You are on page 1of 4

Nama : Puja Indah Anggraeni

NIM : I1A0100039
Kelompok : XXIV J
Tanggal : 1 April 2014

PATOFISIOLOGI KUSTA

Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih
belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah met56mperlihatkan
bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan melalui mukosa nasal. PengaruhMycobacterium leprae terhadap kulit
bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat
kuman yang avirulen dannontoksis.
1
Setelah M. leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh terhadap masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem immunitas seluler (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem immunitas seluler tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa.
Teori yang paling banyak digunakan adalah penularan melalui kontak/sentuhan
yang berlangsung lama, namun berbagai penelitian mutakhir mengarah pada
droplet infection yaiut penularan melalui selaput lendir pada saluran napas. M.
leprae tidak dapat bergerak sendiri dan tidak menghasilkan racun yang dapat
merusak kulit, sedangkan ukuran fisiknya yang lebih besar dari pada pori-pori
kulit. Oleh karena itu, M. leprae yang karena sesuatu hal menempel pada kulit
kita, tidak dapat menembus kulit jika tidak ada luka pada kulit.
1

Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium
leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
1

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
1

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila
infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan
masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.
1

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhanMycobacterium
lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh
dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
1
Dari segi imunologis terdapat perbedaan yang prinsip antara reaksi kusta
tipe 1 dan reaksi tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah
imunitas selular (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 imunitas humoral.
2
Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli)
akan bereaksi dengan limfosit T diserta perubahan SIS yang cepat. Jadi pada
dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas (SIS)
dan basil. Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi
upgrading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid (terjadi
peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju kebentuk lepromatosa
(penurunan SIS).
1
Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan dengan reaksi reversal oleh
karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapat
pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai pada kasus-
kasus yang tidak mendapat pengobatan.
1
Reaksi kusta tipe 2 dikenal dengan nama eritema nodosum leprosum
(ENL). ENL merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb dan Gell.
Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi
membentuk kompleks Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi
komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang
merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada bentuk LL
dan LLs dan kadang kadang bentuk BL. Biasanya disertai gejala-gejala sistemik.
Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungannya dengan pemberian pengobatan
antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama
pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi
granular.
1




















DAFTAR PUSTAKA

1. Tjoronegoro A, Hendra U. Kusta. FK UI: Jakarta, 2003.

You might also like