You are on page 1of 20

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM

oleh

H. FAHMI. R, MHI
(Panitera Pengganti PA. Koto Baru)

A. Pendahuluan.

Gagasan rekatualisasi hukum Islam ini mulai dilemparkan kepada


masyarakat oleh Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA pada awal tahun 1985. Pada
waktu itu tanggapan dari para pemikir hukum Islam biasa-biasa saja. Tetapi
setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra
yang cukup keras.1
Dua hal yang melatarbelakangi Munawir untuk memunculkan ide
reaktualisasi ini. Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di
kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Umat Islam terkesan
enggan untuk menjalankan hukum Islam karena tidak sesuai dengan harapan
dan keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat
Islam terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian
bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka sama-
sama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya
hidup dari bunga deposito, melainkan sehari-hari juga banyak mempergunakan
jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan
dharurat, pada hal seperti yang dapat dibaca dalam al-Quran surat al-Baqarah,
ayat 173, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat
tidak adsanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan
esensial.2

1
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Temprint, 1995), h. 87
2
Ibid., h. 88
2

Kedua, dalam hal pembagian harta warisan, al-Quran surat al-Nisa'


ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa hak laki-laki adalah dua kali lebih
besar dari pada hak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak
ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara lansung maupun
tidak lansung. Munawir menyatakan bahwa ia mengetahui setelah beliau
menjadi menteri agama. Sebagai Menteri Agama Munawir banyak mendapat
laporan dari para hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah, termasuk
daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan al-Quran tersebut.
Para hakim sering kali menyaksikan, setelah perkara waris diputus secara
faraidh, ahli waris tidak mau melaksanakannya, tetapi mereka pergi ke
Pengadilan Negeri untuk meminta agar diperlakukan sistem pembagian yang
lain, yang terang tidak sesuai dengan faraidh. Suatu hal yang perlu dicatat
bahwa yang enggan melaksanakan fatwa waris di Pengadilan Agama dan
kemudian pergi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya orang-orang awam,
melainkan juga banyak tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu
keislaman.
Sementara itu telah membudaya pula penyimpangan tidak lansung
dari ketentuan al-Quran tersebut. Banyak kepala keluarga yang mengambil
kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup mereka telah membagikan sebagian
besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masing mendapat
pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah.
Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus
dibagi tinggal sedikit, bahkan hampir habis sama sekali. Dalam hal ini memang
secara formal tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan al-Quran di atas. Tetapi
apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul?
Apakah tindakan-tindakan itu tidak termasuk kategori helah atau main-main
dengan agama?
Itulah realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut
Munawir, kita boleh kecewa, tetapi demikianlah kenyataan sosial yang harus
dengan jujur kita akui ada. Sementara itu salah kiranya kalau kita menuding
para pelaku penyimpangan itu, termasuk sejumlah ulama, sebagai kurang utuh
komitmen mereka kepada Islam, tanpa mempelajari latarbelakang dan faktor-
faktor yang mendorong mereka berani melakukan penyimpangan itu. Dari uraian
3

di atas, Munawir menyatakan, bahwa bukan saya mengatakan bahwa hukum


waris Islam seperti yang ditentukan oleh al-Quran itu tidak adil, tetapi justru
saya menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada
keadilan hukum faraidh.3
Inilah yang melatarbelakangi pemikiran Munawir untuk memunculkan ide
reaktualisasi hukum Islam.

Pengaruh ini juga terlihat dengan adanya pengahalalan homoseksual


oleh seorang Profoser UIN Jakarta. Harian The Jakarta Post, edisi Jumat
(28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam
'recognizes homosexuality' (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat
dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris
itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan
oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality
are natural and created by God, thus permissible within Islam).

Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada
alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap
homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan
kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap
ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there
were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of
homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims
was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings.”

Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan


adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat,
tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena
itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of
Religions and Peace) ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian.
Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.”
(There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God,
people are valued based on their piety).4

3
Ibid., h. 90
4
Copyright©Hidayatullah dot com, 2008 ·
4

Makalah ini akan menjelaskan makna reaktualisasi hukum Islam dan


perlukah rekatualisasi hukum Islam?. Pembahasan ini akan dilihat dari paradigma
Islam.

B. Munawir dengan Reaktualisasi Ajaran Islam

Atas ide reaktualisasi ajaran Islam ini, Munawir dianggap sebagai Ibnu
Amatillah., karena Ibnu Amatillah telah melontarkan ide ini jauh sebelum Munawir
melontarkannya. Hal ini terjadi ketika BJ Boland, seorang sarjana Belanda yang
dikenal simpati terhadap Islam, pernah terheran-heran ketika ia menemukan sebuah
makalah pada tahun 1950 berjudul Analyse Mungkinkah Negara Indonesia
Bersendikan Islam. Penulis makalah itu bernama Ibnu Amatillah, seorang yang
sama sekali tak dikenal karena tak pernah didengar dalam dunia tulis- menulis pada
masa itu.

Makalah yang terbit di Semarang itu tentu saja mengherankan Boland


karena menurut penelitiannya, yang kemudian ia tuangkan dalam karya klasiknya
The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), karya-karya tentang hubungan
Islam dan negara yang ditulis oleh orang Islam di Indonesia pada masa itu berujung
pada satu kesimpulan, yakni pentingnya mendirikan negara Islam dan wajibnya
kaum Muslim mendukung gagasan ini.

Tetapi, karya Ibnu Amatillah itu merupakan pengecualian yang aneh. Aneh
karena kesimpulan makalah itu mempertanyakan gagasan "negara Islam" yang
pada saat itu sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh kaum Muslim,
khususnya mereka yang tergabung dalam Partai Masyumi. Lebih aneh lagi,
gagasan itu datang dari seorang yang memiliki nama santri.

Perlu diketahui, pada tahun 1950-an sikap politik kaum Muslim di Indonesia
secara umum bisa dibedakan antara mereka yang mendukung gagasan negara
Islam (atau negara berbasis Islam) dan mereka yang menolak gagasan tersebut.
Umumnya, kelompok pertama diwakili oleh- meminjam kategorisasi Clifford Geertz-
kaum santri yang secara politik diwadahi oleh Partai Masyumi dan setelah tahun
1952 juga oleh Partai NU, sementara kelompok kedua diwakili oleh kaum abangan
seperti Soekarno dan Soepomo.
5

Ibnu Amatillah jelas-jelas mengaku sebagai seorang santri, berasal dari latar
belakang santri, dan menggunakan argumen-argumen agama yang sangat tangguh.
Ini yang membuat Boland terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang yang
tumbuh dan besar dalam lingkungan santri memiliki pandangan semacam itu?

Dalam karya klasiknya itu, Boland tidak mengungkapkan siapa gerangan Ibnu
Amatillah. Nama ini tetaplah sebuah misteri yang tak diketahui orang. Bagi
kebanyakan pembaca karya Boland itu, termasuk saya, Ibnu Amatillah tetap
merupakan seseorang yang sama sekali anonim.

Kontekstualisasi Ajaran Islam yang ada di dalam rak buku saya. Buku tebal
ini merupakan kumpulan tulisan untuk menyambut ulang tahun Pak Munawir yang
ke-70 sekitar 9 tahun lalu.

Tiba-tiba, dalam sebuah tulisan di buku itu, saya menemukan informasi yang
menguak misteri Ibnu Amatillah. Saya terkejut karena ternyata Ibnu Amatillah itu
adalah nama samaran Pak Munawir, yang ketika menulis brosur setebal 80
halaman itu masih berusia sekitar 20 tahun.

Penggunaan nama samaran Ibnu Amatillah sangat bisa dipahami. Wacana


pemikiran politik Islam pada tahun-tahun itu didominasi oleh satu pandangan yang
sangat kuat di kalangan santri Muslim, yakni keinginan untuk mendirikan negara
Islam. Merupakan tindakan "bunuh diri" jika dalam suasana panas seperti itu ada
seorang anggota santri secara terang-terangan mengikrarkan penolakannya.

Respons-respons terhadap Ibnu Amatillah yang hampir seluruhnya bernada


kecaman akhirnya hanya menembak angin. Para pendukung negara Islam seperti
Muhammad Natsir dan Zainal Abidin Ahmad (keduanya tokoh penting Masyumi),
yang sempat membaca tulisan Ibnu Amatillah itu, hanya bisa mengurut dada sambil
menggerutu betapa telah "menyimpangnya" penulis ini.

Sekitar 30 tahun kemudian, Ibnu Amatillah muncul lagi. Kali ini dengan nama
sebenarnya: Munawir Sjadzali. Sama seperti sebelumnya, ia kembali mengguncang
wacana pemikiran Islam di Indonesia. Dengan gagasan "reaktualisasi" dan kritik
terhadap negara Islam (yang ia uraikan dengan sangat baik dalam bukunya, Islam
dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran), ia menjadi sasaran tembak dari
kalangan Islam konservatif yang anti terhadap kemajuan.
6

Tentu saja, bukan karena pada tahun 1980-an itu Pak Munawir sudah
menjadi seorang Menteri Agama sehingga dia tak perlu lagi takut menggulirkan ide
kontroversialnya, tapi karena zaman memang sudah benar-benar berubah. Pada
tahun 1950-an-lewat Ibnu Amatillah-ia benar- benar sendirian. Tapi 30 tahun
kemudian, di belakangnya adalah orang- orang pintar yang semua berasal dari latar
belakang santri. Sebut saja Nurcholish Madjid, M Syafii Maarif, M Amien Rais, dan
Abdurrahman Wahid. Semuanya adalah tokoh-tokoh Islam sekelas dengan M
Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Muhammad Roem, dan Wahid Hasjim pada era tahun
1950-an.

Nurcholish Madjid sejak tahun 1970 secara konsisten menggempur sendi-


sendi bangunan negara Islam, begitu juga M Syafii Maarif, yang meski merupakan
seorang anak Masjumi, tapi sangat kritis terhadap "teologi politik" para
pendahulunya itu yang dinilainya sangat formalistis, ideologistis, dan tidak
substansialis. Pada tahun 1982 Amien Rais, lebih dari yang lainnya, secara tegas
dan tak sembunyi-sembunyi melontarkan pernyataan "tidak ada negara Islam".
Sementara Abdurrahman Wahid, setelah menolak negara Islam, mengikrarkan diri
menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Zaman memang sudah benar-benar berubah. Para tokoh-tokoh santri yang


pada tahun 1950-an mendukung gagasan negara Islam, 30 tahun kemudian,
berubah 360 derajat menjadi para penolak gagasan itu. Yang menarik untuk dicatat
di sini adalah bahwa sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia bergulir dari arah
yang eksklusif dan monolitik ke arah yang inklusif dan pluralistik.

Yang lebih menarik lagi, sikap politik itu tak hanya sebatas wacana
pemikiran yang bersifat teoretis, tapi juga terefleksikan dalam sikap politik kaum
Muslim secara nyata. Di masa silam kaum Muslim yang berlatar belakang santri
berafiliasi hanya kepada partai Islam, baik itu Masyumi, NU, maupun PSII. Tapi
sekarang, orang-orang berlatar belakang santri bisa ditemukan di semua partai
politik, termasuk partai-partai "sekuler" seperti PDI-P dan Partai Golkar.

Di tengah proses perubahan paradigma itu, Pak Munawir memainkan


peranan yang sangat penting. Secara konsisten ia menolak gagasan negara
berlandaskan agama (Islam). Seperti yang ia ungkapkan kemudian dalam salah
satu tulisannya, Indonesia akan lebih baik dengan bentuk negara yang terbuka dan
7

plural, dan bagi kaum Muslim sendiri, kepentingan-kepentingan mereka terbukti


lebih banyak terpenuhi ketika partai-partai politik Islam justru absen dari negara
(Munawir Sjadzali, MuslimsÆ Interests are Better Served in the Absence of Muslim
Parties. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992).

Reaktualisasi al-Quran atau reaktualisasi ajaran Islam sebenarnya


berangkat dari asumsi, bahwa al-Quran atau ajaran Islam itu diturunkan empat
belas abad yang lalu sehingga menimbulkan pertanyaan, masih relevankah al-
Quran atau ajaran Islam digunakan untuk saat ini? Mereka yang mengusung
gagasan reaktualisasi memandang bahwa al-Quran atau ajaran Islam itu sudah
usang dan tidak relevan lagi, kecuali jika yang usang dan tidak relevan tersebut
diaktualkan kembali sehingga cocok untuk kondisi kekinian dan kedisinian.

Selain reaktualisasi, istilah lain yang sering mereka gunakan adalah


revitalisasi atau menyegarkan kembali pemahaman Islam. Semua itu intinya sama.
Dengan kata lain, istilah Reaktualisasi al-Quran, Reaktualisasi atau Revitalisasi
Ajaran Islam atau Menyegarkan Kembali Islam adalah istilah yang manis di bibir,
tetapi hakikatnya busuk. Meminjam istilah hadis, ini seperti buah Raihanah, yang
baunya harum semerbak, tetapi isinya busuk; siapapun yang memetiknya, pasti
tertipu. Sebab, gagasan ini sebenarnya lahir bukan dari orang yang mengimani al-
Quran dan ajaran Islam sebagai risalah yang layak diterapkan sepanjang zaman.
Contoh kongkretnya, mereka menyerang hudûd, qishâsh dan sejumlah hukum
dalam al-Quran (seperti potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, qishâsh
untuk pembunuh, pemukulan suami kepada istri sebagai proses pendidikan (ta’dib),
jihad, dan sistem pemerintahan Islam) yang jelas-jelas dinyatakan dalam al-Quran.
Mereka mengatakan, ajaran al-Quran ini harus direaktualisasi dalam konteks
kekinian sehingga tidak lagi bisa diambil secara harfiah.

Sebenarnya kata "reaktualisasi" telah dikenal cukup lama, paling tidak


dikalangan ilmuwan. Tetapi ia menjadi sangat popular bahkan di kalangan para
pelajar pemula sekalipun, setelah Pak Munawir melontarkan ide-idenya yang
menghentakkan banyak pihak yang selama ini terlena. Sedemikian keras
hentakkannya itu, sampai-sampai ada yang mengkafirkan pencetusnya, sebelum
mendalami masalah yang diungkapkan.5

B.1. REAKTUALISASI DAN IJTIHAD UMAR IBN AL-KHATTAB

Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-


ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan

5
M. Quraish Shihab, Reaktualisasi dan Kritik, ditulis dalam buku Kontektualisasi Ajaran
Islam, Ibid., h. 321
8

pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap


makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih
lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian
istilah "syari'at" sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam
masyarakat.

Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut


dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah
(mencari kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-
maslahat al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas
kepentingan umum (umum al-balwa).

Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam


menangkap makna semangat agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar
ibn al-Khattab r.a., berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta
garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam
(Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia
dan Mesir.

Pendirian 'Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan


umum yang menyeluruh, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua
tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula
mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh 'Abd
al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka
ini berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam
al-Qur'an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan
Khaybar (sebuah kota oase beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari
sekelompok orang Yahudi yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula
para sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti 'Utsman ibn 'Affan dan
'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga
dan keempat), sepenuhnya menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya
mendukung pelaksanaannya.

Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah,


sampai akhirnya dimenangkan oleh 'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-
argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an.
9

Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat
bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua
orang setuju dengan 'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya,
menolak keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari
mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang"
dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad
al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia
melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada
sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).

Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad


'Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di
bawah ini disajikan terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa
membuat teori yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk
melihat dan memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan
tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan
oleh 'Umar.

Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di
Bidang Ekonomi dan Keuangan, sebagai berikut:

Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar


gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan
ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta
benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai
harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan
pertolongan Allah ... Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam
penguasaan tentara itu.

Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan


hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat
perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan
firman Allah Ta'ala, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu
peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka
seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika
10

kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami
turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari
ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan,
yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar berpendapat


lain... Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-
bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan
para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak
(kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang Muslim
setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan
(al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.

Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu


dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang
dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.

Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan


itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah
memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu
bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu,
ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau
menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian
yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka
menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun
untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga
terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan
(kemiskinan) yang mendesak di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar
tidak bisa menerimanya.

Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang
pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang
memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.

Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu


adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan
serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan
11

beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar.
Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi
sehingga menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah
dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru,
"Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan
melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang
mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam
Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk
kepada kekuatannya.

Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang


hadir bahwa Sa'd ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa
masyarakat (tentara Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk
membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang
dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog
berikut):

`Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia


membagi-bagikan tanah itu antara mereka."

'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian


sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan,
terwariskan dari orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat
yang benar."

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu
tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai
rampasan!" 'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya
begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku
melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-
tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos
pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri
ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan


kepada kami sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami
12

akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta
kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"

'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."

Orang banyak: "Bermusyawarahlah"

Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang
memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada
mereka itu hak-hak mereka."

'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-
Mu'minin!"

Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada
kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."

'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."

Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan
terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya
yang beriman."

Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."

Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"

'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu.
Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."

Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang
telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."
13

'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari
Bilal dan kawan-kawan."6

B.2. Argumentasi Munawir Sjadzali terhadap Reaktualisasi Hukum Islam.

Ide reaktualisasi hukum Islam yang dilontarkan oleh Munawir ini didasari
juga dengan pemahamannya terhadap beberapa pendapat mufassir, di antaranya:

- Ibn Katsir; menyatatakan, "Sesungguhnya, menurut nalar tidak terdapat sesuatu


yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah. (tafsir
Ibn Katsir, juz 1 h. 151).

- Ahmad Mustafa al- Maraghi: Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan


untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena
perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waktu
dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian
kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan yang bijaksana
menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang
lebih sesuai dengan waktu terakhir. ( Tafsir al- Maraghi, juz 1, h. 187).

- Muhammad Rasyid Ridla; Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena


perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan siatuasi. Kalau suatu hukum
diundangkan pada waktu sangat dibutuhkan hukum itu, kemudian kebutuhan itu
tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapuskan
hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan
waktu belakangan itu. (Tafsir al- Manar, juz 1, halaman 414).

- Sayyid Quthb berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al- Baqarah itu diturunkan
sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi tidak
konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid al- Aqsha ke Masjid al-
Haram, mapun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan
terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta
kondisi mereka yang terus berkembang. (Tafsir Fi Zilali al- Quran, juz 1 h. 101-
102).

6
Nurchalis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina),
http://islamlib.com/id/
14

Ahli hukum ke empat mazhab sepakat bahwa, hukum Islam terbagi


kepada dua kategori, yaitu hukum yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum
yang menyangkut mu'amalah duniawiah (kemasyarakatan). Dalam hukum pada
kategori pertama tidak banyak kesempatan untuk mempergunakan penalaran, tetapi
dalam hukum kategori kedua lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual,
dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolak ukur
utama.

Mengenai hukum yang bertalian dengan kemasyarakatan Izz al- Din Abd
al- Salam (seorang ahli hukum terkemuka dari golongan Syafi'i), menyatakan bahwa
semua usaha itu hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik
kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua.
Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat dan tidak dirugikan oleh
perbuatan mereka yang bermaksiat.7

Ibnu al- Qayyim al- Jauziyah, (ulama fikih Hanafiyah), mengatakan,


bahwa perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena
perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat istiadat.8 Ya'kub Ibn
Ibrahim Ibn Habib al- Anshari, seorang murid kesayangan Imam Abu Hanifah dan
yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Yusuf, berpendirian bahwa nash
sekalipun kalau dahulu dasarnya adat, dan adat tersebut kemudian telah berubah,
maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nash itu.9

Formula 2:1 dalam kewarisan, Munawir menjelaskan bahwa diantara


argument klasik yang dihadapkan kepada saya bahwa formula anak laki-laki berhak
menerima dua kali bagian perempuan itu tercantum dalam ayat al- Quran, nash
sharih dan yang tidak boleh diubah. Dalam menanggapi argument tersebut, dengan
perasaan berat saya ingin mengemukakan hal-hal sebagai berikut:10

Dalam al- Quran terdapat paling sedikit empat ayat yang berisi pemberian
izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternative bagi kebutuhan
biologis kaum pria disamping istri.11 Memang Nabi Muhammad SAW dahulu selalu

7
Munawir Sjadzali, MA, ibid., h. 92 yang dikutip dari Subhi Mahmassani, Falsafat al-
Tasyari' fi al- Islam, h. 219
8
Subhi Mahmassani, Ibid., h. 221
9
Ibid., 233-234
10
Munawir Sjadzali, Ibid., h. 93-94
11
QS. An- Nisa' : 3, al- Mu'minun : 6, al- Ahzab : 52, al- Ma'arij : 30.
15

menghimbau para pemilik budak untuk berlaku blebih manusiawi terhadap budak-
budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. Tetapi yang jelas, sampai
Nabi wafat dan wahyu terakhir sudah turun Islam belum secara tuntas
mengahpuskan perbudakan.

Kita sekarang hidup pada akhir abad XX, dimana umat manusia sepakat
untuk mengutuk perbudakan, dalam segala manifestasinya, sebagai musuh
kemanusiaan. Apa kata dunia terhadap Islam kalau sekarang ini, berdasarkan
empat ayat tersebut sebagai nash sharih dan dalil qhat'I, kita masih akan
mempertahankan status quo sikap Islam terhadap perbudakan pada zaman Nabi
itu. Lebih dari itu, kalau kita mempertahankan keabsahan ayat-ayat tersebut, tetap
berdiri pada status quo Nabi dan tidak berani menyelesaikan proses yang telah
dirintis oleh Nabi itu, kita tidak dapat ikut berbicara tentang hak asasi manusia,
sebab hak asasi yang paling asasi adalah hak untuk hidup sebagai manusia
merdeka, sedangkan menurut dalil qhat'I itu perbudakan masih dibenarkan oleh
Islam.

Sebagai pembelaan atas kenyataan bahwa sampai Nabi wafat, Islam belum
menghapus perbudakan secara tuntas, di antara kita ada yang mengatakan bahwa
hal itu disebabkan oleh karena Nabi masih khawatir terhadap reaksi masyarakat
pada waktu itu kalau dengan tegas beliau mengikis perbudakan. Kalau pemikiran itu
kita terima, maka kita dapat bertanya, kalau dalam hal yang demikian mendasar
seperti perbudakan, Nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat,
apakah sebagai umat Muhammad kita seharusnya belajar dari kebijakan panutan
agung kita itu?

C. BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT MUNAWIR SJADZALI

Mengingat dalam berbagai kesempatan Munawir selalu menawarkan


ide reaktualisasinya dengan memakai argument dari pendapat al- Thufi dengan
konsep maslahahnya dan Abu Yusuf dengan pandangannya tentang tradisi
(adat istiadat, al- 'Urf wal 'adah), maka penulis akan memulai kritikan terhadap
pendapat Munawir ini dengan memulai pembahasan dengan mengkaji pendapat
al- Thufi dan Abu Yusuf.
16

C.1. Al-Thufi12 dengan Teori Maslahah.

Munawir mengutip pendapat al- Thufi dengan menyatakan bahwa al-


Mashlahah lebih didahulukan dari nash dan ijma'. Pandangan ini nampaknya bertitik
tolak dari konsep maqashid al- Tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam itu
disyari'atkan untuk diwujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.

Al- Thufi membangun pendapatnya atas empat asas, yakni :

A. ‫استقالل العقول بادراك المصالح و المفا سد‬

Pendapat al- Thufi akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat
mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi dasar bangunannya yang
pertama dalam piramida pemikiran-pemikirannya. Akan tetapi, ia membatasi
kemandirian akal itu dalam hal mu'amalah dan adapt istiadat, dan ia
melepaskan ketergantungan pada petunjuk nash baik dan buruk pada kedua
bidang itu.

B. ‫المصلحة دليل شرعي مستقل عن النصوص‬

Sebagai kelanjutan pendapatnya yang pertama di atas, ia


berpendapat bahwa maslahah itu merupakan dalil syar'I mandiri yang
kehujjahannya tidak bergantung pada akal semata. Bagi al- Thufi, untuk
menyatakan sesuatu itu maslahah atas dasar adapt istiadat dan percobaan/
eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.

C. ‫مجال العمل بالمصلحة ھو المعامالت والعادات دون العبادات‬

Bagi al- Thufi, mashlahah diambil sebagai dalil syar'I hanya dalam
bidang mu'amalah (hubungan social) dan adapt istiadat. Sedangkan dalam
bidang ibadah ibadat dan muqaddarat, maslahah tidak dapat dijadikan dalil.
Dalam kedua hal ini nash dan ijma'lah yang harus diikuti. Pembedaan ini
terjadi karena dimata al- Thufi ibadah merupakan hak yang khusus bagi
Syari', karenanya tidak mungkin mengetahui hak-Nya, baik dalam jumlah,

12
Nama lengkapnya adalah Sulayman Ibn Abd al- Qawi Ibn Abd al- Karim Ibn Sa'id al-
Thufi (lebih dikenal dengan Najm al- Din al- Thufi), wafat pada 716 H.Lihat Husayn Hamid Hasan,
Nazhariyat al- Maslahah fi al- Fiqh al- Islamy, Mesir : Dar al- Nahdah al- 'Arabiyah, 1971, h. 546,
547 Wahbah al- Zuhaily, al- Ushul al- Fiqh al- Islamy, Damsyik : Dar al- Fikr, 1986, h. 370-374,
dan Abd Allah al- Muhsin at- Turky, Ushul al- Mazhab al- Ahmad, Riyadh, t. pn., 1977, h. 331
17

cara, waktu maupuntempatnya kecuali atas penjelasan resmi yang datang


dari sisinya. Sedangkan mu'amalah dimaksudkan untuk memberikan
kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat manusia. Atas dasar ini dalam
hal ibadat Allah lebih mengetahui akan hak-Nya, dan karenanya kita wajib
mengikuti nash dalam bidang ini. Mengenai mu'amalah, manusialah yang
lebih mengetahui kemaslahatannya. Karenanya, mereka harus berpegang
pada maslahah ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nash.

D. ‫المصلحة اقوى ادلة الشرع‬

Bagi al- Thufi, secara mutlak, maslahah itu merupakan dalil syara'
yang terkuat. Baginya, maslahah itu bukan hanya merupakan hujjah semata
ketika tidak datang nash dan ijma' disaat terjadi pertentangan antara
keduanya. Yang perlu ditegaskan di sini, pengutamaan maslahah saat nash
dan ijma' tersebut ia lakukan dengan jalan bayan dan takhsis; bukan dengan
jalan mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana
mendahulukan sunnah atas al-Quran dengan jalan bayan. Hal demikian ia
lakukan karena dalam pandangannya, maslahah itu diambil dan bersumber
dari sabda Nabi SAW :

‫ال ضرر وال‬: ‫حدثني يحيى عن مالك عن عمرو بن يحيى المازني عن أبيه ان رسول & صلى & عليه وسلم قال‬
13
‫ضرار‬

"tidak memudaharatkan dan tidak dimudharatkan".

Pengutamaan dan mendahulukan mashlahah atas nash ini ditempuh


baik nash itu qhat'I dalam sanad dan matannya ataupun zhanni keduanya.

Apabila dicermati penjelasan al- Thufi dengan keempat asas di atas,


maka dapat penulis cermati bahwa al- Thufi sebenarnya bermain dalam
tataran ushul fikih, ia mengandaikan terjadinya bentrokan antara nash atau
ijma' di satu sisi dengan maslahah di sisi lain. Persoalannya, benarkah telah
terjadi bentrokan yang ia maksudkan itu. Sampai saat ini al- Thufi belum
mengungkapkan satu pun contoh pertentangan antara maslahah dengan
nash atau ijma'.

13
Malik Ibn Anas Ibn Abd Allah al- Ashbahy, Muwaththa' al- Imam Malik, Mesir : Dar al-
Ihya al- Turats al- 'Araby, t.th, juz II h. 745
18

Harus pula dipahami bahwa kecendrungan teologis yang dianut al-


Thufi dan yang sepaham dengannya dan yang sepaham dengannya dan
yang sepaham dengannya dalam hal kekuatan akal. Menurutnya akal
mempunyai kekuatan dan kemandirian dalam memilih dan menentukan
mana yang maslahah dan mana yang buruk serta pendapatnya bahwa
maslahah adalah dalil syari' yang mandiri yang terlepas dari nash. Dengan
meminjam trend baru kajian ushul fikih yang dikorelasikan dengan ilmu
kalam, maka akan terasa suatu keanehan. Bagaimana mungkin al-Thufi
yang dianggap sebagai pengikut mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, dalam
ilmu kalam sejalan dengan mu'tazilah. Mungkin penulis keliru, tetapi setidak-
tidaknya sangat terasa atmosfir keanehan tersebut.

Harus pula ditegaskan bahwa maslahah yang dimaksud al-Thufi


bukanlah maslahah yang dimaksud oleh Imam Malik. Imam Malik
menggunakan teori maslahah al- mursalah yang meskipun maslahah
tersebut tidak terdapat dalam nash tertentu tetapi sejalan dengan semangat
(ruh) nash secara keseluruhan. Ini berbeda dengan al- thufi yang
melepaskan ketergantungan maslahah pada nash. Maslahah yang dimaksud
oleh al- Thfi hanya berujung pada akal semata.

Al- Thufi memandang bahwa nash mengalami pertentangan.


Pernyataan yang "berbahaya" ini perlu diluruskan, karena penulis yakin
bahwa al- Thufi tidak bermaksud menyatakan bahwa ayat al- Quran itu
saling bertentangan satu sama lainnya. Mungkin yang dimaksud oleh al-
Thufi, bahwa ada ayat sepertinya bertentangan secara lahirnya tetapi pada
hakikatnya tidak bertentangan.

Berbicara tentang maslahah, menurut penulis maslahah tersebut


bersifat relatif, misalnya seseorang merampas suatu benda. Menurut hukum
qhat'I, benda tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Jika hilang, ia
wajib menggantinya. Persoalannya, berapakah ia harus mengganti benda
yang hilang tersebut?. Sebagian ulama berpendapat, ia wajib menggantinya
menurut harga pasar pada hari terjadi perampasan. Sebagian ulama yang
lain berpendapat, ia wajib menggantinya menurut harga waktu ia
menggantinya. Ulama lain berpendapat, diganti dengan harga tertinggi dari
kedua harga tersebut.
19

Pada kasus ini semua ulama ingin mencari kemaslahatan untuk


kedua belah pihak. Namun rasa maslahah sebagaimana rasa keadilan
bergeser dan tergantung pada si pemilik rasa itu sendiri.

Hal yang bisa didiskusikan lebih lanjut, apakah suatu nash yang
berasal dari Allah dan untuk kita semua tidak mengandung nilai dan memuat
rasa maslahah? Menurut Penulis setiap nash yang diturunkan oleh Allah
pasti memuat nilai maslahah.

Demikian pula halnya dengan masalah kewarisan dalam


reaktualisasi Munawir, bahwa 1;1 adalah maslahah. Pertanyaannya, apakah
2;1 tidak mengandung maslahah? Menurut penulis, hukum Allah tentang
kewarisan 2;1 pasti untuk kemaslahatan manusia.

E. KESIMPULAN.

Reaktualisasi hukum Islam sangat diperlukan dalam rangka


mengupayakan menerapkan hukum Islam ke dalam hukum nasional.
Kompilasi Hukum Islam adalah buah dari rekatualisasi yang sesuai dengan
tujuan Syari' memberikan akal untuk manusia.

"Reaktualisasi Munawir" adalah reaktualisasi yang tidak sesuai


dengan tujuan Allah memberikan akal kepada manusia. Kemaslahatan yang
dijadikan dasar "reaktualisasi Munawir" adalah kemaslahatan yang sama
dengan kemaslahatan yang diungkapkan oleh al- Thufi yaitu kemaslahatan
yang lepas dari nash, bukan kemaslahatan yang dimaksud oleh Imam Malik
dengan konsep maslahah al- mursalah yang tidak terlepas dari nash.
20

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Copyright©Hidayatullah.com, 2008.

Hamid Hasan, Husayn, Nazhariyat al- Maslahah fi al- Fiqh al- Islamy, (Mesir : Dar al-
Nahdah al- 'Arabiyah, 1971).

Malik Ibn Anas Ibn Abd Allah al- Ashbahy, Muwaththa' al- Imam Malik, juz II, (Mesir :
Dar al- Ihya al- Turats al- 'Araby, t.th).

Nurchalis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina)


Http://islamlib.com/id/.

Sjadzali, Munawir, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Temprint, 1995).

Al- Zuhaily, Wahbah, al- Ushul al- Fiqh al- Islamy, (Damsyik : Dar al- Fikr, 1986).

At- Turky, Abd Allah al- Muhsin, Ushul al- Mazhab al- Ahmad, (Riyadh, t. pn., 1977).

You might also like