You are on page 1of 23

BAB II

DASAR TEORI
2.1 BATUBARA
Batubara adalah senyawa hidrokarbon padat alami, dapat dibakar, menyerupai batu,
berwarna coklat sampai hitam, berasal dari akumulasi tumbuhan yang terbentuk dalam kondisi
anaerobik, mengalami tekanan dan pengerasan secara bertahap dan berlangsung sangat lama.
(Kamus Pertambangan Umum (edisi II)
2.1.1 Pembentukan Batubara
Berdasarkan teori, batubara merupakan hasil sedimentasi sisa tanaman air dan darat yang
terpendam di dalam tanah. Akumulasi bisa terjadi setempat atau dari sekitarnya yang diangkut
atau dihanyutkan oleh alir sungai yang makin lama makin tebal. Perubahan keadaan geologi
mengakibatkan adanya penimbunan oleh pasir dan tanah liat. Karena perubahan tersebut terjadi
berulang kali, maka terjadilah beberapa lapisan batubara yang diselang-seling oleh lapisan pasir
dan tanah liat. Karena terjadinya tekanan dari lapisan penutupnya serta adanya gerakan-gerakan
tektonik dan kadang juga oleh intrusi batuan beku, maka terjadilah perubahan fisik dan kimia
pada sisa-sisa tanaman yang terpendam tersebut diantaranya perpadatan, kadar air menjadi
berkurang, terjadi gas-gas yang kemudian terserap kedalam lapisan penutup. Keadaan
intensitet/kerasnya tekanan dan gangguan-gangguan sangat menentukan terjadinya perubahan
menjadi peat, lignit, browncoal, bituminous coal, antrasit, dan grafit. Di Bukit Asam katanya
dekat pada kontak dengan batuan beku terjadi kokas alam (natural cokes). Untuk mengetahui
kualitas batubara sangat ditentukan oleh jenis atau macam tanaman dan sedikit atau banyaknya
kotoran. ( Sukandarrumidi, 2004)

2.1.2 Parameter Kualitas Batubara
Beberapa parameter kualitas yang akan sangat mempengaruhi pemanfaatan batubara
terutama sebagai bahan bakar adalah:
1. Kandungan Air
Kandungan air dapat dibedakan atas kandungan air bebas (free moisture), kandungan air
bawaan (inherent moisture) dan kandungan air total (total moisture). Kandungan air akan banyak
pengaruhnya pada pengangkutan, penanganan, penggerusan maupun pada pembakarannya.
2. Kandungan Abu
Selain kualitas yang akan mempengaruhi penanganannya, baik sebagai fly ash maupun
bottom ash tetapi juga komposisi yang akan mempengaruhi pemanfaatannya dan juga titik leleh
yang dapat menimbulkan fouling pada pipa-pipa. Dalam hal ini kandungan Na
2
O dalam abu akan
sangat mempengaruhi titik leleh abu. Abu ini dapat dihasilkan dari pengotor bawaan (inherent
impurities) maupun pengotor sebagai hasil penambangannya. Komposisi abu seyogyanya
diketahui dengan baik untuk kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan bangunan atau
keramik terhadap masalah lingkungan yang akan ditimbulkannya.
3. Zat Terbang ( Volatile Matter)
Kandungan zat terbang sangat erat kaitannya dengan kelas batubara tersebut, makin
tinggi kandungan zat terbang makin tinggi kelasnya. Pada pembakaran batubara, kandungan zat
terbang yang tinggi akan lebih memepercepat pembakaran karbon padatnya dan sebaliknya zat
terbang yang rendah lebih mempersukar proses pembakarannya. Nisbah kandungan karbon
tertambat terhadap kandungan zat terbang disebut Fuel Ratio.
4. Nilai Kalor
Harga nilai kalor merupakan penjumlahan dari harga-harga panas pembakaran dari unsur-
unsur pembentuk batubara. Harga nilai kalor yang dapat dilaporkan adalah harga Gross Caloric
Value dan dengan dasar air dried, sedang nilai kalor yang benar-benar dimanfaatkan pada
pembakaran batubara adalah Net Caloric Value yang dapat dihitung dengan harga panas latent
dan sensible yang dipengaruhi oleh kandungan total air dan abu. ( Sukandarrumidi, 2004).
2.2. PROSES PENAMBANGAN BATUBARA
2.2.1. Pembebasan Lahan (Land Clearing)
Clearing adalah kegiatan untuk membersihkan lahan vegetasi berupa semak-semak dan
pepohonan yang berada di areal yang akan ditambang dimana berfungsi untuk mempersiapkan
tempat kerja yang baik untuk kegiatan penambangan. Sebelum dilakukan pembersihan area
penambangan dari tumbuh-tumbuhan, didahului dengan pemasangan tanda batas area yang akan
dibersihkan. Tujuan dari pembersihan lahan adalah untuk mendapatkan data permukaan dan
selanjutnya digunakan untuk perhitungan volume lapisan tanah penutup dan sebagai persiapan
untuk kegiatan pengambilan top soil atau tanah pucuk. Untuk pohon dengan diameter < 20 cm
Land clearing dilakukan dengan menggunakan bulldozer, namun untuk pohon- pohon berukuran
besar dengan diameter > 20 cm yang tidak mungkin untuk di robohkan, maka terlebih dahulu
perlu dipotong menggunakan chain saw, baru kemudian diarahkan oleh bulldozer. Sedangkan
grubbing adalah kegiatan pembersihan lahan dengan mengumpulkan hasil dari kegiatan clearing.
Untuk kayu yang bernilai ekonomis maka akan di angkut ke log stock.


Gambar 2.1 Kegiatan Land Clearing
2.2.2. Pengupasan Top Soiling
Setelah land clearing kegiatan berikutnya adalah pengupasan tanah pucuk (top soil
removal). Tanah pucuk (top soil) merupakan bagian atas dari lapisan tanah, yang mengandung
materi organic (humus), berwarna coklat tua hingga coklat muda. Maksud pemindahan tanah
pucuk adalah untuk menyelamatkan tanah tersebut agar tidak rusak sehingga masih mempunyai
unsur tanah yang masih asli, sehingga tanah pucuk ini dapat digunakan dan ditanami kembali
untuk kegiatan reklamasi. Setelah pengupasan tanah pucuk maka top soil diangkut ke tempat
penampungan top soil sementara yang disebut top soil stock. Berikut gambar kegiatan top
soiling.

Gambar 2.2. Kegiatan Top Soiling

2.2.3. Pengupasan Over Burden
Pengupasan tanah penutup batubara (OB Stripping) yaitu pengupasan tanah penutup
batubara yang dilakukan setelah kegiatan tanah pucuk. Metode pengupasan tanah penutup erat
kaitannya dengan material yang akan di kupas yaitu :
a. Direct Digging / free digging
Selain dengan metode ripping dan dozing, pengupasan tanah penutup juga dilakukan
dengan penggalian langsung,tetapi hanya untuk material lunak seperti top soil dan sub soil.
b. Ripping dan dozing
Cara ini dilakukan pada lapisan tanah yang relative lunak ,merupakan proses mengaru
agar mempermudah membongkar lapisan tanah penutup. Alat yang digunakan adalah Bulldozer
dengan Ripper (alat garu / gali).
c. Drilling dan Blasting
Cara ini dilakukan apabila kedua cara diatas sudah tidak dapat lagi untuk membongkar
material keras.


Gambar 2.3. Kegiatan OB Removal

Kegiatan OB Removal sendiri dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan tujuannya :
a) Drop Cut merupakan kegiatan pengupasan OB yang pada akhirnya tidak menghasilkan
kenampakan batubara, seperti pembuatan jalan atau penurunan sequen.
b) Expose merupakan kegiatan pengupasan OB yang bertujuan membuka singkapan
batubara yang akan ditambang.
2.2.4. Penambangan Batubara (Coal Cleanning and Coal Getting)
1. Coal Cleanning
Batubara yang sudah tersingkap namun masih terdapat sisa tanah penutup di atasnya,
maka harus di bersihkan terlebih dahulu (cleaning) dengan menggunakan unit excavator dengan
bucket yang dilengkapi dengan Cutting edge (bukan teeth), dimana ujung cutting edge
melingkupi seluruh permukaan bucket (rata dan tidak ada yang terbelah). Batubara hasil
pembersihan ini yang disebut dengan clean coal. Tujuan pembersihan adalah menghindarkan
batubara terkontaminasi dengan material pengotor yang dapat mengakibatkan bertambahnya
kadar abu dalam batubara.

Gambar 2.4. Kegiatan Coal Cleanning



Batubara hasil kegiatan coal cleanning disebut dirty coal yang nantinya dapat digunakan
sebagai bedding pada saat pembuatan ROM (Run Of Mine), dan bila memungkinkan dapat ppula
dipasarkan.
2. Coal Getting
Setelah roof dari seam batubara benarbenar bersih, baru dilakukan kegiatan
pengambilan data survey untuk roof dari batubara. Kemudian batubara diambil menggunakan
excavator. Apabila batubaranya cukup keras, maka sebelum diambil dengan excavator dilakukan
pembongkaran dengan menggunakan ripper pada dozer. Setelah clean coal terambil, dilakukan
kegiatan pengambilan data survey untuk floor batubara. Fungsi dari pengambilan data tersebut
adalah sebagai data pembanding antara actual dengan model.

Gambar 2.5. Kegiatan Coal Getting
2.2.5. Loading (pemuatan)
Pemuatan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengambil dan
memuat material kedalam alat angkut.



1) Pemuatan Tanah Penutup
Kegiatan pemuatan tanah penutup dilakukan setelah pembongkaran tanah penutup selesai.
Pemuatan tanah penutup dilakukan oleh Excavator yang memiliki kapasitas bucket yang
lebih besar.
2) Pemuatan Batu bara
Kegiatan pemuatan batu bara dilakukan oleh excavator backhoe (PC-200, PC-300) sekaligus
sebagai alat pembongkaran.
2.2.6. Hauling (Pengangkutan)
Pengangkutan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengangkut material hasil
pembongkaran. Pengangkutan dibagi dua :
1) Pengangkutan Tanah Penutup
Pengangkutan tanah penutup dilakukan oleh dump truck dari tempat pembongkaran
(loading pit) ke disposal. Tanah penutup tersebut dibawa ke disposal area atau tempat
pembuangan yang merupakan daerah bekas tambang yang sudah tidak aktif lagi (back filling).
2) Pengangkutan Batubara
Dilakukan dari daerah pembongkaran ke tempat penampungan sementara atau mine
stockyard dengan menggunakan dumptruck. Selanjutnya dari mine stockyard diangkut ke port
stockyard/pelabuhan dengan alat dump truck single trailer dan dump truck double trailer, dan
kemudian dimuat ke kapal menggunakan belt conveyor untuk selanjutnya dilakukan pengapalan.



2.3. SURVEY PEMETAAN
Survey dan pemetaan topografi bertujuan untuk menggambarkan permukaan bumi, yang
digambarkan dalam bentuk peta dengan menggunakan skala tertentu. Detail yang digambar
berupa detail alam maupun buatan manusia dalam posisi horisontal maupun vertikal. Peta
topografi biasanya digunakan sebagai peta dasar untuk membuat peta tematik, seperti peta
rencana jalan, peta geologi, peta hidrologi, kemiringan dan lain-lain.
Kegiatan survey di tambang tidak juga terlepas dari kesalahan-kesalahan yang mungkin
terjadi, baik itu kesalahan random, kesalahan sistematis, dan kesalahan karena factor manusia
(human error). Kesalahan ini bisa saja terjadi setiap saat, baik itu pada tahap ekplorasi,
pengukuran topografi dan pengukuran untuk pembuatan model cadangan material, ataupun pada
tahap eksploitasi hingga pemasangan design tambang dan pengukuran topografi progress
tambang.
Kesalahan dalam kegiatan survey dan pemetaan tidak hanya terjadi pada proses
pengukuran lapangan saja, dapat juga terjadi pada proses prosesing data-penggunaan system
koordinat dan transformasinya, penyajian data dalam bentuk peta. Kesalahan survey dalam
penambangan berarti akan menyajikan data dan gambaran/peta yang salah, akibat kesalahan ini
akan merambat pada kesalahan- kesalahan aplikasi penambangan yang antara lain:
1. Kesalahan data-data survey dalam kegiatan eksplorasi untuk penentuan titik lokasi
pengeboran dan study outcrop akan menyebabkan kesalahan dalam membuat model
cadangan material tambang serat kesalahan dalam menentukan besaran cadangan terkira
dan terukur suatu tambang.
Kesalahan ini akan menyebabkan analisa dalam studi kelayakan tambang, analisa
ekomoni tambang, analisis umur tambang (mine life).
2. Kesalahan dalam pembuatan model cadangan bahan tambang akan mengakibatkan
kesalahan pada pembuatan design dan kesalahan pada penentuan metode penambangan
dan penggunaan alat penambangan.
3. Kesalahan pada pembuatan model akan mengakibatkan kesalahan dalam perencanaan
tambang (desing tambang) dan produksi penambangan sehingga cadangan/material yang
tidak ikut dimodelkan akan tertinggal atau tidak didapat diambil seluruhnya.
4. Kesalahan dalam pengukuran pemasangan design tambang oleh survey akan meyebabkan
salahnya penggalian yang berdampak pada
a. Volume galian rencana tidak sama dengan aktual sehingga cost dari penambanga
akan bertambah (diluar SR atau Cut off yang direncanakan).
b. Terganggunya stabilitas/kemantapan lereng karena perubahan geometri lereng
dan terganggunya lapisan batuan yang mendukung kestabilan lereng.
c. Pengambilan material tambang yang salah sehingga kualitas material tambang
tidak sesuai dengan perencanaan.
d. Pemasangan design ramp/jalan yang salah akan mengakibatkan munculnya
potensi resiko kecelakaan.
5. Kesalahan dalam melakukan pengukuran topografi original atau topografi progress
tambang akan mengganggu proses penyaliran tambang- drainase tambang- sehingga akan
menganggu proses produksi dari aspek sequence tambang, terganggunya proses
penyaliran tambang juga akan menganggu kestabilan lereng.


6. Kesalahan kegiatan survey dalam mendukung kegiatan Peledakan- Blasting- (pengukuran
space-boder dan depth) memungkinkan hasil produktifitas blasting menjadi buruk,
terjadinya airblast dan undulasi permukaan tambang karena kedalaman lubang tembak
yang tidak rata)

2.4. COAL RECOVERY
Coal recovery adalah suatu angka atau besaran yang menunjukkan seberapa efektif
batubara yang ditambang. Angka coal recovery ditunjukkan dalam bentuk persentase (%),
semakin besar angka coal recovery maka semakin efektif penambangan batubaranya. Ada
beberapa metode perhitungan coal recovery yang biasa digunakan, yaitu:
1. In-situ model vs aktual data ditambang (Insitu Model Actual Coal Mined)
Perhitungan Coal Recovery dgn metode ini dihitung dengan membandingkan In-situ
Model (Geological Model) dengan batubara ditambang berdasarkan perhitungan truk (truck
account / dispatch).
2. ROM Merge version 4.0.3 vs aktual data ditambang (ROM Merge vs Actual Coal Mined)
Metode perhitungan ini hampir sama dengan perhitungan diatas, namun parameter
perhitungan cadangan batubara yang berbeda. Perbedaannya adalah perhitungan cadangan ROM
Merge mencakup lapisan tanah penutup (overburden) dengan ketebalan tertentu diatas insitu
batubara yang dihitung sebagai dilusi.
3. Data Survey vs Actual data ditambang
Metode perhitungan ini adalah jumlah batubara berdasarkan pick up survey antara lapisan
batubara atas (top coal) dan lapisan batubara bawah (coal floor) dibandingkan dengan aktual
batubara ditambang berdasarkan perhitungan truk. Perhitungan dengan membandingkan data
survey dan Actual yang ditambang lebih representative untuk melihat Coal recovery dgn
mengeliminir Variasi Geology Model.
2.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coal Recovery
Dalam perhitungan coal recovery diatas bahwa semakin besar batubara yang bisa
ditambang maka akan semakin besar angka coal recovery nya. Namun demikian, banyak faktor-
faktor yang mempengaruhi besar kecil nya jumlah batubara tertambang.
Secara garis besar, faktor-faktor yang berpotensi hilangnya batubara bisa terjadi karena :
1. Pengukuran / Survey batubara
a. Kurangnya data lapisan batubara bagian atas (Coal roof) sebelum ditambang, hal ini
disebabkan batubara sudah ditambang terlebih dahulu. Biasanya terjadi pada saat shift
sore atau shift malam mengingat tim survey tidak ada ditempat, sementara batubara
tersebut harus segera ditambang.
b. Kurangnya data lapisan batubara bagian bawah (coal floor), hal ini disebabkan karena
lokasi yang sudah ditambang langsung disiapkan untuk lokasi pemboran dan peledakan.
2. Manusia
a. Operator yang kurang skill.
b. Kurangnya pengontrolan pit geologist terhadap coal roof dan coal floor.
c. Kurangnya pengontrolan pengawas pada proses expose batubara, pembersihan ujung
batubara (coal edge), dan penambangannya.
d. Ketidakakuratan pemboran pada area Top of Coal.



3. Cuaca
Faktor yang dimaksud disini adalah hujan yang mengakibatkan tenggelamnya batubara
sehingga tidak bisa ditambang.
4. Peralatan
a. Ketidaksesuaian dalam pemilihan alat gali saat pengupasan lapisan penutup batubara.
b. Ketidaksesuaian dalam pemilihan alat dalam pembersihan batubara tipis.
c. Ketidaksesuaian dalam pemilihan alat gali pada penambangan.
5. Perencanaan (Planning)
a. Ketidakakuratan geology model pada perhitungan cadangan batubara.
b. Desain loading point (ruang kerja) yang sempit.
c. Desain pola peledakan lapisan penutup dengan batubara yang terbuka terlalu dekat.
d. Desain pemboran dan peledakan pada area Top of Coal yang tidak tepat.
e. Tidak ada sistem drainase di area kerja (loading point), jalan.
f. Ketidak akuratan geology model pada pemasangan batas expose batubara
Selain berdasarkan faktor-faktor diatas, hilangnya batubara terutama yang tipis terjadi
pada proses atau metode sebagai berikut:
1. Pemboran - Peledakan (Drill and Blast)
Pada proses pemboran dan peledakan lapisan tanah penutup, potensi hilangnya batubara
bisa terjadi pada saat area yang direncanakan untuk diledakkan adalah Top of Coal ( 3 -10 meter
diatas lapisan batubara). Lapisan tanah penutup yang akan dibor dengan kedalaman 3 - 10 meter,
namun aktual kedalaman pemboran bisa saja menembus batubara sehingga saat diledakkan maka
batubara tersebut akan terbongkar. Ini bisa terjadi apabila persiapan area pemboran tidak rata,
atau aktual contour batubara yang tidak sesuai dengan model perlapisan batubara ( aktual lebih
landai).
2. Penggalian Lapisan Tanah Penutup (Overburden Removal)
Pada kegiatan penggalian dan pemuatan lapisan tanah penutup terutama diarea yang
mendekati terbukanya batubara akan berpotensi hilangnya batubara. Hal ini dapat disebabkan
oleh : alat gali yang digunakan kurang sesuai atau terlalu besar, tidak adanya limit penggalian
untuk alat gali, pendorongan dengan dozer yang tidak sesuai saat membuka batubara.
3. Kondisi ruang kerja alat gali-muat (Loading point)
Kondisi ruang kerja sangat berpengaruh terhadap hilang atau tidaknya batubara yang
dibuka maupun ditambang. Dengan kondisi ruang kerja yang sempit maka potensi hilangnya
batubara sangat besar karena batubara akan tergali atau terinjak oleh truk saat melakukan
kegiatan gali-muat lapisan tanah penutup.Ruang kerja yang tidak ada drainase juga sangat
berpengaruh, karena akan menyebabkan ruang kerja berpotensi banjir terutama area-area yang
sudah berada di level penggalian yang rendah.
4. Pembersihan Batubara (Clean up Coal)
Kegiatan ini dilakukan setelah batubara terkupas, namun belum bisa langsung ditambang.
Karena pada saat pengupasan lapisan penutup batubara (exposed coal) masih menyisakan lapisan
tanah penutup dengan ketebalan kira-kira 1 meter diatas lapisan batubara. Jika langsung
dibersihkan pada saat proses penggalian lapisan tanah penutup dengan menggunakan dozer
kapasitas besar (Komatsu D375; Cat D10) maka sangat berpotensi terkupasnya batubara dan
bercampur dengan lapisan tanah penutup. Untuk itu pada proses ini diperlukan alat yang lebih
kecil kapasitasnya.
Pembersihan batubara yang terlalu bersih juga akan menyebabkan coal recovery
berkurang, karena dengan batubara yang terlalu bersih pada akhirnya akan mengurangi jumlah
batubara yang ditambang. Pemilihan tipe alat pembersih batubara juga sangat mempengaruhi.
Pada kondisi tertentu, misalnya contur batubara yang bergelombang, terjal maka akan ideal dan
efektif jika menggunakan backhoe (PC 200) untuk kegiatan ini. Namun Untuk kondisi kontur
batubara yang relatif landai, tidak bergelombang maka alat yang ideal adalah dozer kecil
(D85ESS).
5. Penambangan Batubara (Coal Mined)
Pemilihan type alat gali untuk menambang batubara harus tepat agar potensi batubara
hilang bisa dihindari. Jika menggunakan alat gali dengan tipe yang lebih besar (EX 2500) untuk
menambang batubara tipis tentu tidak ideal. Karena akan banyak batubara yang tertinggal di
lantai kerja (floor), dan apabila dikumpulkan dengan dozer kembali maka akan berpotensi
bercampur dengan tanah. Selain itu pemuatan batubara yang melebihi kapasitas truk yang
ditentukan (overload) akan terjadi tumpahan batubara diarea loading point maupun saat
pengangkutannya. Hal yang sering terjadi adalah batubara yang relatif datar dijadikan untuk
jalan angkut truk batubara maupun truk pemindah tanah. Hal ini juga mengakibatkan batubara
hilang akibat gesekan roda ban.
6. Pengangkutan Batubara menuju stockpile atau crusher (Coal Hauled)
Batubara berpotensi hilang pada kegiatan ini biasanya terjadi pada saat truk batubara
yang bermuatan melewati jalur tanjakan, tikungan tajam, jalan bergelombang. Jalur tanjakan
yang semakin curam maka batubara yang tumpah akan semakin banyak.



2.4.2. Upaya Peningkatan Coal Recovery
Berdasarkan faktor-faktor diatas, ada upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi
hilangnya batubara sehingga dapat meningkatkan coal recovery. Upaya-upaya yang bisa
dilakukan terutama pada keenam proses diatas yaitu :

1. Perhitungan Cadangan Batubara (Reserving)
Menghitung ulang cadangan batubara dengan menggunakan geology model yang baru,
dengan dibatasi oleh area-area yang pernah ditambang (mined out). Density batubara yang
dijadikan dalam parameter perhitungan cadangan harus sesuai atau mendekati angka density
actual batubara yang terbuka.
2. Pemboran - Peledakan (Drill and Blast)
a. Perlu dilakukan CSA ( Customer Supply Agreement ) untuk coal floor apabila batubara
selesai ditambang dari superintendent batubara dengan superintendent pit selaku orang
yang akan mempersiapkan lokasi pemboran dan peledakan. Tujuan dilakukan ini adalah
untuk mengkonfirmasi bahwa lokasi tersebut benar-benar selesai ditambang dan tidak ada
batubara yang tertinggal.
b. Persiapan lokasi pemboran harus disiapkan dalam keadaan rata, tidak bergelombang. Hal
ini dilakukan agar pemboran bisa dilakukan dengan kedalaman yang sesuai dengan plan.
Apabila ada lubang bor yang terindikasi bahwa lapisan batubara tertembus, maka lubang
tersebut perlu ditimbun kembali sampai lapisan batubara yang tertembus. Indikasi lapisan
batubara tertembus saat pemboran bisa dilihat oleh cutting material hasil pemboran.
c. Pemboran yang mendekati area Top Of Coal terutama dengan kedalaman 3 10 meter
perlu dilakukan secara hati-hati untuk menghindari tertembusnya lapisan batubara.
d. Peta kontur batubara perlu dicantumkan pada peta pemboran agar operator dan pengawas
drill mengetahui kondisi area yang sedang dilakukan pemboran.
e. Apabila lokasi peledakan berdekatan dengan batubara yang sedang ditambang, maka saat
persiapan peledakan, desain tie up peledakan harus didesain agar material yang
diledakkan tidak bercampur dengan batubara. Jarak yang aman agar batubara tidak kotor
adalah sekitar 30 meter dari lokasi peledakan.
3. Penggalian Lapisan Tanah Penutup (Overburden Removal)
a. Pemilihan alat gali yang sesuai : apabila lokasinya sempit (kurang dari 25 meter), maka
alat yang efektif adalah backhoe.
b. Pemilihan alat dorong yang sesuai : saat proses pembukaan lapisan atas batubara terutama
di batubara tipis, pemilihan tipe dozer yang tepat sangat diperlukan. Apabila batubara
tipis sebaiknya digunakan dozer yang lebih kecil, karena apabila menggunakan dozer
dengan kapasitas besar maka potensi batubara terdilusi atau tercampur dengan tanah
penutup semakin besar.
c. Metode expose batubara dilakukan dengan meninggalkan overburden dengan ketinggian
0.5 1 meter diatas batubara. Tujuannya adalah agar batubara tidak banyak hilang akibat
terinjak oleh track dozer.
d. Pemasangan limit penggalian (digging limit). Hal ini dilakukan untuk membatasi arah
penggalian shovel atau backhoe agar tidak sampai ke edge coal sehingga batubara tidak
tergali. Pemasangan limit penggalian ini perlu dipasang baik saat expose batubara
maupun penggalian lapisan tanah penutup yang berdekatan dengan ujung batubara.
4. Kondisi ruang kerja alat gali-muat (Loading point)
a. Sistem drainase atau penirisan air yang memadai di loading point. Drainase ini bisa
dibuat dengan cara pembuatan sump temporary untuk loading point yang sudah berada di
level rendah dari suatu pit, membentuk kemiringan loading point (1-2%) agar loading
point tidak tergenang air, membuat parit atau saluran air.
b. Loading point dibuat standar, agar batubara yang sudah terbuka (expose) tidak terinjak
oleh truck karena sebagian batubara yang terbuka dijadikan jalan keluar masuk loading
point.
c. Loading point yang berada di dinding akhir (final wall) perlu dilakukan perapian dinding
(trimming wall) sesuai dengan rencana kemiringan yang sudah direkomendasikan agar
batubara tidak tertinggal didinding.
5. Pembersihan Batubara (Clean up Coal)
Proses clean up batubara disini maksudnya adalah proses pembersihan sisa-sisa material
yang masih menutupi batubara dimana ketebalan material ini berkisar 0.5 1 meter. Proses clean
up untuk batubara tipis sebaiknya menggunakan alat yang kecil baik backhoe maupun dozer.
Tujuannya agar batubara bisa lebih bersih dan tidak terlalu banyak batubara yang bercampur
material. Pemilihan tipe alat dapat mempertimbangkan hal berikut :
a. Kemiringan batubara landai : Alat yang bisa digunakan adalah dozer kecil (D85ESS atau
sejenisnya).
b. Kemiringan batubara curam : Alat yang efektif digunakan adalah backhoe kecil (PC 200
atau sejenisnya)
c. Batubara yang bergelombang : Alat yang bisa digunakan adalah backhoe kecil (PC 200
atau sejenisnya). Tidak disarankan untuk menggunakan dozer pada area seperti ini karena
banyak batubara yang akan terkupas dan bercampur dengan overburden.
6. Penambangan Batubara (Coal Mined)
Upaya yang bisa dilakukan pada kegiatan penambangan batubara tipis adalah sebagai
berikut :
a. Menggunakan alat gali dengan kapasitas bucket alat gali yang tidak terlalu besar.
Tujuannya agar pada saat menggaruk batubara, material atau tanah dibagian bawah tidak
tercampur.
b. Menambang batubara harus sejajar dengan ruang kerja (loading point) atau jalan. Jika
lebih rendah maka berpotensi tergenang air jika hujan. Sementara jika lebih tinggi, maka
berpotensi batubara hilang akibat tertutup material saat lokasi tersebut dijadikan area
pemboran. Kondisi ini bisa terjadi pada saat terracing untuk persiapan lokasi pemboran.
c. Pengisian batubara ke truck batubara tidak melebihi kapasitas truck yang telah
ditentukan. Jika melebihi kapasitas (overload) maka akan berpotensi batubara tumpah
saat pengisian di loading point.
d. Biasanya batubara yang ditambang pasti meninggalkan sisa-sisa batubara, untuk itu perlu
perapian kembali dengan dozer atau backhoe kecil (D85ESS, PC200 atau sejenisnya) dan
dikumpulkan (pile) disuatu area dan kemudian ditambang kembali.
7. Pengangkutan Batubara menuju stockpile atau crusher (Coal Hauled)
Pada proses ini ada upaya dilakukan agar batubara tidak hilang adalah :
a. Membuat desain kemiringan jalan angkut sekitar 8% atau maksimum 10%, agar material
atau batubara yang diangkut tidak tumpah disepanjang tanjakan.
b. Membuat desain tikungan yang tidak tajam dan sudut kemiringan tikungan tidak terbalik
(superelevasi) agar batubara tidak tertumpah saat truck menikung.
c. Operator truck tidak mengemudi secara ugal-ugalan (sering tancap gas).
d. Pemasangan rambu-rambu give way atau stop tidak dilokasi yang miring.
e. Perbaikan kondisi jalan angkut secara rutin agar terhindar dari jalan yang bergelombang.

2.5. FAKTOR LOSS BATUBARA
Faktor Losses yaitu faktor-faktor kehilangan cadangan akibat tingkat keyakinan geologi
maupun akibat teknis penambangan. Beberapa faktor losses adalah :
1. Geological Losses
Geological losses yaitu faktor kehilangan akibat adanya variasi ketebalan, parting,
maupun pada saat pengkorelasian lapisan batubara. Biasanya untuk kemudahan, langsung
diambil nilai umum yaitu 5 10%. Namun dapat juga dengan memperhatikan pola variasi
ketebalan batubara, yaitu dengan bantuan analisis statistik. Parameter statistik yang dapat
digunakan adalah : standard deviasi, koefisien variasi.
2. Mining Losses
Mining losses yaitu faktor kehilangan akibat teknis penambangan, seperti faktor alat dan
faktor safety. Secara umum, untuk metoda Strip Mining digunakan mining losses sebesar 10%,
sedangkan untuk tambang bawah tanah digunakan mining losses sebesar 40-50% yaitu (metoda
Long Wall mempunyai Recovery 60-70%, metoda Room & Pillar mempunyai Recovery 50-
60%), untuk auger mining digunakan mining losses sebesar 60-70% (atau Recovery 30-40%
sesuai dengan spesifikasi peralatannya). Untuk metoda Strip Mining (open pit), kadang-kadang
juga digunakan pendekatan ketebalan lapisan yang akan ditinggalkan, yaitu 10 cm pada roof &
10 cm pada floor. Jika ketebalan lapisan hanya 1 m, maka Mining Losses = 20%., sedangkan jika
ketebalan lapisan adalah 2 m maka Mining Losses = 10%., dan jika ketebalan lapisan adalah 5 m
maka Mining Losses = 4%.
3. Processing and Transporting Losses
Processing and transporting losses yaitu faktor kehilangan (recovey yield) akibat
diterapkannya metoda pencucian batubara atau kehilangan pada proses pengangkutan ke
Stockpile. Kehilangan ini sangat tergantung pada hasil uji ketercucian (washability test), dimana
harga perolehan (yield) ditentukan dari hasil uji tersebut sedangkan kehilangan pada saat
transportasi tergantung pada volume angkut, jarak tempuh, karakteristik jalan dan kecepatan
kendaraan.
Upaya yang dilakukan untuk mengontrol kehilangan (losses) batubara dengan ketat dan
sangat baik dengan melakukan pengawasan pada setiap proses penambangan. Komponen utama
dalam pengawasan ini adalah alat ukur yang selalu dikalibrasi secara periodik dan bersama
dengan pihak kontraktor. Tetapi, timbul kendala karena pada setiap proses pengawasan
digunakan alat ukur dan metode pengukuran yang berbeda serta terdapat kendala kehilangan
yang tidak terlihat. Kehilangan ini dapat terjadi pada setiap proses penambangan. Kehilangan ini
berbeda dengan kehilangan yang terlihat pada proses pengangkutan berupa batubara yang
tercecer di jalan. Kehilangan yang tidak terlihat dapat diketahui melalui perhitungan.


Untuk perhitungan di Stockpile digunakan Rumus :
OS + CG = CS +CB + LC dengan :
OS = Opening Stockpile
CG = Coal Getting
CS = Closing Stockpile
CB = Coal Barging
LC = Loss Coal
Nilai recovery tambang juga dipengaruhi oleh proses pemberaian. Jika dalam kenyataan
proses pemberaian juga dilakukan terhadap batubara yang sebelumnya dimodelkan sebagai
waste, maka recovery penambangan akan tinggi. Hal ini tentu saja sesuai dengan kaidah
konservasi. Tingginya recovery juga dapat disebabkan penebalan lapisan batubara yang tidak
teramati pada saat eksplorasi, perbedaan kondisi model dan kondisi nyata di lapangan.
Proses selanjutnya setelah pemberaian adalah pemuatan dan transportasi. Untuk proses
ini kontraktor tambang harus berusaha mengurangi losses dengan cara membatasi timbunan di
dalam dump truck sehingga batubara tidak mudah jatuh tercecer di perjalanan menuju tempat
crushing, menetapkan batas kecepatan dump truck dan memasang rambu kecepatan di jalan
tambang. Jarak pengangkutan juga dapat diperpendek dengan cara membuat jalan yang lebih
lurus agar tercapai efisiensi. Selain faktor efisiensi jalan yang lurus juga diharapkan mengurangi
resiko dari faktor keamanan.
Dengan pengawasan yang ketat pada setiap tahapan penambangan meliputi pengawasan
pada tahapan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, Penambangan, Pengangkutan,
Pengolahan/Pemurnian dan Pasca Tambang serta penerapan metode penambangan yang baik
diharapkan terjadi pengurangan tingkat kehilangan menjadi maksimal.

You might also like