempertahankan tekanan darah 10-20 % diatas tingkat normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup rendah pemakaian asam aminokaproat, pemakaiannya tetap belum jelas. Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan PIS akibat terapi antikoagulan memerlukan koreksi segera atas faktor koagulasinya. Heparin intravena (waktu paruh 1-2 jam) harus dihentikan, dan diberikan protamin sulfat agar segera menghapuskan efek heparin. Pasien dengan PIS yang mendapat warfarin harus mendapatkan plasma segar yang dibekukan ( FFP) agar segera menghilangkan suatu untuk menekan risiko perdarahan. agen antifibrinolitik. Beberapa menganjurkan indikasi untuk

Namun manfaat serta

antikoagulasi. Vitamin K (fitonadion), yang memerlukan kurang dari 6 jam untuk mengembalikan parameter koagulasi kenormal, harus juga diberikan untuk membantu mempertahankan hemostasis. Pemeriksaan koagulasi harus diamati dan tambahan FFP dan vitamin K diberikan bila perlu. Pasien dengan PIS akibat penyakit von Willebrand atau hemofilia A atau B harus segera mendapatkan konsultasi hematologis. Pasien von Willebrand harus mendapat kriopresipitat. Pasien dengan hemofilia A harus mendapat kriopresipitat atau konsentrat liofil faktor VIII. Pasien hemofilia B mungkin bisa diberikan FFP intravena atau konsentrat yang kaya faktor II, VII, IX, dan X. Kadar darah faktor pembekuan harus dipertahankan paling tidak 20-30 % dari normal bila operasi untuk

mengevakuasi hematom tidak akan dilakukan dan 50-100 % dari normal bila diperlukan operasi. Bila PIS terjadi pada pasien dengan defek perdarahan kongenital, FFP harus diberikan. Ini akan memberikan semua faktor pembekuan kecuali platelet. PIS akibat suatu trombositopenia harus mendapat transfusi platelet, tidak peduli etiologi trombositopenianya untuk mempertahankan jumlah platelet paling tidak 100.000/mm3. Pasien dengan penurunan produksi platelet, waktu hidup platelet biasanya normal hingga hitung platelet dapat

dipertahankan dengan transfusi berulang. Pada kasus dengan peningkatan penghancuran platelet, waktu hidup platelet sangat memendek hingga platelet yang ditransfusikan hanya bersikulasi dalam masa pendek, sekitar satu jam. Jadi transfusi platelet mempunyai nilai yang sangat terbatas. Pada kasus ini, setelah transfusi platelet inisial, kortikosteroid sering berguna dalam meninggikan hitung diperlukan splenektomi untuk membuang daerah sekuestrasi platelet masif. 3. Mengurangi Efek Massa Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien dengan platelet. Sering

peninggian TIK dan/atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi peninggian TIK antaranya (1) elevasi kepala hingga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta memperbaiki drainase vena; (2) mannitol

intravena (mula-mula 1.5 g/kg bolus, lalu 0.5 g/kg tiap 4-6 jam untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L); (3) restriksi cairan ringan (67-75 % dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan koloid bila perlu; (4) ventrikulostomi Modul 2 Blok 19 Thanty dengan pemantauan TIK serta drainasi CSS untuk 26

mempertahankan TIK kurang dari 20mmHg; dan (5) intubasi endotrakheal dan mempertahankan PCO2 25-30mmHg.

hiperventilasi,

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala, restriksi cairan, dan mannitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus

dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan fenilefrin. Pasien sadar dipantau dengan dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah mengontrol TIK. Perdarahan intra-ventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan TIK membantu menduga manfaat tindakan medikal dan membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan. Walau pemantauan TIK bermanfaat perfusi serebral setidaknya 70mg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau

menuntun tindakan atas PIS, belum dapat diputuskan manfaatnya dalam memperbaiki outcome. Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah dilaporkan

bermanfaat pada banyak kasus anekdotal dan sering dianjurkan. Namun penelitian menunjukkan bahwa deksametason tidak menunjukkan efek yang bermanfaat, disamping Namun digunakan jelas meningkatkan komplikasi pasien dengan

(infeksi dan diabetes).

deksametason IV, 4mg tiap 6 jam pada

perdarahan parenkhimal dimana tampilan CT scan memperlihatkan edema serebral yang berat. 4. Perawatan Umum Manfaat nimodipin dalam mengelola PSA akibat aneurisma yang pecah sudah sangat jelas. Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal

akibat robeknya aneurisma, nimodipin diberikan 60mg melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Namun penggunaan pada PIS nonaneurismal belum pasti, hingga tidak digunakan pada pasien PIS spontan nonaneurismal. Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan, kecuali bila perdarahan terbatas pada talamus atau ganglia basal. Secara inisial disukai fenitoin karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV, mudah pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada dewasa, pembebanan 1 g IV (50 mg/mnt) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus dipantau selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat dapat berakibat penurunan tekanan darah mendadak. Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena fenitoin berkaitan dengan

aritmia kardiak termasuk pelebaran interval PR dan gelombang Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik (1020 ug/mL) dan pasien bebas kejang.

Modul 2 Blok 19 Thanty

27

Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali sehari, kadar terapeutik darah 20-40 ug/mL) dan karbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali sehari, kadar terapeutik 4-12 ug/mL). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK dan tekanan darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial untuk menambah cedera otak sekunder. Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada pasien dengan restriksi cairan, mendapat mannitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi memadai adalah esensial. Perawatan pulmoner agresif dilakukan untuk mencegah sumbatan mukus, aspirasi, dan pneumonia. Stoking kompresi pneumatik dan tabung anti embolik dipasang untuk mencegah trombosis vena dalam. Terapi fisik dimulai dini, memperbaiki jangkauan gerak. Bidai pergelangan tangan dan kaki dipasang untuk mencegah kontraktur fleksi

PERDARAHAN SUB ARAKNOID (PSA)

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan yang sering pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah serebral major. Pasien yang mampu bertahan dari pendarahan subarachoid kadang mengalami adhessi anachnoid, obstruksi aliran cairan cerebrospinal dan hidrocepalus. Cedera intrkarnial yang lain kadang juga dapat terjadi. Perdarahan subarachnoid, dapat diidentifikasi pada CT-scan sebagai jaringan dengan densitas tinggi (40 90 Hu). Menggantikan cairan serebrospinal di interhemisfer atau fissura silvii, sulcus cerebral atau sisterna basalis. Jika pendarahan subarachnoid luas maka bentuk arah infundibulum atau cabang arteri karotis pada sisterna nampak sebagai filing deffect pada darah intrasisternal yang hiperdens. Meskipun pemeriksaan CT-scan sangat akurat untuk mendeteksi pendarahan subarachnoid yang baru untuk mengetahui adanya darah disubarachnoid di interhemisferik falxcerebri yang relatif memiliki densitas dan sulit dideteksi. Pendarahan subarachnoid biasanya meluas sampai pada sulcus paramedian, mengakibatkan penampakan densitas dan irreguler, setelah beberapa hari pemeriksaan CT Scan biasanya menunjukkan pembersihan darah subarachnoid disekitar falxcerebri, sebaliknya pendarahan subdural interhemisferik secara tipikal terlihat sebagai bentuk baji, tepi halus, zona densitas tinggi. Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat muncul biasanya terbatas pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas, menunjukkan adanya ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang merupakan indikasi untuk pemeriksaan angiografi. Aneurisma konsenital biasanya berlokasi pada ciculus willisi dan pseudoaneurisma berlokasi pada pembuluh darah yang dapat merengang akibat pergeseran otak misalnya arteri cerebral anterior dibawah falxcerebri.

Modul 2 Blok 19 Thanty

28

Epidemiologi Pendarahan subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh gangguan peredaran darah otak (GPDO) Usia : insidennya 62% pendarahan subarachnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Kelamin : pada MAV laki-laki lebih banyak daripada wanita.

Etiologi Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor. Anatomi Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater. 1. Duramater. Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura. 2. Arachnoide. Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke Modul 2 Blok 19 Thanty 29

piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan. Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe. Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum. Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii). 3. Piamater. Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikelventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

Patofisiologi Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam ruang subarachnoid. Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan

Modul 2 Blok 19 Thanty

30

menggunakan obat pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk aneurisma sakular. Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid diisi dengan CSF. Trauma perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan pecahnya pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya sama pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah penyebab utama subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan dengan pecahnya saraf serebral atau kerusakan arterivenous.

Diagnosis 1. Gambaran Klinis a. Gejala prodromal : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90% tanpa keluhan sakit kepala. b. Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar, sedikit delirium sampai koma. c. Gejala / tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig ada. d. Fundus okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah pendarahan. Sering terdapat pedarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior, atau arteri karotis interna. e. Gejala-gejala neurologik fokal : bergantung pada lokasi lesi. f. Gangguan fungsi saraf otonom : demam setelah 24 jam, demam ringan karena rangsangan meningeal, dan demam tinggi bila pada hipotalamus. Begitu pun muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi, adanya hubungan dengan hipotalamus. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan melena dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan ada perubaha pada EKG. 2. Gambaran Radiologi a. CT SCAN Pemeriksaan ct scan berfungsi untuk mengetahui adanya massa intracranial. Pada pembesaran ventrikel yang berhubungan dengan darah (densitas tinggi) dalam ventrikel atau dalam ruang subarachnoid. b. Magnetic resonance imaging (MRI) Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak biasanya terlihat pada T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat sebagai intermediate untuk pengcahayaan sinyal tinggi dengan proton atau gambar FLAIR. CT pada umunya lebih baik daripada MRI dalam mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. Control perdarahan subarachnoid: hasil tahapan control perdarahan subarachnoid kadang-kadang tampak MRI lapisan tipis pada sinyal rendah.

Penatalaksanaan Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase didalam otak untuk mengurangi Modul 2 Blok 19 Thanty 31

tekanan. Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.

Prognosa No 1 Tanda Kesadaran normal,sakit kepala ringan,tidak ada defisit neurologi dan tanda meningeal 2 3 4 5 Sakit kepala sedang-berat,kelumpuhan saraf kranial Kesadaran menurun (bingung),defisit neurologi fokal ringan Stupor,hemiparesis,keadaan vegetatif awal Koma, deserebrasi Klasifikasi Hunt & Hess untuk SHA Survival (%) 70 60 50 40 10

Modul 2 Blok 19 Thanty

32

STROKE ISKEMIK (NON HEMORAGIK)

DEFINISI Stroke iskemik merupakan stroke yang terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah serebral oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik yang menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis di daerah yang mengalami kekurangan pasokan aliran darah di bawah batas yang dibutuhkan sel otak untuk tetap bertahan (survive).

PATOFISIOLOGI STROKE ISKEMIK

Infark iskemik serebri sangat erat kaitannya dengan aterosklerosis dan arteriosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau perdarahan aterom, menyebabkan terbentuknya thrombus an terlepas sebagai emboli, dan menyebabkan dining pembuluh darah menjadi lemah dan terjadi aneurisme yang keudian dapat robek. Manifestasi klinik Vascular territory stroke iskemik berdasar daerah yang terserang:

Internal artery

carotid Ipsilateral blindness (ophthalmic artery) Middle cerebral artery symptomatology Contralateral weakness and sensory loss involving arm and face more than leg

Middle artery

cerebral

Aphasia Hemineglect, anosognosia (denial of neurologic deficit), spatial disorientation in the right cerebral hemisphere Variable degrees of homonymous visual-field defects Contralateral weakness and sensory loss predominantly involving the lower extremity

Anterior artery

cerebral Urinary incontinence, especially with bilateral lesions Arm dyspraxia Abulia (lacks will; indecisive) Transcortical motor aphasia in dominant side

Modul 2 Blok 19 Thanty

33

Posterior artery

cerebral Contralateral homonymous hemianopsia Contralateral hemisensory loss without weakness Variable visual association cortical deficits, such as alexia without agraphia and associative visual agnosia

Basilar artery

Paralysis of limbs (usually bilateral, but may be asymmetric) Usually severe bulbar or pseudobulbar paralysis of the cranial musculature (dysphagia, dysarthria, facial diplegia, and others) Paucity of sensory or cerebellar abnormalities Abnormalities of eye movement (internuclear ophthalmoplegia, "one-and-a-half syndrome," nystagmus, skew deviation, ocular bobbing, miosis, and ptosis) Coma

PATOLOGI Secara patologik suatu infark dapat dibagi menjadi thrombosis serebri dan emboli serebri. Iskemia otak dianggap sebagai kelainan gangguan suplai darah ke otak membahayakan fungsi neuron tanpa member perubahan yang menetap, sedangkan infark otak timbul karena iskemia otak yang lama dan parah dengan perubahan fungsi dan struktur otak yang irreversibel. Akibat dari gangguan aliran darah otak akan timbul perbedaan daerah jaringan otak: Pada daerah yang mengalami hipoksia akan timbul edema sel otak dan bila berlangsung lebih lama, kemungkinan terjadi infark. Daerah disekitar infark timbul daerah penumbra iskemik dimana sel masih hidup tetapi tidak berfungsi. Daerah di luar penumbra akan timbul edema lokal atau daerah hiperemis berarti sel masih hidup dan berfungsi.

PATOGENESIS Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara : Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau perdarahan aterom Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian dapat robek.

Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan menyebabkan hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Bila anoksia ini berlanjut sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya yaitu sel glia akan mengalami kerusakan ireversibel sampai nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan permeabilitas vaskular disekitarnya dan masuknya cairan serta sel-sel radang .

Modul 2 Blok 19 Thanty

34

Di sekitar daerah iskemi timbul edem glia, akibat berlebihannya H+ dari asidosis laktat. K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air yang timbul dalam empat hari pertama sesudah stroke. Edem ini menyebabkan daerah sekitar nekrosis mengalami gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih hidup. Daerah ini adalah iskemik penumbra. Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena infark maupun perdarahan). Neuronneuron di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat ini akan menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka kanal kalsium (calcium channels). Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati ini akan mengeluarkan glutamt, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuronneuron disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules (seperti nitric acida atau NO), yang akan merombak molekul lemak didalam membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Stroke iskemik menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel.

KLASIFIKASI STROKE ISKEMIK Berdasarkan onset penyakitnya stadium stroke iskemik terbagi atas: 1. Serangan iskemia atau Transient Ischemic Attack (TIA). Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam. 2. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas atau Reversible Ischemic Neurological Defisit (RIND). Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama 24 jam. Tapi tidak lebih seminggu. 3. Stroke Progresif (Progresive Stroke atau Stroke in evolution). Gejala neurologik makin lama makin berat. 4. Stroke Komplet (Completed Stroke atau Permanent Stroke), gejala klinis sudah menetap. Terdiri dari: Non-hemorrhagic stroke (infark), baik karena trombus atau embolus. Hemorrhagic completed stroke

Berdasarkan penyebab stroke iskemik terbagi atas : 1. Stroke iskemik trombosisa Merupakan sumbatan pembuluh darah serebral oleh thrombus yang kebanyakannya berasal dari arterosklerotik. Etiologi yang paling banyak adalah aterosklerosis, tapi bisa juga disebabkan oleh trauma, trombosis obliterans, polisitemia vera dan penyakit kolagen. Onset penyakit ini perlahan-lahan, keluhan sering timbul pada pagi hari saat bangun tidur. Biasanya didahului oleh gejala prodromal berupa vertigo, sakit kepala, kesemutan, afasia serta gangguan mental dan tidak berasa pada ujung-ujung ekstremitas. Gejala umum berupa kesadaran baik, hemiparese atau hemiplegi, disatria, afasia, mulut mencong kadang kadang hemianopsia, dengan gejala fokal otak lainnya. 2. Stroke iskemik embolia

Modul 2 Blok 19 Thanty

35

Merupakan sumbatan pembuluh darah serebral oleh embolus yang berasal dari jantung. Etiologinya adalah atrium fibrilasit (50%), gangguan atau penyakit katup, kardiomiopati, infark miokard, terutama 4 minggu setelah serangan, stenosis dan regurgitasi katup mitral, endokarditis infeksiosa dan lain-lain.

Gejala klinis yang ditimbulkan adalah : a. b. Onset serangan ini mendadak, keluhan sering pada waktu menjalankan aktivitas. Gangguan motorik atau sensorik sesuai lesi. Apabila emboli besar, bisa menyebabkan delirium, pingsan, gelisah, kejang dan kesadaran menurun.

Gambaran klinis utama yang dikaitkan dengan insufisiensi aliran darah otak dapat dihubungkan dengan tanda serta gejala di bawah ini : 1. Arteri vertebralis a. Hemiplegi alternant b. Hemiplegi ataksik 2. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior ; gejala-gejalanya biasanya unilateral). Lokasi lesi yang paling sering adalah pada bifurkasio arteria karotis komunis menjadi arteria karotis interna dan eksterna. Gejala-gejala yaitu : a. Buta mutlak sisi ipsilateral b. Hemiparese kontralateral 3. Arteri Basilaris a. Tetraplegi b. Gangguan kesadaran c. Gangguan pupil d. Kebutaan e. Vertigo Modul 2 Blok 19 Thanty 36

4. Arteria serebri anterior (gejala primernya adalah perasaan kacau) a. Kelemahan kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang. Gerakan voluntar pada tungkai terganggu. b. Gangguan sensorik kontralateral. c. Demensia, refleks mencengkeram dan refleks patologis 5. Arteria serebri posterior (dalam lobus mesencepalon atau talamus) a. Koma. b. Hemiparesis kontralateral. c. Afasia visual atau buta kata (aleksia). d. Kelumpuhan saraf otak ketiga hemianopsia, koreoatetosis. 6. Arteria serebri media a. Monoparesis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai tangan). b. Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan). c. Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena) ; gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi. d. Disfagia.

MANIFESTASI KLINIK Gejala utama SNH akibat thrombosis serebri ialah timbul deficit neurologis secara sub akut, didahului gejala prodromal, terjadi saat istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tak menurun. Stroke akibat emboli serebri diaptkan pada usia lebih muda, mendadak dan saat beraktivitas. Sumber emboli berasar dari berbagai tempat, kesadaran dapat menurun jika embolus cukup besar. Gejala-gejala penyumbatan sistem karotis terbagi menjadi: 1) Gejala penyumbatan arteri karotis interna Buta mendadak Disfasia bila gangguan terletak pada sisi dominan Hemiparesis kontra lateral dan dapat disertai sin. Horner pada sisi sumbatan

2) Gejala penyumbatan arteri serebri anterior Hemiparesis konta lateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol Gangguan mental (bila lesi di frontal) Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh Inkontonensia kejang

3) Gejala penyumbatan arteri serebri media Bila sumbatan dipangkal arteri terjadi hemiparesis yang sama Hemihipestesia Gangguan fungsi luhur pada korteks hemisfer dominan yang terserang

4) Gejala penyumbatan kedua sisi Modul 2 Blok 19 Thanty 37

Hemiplegic dupleks Sukar menelan Gangguan emosional

Gejala- gejala gangguan system vertebra-basilar terbagi menjadi: 1) Gejala penyumbatan arteri serebri posterior Hemianopsia homonym kontralateral dari sisi lesi Hemiparesis kontralateral Halangnya rasa sakit, suhu, sensorik proprioseptif Bila salah satu cabang yang ke thalamus tersumbat menimbulkan nyeri talamikus, hemikhorea dan hemiparesis disebut sindrom ejerine Marie. 2) Gejala penyumbatan arteri vertebralis Bila sumbatan pada sisi dominan : sindrom Wallenberg. Bila sumbatan bukan pada sisi dominan sering tidak menimbulkan gejala

3) Gejala penyumbatan arteri serebeli post-inf. Sindrom Wallenberg berupa ataksia serebelar pada lengan dan tungkai yang sama, gangguan N.II an refleks kornea hilang pada sisi yang sama Sinrom horner sesisi dengan lesi Disfagia Nistagmus Hemihipestesia alterans

4) Gejala penyumbatan pada cabang kecil arteri basilaris Paresis n. cranial yang nukleusnya terletak di tengah-tengah N.III, N.VI, dan N.XII, disertai hemiparesis kontralateral.

DIAGNOSIS Diagnosis didasarkan atas hasil : 1. Penemuan klinis 2. Anamnesis a. Terutama terjadinya keluhan / gejala defisit neurologi yang mendadak b. Tanpa trauma kepala c. Adanya faktor resiko GPDO 3. Pemeriksaan Fisik a. Adanya defisit neurologi fokal b. Ditemukan faktor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain) c. 3. Bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya d. Skoring Siriraj Stroke Score (SSS), Score Gajah Mada 4. Pemeriksaan penunjang Modul 2 Blok 19 Thanty 38 :

Stroke dengan oklusi pembuluh darah dapat dilakukan pemeriksaan : CT Scan : Untuk menetapkan secara pasti letak dan kausa dari stroke. CT scan menunjukkan gambaran hipodens. Ekokardiografi : Pada dugaan adanya tromboemboli kardiak (transtorakal, atau transesofageal) Ultrasound scan arteri karotis : Bila diduga adanya ateroma pada arteri karotis. Disini dipakai prinsip doppler untuk menghasilkan continuous wave untuk mendeteksi derajat stenosis secara akurat, serta juga pulsed ultrasound device yang dikaitkan dengan scanner (duplex scan) Intra arterial digital substraction angiografi : Bila pada ultrasound scan terdapat stenosis berat Transcranial Doppler : Dapat untuk melihat sejauh mana anastomosis membantu daerah yang tersumbat. Pemeriksaan darah lengkap : Perlu untuk mencari kelainan pada cairan darah sendiri

PENATALAKSANAAN A. Pengobatan secara umum 1. Breathing : menjaga jalan nafas dengan sedikit mengekstensikan kepala, menjaga lidah agar tidak jatuh ke belakang, pemberian oksigen 2-3 L/menit. 2. Blood : kontrol tekanan darah dan nadi, posisi kepala 30 dari bidang horizontal untuk menjamin aliran darah yang adekuat ke otak dan aliran balik vena dari otak ke jantung. 3. Brain : mengurangi edema, memenuhi intake cairan dengan larutan isotonis seperti Ringer Laktat 12 jam/kolf, atasi kejang dan gelisah. 4. Bladder : pasang kateter untuk menjaga pengosongan vesika urinaria 5. Bowel : memenuhi asupan makanan, kalori dan elektrolit. B. Pengobatan secara khusus 1. Anti edema - Gliserol : Diberikan per infus dalam larutan 10% dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB selama 6-8 untuk 5-7 hari. Dapat diberikan peroral 3-4 x 150 cc sehari. - Manitol : Dalam larutan 15-20% infus manitol diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial, misalnya bila ada tanda-tanda herniasi. Dosis 1-1,5 mg/kgBB dalam waktu 1 jam. Lama kerja manitol kurang dari 4 jam, kemudian bisa timbul efek rebound, oleh karena itu perlu diberi infus ulang, atau kombinasi dengan anti edema lain seperti gliserol. jam,

2. Obat anti agregasi : Khasiat pentoksifilin yang dapat mencegah agregasi eritrosit dan trombosit, serta asetosal dan dipiridamol sebagai anti agregasi trombosit dapat mengurangi viskositas darah dan memperbaiki mikrosirkulasi. Misalnya : - Asetosal 100-300 mg/hari - Dipiridamol 375 mg 3. Metabolik aktivator/ ionotropik : Dapat diberikan piracetam, pentoksifilin, flunarizin atau citicholin.Misalnya : - Piracetam 3800-6000 mg - Pentoksifilin 3400 mg Modul 2 Blok 19 Thanty 39

4. Sitoprotektif - Nimodipin 120-180 mg/hari atau 2-2,5 ml/jam dengan stringe pump - Rehabilitasi (fisioterapi) : Pada prinsipnya rehabilitasi dilakukan sedini mungkin secara bertahap baik secara pasif maupun aktif. Pasien dengan stroke harus dimobilisasi dan dilakukan fisioterapi bila kondisi klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Untuk fisioterapi pada pasien yang belum boleh bergerak, perubahan posisi badan dan ekstremitas dilakukan setiap 2 jam untuk mencegah dekubitus. Latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali sehari untuk mencegah kontraktur.

Evaluasi Penderita Stroke Skala-skala yang digunakan untuk melihat kemajuan penderita stroke adalah : (1) Mathew scale Skala ini digunakan di Eropa. Yang diperiksa adalah : - Mentation : kesadaran, orientasi, bicara (speech) - Saraf cranial - Kemampuan motorik - Kemampuan sensibilitas - Disability (2) Canadian scale Skala ini terutama digunakan di Amerika. Lebih sederhana dan lebih mudah digunakan, karena hanya memeriksa apa yang penting pada penderita stroke, yaitu : - Mental : kesadaran, orientasi, bicara (speech) - Fungsi motorik Penderita yang akan keluar dari rumah sakit, harus diperiksa dengan menggunakan Barthel Index. Yang dinilai adalah : Apakah penderita dapat bangun dari tempat tidur dan berjalan ke WC.

Apakah penderita dapat mengenakan pakaian. Apakah penderita dapat memakai perhiasan/make up (untuk wanita), atau mencukur jenggot (untuk laki-laki). Apakah penderita dapat mandi sendiri. Apakah penderita dapat berjalan dan naik tangga

TATALAKSANA 1) Fase akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit) Sasaran pengobatan adalah untuk menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak mengganggu fungsi otak. Perlu diperhatikan fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan darah, kadar gula, keadaan gawat atau koma, elektrolit, balans cairan dan asam basa darahh. Modul 2 Blok 19 Thanty 40

Medikamentosa yang dapat diberikan: Anti-edema otak: manitol dosis 0,25-0,50 gr/KgBB/hari, 6x100 cc salaam 7-10 hari kemudian diturunkan secara tapering off. Anti-agregasi trombosit: acetyl salisilat acid (ASA), seperti aspirin/aspilet dengan dosis rendah 2x50 mg. Metabolic activator: Choline 2x250 mg iv, piracetam 12 g/hari/iv.drip (masa akut), dan piracetam 2x200 mg (waktu keluar rumah sakit). 2) Fase pasca akut Rehabilitasi Batasi kecacatan penderita, fisik dan mental dengan fisioterapi terapi wicara dan psikoterapi. Terapi preventif Terapi bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulya serangan baru stroke dengan jalan antara lain: mengobati dan menghinari faktor-faktor risiko stroke dengan cara mengobati DM, hipertensi, obesitas, menghindari rokok, stress dan berolah raga secara teratur.

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN STROKE Manajemen Airway Masalah utama yang biasanya terjadi pada pasien stroke ialah hipoksia, keadaan ini didefinisikan bila PaO2 < 60 mmHg. Sumbatan jalan nafas ialah penyebab 15% kematian pasien. Pasien yang tidak sadar pada posisi terlentang akan terjadi sumbatan jalan nafas dengan lidah sebagai penyebab tesering.Hal ini terjadi karena terjadi relaksasi otot intrinsic orofaring . Pada keadaan hiperkarbia, CO2 akan menimbulkan vasodilatasi serebral sehingga terjadi peningkatan CBF yang akan memperberat keadaan dan juga udem serebral dan peningkatan tekanan intakranial. Posisi yang dianjurkan pada penderita yang tidak sadarkan diri adalah SSAP (Supported Supine Aligned Position). Jangan memberi bantal karena akan menimbulkan fleksi leher dan obstruksi hipofaring. Intubasi endotrakea harus dilakukan apabila : 1. GCS < 8 2. Pernapasan irregular 3. Laju nafas < 10 x/menit atau >40x/menit 4. Volume tidal <3,5 ml/kg BB 5. Kapasitas vital <15 ml/kg BB 6. PaO2 <70mmHg, PaCO2 >50mmHg

Penanganan Konvulsi Pencegahan kejang dapat dilakukan dengan pemberian sodium phenytoin (dilantin) 10-15 mg/kgBB iv diberikan dengan kecepatan 50mg/menit. Obat pilihan untuk menhentikan kejang adalah diazepam dengan dosis 5-10 mg iv dalam 2-3 menit. Biasanya efektif untuk jangka waktu 20-30 menit. Bila masih timbul kejang dapat diberikan dosis ulangan setelah 30 menit. Bila masih timbul kejang maka dapat diberikan Modul 2 Blok 19 Thanty 41

pentotl oleh dokter anatesi. Namun pemberiannya harus hari-hati karena dapat menimbulkan depresi jantung dan nafas. Walau penanganan stroke saat ini telah banyak mengalami kemajuan tetapi angka kecacatan dan angka kematian masih tinggi. Keberhasilan penanganan pasien strokesangat tergantung pada rangkaian tahapan-tahapan terapi, yaitu meliputi pengenalangejala-gejala dan tanda-tanda stroke oleh penderita, keluarga atau orang disekitar penderita, sistem komunikasi yang baik antara masyarakat dan rumah sakit danfasilitas pengiriman penderita ke rumah sakit. Selain itu yang juga berperan sangat penting adalah instalasi gawat darurat, yang harus segera melakukan evaluasi penderita, termasuk pemeriksaan CT-scan kepala, penentuan diagnosis dan rencana penanganan, dan pengobatan umum termasuk tindakan bedah bila diperlukan. Dan satu hal yang sangat berperan adalah perlengkapan atau sarana perawatan dan rehabilitasi dini (PERDOSSI, 2007).

1. Stabilisasi segera pasien dengan tindakan ABC 2. Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor / koma / gagal nafas 3. Pasang jalur infus intravena (IV) dengan larutan salin normal 0,9% dengan kecepatan 20ml / jam. Jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%dalam air dan salin 0, karena dapat memperberat edema otak 4. Berikan O2 2 4 liter / menit melalui kanul hidung 5. Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut 6. Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto thorak 7. Tegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik 8. CT-Scan / MRI, bila tidak ada dengan Skor Siriraj 9. Ambil sample darah untuk pemeriksaan darah perifer lengkap dan trombosit,kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum dan kreatinin), masa protrombin dantromboplastin parsial 10. Jika ada indikasi lakukan tes : kadar alkohol, fungsi hati, gas darah arteri danskrining toksikologi 11. Selama tahap akut bila ditemukan edema otak dengan tanda dan gejala peningkatan intracranial berikan kortikosteroid (prednison atau dexametason) 12. Bila ditemukan emboli janting berikan antikoagulan (heparin IV)

Modul 2 Blok 19 Thanty

42

HEMATOMA SUBDURAL

Definisi Hematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami ekstravasasi, biasanya telah menggumpal, baik di dalam organ, interstitium, jaringan dan otak. Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Hematoma Subdural

Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak anak.

Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura. 43

Modul 2 Blok 19 Thanty

Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Patofisiologi Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat. Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, Modul 2 Blok 19 Thanty 44

yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: a. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens. b. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. c. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahanlahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens. Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu : 1. Tipe homogen (homogenous) Modul 2 Blok 19 Thanty 45

2. Tipe laminar 3. Tipe terpisah (seperated) 4. Tipe trabekular (trabecular) Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu: 1. Tipe konveksiti ( convexity). 2. Tipe basis cranial ( cranial base ). 3. Tipe interhemisferik Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.

Manifestasi Klinis a. Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah b. Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. c. Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah Modul 2 Blok 19 Thanty 46

dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak . Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.

Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

sakit kepala yang menetap rasa mengantuk yang hilang-timbul linglung perubahan ingatan kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Kerusakan Bagian Otak Tertentu Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi. a. Kerusakan Lobus Frontalis Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

Modul 2 Blok 19 Thanty

47

b. Kerusakan Lobus Parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. c. Kerusakan Lobus Temporalis Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

Penatalaksanaan Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai

Modul 2 Blok 19 Thanty

48

penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata Adanya tanda herniasi/ lateralisasi Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

a. Perawatan Pascabedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam . b. Follow-up CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

Rehabilitasi

Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing.

Goal jangka pendek Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture untuk mobilitas dan

1)

keamanan. 2)

Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi musculoskletal, defisit

neurologi Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini

Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program sensory stimulation

Modul 2 Blok 19 Thanty

49

Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis : dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.

Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.

Prognosis Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.

Diagnosa Banding Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan tekanan normal.

Modul 2 Blok 19 Thanty

50

INTRACEREBRAL HEMORRHAGE

DEFINISI Intracerebral hemorrhage adalah pendarahan di dalam otak.


Intracerebral hemorrhage biasanya diakibatkan dari tekanan darah tinggi kronis. Gejala awal seringkali sakit kepala hebat. Diagnosa didasarkan pada gejala dan hasil penelitian fisik dan tes imaging. Pengobatan bisa termasuk vitamin K, transfusi, dan, jarang, operasi untuk mengangkat darah yang terkumpul.

Intracerebral hemorrhage. berjumlah sekitar 10% dari seluruh stroke tetapi persentasenya kematian lebih tinggi dari disebabkan stroke. Di antara orang yang berusia lebih tua dari 60 tahun, intracerebral hemorrhage lebih sering terjadi dibandingkan subarachnoid hemorrhage.

ETIOLOGI Intracerebral hemorrhage sangat sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya menjadi pecah. Penggunaan kokain dan ampetamin bisa menyebabkan tekanan darah yang sangat tinggi dan pendarahan untuk sementara waktu. Pada beberapa orang yang tua, protein tidak normal disebut amyloid yang menumpuk pada arteri otak. Penumpukan ini (disebut amyloid angiopathy) melemahkan arteri dan bisa menyebabkan pendarahan. Umumnya tidak banyak penyebabnya termasuk ketidaknormalan pembuluh darah yang ada ketika lahir, luka, tumor, peradangan pada pembuluh darah (vasculitis), gangguan pendarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Gangguan pendarahan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko sekarat dari intracerebral hemorrhage. Banyak penyebab perdarahan intrakranial non traumatik. Empat penyebab yang paling sering terjadi adalah hipertensi berat, perdarahan intraserebelar spontan, aneurisma sakuler ruptur dan perdarahan dari malformasi arteriovenosa. Perdarahan yang dihubungkan dengan gangguan perdarahan dan ruptur aneurisma mikotik kurang sering terjadi. Penyebab yang jarang, seperti purpura otak idiopatik perdarahan batang otak (Duret) yang dihubungkan dengan kompresi batang otak selama herniasi, dan perdarahan multifokal kecil yang terkait dengan ensefalopati hipertensi.

Modul 2 Blok 19 Thanty

51

GEJALA Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang, hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu, pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan gejala terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan. Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa, seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit.

DIAGNOSIS Dokter bisa seringkali mendiagnosa intracerebral hemorrhage berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Meskipun begitu, computed tomography (CT) atau Magnetic resonance imaging (MRI) juga dilakukan. Kedua tes bisa membantu dokter membedakan stroke yang mengeluarkan darah dari stroke ischemic. Tes tersebut bisa juga menunjukkan seberapa jaringan otak yang telah rusak dan apakah tekanan meningkat pada daerah otak. Kadar gula darah diukur karena kadar gula darah yang rendah bisa menyebabkan gejala yang serupa pada mereka yang terkena stroke.

Perdarahan Intraserebral Hipertensi Patofisiologi. Perdarahan hipertensi secara tipikal terjadi pada satu dari 4 daerah, yaitu : (1) Putamen dan Kapsula Internal yang berdekatan (2) Talamus (3) Pons (4) Serebelum. Perdarahan ini jarang berasal dari substansia alba sentralis hemisfer. Arteri yang mempenetrasi, berasal dari batang arteri serebralis sentralis, arteri basilaris atau sirkus willisi. Perdarahan mulai sebagai massa oval kecil dan kemudian menyebar dengan diseksi, bertambah dalam volume dan berpindah serta menekan jaringan otak yang berdekatan. Ruptur atau tirisan ke dalam sistem ventrikel mungkin terjadi. Perdarahan intraventrikuler primer jarang terjadi. Kebanyakan perdarahan intraserebral berkembang beberapa menit, tetapi beberapa berkembang dalam 30-60 menit dan yang lain terutama yang dihubungkan dengan terapi antikoagulan dapat berkembang selama 24-38 jam. Sekali perdarahan berhent, umumnya dipikirkan tidak mulai lagi. Edema pada jaringan yang mengalami kompresi di sekitar perdarahan sering meningkatkan efek massa dan pada beberapa kasus memperburuk keadaan klinis. Dalam 48 jam, makrofag mulai memfagosit perdarahan pada permukaan luarnya. Setelah 1-6 bulan, massa perdarahan umumnya menyembuh menjadi kavitas jingga yang menyerupai celah dibatasi dengan jaringan parut glial dan makrofag bermuatan hemosiderin.

Manifestasi Klinis. Perdarahan intraserebral hipertensi paling sering terjadi pada pasien dengan hipertensi tertahan dan memanjang. Meskipun tidak terkait dengan aktivitas, perdarahan intraserebral hampir selalu terjadi pada saar pasien sadar dan kadang-kadang dalam keadaan stress. Berbeda dengan awitan embolisme Modul 2 Blok 19 Thanty 52

yang mendadak, stroke ini biasanya berkembang dalam beberapa menit dengan tanda dan gejala neurologik yang tergantung pada daerah dan ukuran ekstravasasi. Vomitus (muntah) dan nyeri kepala merupakan tanda perdarahan akut yang membedakan stroke ini dengan stroke lain. Kejang jarang terjadi pada stroke tipe ini.

VENTRIKEL OTAK

Modul 2 Blok 19 Thanty

53

Perdarahan Putamenal. Merupakan perdarahan hipertensi yang paling sering dan selalu mengganggu kapsula interna yang berdekatan dengan ganglia basalis. Hemiplegia kontralateral merupakan tanda sentinel, tetapi bila perdarahan ini besar pasien menjadi koma dalam beberapa menit. Pada kasus yang lebih ringan dalam 5-30 menit, muncul kantong wajah pada salah satu sisi, bicara menjadi gagap, lengan dan tungkai melemah perlahan-lahan dan deviasi mata menjauh dari sisi hemiparesis. Paralisis dapat memburuk sampai angota gerak yang terserang menjadi fleksid atau rigid dengan tanda babinski pada sisi yang sama. Pada kasus yang lebih buruk, mengantuk menandakan adanya stupor sebagai tanda kompresi batang otak atas yang tampak. Koma bisa terjadi disertai dengan respirasi intermittent, irreguler atau dalam, pupil ipsilateral terfiksasi dan berdilatasi tanda babinski bilateral dan rigiditas deserebrasi. Pembentukan edema pada otak yang berdekatan dapat menyebabkan kemunduran progresif dalam 12-72 jam.

Perdarahan Talamik. Perdarahan ini juga dapat menyebabkan hiplegia atau hemiparesis dari tekanan atau diseksi melalui kapsula internal yang berdekatan dengan talamus. Defisit sensorik yang utama yang menyerang smua modalitas biasanya ada. Afasia sering muncul dengan pengulangan verbal yang dipertahankan dapat terjadi setelah perdarahan ke dalam talamus kiri dominan dan apraktagnosia atau mutisme terjadi pada beberapa kasus perdarahan non dominan. Mungkin juga terdapat defek lapangan homonim transien. Perdarahan talamik menyebabkan beberapa gangguan okuler tipikal berdasarkan ekstensi ke medial ke dalam otak tengah atas. Keadaan ini termasuk deviasi mata ke bawah, dan ke dalam sehingga tampak melihat pada hidung pasien, pupil yang tidak sama dengan reaksi cahaya negatif, deviasi tidak simetris dengan mata berlawanan perdarahan pindah ke bawah dan medial, ptosis ipsilateral dan miosis (sindroma Horner), tidak adanya konvergensi, paralisis pandangan vertikal, bermacam-macam gangguan pandangan lateral, dan nistagmus retraksi.

Perdarahan Pontin. Pada perdarahan ini, terajadi koma yang dalam dengan kuadriplegia yang biasanya terjadi dalam beberapa menit. Sering terdapat rigiditas deserebrasi utama dan pupil kecim (1 mm) yang memberikan reaksi terhadap cahaya. Terdapat gangguan refleks gerakan mata horizontal yang ditimbulkan dengan memutar kepala (manuver okulosefalik) atau oleh irigasi telinga dengan air dingin. Hiperpne, hipertensi akut yang parah, dan hiperhidrosis sering terjadi. Kematian biasanya terjadi dalam beberapa jam, tetapi terdapat pengecualian pada keadaan kesadaran tertahan karena perdarahan terbatas pada tegmentum.

Perdarahan Serebelar. Perdarahan ini biasanya berkembang dalam beberapa jam dengan vomitus berulang dan ketidakmampuan berjalan atau berdiri. Pada kasus yang ringan mungkin tidak terdapat tanda neurologik lain. Oleh karena itu, penting sekali untuk menguji cara berjalan. Neyri kepala oksipital dan pusing seperti vertigo merupakan gejala utama. Sering terdapat paresis pandangan lateral konjugat ke arah sisi perdarahan, deviasi mata yang dipaksa ke sisi berlawanan atau palsi saraf keenam ipsilateral. Tanda okuler lain yang kurang adalah blefarospasme, penutupan satu mata involunter, bobbing okuler dan deviasi mata tak simetris. Terdapat sedikit atau bahkan tidak ada tanda penyakit serebelar yang biasa dan hanya sebagian kecil kasus yang mem[perlihatkan nistagmus atau ataksia anggota gerak. Kelemahan fasial ipsilateral ringan dan Modul 2 Blok 19 Thanty 54

berkurangnya refleks kornea sering terjadi. Disartria dan disfagia juga sering terjadi. Tidak terdapat tanda babinski sampai akhir evolusi perdarahan dan meluas ke batang otak. Dengan berjalannya waktu berjam-jam, dan kadang-kadang dengan tak terduga pasien menjadi stupor kemudian koma sebagai hasil kompresi batang otak, pada titik dengan pembalikan sindroma oleh pembedahan bekuan jarang berhasil.

Pada ringkasan, tanda okuler telah digarisbawahi sebagai metode melokalisasi perdarahan dengan cepat. Pada perdarahan putamenal mata berdeviasi ke sisi yang berlawanan dengan paralysis. Pada perdarahan talamik, mata berdeviasi ke bawah dan pupil menjadi 3-4 mm dan tidak reaktif. Pada

perdarahan pontin, refleks gerakan mata lateral dapat terganggu dan pupil kutang dari 1 mm masih reaktif, dan pada perdarahan serebelar, mata berdeviasi ke lateral (ke sisi yang berlawanan dengan lesi) pada keadaan tidak adanya paralisis.

EVALUASI LABORATORIUM. CT scan dapat mendeteksi semua perdarahan akut berukuran 1 cm atau lebih pada hemsifer serebelar atau serebral. Setelah 2 minggu pertama, nilai kelemahan sinar x darah yang membeku berkurang sampai menjadi isoden dengan mengelilingi otak. Perdarahan pontin kecil tidak dapat diidentifikasi karena gerakan dan artifak tulang yang mengaburkan struktur pada fossa posterior.

MRI meskipun lebih sensitif untuk menggambarkan lesi fossa posterior, namun tidak diperlukan pada kebanyakan kasus. Bayangan darah yang mengalir pada pemindaian MRI dapat mengidentifikasi malformasi arteriovenosa sebagai penyebab perdarahan.

Angiografi digunakan bila penyebab perdarahan intrakranial tidak pasti, teruma jika hematoma tidak terletak pada satu dari empat daerah perdarahan yang lazim.

Pungsi lumbal membawa resiko setelah perdarahan intraserebral dan secara umum dapat dihindari kecuali ketika CT scan tidak ada.

PENGOBATAN Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada orang yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah orang yang mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu. Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang. Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic. Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk. Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke

Modul 2 Blok 19 Thanty

55

yang mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti :

Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).

Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).

Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah mungkin

TERAPI Ukuran dan lokasi hematoma menentukan terapi dan prognosis. Hematoma supratentorial yang lebih besar dari 5 cm umumnya memiliki prognosis yang buruk dan hematoma pontin infratentorial yang lebih besar dari 3 cm biasanya fatal. Terjadinya edema dalam seminggu setelah perdarahan intraserebral sering memperburuk prognosis. Jaringan yang mengelilingi hematoma digantikan dan ditekan tapi tidak mengalami infark. Karena itu, pada manusia yang normal, hemtoma dapat direabsorpsi dan jaringan dapat kembali berfungsi seperti semula. Penatalaksanaan pasien dengan cermat selama fase akut kritis hematoma serebral dapat menyebabkan penyembuhan. Pengangkatan bekuan supratentorial dengan pembedahan akut masih kontroversial., tetapi kebanyakan ahli bedah menemukan perlu dilakukan pembedahan pada kasus yang jarang. Pada pasien stupor yang masih memiliki refleks gerakan mata dan beberapa reaksi pupil pembedahan dapat mencegah herniasi lobus temporal dan kompresi batang otak ireversibel. Pembedahan untuk menyelamatkan nyawa mungkin meninggalkan gejala sisa. Sebaliknya, terapi pembedahan perdarahan serebelar akut hampir selalu dianjurkan karena mencegah kompresi batang otak sekunder yang merupakan mekanisme kematian dan menawarkan prognosis baik untuk penyembuhan. Jika pasien sadar tanpa tanda batang otak fokal dan jika hematoma serebelar kecil, pengangkatan dan pembedahan tidak diperlukan. Manitol dan obat osmotik lain diperlukan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang telah dinaikkan oleh volume hematoma dan edema. Glukokortiroid mempunyai nilai tak pasti pada edema yang berkurang dari hematoma intraserebral. Monitoring tekanan intrakranial mungkin membantu menilai terapi medis. Hipertensi dan hipotensi berlebihan harus dihindari. Toksemia pada kehamilan dan hipertensi maligna yang dihubungkan dengan perdarahan akut diterapi dengan hati-hati untuk mencegah menurunnya tekanan darah secara presipitatus atau berlebihan.

Modul 2 Blok 19 Thanty

56

ENCEPALOPATI HIPERTENSI

Definisi Hypertensive encephalopathy (HE) atau ensefalopati hipertensi adalah sindrom klinik akut reversibel yang dipresipitasi oleh kenaikan tekanan darah tiba-tiba sehingga melampaui batas otoregulasi otak. HE dapat terjadi pada normotensi yang tekanan darahnya mendadak naik menjadi 160/100 mmHg. Sebaliknya mungkin belum terjadi pada penderita hipertensi kronik meskipun tekanan arteri rata-rata mencapai 200 atau 225 mmHg.

Etiologi Selain akibat kegagalan atau keterlambatan pengobatan penderita hipertensi, HE juga dapat terjadi akibat penyakit tertentu :

Patofisiologi Ada 2 teori yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu: 1. Reaksi otoregulasi yang berlebihan (The overregulation theory of hypertensive encephalopathy). Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksi vasospasme arteriol yang hebat disertai penurunan aliran darah otak dan iskemi. Vasospasme dan iskemi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis fibrinoid, dan perdarahan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan sawar darah-otak sehingga dapat timbul edema otak.

Modul 2 Blok 19 Thanty

57

2. Kegagalan otoregulasi (The breakthrough theory of hypertensive encephalopathy). Tekanan darah tinggi yang melampaui batas regulasi dan mendadak menyebabkan kegagalan otoregulasi sehingga tidak terjadi vasokonstriksi tetapi justru vasodilatasi. Vasodilatasi awalnya terjadi secara segmental (sausage string pattern), tetapi akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen endotel yang dilatasi terganggu sehingga menyebabkan ekstravasasi komponen plasma yang akhirnya menimbulkan edema otak

Gejala Klinis Secara patologi anatomi di dalam otak akan dijumpai adanya edema, perdarahan kecil-kecil sampai infark kecil dan nekrosis fibrinoid arteriol. Gejala klinik berupa nyeri kepala hebat, mual, muntah, rasa ngantuk dan keadaan bingung. Bila berlanjut dapat terjadi kejang umum, mioklonus dan koma. Jarang menyebabkan gangguan saraf fokal seperti hemiparesis, afasia, kejang-kejang fokal atau kebutaan akibat kelainan retina atau kortikal. Modul 2 Blok 19 Thanty 58

Jika tekanan darah tidak segera diturunkan penderita akan jatuh dalam koma dan meninggal dalam beberapa jam. Sebaliknya dengan menurunkan tekanan darah secepatnya secara dini prognosis umumnya baik dan tidak menimbulkan gejala sisa. Nyeri kepala, bingung, mual, muntah akan cepat menghilang dalam beberapa jam. Faal ginjal akan membaik dalam beberapa hari. Sedangkan hilangnya papil edema akan memerlukan waktu beberapa minggu.

Tatalaksana Pengobatan menggunakan obat antihipertensi parenteral dengan obat pilihan diazoxide; dapat juga digunakan nitroprusid, trimethaphan atau klonidin. Obat yang harus dihindari pada HE adalah reserpin dan metildopa karena efek sedatifnya dapat menyulitkan evaluasi klinik.

Modul 2 Blok 19 Thanty

59

CEDERA MEDULA SPINALIS

Cedera medula spinalis merupakan kondisi yang kompleks, terutama mengenai kelompok usia muda. Cedera medula spinalis pada umumnya diklasifikasikan sebagai cedera komplet dan cedera inkomplet. Central cord syndrome merupakan bentuk cedera inkomplet yang paling sering dijumpai. Tujuan utama terapi adalah meningkatkan fungsi motorik dan sensorik pasien. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemberian steroid dosis tinggi meminimalkan efek sekunder cedera medula spinalis. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki kemungkinan 5% untuk membaik. Pada cedera komplet yang menetap lebih dari 72 jam, maka hampir tidak ada kemungkinan untuk kembali pulih. Sindroma cedera inkomplet memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Penyebab kematian utama pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah pneumonia, emboli paru, dan septikemia.

A. Pendahuluan Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 pertahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet (27,3%), (3) paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).

B. Klasifikasi Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan (5) Conus Medullaris Syndrome.

Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi. Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medula Modul 2 Blok 19 Thanty 60

spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edema. Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologik permanent. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medula spinalis C6 dengan ciri LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral.

C. Pemeriksaan neurologi Pada kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status neurologi lokal merupakan hal yang sangat penting. Pemeriksaan status neurologis lokalis pada pasien cedera medula spinalis mengacu pada panduan dari American Spinal Cord Injury Association/ AISA. Klasifikasi dibuat berdasar rekomendasi AISA, A: untuk lesi komplet, sampai dengan E: untuk keadaan normal.

D. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasuskasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.

E. Biomekanika Biomekanika trauma utama di segmen thorakal medula spinalis adalah akibat hiperfleksi, sementara fleksi dan hiperekstensi merupakan gambaran utama cedera di segmen servikal medula spinalis.

F. Tatalaksana Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung Modul 2 Blok 19 Thanty 61

memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satusatunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika. Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien. Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.

G. Prognosis Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal. Penelitian Muslumanoglu dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis inkomplet akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional yang bermakna dalam 12 bulan pertama. Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17 penderita medula spinalis tanpa kelainan radiologik (5 menderita Central Cord Syndrome). Sebagian besar menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, mengindikasikan adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara konservatif, dengan hasil: 1 orang meninggal dunia, 15 orang mengalami perbaikan, dan 1 orang tetap tetraplegia. Pemulihan fungsi kandung kemih baru akan tampak pada 6 bulan pertama pasca trauma pada cedera medula spinalis traumatika, Curt dkk. mengevaluasi pemulihan fungsi kandung kemih 70 penderita cedera medula spinalis; hasilnya menunjukkan bahwa pemulihan fungsi kandung kemih terjadi pada 27% pasien pada 6 bulan pertama. Skor awal ASIA berkorelasi dengan pemulihan fungsi kandung kemih.

Modul 2 Blok 19 Thanty

62

KOMA

Pendahuluan Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran sedang atau berat dapat dikategorikan sebagai stupor atau koma. Keadaan ini merupakan keadaan emergensi atau gawat darurat bila terjadi akut. Banyak variasi penyebab baik itu keadaan metabolik atau suatu proses intrakranial yang dapat mengakibatkan pasien dalam keadaan stupor atau koma ini. Adapun manajemen pada pasien seperti ini haruslah berfokus untuk menstabilkan keadaan pasien, menegakkan diagnosis, dan menatalaksana pasien berdasarkan penyebab dari penyakit tersebut. Tinjauan pustaka ini bertujuan sebagai tambahan referensi untuk mahasiswa kedokteran, paramedis dan para dokter non neurologis yang bekerja di Rumah Sakit dalam menangani dan mentatalaksana pasien dengan kelainan neurologis yang datang di ruang gawat darurat, intensive care unit, bangsal, atau pun klinik.

Hal yang perlu Dipikirkan Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu : 1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ? 2. Apakah jalan napas baik ? Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT) dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi yang adekuat. Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi. Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen dengan face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan. 3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ? Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang dan dahulu baik medis maupun neurologis. 4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya ? Kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.

Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain : 1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS) (ACLS). 2. Pasang jalur intrravena (iv line) Modul 2 Blok 19 Thanty 63 ataupun Advance Cardiac Life Support

3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma) 4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain : Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum, kreatinin) Hitung darah lengkap Analisa gas darah Kalsium dan magnesium Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)

5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia. 6. Lakukan pemasangan folley catheter 7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks. 8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan dilapangan atau bila etiologi dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya : Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan pasien dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut (Wernicke ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose karena hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan memperburuk keadaan pasien. 50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv Naloxone (Narcan) 0.4 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang disebabkan intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg. Flumazenil (Romazicon) 0.2 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang koma dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan hingga 3 mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien, karena flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.

Etiologi Koma Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori besar : 1. Kelainan struktur intrakranial (33 %) Kebanyakan kasus ditegakkan melalui pemeriksaan imajing otak ( computed tomography [CT] or magnetic resonance imaging [MRI] atau melalui lumbal punksi [LP]. 2. Kelainan metabolik atau keracunan (66%) Dikonfirmasi melalui pemeriksaan darah, tapi tidak selalu positif. 3. Kelainan psikiatris (1%)

Stupor atau koma disebabkan oleh penyakit mempengaruhi kedua hemisfer otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu hemisfer tidak menyebabkan stupor atau koma kecuali massa tersebut besar hingga menekan hemisfer kontralateral atau batang otak. Koma yang disebabkan kelainan fokal di batang otak Modul 2 Blok 19 Thanty 64

terjadi karena terganggunya reticular activating system. Kelainan metabolik dapat menyebabkan gangguan kesadaran karena efek yang luas terhadap formasio retikularis dan korteks serebral. Tiga penyebab koma yang dapat cepat menyebabkan kematian dan dapat ditangani antara lain : a. Herniasi dan penekanan batang otak : space ocupying lession yang menyebabkan koma merupakan keadaan emergensi bedah saraf. b. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) : peningkatan TIK dapat menyebabkan gangguan perfusi otak dan global hypoxic-ischemic injury. c. Meningitis atau encephalitis : kematian akibat meningitis bakterialis atau herpes encephalitis dapat dicegah dengan terapi secepatnya.

Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan pasien dengan menanyakan : 1. Kejadian terakhir 2. Riwayat medis pasien 3. Riwayat psikiatrik 4. Obat-obatan 5. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol

Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui pemeriksaan fisik : a. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi. b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness ( keracunan CO), atau kuning c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan serangan kejang. f. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) : kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid. g. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi dari penyebab koma.

Pemeriksaan Neurologis 1. Status generalis : terbukannya kelopak mata dan rahang yang lemas menandakan dalamya koma. Deviasi dari kepala dan gaze menandakan suatu lesi hemisfer ipsilateral yang luas. Myoklonus ( menandakan suatu proses metabolik), twitching otot yang ritmik (indikasi dari kejang), tetani. 2. Tingkat kesadaran : dapat ditentukan melalui skala koma Glasgow untuk memudahkan kita untuk mencatat perkembangan pasien. Untuk lebih mudahnya gangguan kesadaran pada pasien dapat dideskripsikan berdasarkan letargi, stupor, dan koma. Modul 2 Blok 19 Thanty 65

3. Pernafasan : pola pernafasan yang abnormal dapat membantu kita menentukan lokalisasi dari koma. Diantaranya : a. Cheyne-Stokes : lesi bihemisfer atau ensefalopati merabolik b. Central neurogenic hiperventilation : CNS limfoma atau kerusakan batang otak karena herniasi tentorial c. Apneustic breathing : kerusakan pons d. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar e. Ataxic breathing : kerusakan pusat pernafasarn medular (lesi di fosa posterior) 4. Lapang pandang : dapat diperiksa dengan melakukan refleks ancam terhadap mata sehingga berkedip. Kehilangan refleks ancam pada salah satu sisi mata menandakan terjadinya suatu hemianopia. 5. Funduskopi : edema papil terjadi pada peningkatan TIK setelah lebih dari 12 jam dan jarang terjadi secara akut. Tidak adanya suatu edema papil menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal. Perdarahan subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada permukaan retina biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu perdarahan subarakhnoid. 6. Pupil : pastikan bentuk, ukuran, dan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya. a. Simetris dan reaktif terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain dalam keadaan intak. Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari kornea dan okulosefalik menandakan suatu keadaan koma yang disebabkan kelainan metabolik. b. Midposition (2-5 mm) terfiksir atau pupil ireguler menandakan suatu lesi fokal di midbrain. c. Pupil pinpoint yang reaktif menandakan kerusakan pada tingkat pons. Intoksikasi dari opiat dan kholinergik (pilokarpin) juga dapat menyebabkan pupil seperti ini. d. Pupil anisokor dan terfiksir terjadi pada kompresi terhadap CN III pada herniasi unkus. Ptosis dan exodeviasi juga terlihat pada kejadian tersebut. e. Pupil terfiksir dan dilatasi menandakan suatu herniasi sentral, iskemia hipoksia global, keracunan barbiturat, scopolamine, atau gluthethimide. 7. Pergerakan bola mata (gaze): a. Perhatikan posisi saat istirahat : i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan : 1. lesi di pons kontralateral hemiparesis 2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis 3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud Modul 2 Blok 19 Thanty 66

iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons. vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan suatu psikogenik unresponsive. b. Refleks okulosefalik (dolls eye), respons yang intak terjadi pergerakan bola mata berlawanan dari arah pemutaran kepala. Bila tidak terjadi refleks ini menunjukkan disfungsi dari bilateral hemisfer serebri dan gangguan integritas dari struktur batang otak, yang sering terlihat pada koma metabolik. c. Refleks okulovestibular (kalori dingin), respons yang normal terdiri dari deviasi tonik ke arah rangsangan air dingin yang dimasukkan ke lubang telinga dan terjadi nistagmus cepat ke arah kontralateral. i. Fase tonik tanpa disertai respons fase cepat dari nistagmus menandakan koma disebabkan disfungsi bihemisfer ii. Paresis konjugae dari gaze menandakan lesi unilateral hemisfer atau pons iii. Kelemahan mata asimetris menandakan lesi pada batang otak iv. Refleks okulovestibular negatif menandakan koma yang dalam yang mendepresi fungsi batang otak. 8. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan CN 7 (eferen) 9. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube. 10. Respons motorik :merupakan indikator terbaik dalam menentukan dalam dan beratnya keadaan koma. Yang diperhatikan yaitu : a. Pergerakan spontan : lihat adanya suatu asimetri b. Tonus otot : peningkatan tonus otot bilateral pada ekstremitas bawah merupakan tanda penting terjadinya suatu herniasi serebri. c. Induksi pergerakan melalui : i. Perintah verbal : normal ii. Rangsang nyeri : dengan menggosokkan kepalan tangan pemeriksa pada sternum dan penekanan pada nailbed dengan menggunakan handel dari hammer. 11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi defisit sensoris. 12. Refleks : a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris yang disebabkan lesi struktural b. Refleks plantar : respon bilateral Babinskis menunjukkan coma akibat struktural atau metabolik. Modul 2 Blok 19 Thanty 67

Pemeriksaan Penunjang Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain : 1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada kejadian trauma kepala 2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui CT atau MRI kepala. 3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang, keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui pemeriksaan CT dan LP.

Keadaa pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut. Diantaranya yaitu : 1. Koma psikogenik 2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral 3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus

Manajemen Pasien dengan Koma 1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions / SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien. 2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya : a. Elevasi kepala b. Intubasi dan hiperventilasi c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv ) d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang. 3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam 4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur

Terapi Umum 1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi 2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau peningkatan TIK 3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks

Modul 2 Blok 19 Thanty

68

4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit 5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan plester 6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi 7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam 8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur 9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam, penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

Prognosis Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial.

Modul 2 Blok 19 Thanty

69

KEMATIAN BATANG OTAK

Definisi Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea. Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini dituangkan dalam pernyataan IDI tentang Mati dalam SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang disusul dengan SK PB IDI No.231/ PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak. Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan.

Langkah penetapan kematian batang otak Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal berikut: 1. Evaluasi kasus koma 2. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien 3. Penilaian klinis awal refleks batang otak 4. Periode interval observasi a. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam b. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode intervalobservasi 24 jam c. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode interval observasi 12 jam d. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam 5. Penilaian klinis ulang refleks batang otak 6. Tes apnea 7. Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi 8. Persiapan akomodasi yang sesuai 9. Sertifikasi kematian batang otak 10. Penghentian penyokong kardiorespirasi

Penilaian klinis refleks batang otak Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam. Tiga temuan penting pada kematian batang otak adalah

Modul 2 Blok 19 Thanty

70

koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara khas dilakukan setelah evaluasi refleks batang otak yang kedua.

Gambar 1. Rangsang nyeri

Gambar 2. Pemeriksaan refleks batang otak

Hilangnya refleks batang otak : Pupil: a. Tidak terdapat respon terhadap cahaya / refleks cahaya negatif b. Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm) Gerakan bola mata /gerakan okular: a. Refleks okulosefalik negatif (pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata tidak terdapat retak atau ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii). b. Tidak terdapat penyimpangan / deviasi gerakan bola mata terhadap irigasi 50 ml air dingin di setiap telinga (membrana timpani harus tetap utuh; pengamatan 1 menit setelah suntikan, dengan interval tiap telinga minimal 5 menit) Respon motorik facial dan sensorik facial: a. Refleks kornea negatif b. Jaw reflex negatif (optional) c. Tidak terdapat respon menyeringai terhadap rangsang tekanan dalam pada kuku, supraorbita, atau temporomandibular joint Refleks trakea dan faring: a. Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior b. Tidak terdapat respon terhadap pengisapan trakeobronkial / tracheobronchial suctioning

Tes apnea Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak yang kedua dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat terpenuhi, yaitu: a. Suhu tubuh 36,5 C atau 97,7 F b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya) Modul 2 Blok 19 Thanty 71

c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial 40 mmHg) d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial 200 mmHg) Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul setinggi carina) c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat) d. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator disambungkan kembali e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 60 mmHg (atau peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik turun sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia pada pasien < 18 tahun), atau pulse oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang bermakna, atau terjadi aritmia kardial. Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah. Apabila PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 20 mmHg di atas nilai dasar normal, tes apnea dinyatakan positif. Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg di atas nilai dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan perlu dilakukan tes konfirmasi

Gambar 3. Tes apnea

Faktor perancu Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis mati batang otak, sehingga hasil diagnosis tidak dipastikan hanya berdasarkan pada alasan klinis. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan: a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat b. Kelainan pupil sebelumnya

Modul 2 Blok 19 Thanty

72

c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade neuromuskular d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2 Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan sebagai bukti fungsi batang otak: a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi patologis b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna) c. Berkeringat, kemerahan, takikardi d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan mendadak tekanan darah e. Tidak adanya diabetes insipidus f. Refleks tendon dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi tripel

g. Refleks Babinski

Pemeriksaan konfirmatif apa - bila terdapat indikasi Diagnosis mati batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Pada beberapa pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis mati batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif. Pemilihan tes konfirmatif sangat tergantung pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain: a. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic resonance, dan radionuclide): kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi bifurkasio karotis atau sirkulus Willis b. Elektroensefalografi: kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit c. Nuclear brain scanning: kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan/ atau jaringan vaskular, bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon) d. Somatosensory evoked potentials: kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus medianus e. Transcranial doppler ultrasonography: kematian batang otak ditegakkan oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal sistolik tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow, mengindikasikan adanya resistensi yang sangat tinggi (very high vascular resistance) terkait peningkatan tekanan intrakranial yang besar

Modul 2 Blok 19 Thanty

73

SINDROMA GUILLAIN-BARRE

Pendahuluan Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Definisi Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Sejarah Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

Epidemiologi Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari Modul 2 Blok 19 Thanty 74

pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

Etiologi Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 1. Infeksi 2. Vaksinasi 3. Pembedahan 4. Penyakit sistematik: keganasan systemic lupus erythematosus tiroiditis penyakit Addison

5. Kehamilan atau dalam masa nifas SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal

Patogenesa Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. 3. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Modul 2 Blok 19 Thanty

75

Peran imunitas seluler Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

Klasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu: 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 3. Acute motor axonal neuropathy 4. Acute motor sensory axonal neuropathy 5. Fishers syndrome 6. Acute pandysautonomia

Modul 2 Blok 19 Thanty

76

Gejala klinis dan kriteria diagnosa Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu: I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: Terjadinya kelemahan yang progresif Hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB: a. Ciri-ciri klinis: Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. Relatif simetris Gejala gangguan sensibilitas ringan Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 Varian: o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Diagnosa Banding Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan criteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain, seperti: Mielitis akuta Poliomyelitis anterior akuta Porphyria intermitten akuta Polineuropati post difteri

Modul 2 Blok 19 Thanty

77

Terapi Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Pengobatan imunosupresan: 1. Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 2. Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah: 6 merkaptopurin (6-MP) azathioprine cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

Prognosis Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lain: pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset progresifitas penyakit lambat dan pendek pada penderita berusia 30-60 tahun

Modul 2 Blok 19 Thanty

78

MIASTENIA GRAVIS

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua. Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata. Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995). Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.

Definisi Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis merupakan penyakit gangguan autoimun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.

Patofisiologi Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Modul 2 Blok 19 Thanty 79

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus. Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.

Manifestasi Klinis Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja. Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan. Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Modul 2 Blok 19 Thanty 80

Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung. Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab: 1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid. 2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam. 3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang. 4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya.

Klasifikasi Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi: Kelompok I: Miastenia okular Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah. Kelompok III: Miastenia berat akut Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat

Modul 2 Blok 19 Thanty

81

buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.

Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, ialah: 1. Miastenia neonatus Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta. 2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia) Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa. 3. Miastenia kongenital Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif. 4. Miastenia familial Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa. 5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome) Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering. 6. Miastenia gravis antibodi-negatif Kurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi. 7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan. 8. Botulisme Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang Modul 2 Blok 19 Thanty 82

lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut: 1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit. 2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi) Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi antireseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil. 3. Tes tensilon (edrofonium klorida) Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejalagejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

Modul 2 Blok 19 Thanty

83

4. Foto dada Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik. 5. Tes Wartenberg Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis. 6. Tes prostigmin Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

Terapi 1. Antikolinesterase Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut. 2. Steroid Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan

Modul 2 Blok 19 Thanty

84

memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari. 3. Azatioprin Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. 4. Timektomi Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik. 5. Plasmaferesis Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

Krisis Pada Miastenia Gravis Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu: 1. Krisis miastenik Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Pemberian antikolinesterase - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obatobat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.

Modul 2 Blok 19 Thanty

85

2. Krisis kolinergik Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah. - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis. Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.

Modul 2 Blok 19 Thanty

86

You might also like