You are on page 1of 25

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori 1. Aseton Aseton merupakan keton yang paling sederhana, digunakan

sebagai pelarut polar dalam kebanyakan reaksi organik. Aseton dikenal juga sebagai dimetil keton, 2-propanon, atau propan-2-on. Aseton adalah senyawa berbentuk cairan yang tidak berwarna dan mudah terbakar, digunakan untuk membuat plastik, serat, obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya. Selain dimanufaktur secara industri, aseton juga dapat ditemukan secara alami, termasuk pada tubuh manusia dalam kandungan kecil. Aseton memiliki gugus karbonil yang mempunyai ikatan rangkap dua karbon-oksigen terdiri atas satu ikatan dan satu ikatan . Umumnya atom hidrogen yang terikat pada atom karbon sangat stabil dan sangat sukar diputuskan. Namun lain halnya dengan atom hidrogen yang berada pada karbon (C) di samping gugus karbonil yang disebut atom hidrogen alfa. Sebagai akibat penarikan elektron oleh gugus karbonil, kerapatan elektron pada atom karbon alfa semakin berkurang, maka ikatan karbon dan hidrogen alfa semakin melemah, sehingga hidrogen alfa menjadi bersifat asam dan dapat mengakibatkan terjadinya substitusi alfa (). Substitusi melibatkan penggantian atom H pada atom karbon dengan elektrofil (Wade, L.G. 2006:1041-1063). Atom hidrogen alfa pada aseton dapat dilihat pada Gambar 1.

H H C H

O C

H C

Gambar 1. Atom hidrogen alfa pada aseton. Aseton mempunyai atom hidrogen alfa bersifat asam, oleh karena itu dapat terionisasi menghasilkan ion enolat. Ion enolat dapat berada dalam dua bentuk yaitu bentuk keto dan bentuk enol yang disebut bentuk tautomerisasi. Tautomer adalah isomer-isomer pada senyawa karbonil yang hanya dibedakan oleh kedudukan ikatan rangkap dan yang disebabkan perpindahan letak atom hidrogen alfa ke atom oksigen. Bentuk keto dan bentuk enol pada aseton dapat dilihat pada Gambar 2.

O H3C C

H CH2 H3C

O C

H CH2

Bentuk keto

Bentuk enol

Gambar 2. Bentuk keto dan bentuk enol pada aseton. Hidrogen alfa pada senyawa aseton dapat disubtitusi oleh karbokation sehingga terjadi reaksi alkilasi. Reaksi alkilasi pada aseton terdapat pada Gambar 3.

10

O
AlCl3

O CH2 H + RX H3C C CH2 R + HX

H3C

Gambar 3. Alkilasi pada aseton.

2.

Senyawa 3-Hidroksibenzaldehida Senyawa 3-Hidroksibenzaldehida dengan struktur seperti ditunjukkan

pada Gambar 4 merupakan senyawa turunan benzaldehida yang tersubstitusi gugus hidroksi pada posisi meta pada cincin aromatik.
O HO H

Gambar 4. 3-hidroksibenzaldehida Senyawa ini berbentuk kristal berwarna putih, memiliki titik leleh 100-103C dan titik didih 191C dan larut dalam etanol pada suhu kamar. Salah satu reaksi yang dapat dialami gugus karbonil pada benzaldehida adalah reaksi kondensasi aldol silang dengan aseton menjadi benzalaseton seperti terlihat pada Gambar 5.

11

O C O H3C C CH3 +

OH O C CH3 + H2O

Gambar 5. Reaksi kondensasi aldol silang antara benzaldehida dengan aseton

3.

Senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on Senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on (Gambar 6) merupakan

senyawa turunan benzalaseton yang tersubstitusi gugus hidroksi pada cincin aromatik. Senyawa turunan benzalaseton ini memiliki rumus molekul yang analog dengan senyawa turunan asam sinamat (Gambar 7).
OH 3' 4' 2' 3 5' 6' 1' 4 1 2 C CH3 O

Gambar 6. Struktur 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on


OH

O C OR

Gambar 7. Turunan Asam Sinamat

12

Struktur 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on memiliki kemiripan dengan turunan asam sinamat karena sama-sama memiliki senyawa karbonil tak jenuh , yang terkonjugasi dengan cincin benzena. Maka diharapkan senyawa tersebut juga memiliki aktivitas sebagai tabir surya.

4.

Senyawa Tabir Surya Tabir surya adalah suatu senyawa yang digunakan untuk menyerap secara

efektif sinar matahari terutama daerah emisi gelombang UV sehingga dapat mencegah gangguan pada kulit akibat pancaran secara langsung sinar UV tersebut (Titik Taufikurohmah, 2008). Besarnya kemampuan suatu senyawa untuk melindungi kulit dari sinar matahari dapat dilihat dari nilai SPF (Sun Protection Factor) yaitu nilai pelindung terhadap UV yang dapat melindungi kulit terbakar dari sinar matahari. SPF mengindikasikan berapa lama kita dapat berada di bawah paparan sinar matahari langsung tanpa menyebabkan kulit terbakar. Perhitungan SPF menurut Walter adalah SPF=10A, dengan A adalah absorbansi tiap larutan yang diukur menggunakan alat spektroskopi UV (Ike Yuliastuti dan Jumina, 2002). Senyawa tabir surya yang baik digunakan untuk melindungi kulit dari sinar ultraviolet adalah senyawa yang memiliki kemampuan proteksi maksimal (ultra) tetapi memiliki konsentrasi kecil sehingga tidak menimbulkan iritasi pada kulit. Jenis proteksi ultra adalah senyawa yang memiliki nilai SPF di atas 15. Sinar ultraviolet dibagi menjadi tiga macam sesuai efek yang ditimbulkannya terhadap sel kulit yaitu UV-A, UV-B, dan UV-C. Sinar UV-C (

13

= 100- 290 nm) mempunyai energi tertinggi dan berbahaya, namun tidak sampai ke permukaan bumi karena terserap oleh lapisan termosfer. Sinar UV-B ( = 290320 nm) dengan energi yang relatif tinggi termasuk berbahaya sebab akan sampai ke permukaan bumi walau hanya sebagian kecil saja. Meskipun UV-B hanya akan terserap kulit sampai lapisan epidermis saja namun akan menyebabkan kulit terbakar, efek penuaan dini dan kanker kulit. Sinar UV-A ( = 320-400 nm) memiliki energi paling rendah, relatif tidak berbahaya namun mampu menembus lapisan dermis kulit dan dalam waktu yang lama mengakibatkan efek merusak pula seperti UV-B (Agus Dwiono, Jumina dan Iqmal Tahir, 2003 : 34). Senyawa tabir surya yang banyak digunakan dalam industri kosmetika adalah senyawa turunan alkil sinamat. Senyawa turunan alkil sinamat yang populer adalah p-metoksi oktil sinamat. Berdasarkan struktur kimianya, ada dua bagian pada senyawa tersebut yang dimungkinkan berperan penting yaitu bagian rantai alkil dan bagian rantai benzil seperti pada Gambar 8.
OCH3

O R O

Gambar 8. Struktur alkil parametoksisinamat Berdasarkan struktur kimia senyawa tersebut maka terdapat bagian benzena aromatik dan sisi alkil yang bersifat non polar. Efek perlindungan sinar UV dari senyawa tersebut diakibatkan bagian cincin benzena, sedangkan bagian

14

sisi alkil digunakan untuk kontribusi sifat non polar senyawa yang berakibat senyawa tak larut dalam air (Ike Yuliastuti dan Jumina, 2002). Kemampuan suatu senyawa tabir surya dalam melindungi kulit dari paparan sinar UV identik dengan panjang gelombang serapan maksimum yaitu panjang gelombang dengan intensitas absorpsi tertinggi atau maksimum. Hal tersebut tergantung pada struktur elektronik dari setiap senyawa (Sastrohamidjojo, 1991).

5.

Kondensasi Aldol silang Reaksi kondensasi adalah suatu reaksi dimana dua molekul kecil

bergabung membentuk satu molekul besar dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul kecil (misalnya air). Kondensasi aldol adalah reaksi antar aldehida atau antar keton yang sama menggunakan basa sebagai katalis. Syarat terjadinya reaksi adalah tersedianya H pada karbonil yang terlibat dalam reaksi tersebut. Reaksi kondensasi aldol dalam beberapa kasus biasanya diikuti reaksi dehidrasi. Jika aldehida tidak memiliki H, maka dimerisasi dengan kondensasi aldol tidak dapat terjadi, kondensasi dapat terjadi jika pada aldehida tersebut ditambahkan aldehida atau keton yang mempunyai H. Kondensasi aldol melibatkan adisi nukleofilik sebuah enolat keton ke sebuah aldehida, membentuk -hidroksi keton atau hidroksi aldehida dan diikuti dengan dehidrasi, menghasilkan sebuah enon terkonjugasi (Wade, L.G. 2006:1041-1063). Bila suatu aldehida yang memiliki atom H diolah dengan basa seperti NaOH dalam air, maka akan terbentuk ion enolat, yang kemudian dapat bereaksi

15

pada gugus karbonil dari molekul aldehida yang lain. Hasilnya ialah adisi satu molekul aldehida ke molekul aldehida yang lain seperti pada Gambar 9.
O OH 2 CH3CH Asetaldehida (suatu aldehida) 2 CH3CH CH2CH 3-hidroksibutanal (suatu aldol) OH O

Gambar 9. Adisi satu molekul aldehida ke molekul aldehida yang lain. Kondensasi aldol dengan menggunakan katalis basa akan membentuk ion enolat (Gambar 10), yang kemudian akan terjadi serangan nukleofil oleh enolat pada gugus karbonil lain yang terstabilisasi oleh resonansi (Gambar 11). Produk reaksi ini adalah garam alkoksida, aldol akan terbentuk dan mengalami dehidrasi menghasilkan senyawa karbonil tak jenuh (Gambar 12). Reaksi dengan katalis basa :
O C H H CH2 + OH H O C CH2 H ion enolat

O C CH2 + H 2O

Gambar 10. Pembentukan ion enolat.

O C H CH2 + H

O C CH3 H HC O

O C C H CH3 H O H H H HC O

O C C H

H CH3 + H OH

produk aldol

Gambar 11. Serangan enolat pada gugus karbonil.

16

O H HC O C C H

H CH3 H
H3O+

H HC

C C

CH3 H H2O

produk aldol

O senyawa karbonil tak jenuh

Gambar 12. Dehidrasi aldol. Senyawa aldol (-hidroksialdehida dan -hidroksiketon) hasil dari reaksi adisi lebih mudah terdehidrasi karena ikatan rangkap dalam produk dehidrasi berkonjugasi dengan gugus karbonil. Konjugasi meningkatkan kestabilan produk dan oleh sebab itu senyawa karbonil tak jenuh ,-aldehida atau keton mudah diperoleh sebagai produk kondensasi aldol (Bruice, P.Y., 2007 : 873). Bila dehidrasi menghasilkan suatu ikatan rangkap yang berkonjugasi dengan cincin aromatik maka dehidrasi berlangsung spontan. Misalnya hidroksiketon yang dibentuk melalui adisi aldol dari asetofenon, karena ikatan rangkap yang baru tidak hanya berkonjugasi dengan gugus karbonil tetapi juga berkonjugasi dengan cincin aromatik, maka dehidrasi berlangsung spontan seperti pada Gambar 13. Konjugasi dapat menstabilkan produk dehidrasi, maka relatif lebih mudah diperoleh (Bruice, P.Y., 2007 : 873).

17

Reaksi :
O OH C CH3 CH 2 C C spontan CH3 CH O C

H 2O

Gambar 13. Dehidrasi yang menghasilkan suatu ikatan rangkap terkonjugasi dengan cincin aromatik. Suatu aldehida tanpa hidrogen tidak dapat membentuk ion enolat dan dengan demikian tidak dapat berdimerisasi dalam suatu kondensasi aldol. Namun jika aldehida semacam ini dicampur dengan senyawa lain yang memiliki hidrogen maka kondensasi antara keduanya dapat terjadi. Reaksi inilah yang disebut aldol silang (cross aldol condensation). Suatu kondensasi aldol silang sangat berguna bila hanya satu senyawa karbonil yang memiliki hidrogen , kalau tidak akan diperoleh produk campuran (R.J Fessenden & J.S. Fessenden, 1999 : 181). Mekanisme reaksi pembentukan senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2on dari reaksi antara aseton dengan 3-hidroksibenzaldehida ditunjukkan seperti pada Gambar 14 berikut:

18

CH 3 C O CH 2 + Na + + - OH H O

CH 3 C

CH 3 CH 3

C CH 2

H O CH3 + Na + O C CH2 O C H H C H2 C C O + +H ONa

OCH3 suatu ion alkoksida H2O ONa

OH

-H2O NaCl + H2O+


O C CH3 4-(3'-hidroksif enil)-3-buten-2-on HCl H C OH

H CH C CH3 O

Gambar 14. Mekanisme reaksi pembentukan 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on dengan katalis basa.

19

6.

Teknik Rekristalisasi Senyawa-senyawa organik yang berbentuk padat dari hasil isolasi maupun

dari hasil sintesis reaksi-reaksi organik umumnya jarang diperoleh dalam keadaan murni. Senyawa tersebut biasanya terkontaminasi dengan sejumlah kecil dari senyawa-senyawa lain yang dihasilkan selama reaksi berlangsung. Pemurnian senyawa-senyawa yang berbentuk kristal yang tidak murni, lazimnya dilakukan dengan jalan rekristalisasi dengan berbagai pelarut atau campuran pelarut. Pemurnian zat-zat padat dengan jalan rekristalisasi didasarkan pada kelarutannya di dalam pelarut tertentu atau campuran pelarut. Pada prinsipnya pekerjaan rekristalisasi terdiri atas : a. Melarutkan senyawa yang tidak murni (hasil sintesis atau isolasi) dalam pelarut yang baik (sesuai) atau titik didihnya berdekatan. b. Menyaring larutan yang masih dalam keadaan panas dari partikel-partikel yang tidak larut. c. Mendinginkan larutan panas sehingga zat terlarut menjadi kristal. d. Memisahkan kristal dari larutan yang menyertainya. Karakteristik dari pelarut yang umumnya digunakan untuk rekristalisasi adalah : a. Mempunyai daya melarutkan yang tinggi untuk senyawa yang akan dimurnikan pada suhu yang relatif tinggi dan mempunyai daya melarutkan yang rendah pada suhu kamar atau pada suhu yang lebih rendah. b. Mampu melarutkan sedikit kotoran-kotoran (impurities). c. Mudah menghasilkan bentuk-bentuk kristal dari senyawa yang dimurnikan

20

d. Mudah dipisahkan dari kristal-kristal senyawa yang dimurnikan, atau memiliki titik didih yang relatif rendah e. Pelarut tidak bereaksi secara kimia dengan senyawa yang dimurnikan.

7.

Kromatografi Lapis Tipis Teknik kromatografi lapis tipis dikembangkan oleh Ismailoff dan

Schraibar pada tahun 1938. Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fasa diam. Fasa bergerak akan menyerap sepanjang fasa diam dan terbentuklah kromatogram. Ini dikenal juga sebagai kromatografi kolom terbuka. Biasanya yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adalah silika gel, bubuk selulosa, tanah diatome, dan kieselguhr (Hardjono

Sastrohamidjojo, 1991: 26-28). Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan digunakan. Sampel diteteskan pada salah satu bagian tepi plat kromatografi (0,01 10 g zat). Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan komponenkomponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam dipisah gerakan pelarut pengembang. Teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Egon Stahl dengan menghamparkan penyerap pada lempeng gelas, sehingga merupakan lapisan tipis. KLT merupakan kromatografi serapan, tetapi dapat juga merupakan kromatografi partisi karena bahan penyerap telah dilapisi air dari udara. Sistem ini sangat popular karena banyak memberikan keuntungan, yaitu peralatan yang diperlukan sederhana, murah, waktu analisis

21

yang singkat serta daya pisah cukup baik. Selain itu sampel yang dibutuhkan sangat sedikit (Sudjadi, 1986 : 167). Larutan cuplikan ditotolkan dengan pipet mikro atau injektor pada jarak 12 cm dari batas plat. Setelah pelarut dari noda menguap, plat siap untuk dikembangkan dengan fasa gerak yang sesuai hingga jarak eluen/fasa gerak dari batas plat mencapai 7-10 cm. Proses pengembangan dikerjakan dalam wadah tertutup (chamber) yang diisi eluen yang sesuai dengan sampel. Chamber tersebut dijenuhi dengan uap eluen agar dihasilkan pemisahan yang baik dan dapat ulang (reproducible). Teknik pengembangan dapat dari bawah ke atas (ascending), dari atas ke bawah (descending) atau mendatar. Jangan sampai terlalu lama mencelupkan plat dalam bejana bila permukaan pelarut telah mencapai garis akhir, karena oleh pengaruh difusi dan penguapan dapat menyebabkan pemancaran dari noda-noda yang terpisah. Langkah berikutnya adalah mengeringkan sisa eluen dalam lapisan tipis dengan didiamkan pada suhu kamar beberapa saat. Noda pada lapisan tipis dapat diamati langsung untuk noda tampak. Jika noda tidak tampak dapat dilihat dengan lampu UV pada panjang gelombang pendek (254 nm) atau pada panjang gelombang (366 nm). Dapat juga dilihat dengan menggunakan pereaksi semprot penimbul warna. Pemilihan eluen yang tepat merupakan langkah yang sangat penting untuk keberhasilan analisis dengan KLT. Pertimbangannya dapat menggunakan prinsip like disolve like . Pemilihan eluen (fasa gerak) sebaiknya menggunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah mungkin, hal ini untuk mengurangi

22

serapan dari setiap komponen dari campuran pelarut. Jika komponen-komponen yang mempunyai sifat polar yang tinggi (terutama air) dalam campuran akan merubah sistem menjadi sistem partisi. Campuran yang baik memberikan fasafasa bergerak yang mempunyai kekuatan bergerak sedang, tetapi sebaiknya dicegah sejauh mungkin mencampur lebih dari dua komponen terutama karena campuran yang lebih kompleks cepat mengalami perubahan-perubahan fasa-fasa terhadap perubahan-perubahan suhu (Hardjono Sastrohamidjojo, 1991 : 28-36). Setelah noda dikembangkan dan divisualisasikan, identitas noda dinyatakan dengan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai rasio jarak noda terhadap titik awal dibagi jarak eluen terhadap titik awal. Secara matematis dapat ditulis: Rf = l h

dengan l = jarak noda dari titik awal ke titik akhir setelah proses pengembangan dan h = jarak eluen dari titik awal ke batas akhir eluen. Harga Rf berkisar antara 0-0,999. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis sehingga mempengaruhi harga Rf antara lain struktur kimia senyawa yang dipisahkan, sifat penyerap, tebal dan kerapatan lapisan penyerap, pelarut (fasa gerak), derajat kejenuhan, teknik pemisahan, jumlah cuplikan, dan suhu (Hardjono Sastrohamidjojo, 1991 : 35-36). Alat yang digunakan untuk mengetahui harga Rf secara langsung adalah KLT Scanner. Alat ini akan memberikan data Rf dan luas area yang memberi data tentang persentase kemurnian senyawa yang dipisahkan.

23

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam KLT yang juga mempengaruhi harga Rf (Hardjono Sastromidjoyo, 1991 : 35-36) adalah : a. Struktur senyawa yang sedang dipisahkan. b. Sifat adsorben dan derajat aktivitasnya. Perbedaan adsorben memberikan perbedaan yang besar terhadap harga Rf. c. Tebal dan kerataan lapisan adsorben. d. Pelarut fasa gerak (dan tingkat kemurnianya). e. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan. f. Teknik percobaan. g. Jumlah cuplikan yang digunakan. Penetesan jumlah cuplikan yang berlebihan memberikan tendensi penyebaran noda-noda dengan

kemungkinan terbentuknya ekor. h. Suhu, untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan-penguapan atau perubahan-perubahan fasa.

8.

Spektroskopi UV Dasar spektroskopi UV adalah serapan cahaya. Serapan cahaya oleh

molekul dalam daerah spektrum UV tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Spektrum UV dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat dengan transisi-transisi diantara tingkatan tenaga elektronik, oleh sebab itu serapan radiasi UV sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik (Hardjono Sastrohamidjojo,

24

1991 : 11). Spektroskopi UV dapat digunakan untuk menentukan gugus kromofor yang terdapat dalam suatu senyawa yang menyerap radiasi dalam daerah UV. Serapan cahaya (energi) dalam daerah UV dari spektrum elektronik mengakibatkan transisi elektronik, promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar berenergi rendah, ke orbital keadaan tereksitasi berenergi tinggi. Spektrum UV terdiri dari pita serapan lebar pada daerah panjang gelombang yang lebar. Panjang gelombang serapan biasanya dilaporkan sebagai maks , yakni panjang gelombang yang memberikan nilai serapan terbesar (Hardjono

Sastrohamidjojo,1991: 11). Serapan energi direkam sebagai absorbansi. Absorbansi pada panjang gelombang tertentu didefinisikan sebagai : A = log Keterangan:
IO I

A = absorbansi Io = intensitas radiasi yang datang I = intensitas radiasi yang diteruskan

Absorbansi suatu senyawa dengan panjang gelombang tertentu bertambah dengan makin banyaknya molekul yang mengalami transisi. Panjang gelombang tergantung pada kuat lemahnya elektron itu terikat pada molekul. Keuntungan penggunaan spektroskopi UV yaitu gugus-gugus karakteristik dapat dikenal dalam molekul-molekul yang sangat kompleks (Hardjono Sastrohamidjojo, 1991 : 12). Panjang gelombang cahaya UV bergantung pada mudahnya promosi (eksitasi) elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron (eksitasi) akan menyerap pada panjang gelombang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang

25

gelombang lebih panjang (R.J., Fessenden & J.S., Fessenden, 1999 : 437). Umumnya penggunaan spektroskopi serapan pada senyawa-senyawa organik didasarkan pada transisi elektron n dan ke excited state ke * karena energienergi yang diperlukan untuk proses-proses ini cukup rendah, yaitu pada daerah spektrum (200-700 nm) (Sumar Hendayana, Asep K, AA Sumarna, Asep S, 1994:160). Berdasarkan perumusan rumus empiris oleh Woodward-Fieser, maks secara teoritis dari senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on adalah:

Struktur 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on
OH

Harga dasar enon asiklik 3 tambahan ikatan rangkap 3 x 30


O C CH3

: 215 nm : 90 nm : 39 nm + : 344 nm

Komponen homodiena maks terhitung

Nilai panjang gelombang maksimum ( maks) sebesar 344 nm menunjukkan potensi senyawa tabir surya UV-A.

9.

Spektrofotometer FTIR Spektrum IR digunakan untuk menentukan berbagai macam gugus fungsi

yang terkandung dalam suatu senyawa. Kegunaan dari spektroskopi inframerah adalah untuk mengenal (elusidasi) struktur molekul, khususnya gugus fungsional beserta lingkungannya. Hampir setiap senyawa yang memiliki ikatan kovalen baik organik maupun anorganik, akan menyerap berbagai frekuensi radiasi

26

elektromagnetik dalam daerah spektrum IR. Sinar IR berada pada kisaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,5-1000 m. Daerah yang paling berguna untuk mengenal struktur suatu senyawa adalah pada daerah 1-25 m atau 10.000 40.000 cm-1. Satuan yang lebih umum dipakai adalah satuan frekuensi (cm-1), dan bukan satuan panjang gelombang. Serapan setiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O, C-C, C=C, dan sebagainya) hanya diperoleh dalam bagian-bagian kecil tertentu dari daerah vibrasi infra merah. Kisaran serapan yang kecil dapat digunakan untuk menentukan setiap tipe ikatan. Frekuensi inframerah biasanya dinyatakan dalam satuan bilangan gelombang (wavenumber), yang didefinisikan sebagai banyaknya gelombang per sentimeter. Instrumen biasa memindai (scan) pada kisaran sekitar 700 sampai 5000 cm-1. Kisaran frekuensi ini sama dengan energi sekitar 2 sampai 12 kkal/mol. Jumlah energi ini cukup untuk mempengaruhi getaran (vibrasi) ikatan (gerakan seperti peregangan atau pembengkokan ikatan) tetapi sangat kurang untuk memutus ikatan. Spektrometer FTIR memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada menggunakan cara pemindaian, sensitifitas FTIR lebih besar daripada cara dispersi disebabkan radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak karena tanpa harus melalui celah (Palleros D. R, 2003 : 699-700). Spektra inframerah suatu senyawa dapat dengan mudah diperoleh dalam beberapa menit. Sedikit sampel senyawa diletakkan dalam instrumen dengan

27

sumber radiasi inframerah. Spektrometer secara otomatis membaca sejumlah radiasi yang menembus sampel dengan kisaran frekuensi tertentu dan merekam pada kertas berapa persen radiasi yang ditransmisikan. Radiasi yang diserap oleh molekul muncul sebagai pita spektra. Seberapa banyak frekuensi tertentu yang melewati senyawa tersebut diukur sebagai persentase transmitansi (percentage transmittance). Persentase transmitansi dengan nilai 100 berarti bahwa semua frekuensi dapat melewati senyawa tersebut tanpa diserap sama sekali. Pada kenyataannya, itu tidak pernah terjadi, selalu akan ada penyerapan, walaupun kecil, mungkin transmitansi sebesar 95% adalah yang terbaik yang bisa diperoleh. Identifikasi pita absorpsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spektra inframerah. Delapan daerah terpenting dan telah ditentukan dengan baik yang digunakan pada pemeriksaan pendahuluan spektra tertera dalam Tabel 1 (Hardjono Sastrohamidjojo, 1991 : 82-85).

Tabel 1. Harga Dasar Serapan Ikatan Gugus Fungsi Daerah Spektra (Bilangan Ikatan yang menyebabkan absorpsi Gelombang, cm-1) 3750 3000 Regang OH, NH 3300 2900 Regang C-H : CCH, C=CH, ArH 3000 2700 Regang CH : CH 3 , CH2 , CH, COH 2400 2100 Regang CC, CN 1900 1650 Regang C=O (asam, aldehid, keton, amida, ester, anhidrida) 1675 1500 Regang C=C (alifatik dan aromatik), C=N 1475 1300 Lentur CH 1000 - 650 Lentur C=CH, ArH (luar bidang)

28

Berdasarkan struktur dari senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on, maka dapat diperkirakan kemungkinan gugus fungsi yang akan muncul dalam spektroskopi infra merah diantaranya: a. Adanya gugus karbonil C=O pada serapan 1900 1650 cm-1. Puncak ini biasanya terkuat dengan lebar medium dalam spektrum dan serapan tersebut sangat karakteristik. b. Adanya gugus hidroksi 3750-3000 cm-1. c. Adanya cincin aromatik memiliki serapan medium tinggi kuat pada daerah 1675 1500 cm-1. d. Adanya ikatan rangkap C=C yang memiliki serapan pada daerah 1675 1500 cm-1. e. Adanya C-H alifatik pada daerah serapan kurang dari 3000 cm-1, maupun aromatik pada daerah serapan lebih dari 3000 cm-1. f. Adanya cincin disubtitusi meta pada daerah serapan 671 cm-1 dan satu lagi dekat 780 cm-1. memiliki serapan yang melebar pada daerah

10. Spektrofotometer 1H-NMR Spektroskopi Resonansi Magnet Inti memberikan gambaran mengenai jenis atom, jumlah, maupun lingkungan atom hidrogen (1H NMR). Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul tersebut berada dalam medan magnet yang kuat (Hardjono Sastrohamidjojo, 1991 : 102).

29

Interpretasi spektra 1H NMR harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. jumlah sinyal, menunjukkan ada berapa macam perbedaan proton yang terdapat dalam molekul b. kedudukan sinyal, ditunjukkan oleh geseran kimia () ppm, menunjukkan jenis proton c. intensitas sinyal atau harga integrasi masing-masing sinyal, perbandingan harga integrasi menyatakan perbandingan jumlah proton d. pemecahan (spliting), menerangkan tentang limgkungan dari sebuah proton dengan proton lainnya yang berdekatan Perbedaan frekuensi resonansi setiap proton dalam cuplikan diukur relatif terhadap frekuensi resonansi dari proton-proton senyawa standar. Senyawa standar yang umum digunakan yaitu tetrametilsilan (TMS). TMS dipilih karena TMS memberikan puncak tunggal yang tajam dan kuat walaupun digunakan konsentrasi yang rendah. Hal ini disebabkan duabelas proton pada TMS yang ekuivalen. TMS bersifat inert, memiliki titik didih rendah sehingga mudah diuapkan untuk memperoleh kembali cuplikan, dan TMS juga dapat larut dalam kebanyakan pelarut organik (Kemp W, 1975: 83). Selain itu, proton-proton dari gugus metil pada TMS jauh terlindungi bila dibandingkan dengan kebanyakan senyawa-senyawa lain. Hal ini disebabkan silikon yang elektropositif mendorong elektron ke gugus metil melalui efek induksi sehingga memberikan efek perlindungan yang sangat kuat (Hardjono Sastrohamidjojo, 1985: 111).

30

Tabel 2. Tipe Proton dengan Berbagai Pergeseran Kimia Jenis Proton Geseran Kimia -CH 3 0-1 ppm -CH 2 1-2 ppm -CH-OH 2-4 ppm -CH-NR 2 2,5-4 ppm -CH-Cl -CH-O -OCH 3 3,5-4,5 ppm -C=CH- vinilik 4,5-7 ppm -C=CH- aromatik 7-8 ppm R-CHO 9-10 ppm R-COOH 10-12 ppm Berdasarkan struktur dari senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on, maka dapat diprediksikan kemungkinan gugus fungsi yang akan muncul dalam spektroskopi 1H-NMR diantaranya: a. Adanya proton dari cincin aromatik akan ditunjukkan oleh puncak pada = 7 8 ppm, biasanya muncul dengan puncak tunggal. b. Adanya proton dari primer jenuh CH 3 pada = 0 1 ppm. c. Adanya proton yang terikat pada atom C=C ditunjukkan oleh puncak pada = 5,0 6,5 ppm. d. Adanya proton dari OH fenol akan ditunjukkan oleh puncak pada = 6 8 ppm.

B. Penelitian yang Relevan Penelitian relevan yang mendukung penelitian ini adalah 1. Penelitian yang dilakukan oleh Fathul Arifin (2007) yang telah berhasil mensintesis senyawa benzalaseton dan dibenzalaseton menghasilkan senyawa dengan panjang gelombang maksimum 327 nm untuk senyawa benzalaseton

31

dan panjang gelombang maksimum 328 nm untuk senyawa dibenzalaseton, sehingga kedua senyawa tersebut memiliki potensi sebagai senyawa tabir surya UV-A. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Gunantyo Decky Wirawan (2008) yang telah berhasil mensintesis senyawa 1,5-difenil-2,4-pentadien-1-on dengan panjang gelombang maksimum 343 nm, sehingga senyawa tersebut memiliki potensi sebagai senyawa tabir surya UV-A. 3. Penelitian yang dilakukan Sri Handayani (2009) yang telah berhasil mensintesis senyawa dibenzalaseton asimetris dengan panjang gelombang maksimum 350 nm, sehingga senyawa tersebut memiliki potensi sebagai senyawa tabir surya UV-A.

C. Kerangka Berfikir Senyawa 3-hidroksibenzaldehida merupakan senyawa turunan

benzaldehida yang tersubstitusi gugus hidroksi pada posisi meta. Senyawa ini digunakan sebagai intermediet dalam sintesis organik. Pemanfaatan senyawa ini dalam sintesis perlu dikembangkan, terutama untuk mensintesis suatu senyawa baru yang diharapkan mempunyai banyak manfaat, salah satunya adalah menghasilkan senyawa yang berpotensi sebagai tabir surya. Senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on merupakan senyawa turunan benzalaseton yang diperkirakan mempunyai aktivitas sebagai senyawa tabir surya, karena senyawa ini mempunyai struktur yang mirip dengan senyawa turunan asam sinamat yang merupakan bahan dasar dari senyawa-senyawa turunan alkil sinamat

32

yang banyak digunakan sebagai senyawa tabir surya. Hal ini juga diperkuat dengan nilai panjang gelombang maksimum senyawa 4-(3-hidroksifenil)-3-buten2-on sebesar 344 nm yang menunjukkan potensi senyawa tabir surya UV-A. Senyawa ini disintesis dengan menggunakan reaktan 3-

hidroksibenzaldehida dan aseton dengan katalis basa menggunakan reaksi kondensasi aldol silang. Reaksi ini melibatkan ion enolat yang terbentuk dari aseton yang akan bertindak sebagai nukleofil yang akan menyerang karbon karbonil senyawa aldehida aromatik menghasilkan senyawa -hidroksi keton, yang selanjutnya mengalami dehidrasi menghasilkan senyawa , -keton tak jenuh 4-(3-hidroksifenil)-3-buten-2-on.

You might also like