Professional Documents
Culture Documents
oleh
H. FAHMI. R, MHI
(Panitera Pengganti PA. Koto Baru)
A. Pendahuluan.
1
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Temprint, 1995), h. 87
2
Ibid., h. 88
2
Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada
alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap
homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan
kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap
ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there
were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of
homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims
was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings.”
3
Ibid., h. 90
4
Copyright©Hidayatullah dot com, 2008 ·
4
Atas ide reaktualisasi ajaran Islam ini, Munawir dianggap sebagai Ibnu
Amatillah., karena Ibnu Amatillah telah melontarkan ide ini jauh sebelum Munawir
melontarkannya. Hal ini terjadi ketika BJ Boland, seorang sarjana Belanda yang
dikenal simpati terhadap Islam, pernah terheran-heran ketika ia menemukan sebuah
makalah pada tahun 1950 berjudul Analyse Mungkinkah Negara Indonesia
Bersendikan Islam. Penulis makalah itu bernama Ibnu Amatillah, seorang yang
sama sekali tak dikenal karena tak pernah didengar dalam dunia tulis- menulis pada
masa itu.
Tetapi, karya Ibnu Amatillah itu merupakan pengecualian yang aneh. Aneh
karena kesimpulan makalah itu mempertanyakan gagasan "negara Islam" yang
pada saat itu sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh kaum Muslim,
khususnya mereka yang tergabung dalam Partai Masyumi. Lebih aneh lagi,
gagasan itu datang dari seorang yang memiliki nama santri.
Perlu diketahui, pada tahun 1950-an sikap politik kaum Muslim di Indonesia
secara umum bisa dibedakan antara mereka yang mendukung gagasan negara
Islam (atau negara berbasis Islam) dan mereka yang menolak gagasan tersebut.
Umumnya, kelompok pertama diwakili oleh- meminjam kategorisasi Clifford Geertz-
kaum santri yang secara politik diwadahi oleh Partai Masyumi dan setelah tahun
1952 juga oleh Partai NU, sementara kelompok kedua diwakili oleh kaum abangan
seperti Soekarno dan Soepomo.
5
Ibnu Amatillah jelas-jelas mengaku sebagai seorang santri, berasal dari latar
belakang santri, dan menggunakan argumen-argumen agama yang sangat tangguh.
Ini yang membuat Boland terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang yang
tumbuh dan besar dalam lingkungan santri memiliki pandangan semacam itu?
Dalam karya klasiknya itu, Boland tidak mengungkapkan siapa gerangan Ibnu
Amatillah. Nama ini tetaplah sebuah misteri yang tak diketahui orang. Bagi
kebanyakan pembaca karya Boland itu, termasuk saya, Ibnu Amatillah tetap
merupakan seseorang yang sama sekali anonim.
Kontekstualisasi Ajaran Islam yang ada di dalam rak buku saya. Buku tebal
ini merupakan kumpulan tulisan untuk menyambut ulang tahun Pak Munawir yang
ke-70 sekitar 9 tahun lalu.
Tiba-tiba, dalam sebuah tulisan di buku itu, saya menemukan informasi yang
menguak misteri Ibnu Amatillah. Saya terkejut karena ternyata Ibnu Amatillah itu
adalah nama samaran Pak Munawir, yang ketika menulis brosur setebal 80
halaman itu masih berusia sekitar 20 tahun.
Sekitar 30 tahun kemudian, Ibnu Amatillah muncul lagi. Kali ini dengan nama
sebenarnya: Munawir Sjadzali. Sama seperti sebelumnya, ia kembali mengguncang
wacana pemikiran Islam di Indonesia. Dengan gagasan "reaktualisasi" dan kritik
terhadap negara Islam (yang ia uraikan dengan sangat baik dalam bukunya, Islam
dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran), ia menjadi sasaran tembak dari
kalangan Islam konservatif yang anti terhadap kemajuan.
6
Tentu saja, bukan karena pada tahun 1980-an itu Pak Munawir sudah
menjadi seorang Menteri Agama sehingga dia tak perlu lagi takut menggulirkan ide
kontroversialnya, tapi karena zaman memang sudah benar-benar berubah. Pada
tahun 1950-an-lewat Ibnu Amatillah-ia benar- benar sendirian. Tapi 30 tahun
kemudian, di belakangnya adalah orang- orang pintar yang semua berasal dari latar
belakang santri. Sebut saja Nurcholish Madjid, M Syafii Maarif, M Amien Rais, dan
Abdurrahman Wahid. Semuanya adalah tokoh-tokoh Islam sekelas dengan M
Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Muhammad Roem, dan Wahid Hasjim pada era tahun
1950-an.
Yang lebih menarik lagi, sikap politik itu tak hanya sebatas wacana
pemikiran yang bersifat teoretis, tapi juga terefleksikan dalam sikap politik kaum
Muslim secara nyata. Di masa silam kaum Muslim yang berlatar belakang santri
berafiliasi hanya kepada partai Islam, baik itu Masyumi, NU, maupun PSII. Tapi
sekarang, orang-orang berlatar belakang santri bisa ditemukan di semua partai
politik, termasuk partai-partai "sekuler" seperti PDI-P dan Partai Golkar.
5
M. Quraish Shihab, Reaktualisasi dan Kritik, ditulis dalam buku Kontektualisasi Ajaran
Islam, Ibid., h. 321
8
Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat
bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua
orang setuju dengan 'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya,
menolak keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari
mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang"
dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad
al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia
melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada
sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).
Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di
Bidang Ekonomi dan Keuangan, sebagai berikut:
kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami
turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari
ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan,
yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang
pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang
memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.
beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar.
Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi
sehingga menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah
dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru,
"Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan
melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang
mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam
Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk
kepada kekuatannya.
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu
tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai
rampasan!" 'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya
begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku
melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-
tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos
pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri
ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"
akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta
kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"
'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."
Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang
memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada
mereka itu hak-hak mereka."
'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-
Mu'minin!"
Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada
kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."
'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."
Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan
terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya
yang beriman."
Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."
Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"
'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu.
Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."
Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang
telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."
13
'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari
Bilal dan kawan-kawan."6
Ide reaktualisasi hukum Islam yang dilontarkan oleh Munawir ini didasari
juga dengan pemahamannya terhadap beberapa pendapat mufassir, di antaranya:
- Sayyid Quthb berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al- Baqarah itu diturunkan
sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi tidak
konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid al- Aqsha ke Masjid al-
Haram, mapun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan
terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta
kondisi mereka yang terus berkembang. (Tafsir Fi Zilali al- Quran, juz 1 h. 101-
102).
6
Nurchalis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina),
http://islamlib.com/id/
14
Mengenai hukum yang bertalian dengan kemasyarakatan Izz al- Din Abd
al- Salam (seorang ahli hukum terkemuka dari golongan Syafi'i), menyatakan bahwa
semua usaha itu hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik
kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua.
Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat dan tidak dirugikan oleh
perbuatan mereka yang bermaksiat.7
Dalam al- Quran terdapat paling sedikit empat ayat yang berisi pemberian
izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternative bagi kebutuhan
biologis kaum pria disamping istri.11 Memang Nabi Muhammad SAW dahulu selalu
7
Munawir Sjadzali, MA, ibid., h. 92 yang dikutip dari Subhi Mahmassani, Falsafat al-
Tasyari' fi al- Islam, h. 219
8
Subhi Mahmassani, Ibid., h. 221
9
Ibid., 233-234
10
Munawir Sjadzali, Ibid., h. 93-94
11
QS. An- Nisa' : 3, al- Mu'minun : 6, al- Ahzab : 52, al- Ma'arij : 30.
15
menghimbau para pemilik budak untuk berlaku blebih manusiawi terhadap budak-
budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. Tetapi yang jelas, sampai
Nabi wafat dan wahyu terakhir sudah turun Islam belum secara tuntas
mengahpuskan perbudakan.
Kita sekarang hidup pada akhir abad XX, dimana umat manusia sepakat
untuk mengutuk perbudakan, dalam segala manifestasinya, sebagai musuh
kemanusiaan. Apa kata dunia terhadap Islam kalau sekarang ini, berdasarkan
empat ayat tersebut sebagai nash sharih dan dalil qhat'I, kita masih akan
mempertahankan status quo sikap Islam terhadap perbudakan pada zaman Nabi
itu. Lebih dari itu, kalau kita mempertahankan keabsahan ayat-ayat tersebut, tetap
berdiri pada status quo Nabi dan tidak berani menyelesaikan proses yang telah
dirintis oleh Nabi itu, kita tidak dapat ikut berbicara tentang hak asasi manusia,
sebab hak asasi yang paling asasi adalah hak untuk hidup sebagai manusia
merdeka, sedangkan menurut dalil qhat'I itu perbudakan masih dibenarkan oleh
Islam.
Sebagai pembelaan atas kenyataan bahwa sampai Nabi wafat, Islam belum
menghapus perbudakan secara tuntas, di antara kita ada yang mengatakan bahwa
hal itu disebabkan oleh karena Nabi masih khawatir terhadap reaksi masyarakat
pada waktu itu kalau dengan tegas beliau mengikis perbudakan. Kalau pemikiran itu
kita terima, maka kita dapat bertanya, kalau dalam hal yang demikian mendasar
seperti perbudakan, Nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat,
apakah sebagai umat Muhammad kita seharusnya belajar dari kebijakan panutan
agung kita itu?
Pendapat al- Thufi akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat
mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi dasar bangunannya yang
pertama dalam piramida pemikiran-pemikirannya. Akan tetapi, ia membatasi
kemandirian akal itu dalam hal mu'amalah dan adapt istiadat, dan ia
melepaskan ketergantungan pada petunjuk nash baik dan buruk pada kedua
bidang itu.
Bagi al- Thufi, mashlahah diambil sebagai dalil syar'I hanya dalam
bidang mu'amalah (hubungan social) dan adapt istiadat. Sedangkan dalam
bidang ibadah ibadat dan muqaddarat, maslahah tidak dapat dijadikan dalil.
Dalam kedua hal ini nash dan ijma'lah yang harus diikuti. Pembedaan ini
terjadi karena dimata al- Thufi ibadah merupakan hak yang khusus bagi
Syari', karenanya tidak mungkin mengetahui hak-Nya, baik dalam jumlah,
12
Nama lengkapnya adalah Sulayman Ibn Abd al- Qawi Ibn Abd al- Karim Ibn Sa'id al-
Thufi (lebih dikenal dengan Najm al- Din al- Thufi), wafat pada 716 H.Lihat Husayn Hamid Hasan,
Nazhariyat al- Maslahah fi al- Fiqh al- Islamy, Mesir : Dar al- Nahdah al- 'Arabiyah, 1971, h. 546,
547 Wahbah al- Zuhaily, al- Ushul al- Fiqh al- Islamy, Damsyik : Dar al- Fikr, 1986, h. 370-374,
dan Abd Allah al- Muhsin at- Turky, Ushul al- Mazhab al- Ahmad, Riyadh, t. pn., 1977, h. 331
17
Bagi al- Thufi, secara mutlak, maslahah itu merupakan dalil syara'
yang terkuat. Baginya, maslahah itu bukan hanya merupakan hujjah semata
ketika tidak datang nash dan ijma' disaat terjadi pertentangan antara
keduanya. Yang perlu ditegaskan di sini, pengutamaan maslahah saat nash
dan ijma' tersebut ia lakukan dengan jalan bayan dan takhsis; bukan dengan
jalan mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana
mendahulukan sunnah atas al-Quran dengan jalan bayan. Hal demikian ia
lakukan karena dalam pandangannya, maslahah itu diambil dan bersumber
dari sabda Nabi SAW :
ال ضرر وال: حدثني يحيى عن مالك عن عمرو بن يحيى المازني عن أبيه ان رسول & صلى & عليه وسلم قال
13
ضرار
13
Malik Ibn Anas Ibn Abd Allah al- Ashbahy, Muwaththa' al- Imam Malik, Mesir : Dar al-
Ihya al- Turats al- 'Araby, t.th, juz II h. 745
18
Hal yang bisa didiskusikan lebih lanjut, apakah suatu nash yang
berasal dari Allah dan untuk kita semua tidak mengandung nilai dan memuat
rasa maslahah? Menurut Penulis setiap nash yang diturunkan oleh Allah
pasti memuat nilai maslahah.
E. KESIMPULAN.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Copyright©Hidayatullah.com, 2008.
Hamid Hasan, Husayn, Nazhariyat al- Maslahah fi al- Fiqh al- Islamy, (Mesir : Dar al-
Nahdah al- 'Arabiyah, 1971).
Malik Ibn Anas Ibn Abd Allah al- Ashbahy, Muwaththa' al- Imam Malik, juz II, (Mesir :
Dar al- Ihya al- Turats al- 'Araby, t.th).
Al- Zuhaily, Wahbah, al- Ushul al- Fiqh al- Islamy, (Damsyik : Dar al- Fikr, 1986).
At- Turky, Abd Allah al- Muhsin, Ushul al- Mazhab al- Ahmad, (Riyadh, t. pn., 1977).