You are on page 1of 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asfiksia 1. Pengertian Oksigen sangatlah penting untuk kehidupan baik sebelum dan sesudah persalinan.

Selama didalam rahim, janin mendapatkan oksigen dan nutrien dari ibu melalui mekanisme difusi plasenta dari ibu yang diberikan kepada janin. Sebelum lahir, alveoli paru bayi menguncup dan terisi oleh cairan. Paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen ataupun jalan untuk mengeluarkan CO2 sehingga darah tidak perlu mengaliri paru dalam jumlah besar. Namun, setelah bayi lahir plasenta tidak lagi berhubungan, sehingga bayi akan segera bergantung pada paru sebagai sumber utama oksigen (Depkes, 2005). Bayi baru lahir dalam masa transisi ke kehidupan ekstrauterin akan mengalami beberapa adaptasi yang fisiologis, salah satunya adalah adaptasi pernapasan. Pernapasan awal bayi baru lahir dipicu oleh faktorfaktor fisik, sensorik, dan kimia. Faktor fisik meliputi usaha yang diperlukan untuk mengembangkan paru-paru dan mengisi alveolus yang kolaps (misalnya perubahan dalam gradien tekanan). Faktor-faktor sensorik dalam adaptasi pernapasan bayi baru lahir meliputi suhu, bunyi, cahaya, suara, dan penurunan suhu, sedangkan faktor kimia meliputi perubahan dalam darah misalnya, penurunan kadar O2, peningkatan kadar CO2, dan penurunan pH sebagai akibat asfiksia sementara selama
10

11

kelahiran. Frekuensi pernapasan bayi baru lahir berkisar antara 30 sampai 60 kali per menit (Barbara, 2004). Asfiksia menurut Ilyas (1994), adalah suatu keadaan ketidakmampuan bayi untuk bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir yang mana keadaan tersebut disertai dengan hipoksia, hiperkapnea, dan berakhir dengan asidosis. Faktor-faktor yang timbul pada kehamilan, peralinan, atau segera setelah lahir sangat berhubungan dengan keadaan hipoksia. Asfiksia akan menimbulkan dampak yang buruk apabila penanganan bayi tidak dilakuka secara sempurna, sehingga tujuan dari tindakan yang dilakukan yaitu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala lanjutan yang mungkin timbul. Asfiksia kelahiran merupakan konsekuensi dari hipoksia intrapartum dimana bayi membutuhkan resusitasi lebih lanjut dan berlanjut pada keadaan ensefalopati hipoksik iskemik (hypocix ischemic enshefalophaty, HIE). HIE muncul pada 1-2 kasus pada setiap 1000 kelahiran. Bayi yang dilahirkan setelah hipoksia intrapartum memiliki gambaran yang khas. Bayi menjadi bradikardi, pucat, lemas, dan apnu, dan mengalami asidosis metabolik yang parah, yang telah terakumulasi selama periode glikolisis anaerob. Keadaan ini memerlukan tindakan resusitasi segera (Meadow & Newell, 2002). 2. Etiologi Paru-paru neonatus mengalami pengembangan pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan teratur,

12

namun bila terjadi gangguan pertukaran gas atau angkutan oksigen dari ibu ke janin akan memicu terjadinya asfiksia janin atau neonatus. Gangguan tersebut dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan, atau segera setelah lahir. Towell (1966) dalam Ilyas (1994), menggolongkan penyebab kegagalan pernapasan pada bayi asfiksia yang terdiri dari : a. Faktor ibu Ibu merupakan subjek yang berperan dalam persalinan, berbagai kondisi dan keadaan ibu akan banyak mempengaruhi bayi saat dilahirkan. Berikut beberapa situasi pada ibu yang dapat menimbulkan masalah pada bayi : 1. Hipoksia pada ibu, hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesia umum. 2. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, pertambahan umur akan diikuti oleh perubahan organ dalam rongga pelvis. Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Pada wanita usia muda dimana organ-organ reproduksinya belum sempurna secara keseluruhan, disertai kejiwaan yang belum bersedia menjadi seorang ibu (Llewellyn & Jones, 2001). Usia perempuan untuk hamil dan melahirkan memiliki pengaruh yang berbeda pada kesehatan ibu dan janinnya. Kehamilan dan persalinan di bawah umur 20 tahun memiliki resiko yang sama tingginya dengan kehamilan umur 35 tahun keatas sehingga dapat

13

menimbulkan resiko. Usia berkaitan dengan masalah kesehatan, resiko akan meningkat sejalan dengan usia. Persalinan pada ibu usia tua dapat menimbulkan kecemasan yang mengakibatkan persalinan yang lebih sulit dan lama (Kasdu, 2005 dan Curtis, 2000). Dalam penelitian Zakaria di RSUP M. jamil padang tahun 1999 menemukan kejadian asfiksia neonatorum sebesar 36,4% pada ibu yang melahirkan dengan usia kurang dari 20 tahun dan 26,3% pada ibu dengan usia lebih dari 34 tahun. Hasil penelitian Ahmad di RSUD Dr Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2000 menemukan bayi yang lahir dengan asfiksia neonatorum 1,309 kali pada ibu umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. 3. Gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, setiap penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin. Contohnya kolesterol tinggi, hipertensi, hipotensi, jantung, paruparu/tbc, ginjal, gangguan kontraksi uterus dan lain-lain.. b. Faktor plasenta, Plasenta merupakan suatu organ serba guna dan vital bagi janin yang berfungsi sebagai alat pernapasan, alat pemenuhan nutrisi, dan alat pertahanan dan pembentukan hormon-hormon. Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Apabila terjadi gangguan mendadak pada plasenta maka akan terjadi asfiksia janin. Gangguan plasenta tersebut seperti solusio plasenta, perdarahan plasenta (plasenta previa).

14

1. Plasenta previa ialah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah lahir dan menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. 2. Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta dari tempat

implantasinya yang normal pada uterus, sebelum janin dilahirkan. c. Faktor janin atau neonatus Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, gameli, IUGR (intra uterin growth retardation), premature, kelainan kongenital pada neonatus, dan lain-lain. 1. Prematur adalah keadaan bayi lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Bayi yang lahir kurang bulan memiliki organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Pognosis bayi prematur terganutng dari berat ringannya masalah perinatal, misalnya masa gestasi (makin muda mas gestasi maka makin tinggi angka kematian. Terutama disebabkan oleh seringnya dijumpai kelainan komplikasi seperti asfiksia, pneumonia, perdarahan intra kranial, dan hipoglikemia (Saifuddin, 2002). 2. Gangguan tali pusat, kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah tersebut dapat ditemukan pada keadaan tali pusat

15

menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin (Saifuddin, 2002). d. Faktor persalinan Menurut Saifuddin (2002), persalinan normal adalah poses pengeluaan janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. Faktor persalinan yang dimaksud adalah meliputi partus lama, persalinan dengan tindakan/buatan. 1. Partus lama menurut Mochtar (2004), yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara. Persalinan pada primi biasanya lebih lama 5-6 jam darpada multi. Insiden partus lama menurut penelitian berkisar 2,8% sampai 4,9%. Bila persalinan lama, dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu maupun bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. 2. Persalinan buatan yakni persalinan dengan rangsangan/bantuan tenaga dari luar sehingga terdapat kekuatan untuk persalinan. Misalnya forcep/vakum/SC (Joseph & Nugraha, 2010). Menurut Hamilton (1995), forcep digunakan untuk mempercepat persalinan ketika hidup ibu atau janin terancam, untuk mempersingkat persalinan kala II. Persalinan dengan forcep menyebabkan adanya tekanan pada kepala yang bisa menekan pusat-pusat vital pada

16

medula oblongata dan hal tersebut dapat menyebabkan asfiksia. Persalinan cesarea adalah kelahiran bayi melalui abdomen dan insisi uterus. Persalinan cesarea dipilih karena indikasi distres janin, posisi sungsang, distosia, dan persalinan cesarea sebelumnya. Tindakan cesarea bisa dilakukan pada kejadian plasenta previa, solutio

plasenta, gawat janin, letak lintang. Yang mana hal tersebut berpengaruh terhadap pernapasan bayi (Saifuddin, 2002). Persalinan buatan juga bisa dengan induksi yakni tindakan/langkah untuk memulai persalinan yang sebelumnya belum terjadi. Metode yang digunakan ialah amniotomi, infus oxytocin, dan pemberian prostaglandin. Pemberian prostaglandin akan menimbulkan

kontraksi otot rahim yang berlebihan yang mana dapat mengganggu sirkulasi darah sehingga menimbulkan asfiksia janin (Hamilton, 1995). 3. Asfiksia dimulai dengan suatu periode Apneu Seorang bayi mengalami kekurangan oksigen,maka akan terjadi napas cepat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan napas akan berhenti, denyut jantung mulai menurun dan tonus otot berkurang secara berangsur, dan bayi memasuki periode apneu primer. Apneu primer yaitu bayi mengalami kekurangan oksigen dan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode singkat, dimana terjadi penurunan frekuensi jantung. Pemberian rangsangan dan oksigen selama periode ini dapat merangsang terjadinya pernapasan. Selanjutnya, bayi akan

17

memperlihatkan usaha bernapas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernapasan teratur (Sutaryo, magetsari, mulyono, kurnianda, 2000). Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukan pernapasan gasping (megap-megap), denyut jantung menurun, tekanan darah menurun, dan bayi tampak lemas (flaksid). Pernapasan semakin lemah sampai akhirnya berhenti, dan bayi memasuki periode apneu sekunder. Apneu sekunder yakni pada penderita asfiksia berat, yang mana usaha bernapasnya tidak tampak dan selanjutnya bayi berada pada periode apneu kedua. Pada keadaan tersebut akan ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah serta penurunan kadar oksigen dalam darah. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya bernapas secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali bila resusitasi dengan napas buatan dan pemberian oksigen segera dimulai. Sulit sekali membedakan antara apneu primer dan sekunder, oleh karenanya bila menghadapi bayi lahir dengan apneu, anggaplah sebagai apneu sekunder dan bersegera melakukan tindakan resusitasi (Novita, 2011). 4. Macam-macam rangsangan terjadinya respirasi Novita (2011), menggolongkan beberarapa macam rangsangan yang dapat memicu terjadinya respirasi pada bayi baru lahir a. Chemical stimuli Pada bayi yang mengalami asfiksia sementara, akibat gangguan aliran darah pada plasenta selama kontraksi uterus dan disertai dengan tekanan tali pusat saat kelahiran. Kemoreseptor

18

yang ada di arteri carotic dirangsang dengan adanya penurunan kadar O2 dan meningkatnya kadar CO2 dan penurunan pH, sehingga impuls tersebut men-triggerd sistem saraf pusat pernapasan medula oblongata. b. Sensory stimuli Pada bayi baru lahir banyak sekali stimulus baru selama proses persalinan dan kelahiran, antara lain sentuhan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman, dimana memberi kontribusi terhadap pencetus dari pernapasan. c. Thermal stimuli Rasa dingin merupakan kekuatan utama terhadap pencetus pernapasan. Rasa dingin pada muka dan dada menghantarkan impuls ke medula untuk men-trigger pernapasan. d. Mechanical stimuli Selama melalui jalan lahir, kurang lebih 30% cairan pada paru-paru fetus terisi oleh udara dan alveoli perlahan-lahan mengeluarkan sampai dengan 30cc ke oropharing sebelum kelahiran. Terjadi recoil dada setelah melalui jalan lahir, pengeluaran cairan tersebut mempermudah udara masuk ke paruparu. 5. Klasifikasi klinis asfiksia Menurut Mochtar (1998), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam, yaitu sebagai berikut :

19

a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif, bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek. 6. Patofisiologi Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan teratur. Sering sekali bayi mengalami gawat janin sebelum persalinan akan mengalami asfiksia setelah persalinan. Masalah tersebut mungkin berkaitan erat dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan. Apabila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, maka timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi lambat (Depkes RI, 2005). Kekurangan O2 akan merangsang usus sehingga mekonium keluar sebagai tanda janin dalam asfiksia. Secara klinis tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih cepat dari 160x/menit atau kurang dari 100x/menit, halus dan irreguler, serta adanya pengeluaran mekonium. Jika DJJ normal dan terdapat mekonium, maka janin mulai asfiksia. Jika DJJ lebih dari 160x/menit dan ada mekonium maka janin sedang asfiksia. Jika DJJ kurang dari 100x/menit dan ada mekonium maka janin dalam keadaan gawat (Mochtar, 1998).

20

7. Gejala dan tanda Menurut Ilyas (1994), Gejala asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernapasan cepat, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan nadi cepat. 8. Diagnosis Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Diagnosis hipoksia dapat dibuat ketika dalam persalinan yakni saat ditemukanna tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian (Saifuddin, 2002) : a. Denyut jantung janin Frekuensi normal denyut jantung janin adalah antara 120 sampai 160x/menit. Selama his frekuensi tersebut bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, namun apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 per menit di luar his dan terlebih jika tidak teratur, hal tersebut merupakan tanda bahaya. b. Mekonium dalam air ketuban Pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan oksigenasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah.

21

c. Pemeriksaan darah janin Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan melalui servik yang dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah tersebut diperiksa pH nya, adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH turun sampai 7.2 hal tersebut dianggap sebagai tanda bahaya. Kelahiran yang telah menunjukan tanda-tanda gawat janin dimungkinkan akan dissertai dengan asfiksia neonatorum. Oleh karena itu perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia. Tingkatannya perlu diketahui untuk melakukan tindakan resusitasi yang sempurna. Hal tersebut diketahui dengan penilaian menurut APGAR. 9. Penilaian APGAR score A : Apprearance = rupa (warna kulit) P : Pulse G : Grimace A : Activity R :Respiration = nadi = menyeringai (akibat refleks kateter dalam hidung) = keaktifan = pernapasan

Untuk menentukan tingkat asfiksia dengan tepat membutuhkan pengalaman dan observasi klinis serta penilaian yang tepat, sehingga pada tahun 1953-1958 seorang bernama Virginia Apgar mengusulkan beberapa kriteria klinis untuk menentukan keadaan neonatus. Menurut Novita (2011), nilai apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit

22

dan 5 menit sesudah bayi lahir. akan tetapi, penilaian bayi harus segera dimulai sesudah bayi lahir. apabila memerlukan intervensi berdasarkan oenilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus segera dilakukan. Nilai apgar dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Apabila nilai apgar kurang dari 7 maka penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukan nilai 8 atau lebih. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting yaitu pernafasan, denyut jantung, dan warna. Resusitasi yang efektif bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen, dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya (Novita, 2011). Patokan klinis yang dihitung meliputi menghitung frekuensi jantung, melihat usaha bernapas, menilai tonus otot, menilai reflek rangsangan, memperlihatkan warna kulit. Setiap bayi yang dilahirkan kemudian menangis biasanya hidup, sedangkan bayi lahir tidak menangis biasanya cepat meninggal, hal tersebut dikemukakan oleh Virginia Apgar. Oleh karenanya beliau membuat daftar penilaian dengan mengobservasi pada menit pertama dan menit kelima setelah lahir. pada menit pertama untuk menunjukan beratnya asfiksia dan menentukan kemungkinan hidup selanjutnya, sedangkan menit kelima untuk menentukan gejala sisa (Ilyas, 1994)

23

Berikut ini adalah tabel Apgar score untuk menentukan Asfiksia (Mochtar, 1998). Tabel 2.1 Skor Apgar
TANDA Frekuensi jantung Usaha bernapas Tonus otot Refleks Warna kulit 0 Tidak ada Tidak ada Lumpuh Tidak ada Biru/pucat SKOR 1 < 100/menit Lambat, tak teratur Ekstremitas agak fleksi Gerakan sedikit Tubuh kemerahan, ekstremitas biru 2 >100/menit Menangis kuat Gerakan aktif Gerakan kuat/melawan Seluruh tubuh kemerahan

10. Klasifikasi klinik nilai APGAR Bayi baru lahir dievaluasi dengan nilai Apgar, tabel tersebut dapat untuk menentukan tingkat atau derajat asfiksia, apakah ringan, sedang, atau asfiksia berat (Mochtar, 1998). a. Asfiksia berat (nilai Apgar 0-3) Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung 100X/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan terkadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada. b. Asfiksia sedang (nilai Apgar 4-6) Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernapas kembali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung lebih dari 100X/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

24

c. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai Apgar 7-10) 11. Penanganan pada asfiksia neonatorum Asfiksia bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Resusitasi dapat dilihat dari berat ringannya derajat asfiksia, yaitu dengan cara menghitung nilai apgar (Novita, 2011). Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi yang perlu diingat adalah : a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernapasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernapasan, yaitu agar oksigen dan pengeluaran CO2 berjalan lancar. b. Memberikan bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang menunjukan usaha pernapasan lemah. c. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi. d. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik. Menurut Ilyas (1994), alat-alat resusitasi yang perlu dipersiapkan meliputi sebagai berikut : a. Meja resusitasi dengan kemiringan kurang dari 10 derajat. b. Guling kecil untuk menyangga/ekstensi c. Lampu untuk memanaskan badan bayi d. Penghisap slim e. Oksigen f. Spuit ukuran 2,5cc atau 10cc g. Penlon back atau penlon masker

25

h. ETT (endo trakheal tube) i. Laringoskop j. Obat-obatan (natrium bikarbonat 7,5% (meylon), dekstrose 40%, kalsium glukonas, dekstrose 5%, dan infus set). Menurut Novita (2011), resusitasi dilakukan sesuai dengan derajat asfiksia. Penatalaksanaan penanganan bayi dengan asfiksia bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa. a. Asfiksia ringan-bayi normal (skor apgar 7-10) Tidak memerlukan tindakan yang istimewa, seperti pemberian lingkungan suhu yang baik pada bayi, pembersihan jalan napas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa darah, jika diperlukan memberikan rangsangan, selanjutnya observasi suhu tubuh, apabila cenderung turun untuk sementara waktu dapat dimasukan kedalam inkubator (Novita, 2011) b. Asfiksia sedang (skor apgar 4-6) Menerima bayi dengan kain yang telah dihangatkan, kemudian membersihkan jalan nafas,Melakukan stimulasi agar timbul refleks pernapasan. Bila dalam 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai. Ventilasi yang aktif yang sederhana dapat dilakukan secara frog brething. Cara tersebut dikerjakan dengan meletakan kateter O2 intranasal dan O2 dialirkan dengan 1-2 liter/menit. Agar saluran napas bebas, bayi diletakan dalam posisi dorsofleksi kepala. Apabila belum berhasil maka lakukan tindakan rangsangan

26

pernapasan dengan menepuk-nepuk telapak kaki, bila tidak berhasil juga maka pasang penlon masker kemudian di pompa 60x/menit. Bila bayi sudah mulai bernafas tetapi masih sianosis, berikan kolaborasi terapi natrium bikarbonat 7,5% dengan dosis 2-4 cc/kg berat badan bersama dektrose 40% sebanyak 1-2 cc/kg berat badan dan diberikan melalui umbilikalis (Novita, 2011). c. Asfiksia berat (skor apgar 0-3) Menerima bayi dengan kain hangat, kemudian membersihkan jalan nafas sambil memompa jalan nafas dengan ambu bag. Berikan oksigen 4-5 liter/menit. Apabila tidak berhasil biasanya dipasang ETT (endo tracheal tube), selanjutnya bersihkan jalan nafas melalui lubang ETT. Bila bayi bernafas namun masih sianosis maka berikan tindakan kolaborasi berupa natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc dan dektrose 40% sebanyak 4cc. Bila asfiksia berkelanjutan, maka bayi masuk ICU dan infus terlebih dahulu (Novita, 2011). B. Persalinan 1. Pengertian Persalinan merupakan proses pergerakan keluar janin, plasenta, dan membran dari dalam rahim melalui jalan lahir. berbagai perubahan terjadi pada sistem reproduksi wanita dalam hitungan hari dan minggu sebelum persalinan dimulai. Persalinan sendiri dapat dibahas dalam bentuk mekanisme yang terjadi selama proses dan tahapan yang dilalui wanita (Bobak, 2004).

27

Menurut Mochtar (1998), persalinan/partus adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin + uri), yang dapat hidup ke dunia luar melalui jalan lahir atau dengan menggunakan jalan lain. Persalinan dan kelahiran normal adalah merupakan proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, 2002). 2. Faktor penyebab terjadinya persalinan Apa yang menyebabkan persalinan belum diketahui secara benar, yang ada hanyalah merupakan teori-teori kompleks antara lain dikemukakan faktor humoral, struktur rahim, sirkulasi rahim, pengaruh tekanan pada syaraf, dan nutrisi (Mochtar, 1998) a. Teori penurunan hormon: 1-2 minggu sebelum partus mulai terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai penenang otot-otot polos rahim dan akan menyebabkan kekejangan pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar progesteron turun. Menurunnya progesteron akibat tuanya

kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga persalinan dapat dimulai. Pengeluaran oksitosin dilakukan oleh kelenjar hipofisis pars posterior. b. Teori plasenta menjadi tua, plasenta yang tua akan menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesteron yang mana akan

28

menyebabkan kekejangan pembuluh darah dan hal tersebut akan menimbulkan kontraksi rahim. c. Teori distensi rahim, rahim yang menjadi besar dan meregang menyebabkan iskemia otot-otot rahim sehingga menganggu sirkulasi utero-plasenter. Serabut otot rahim yang meregang sampai pada batas kemampuannya akan bereaksi dengan mengadakan kontraksi (Farrer, 1999) d. Teori iritasi mekanik, ganglion servikale (fleksus frankenhauser) yang terletak di belakang servik yang mana apabila tergeser dan tertekan oleh kepala janin akan menimbulkan kontraksi uterus. e. Induksi partus (induction of labour), partus dapat ditimbulkan dengan beberapa jalan yakni gagang laminara yang dimasukan dalam kanalis servikalis dengan tujuan merangsang pleksus frankenhauser, kemudian dengan Amniotomi (pemecahan

ketuban), selanjutnya bisa dengan cara Oksitosin drips (pemberian oksitosin menurut tetesan per infus). f. Teori prostaglandin, prostaglandin banyak dihasilkan oleh lapisan dalam rahim yang diduga dapat menyebabkan kontraksi rahim. Prostaglandin meningkat sejak usia kehamilan memasuki minggu ke-15, pemberian prostaglandin dari luar dapat merangsang kontraksi otot rahim dan terjadi persalinan atau gugur kandung (Manuaba, 2009).

29

3. Tanda-tanda permulaan persalinan Sebelum terjadi persalinan beberapa minggu sebelumnya, wanita memasuki bulannya atau minggunya atau harinya yang disebut dengan kala pendahuluan (preparatory stage of labor) dengan tandatanda sebagai berikut (Baety, 2011) : a. Tanda persalinan sudah dekat (1) Terjadi Lightening, yaitu kepala turun memasuki PAP terutama primigravida menjelang minggu ke-36. Lightening menyebabkan terasa ringan dibagian atas dan rasa sesaknya berkurang, terjadi kesulitan saat berjalan dan sering miksi yang disebabkan oleh tekanan kepala janin pada kandung kemih. (2) Terjadi His permulaan, sifat his permulaan atau palsu yakni terasa nyeri ringan dibagian bawah, datangnya nyeri tidak teratur dan durasinya pendek, dan tidak ada perubahan pada servik dan tidak bertambah bila beraktivitas. b. Tanda pasti persalinan Terjadi his persalinan yang sifatnya : (1) Teratur, intervalnya makin pendek, kekuatan makin bertambah jika beraktivitas dan mempunyai pengaruh pada perubahan servik. (2) Pinggang terasa sakit dan menjalar ke depan (3) Keluar lendir darah serta cairan ketuban

30

4. Tahapan proses persalinan Menurut Bobak (2004), proses persalinan dapat meliputi empat tahapan, yaitu sebagai berikut : a. Kala I persalinan (kala pembukaan servik) Menurut Bobak (2004), dimulainya proses persalinan ditandai dengan adanya kontraksi yang teratur, adekuat dan menyebabkan perubahan pada servik hingga mencapai pembukaan lengkap (10cm). Mekanisme pembukaan servik pada primipara berbeda dengan multipara. Dimana pada primipara obstetri uteri internum akan membuka terlebih dahulu, kemudian servik akan mendatar dan menipis kemudian akan terjadi pembukaan secara bersamaan. Pada multipara obstetri uteri internum sudah membuka sedikit, sehingga akan langsung terjadi pembukaan secara bersamaan. Ketuban pecah pada akhir kala I dan biasanya lama waktu pada ibu primipara kurang lebih 13-14 jam/rata-rata 10 sampai 12 jam, sedangkan pada multipara kurang lebih 7 jam/ratarata 4 jam sampai 6 jam (Mochtar, 1998). Pada kala I dilakukan pemeriksaan tentang kedudukan janin dalam rahim, pemeriksaan dalam dengan terbatas, dan pemberian penjelasan berapa pembukaannya serta kapan perkiraan persalinan akan berlangsung. Kekuatan moral dan emosi ibu akan dipertahankan karena persalinan masih jauh sehingga ibu dapat mengumpulkan kekuatan (Manuaba, 2009).

31

Menurut

Mochtar

(1998),

penolong

dalam

kala

mengawasi ibu in-partu sebaik-baiknya serta menanamkan semangat diri bahwa persalinan adalah hal yang fisiologis. Pemberian obat atau tindakan hanya dilakukan apabila diperlukan dan ada indikasi. Apabila ketuban belum pecah, ibu diperkenankan untuk duduk atau berjalan-jalan dan bila berbaring sebaiknya ke sisi dimana punggung janin berada. Jika ketuban sudah pecah ibu dilarang untuk berjalan, harus berbaring. Pemeriksaan dalam pravaginam dilarang kecuali ada indikasi, karena setiap pemeriksaan akan membawa infeksi. Terlebih jika dilakukan tanpa memperhatikan sterilitas (asepsis). Ibu pada kala pembukaan dilarang untuk mengedan karena belum waktunya dan hal tersebut hanya kan menghabiskan tenaga ibu saja (Mochtar, 1998). b. Kala II (kala pengeluaran bayi) Persalinan kala II dimulai saat serviks telah membuka lengkap dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kontraksi uterus pada kala II menjadi lebih sering dengan interval 2-5 menit dan lebih kuat, berlangsung selama 60-90 detik (Llewellyn-Jones, 2001). Pada kala pengeluaran janin, kepala janin telah turun masuk ruang panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Karena tekanan pada rektum maka ibu akan merasa seperti akan

32

buang air besar yakni dengan tanda anus terbuka. Pada saat his, kepala janin mulai kelihatan, vulva membuka dan perinium meregang. Dengan his mengedan yang terpimpin, akan lahirlah kepala yang diikuti oleh seluruh badan janin. Proses kala II pada primipara berlangsung sekitar 11/2-2 jam, sedangkan pada multipara berlangsung sekitar -1 jam (Mochtar, 1998). Bobak (2004), menyatakan bahwa tahap kedua persalinan berlangsung lebih dari 2 jam pada persalinan pertama dan 11/2 jam pada persalinan berikutnya. Batas dan lama persalinan tahap kedua berbeda-beda tergantung pada paritasnya. Waktu persalinan kala II menurut Friedman dalam Bobak (2004), seperti dalam tabel di bawah ini : Tabel 2.2 Waktu persalinan kala II Rentang (menit) Rata-rata (menit) 25-75 13-17 57 14,4

Paritas Kehamilan pertama Kehamilan berikutnya

Pada persalinan kala II, sangat diperlukan kerja sama aktif dari ibu yang melahirkan untuk membantu kontraksi uterus yang involunter dengan kontraksi otot involunter diafragma dan otot abdomen sehingga bersama menekan janin ke bawah. Kontrkasi dicatat dan denyut jantung di auskultasi setiap 15 menit. Jika terjadi penurunan sampai kurang dari 100 kali/menit bradikardi selama lebih dari 2 menit maka harus melakukan pemeriksaan

33

vagina untuk memastikan tidak ada prolaps tali pusat (LlewellynJones). Tanda dan gejala kala II yang dapat dirasakan serta dilihat adalah adanya rasa ingin meneran oleh ibu/dorongan meneran (doran), tekanan pada anus (teknus), tampak perinium yang menonjol (perjol) hal tersebut dikarenakan adanya kontraksi uterus yang terjadi setiap 1,5-2 menit sekali dan berakhir 60-90 detik, terlihat vulva, vagina dan spingter ani yang membuka keadaan tersebut menyebabkan peningkatan pengeluaran lendir darah. Adapun tanda pasti dalam kala II yakni pembukaan yang sudah lengkap serta terlihat kepala di introitus vagina, kepala tampak di vulva dengan diameter 5-6 cm yang disebut dengan croning (Baety, 2011). c. Kala III (kala pengeluaran plasenta) Menurut Mochtar (1998), setelah bayi lahir maka kontraksi rahim istirahat sejenak, dan teraba uterus yang keras dengan fundus uteri setinggi pusat, yang berisi plasenta yang menjadi tebal 2x sebelumnya. Beberapa saat kemudian akan timbul his pelepasan dan pengeluaran uri. Dalam waktu 5-10 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong kedalam vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simfisis atau fundus uteri. Seluruh proses dalam kala III biasanya berlangsung

34

sekitar 5-30 menit setelah bayi lahir. pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira-kira 100-200cc. Ketika kala III berlangsung, rahim berkontraksi (akan terasa sakit). Rasa sakit tersebut menandakan lepasnya plasenta yang melekat dari rahim. Pelepasan ini biasanya akan disertai perdarahan yang akan membuat plasenta keluar (dilahirkan) lewat jalan lahir baik secara otomatis maupun dengan bantuan dokter. Selanjutnya plasenta akan diperiksa guna memastikan

kelengkapan plasenta yang lahir (jika masih ada jaringan plasenta yang tertinggal dalam rahim dapat terjadi perdarahan). Proses melahirkan plasenta memerlukan waktu 5 sampai 30 menit dengan kontraksi uterus terjadi setiap 2 menit sampai 3 menit sekali (Saifuddin, 2002). d. Kala IV persalinan (tahap observasi) Menurut Mochtar (1998), kala IV merupakan kala pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum. Masa postpartum merupakan saat paling kritis untuk mencegah kematian ibu, terutama kematian yang disebabkan karena perdarahan. Selama kala IV, petugas yang menolong persalinan harus memantau ibu setiap 15 menit pada jam pertama setelah kelahiran plasenta, dan setiap 30 menit pada jam kedua

35

setelah persalinan. Namun jika kondisi ibu tidak stabil, maka ibu harus dipantau lebih sering (Saifuddin, 2002). 5. Lama persalinan Menurut Llwellyn-Jones (2001), lama persalinan tidaklah mudah untuk ditentukan secara tepat karena permulaan persalinan sering tidaklah jelas dan bersifat subjektif. Dalam studi terhadap wanita yang persalinannya dimulai secara spontan, terdapat variasi yang luas untuk lama persalinan. Tabel 2.3 Lama persalinan menurut Mochtar (1998)
Kala I Kala II Kala III Lama persalinan Lama persalinan Primi 13 jam 1 jam jam 14 jam Multi 7 jam jam jam 7 jam

Partus lama merupakan persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan lebih dari 18 jam pada multi. Persalinan pada primi biasanya berlangsung 5-6 jam lebih lama daripada multi. Apabila persalinan berlangsung lebih lama, maka dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu maupun janin/anak, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu serta anak. Istilah partus lama ada juga yang menyebut dengan partus kasep dan partus terlantar. Partus kasep merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga menimbulkan gejala seperti

36

dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu serta asfiksia dan kematian janin dalam kandugan (Mochtar, 1998). Persalinan biasanya akan lebih singkat apabila pasien atau ibu mengetahui tentang fisiologi persalinan normal, dalam keadaan sehat sewaktu memulai persalinan, dan percaya penuh kepada petugas yang merawat dan bersikap tenang. Namun, terdapat beberapa faktor penyebab suatu partus berlangsung terlalu lama yakni kelainan letak janin, kelainan-kelainan panggul, kelainan his, janin besar atau ada kelainan kongenital, primitua, perut gantung, dan ketuban pecah dini (Mochtar, 1998). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lama persalinan terkait pada proses awal pembukaan servik hingga bayi lahir, antara lain usia ibu, paritas, pengetahuan mengenai proses melahirkan, besarnya janin, dan posisinya didalam uterus (Llwellyn-Jones, 2001). a. Kelainan Letak janin Kelainan letak janin dalam hal ini bisa berupa kelainan letak kepala dan letak sungsang. Kelainan letak kepala yakni letak kepala yang tengadah (defleksi), pada pemeriksaan dalam yang teraba adalah ubun-ubun bayi. Keadaan tersebut menimbulkan komplikasi seperti partus yang lama atau robekan jalan lahir yang lebih luas. Mortalitas anak agak tinggi yakni sekitar 9% dikarenakan partus lama dan moulage hebat (Mochtar, 1998).

37

Letak janin yang sungsang yakni letak janin yang memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di fundus dan bokong di bawah. Letak sungsang menyebabkan prognosis yang buruk pada ibu maupun bayi, pada ibu bisa berupa robekan pada perinium lebih besar, ketuban lebih cepat pecah, dan partus lebih lama, sehingga akan mudah terkena infeksi. Prognosis tidak begitu baik bagi bayi karena adanya gangguan peredaran darah plasenta setelah bokong lahir dan juga setelah perut lahir, tali pusat yang terjepit antara kepala dan panggul, bayi dimungkinkan bisa menderita asfiksia (Mochtar, 1998). b. Kelainan panggul Kontraktur pada tulang pelvik/panggul merupakan keadaan di mana tulang yang berbentuk seperti corong dari pelvik ibu bersalin terlalu sempit sehingga sulit untuk dilalui oleh janin. Ketidakselarasan antara kepala janin dengan pelvik ibu disebut disproporsi sefalopelvik. Implikasi maternal dengan persalinan demikian menimbulkan ruptur uterus dan nekrosis jaringan lunak maternal karena tekanan kepala bayi, sedangkan implikasi pada janin meliputi prilaps tali pusat, adanya tekanan yang berlebihan pada kepala memungkinkan terjadi fraktur dan perdarahan intrakarinal (Hamilton, 1995). Panggul yang sempit menyebabkan persalinan menjadi lebih lama karena adanya obstruksi pada kala I dan kala II. Pada

38

kala I, kepala tidak masuk pintu atas panggul maka pembukaan berlangsung lama dan besar kemungkinan ketuban pecah sebelum waktunya, hal tersebut menyebabkan kepala janin tidak dapat menekan serviks kecuali terjadi his yang sangat kuat. Apabila pembukaan lancar maka itu pertanda baik, namun bila lambat maka besar kemungkinan janin tidak dapat melewati panggul. Pada kala II menjadi lama karena diperlukan waktu untuk turunnya kepala dan moulage (Mochtar, 1998). c. Kelainan His Kelainan his ketika persalinan berlangsung yakni his yang tidak normal baik kekuatan maupun sifatnya sehingga

menghambat kelancaran persalinan. Persalinan akan berjalan normal jika gelombang kontraksi menyebar ke seluruh uterus dan pola aktivitas uterus yang normal, jika terjadi abnormalitas maka persalinan akan memanjang dan berlangsung lama (LlewellynJones, 2001). d. Janin besar Janin yang besar adalah bila berat badan melebihi dari 4000 gram. Banyak bayi yang memiliki berat badan melebihi 10 pound (4,536 gram) ketika lahir, hal tersebut tidak menguntungkan karena ukuran janin/bayi yang besar sangat menyulitkan kelahiran. Besarnya ukuran tersebut bisa berhubungan dengan beberapa

39

faktor termasuk keturunan, ibu yang mengalami diabetes, dan kehamilan yang sering. Implikasi bagi ibu melibatkan distensi uterus yang menyebabkan peregangan berlebihan pada serat-serat uterus. Hal tersebut menyebabkan disfungsional persalinan, kemungkinan ruptur uterus, dan peningkatan insiden perdarahan postpartum. Persalinan dapat menjadi lebih lama, adapun implikasi bagi janin yakni trauma serebral karena kontak yang kuat dengan tulang pelvik ibu, asfiksia janin, kompresi tali pusat, kerusakan saraf karena regangan leher yang berlebihan (Hamilton, 1995). e. Kelainan kongenital Malformasi kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan terdapat 10-20% dari kematian janin dalam kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Malformasi kongenital merupakan kausa penting terjadinya keguguran, lahir mati, dan kematian neonatal. Dari sudut obstetrik kelainan kongenital dapat menyebabkan distosia persalinan sedangkan dari segi pediatrik bayi yang dilahirkan memerlukan perhatian yang khusus (Mochtar, 1998). f. Perut gantung Menurut Mochtar (1998), perut gantung dijumpai pada multipara ataupun grandemultipara, hal tersebut karena

40

melemahnya dinding perut. Semakin tua kehamilan, uterus semakin bertambah ke depan sehingga fundus uteri akan lebih rendah dari simfisis. Akibatnya, terjadi kesalahan letak janin, kepala janin yang tidak masuk ke ruang panggul. Proses persalinan akan mengalami gangguan pada kala I maupun kala II. Apabila kepala telah masuk pintu atas panggul serta his baik dan adekuat, persalinan dapat berlangsung secara biasa, sekurang-kurangnya persalinan dibantu dengan ekstraksi vakum atau forsipal. g. Ketuban pecah dini Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan 1 jam atau lebih sebelum terjadinya persalinan. h. Paritas Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu. Paritas yang paling aman dari sudut kematian metrnal yaitu dengan paritas 2-3 kali, sedangkan paritas 1 kali atau paritas lebih dari 3 kali angka kematian maternalnya lebih tinggi (Saifuddin, 2002). Kehamilan atau persalinan pada ibu dengan paritas lima atau lebih dengan kondisi keadaan umur yang kurang baik, dimana umur lebih dari 35 tahun sangat meningkatkan untuk terjadinya resiko,baik pada saat persalinan atau keadaan dan kondisi anak yang dilahirkan (Tara, 2002).

41

C. Kerangka Teori Faktor ibu

Faktor plasenta Asfiksia Neonatorum Faktor janin / neonatus Persalinan tindakan Faktor persalinan Partus lama

Kala persalinan : Kala I Primi : > 13 jam Multi : > 7 jam Kala II Primi : > 1 jam Multi : > jam

Bagan 2.1 kerangka teori (Modifikasi Towell, 1966 dalam Ilyas, 1994) & (Mochtar, 1998).

42

D. Kerangka Konsep Konsep penelitian merupakan suatu uraian dan visualisasi

hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Variabel Independen (bebas) Variabel Dependen (terikat)

Kala persalinan : Kala I

Asfiksia Neonatorum

Kala II

Bagan 2.2 Kerangka Konsep E. Hipotesis Jawaban sementara dalam suatu penelitian disebut dengan hipotesis (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ada hubungan antara kala I dan II lama persalinan dengan kejadian Asfiksia Neonatorum.

You might also like