You are on page 1of 18

Imobilisasi Pada Lansia dan Berbagai Komplikasinya

A. Latar Belakang Masalah


Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama lebih
dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fisiologik.
Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidang geriatri yang
timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Di ruang rawat
inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2000 didapatkan
prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5% (Setiati dan
Roosheroe, 2007).
Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat kondisi pasien,
memperlambat proses penyembuhan, serta dapat menyebabkan kematian. Oleh karena
itu, penting bagi para mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Penulisan laporan ini diharapkan dapat
membantu penulis dan mahasiswa kedokteran pada umumnya untuk memahami berbagai
aspek yang menjadi tujuan pembelajaran dalam blok geriatri dalam skenario sebagai
trigger.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, didapatkan rumusan masalah :
1. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada usia lanjut?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut?
3. Apa saja komplikasi yang timbul pada pasien imobilisasi?
4. Bagaimana mekanisme timbulnya dekubitus pada usia lanjut?
5. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya dekubitus pada usia lanjut?
6. Bagaimana patofisiologi timbulnya gejala dan tanda yang terjadi pada pasien?
7. Bagaimanan interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium, dan rontgen pasien?
8. Apa indikasi diberikannya terapi oksigenasi, antibiotik dan terapi cairan pada pasien?
9. Bagaimana upaya penatalaksanaan dan pencegahan penyakit pasien?
10. Rehabilitasi medik apa yang diberikan pada pasien?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini antara lain:
1. Memperoleh informasi yang akuran tentang status kesehatan geriatri
2. Melakukan pemeriksaan klinis pada geriatri
3. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik prosedur klinis dan pemeriksaan
laboratorium
4. Melakukan penatalaksanaan kasus penyakit geriatri
5. Merancang manajemen penyakit geriatri
6. Merancang tindakan pencegahan penyakit geriatri dengan mempertimbangkan faktor
pencetusnya

D. Skenario
Seorang wanita geriatri usia 80 tahun dibawa anaknya ke IGD RS Moewardi karena
hanya tidur-tiduran saja selama 2 minggu ini. Sejak 5 hari yang lalu, penderita sulit
buang air besar (BAB) dan makan hanya sedikit. Pasien kemudian dirawat di rumah
anaknya, pasien semakin tampak lemas dan tidak mau makan sama sekali. Pasien batuk 3
minggu yang lalu. Batuk berdahak, tidak berdarah, tidak demam, dan tidak didapatkan
nyeri dada. Kemudian sejak satu hari yang lalu, pasien gelisah dan tampak bingung.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan GCS 7, E3M2V2, tekanan darah 120/70 mmHg, RR
30 x/menit, T 36,5
0
C, HR 108 x/menit. Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan
ronkhi basah kasar, suara dasar bronkial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka
pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9.
Hasil pemeriksaan laboratorium : Leukosit 7.500. Foto thoraks menunjukkan kesuraman
homogen pada paru sebelah kanan.
Di IGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Kemudian dirawat di ruang
perawatan geriatri dengan medikasi dan kasur dekubitus. Direncanakan konsul ke
rehabilitasi medik.

E. Hipotesis
Pasien dalam skenario mengalami imobilisasi dengan komplikasi berupa dekubitus dan
pneumonia.

F. Perubahan-perubahan pada usia lanjut
Dengan makin bertambahnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadi penurunan
anatomik dan fungsional atas organ-organ tubuhnya makin besar. Peneliti Andres dan
Tobin, mengintroduksi hukum 1% yang menyatakan bahwa fungsi organ akan menurun
sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30 tahun. Walaupun penelitian Svanborg et al.
Menyatakan bahwa penurunan fungsional yang nyata setelah usia 70 tahun. penurunan
anatomik dan fungsional dari organ-organ pada lansia akan mempermudah timbulnya
penyakit pada organ tersebut (Martono, 2009).
Berbagai perubahan tersebut antara lain (Martono, 2009) :
1. Sistem Panca Indra
Terdapat perubahan morfologik pada panca indra. Perubahan fungsional yang bersifa
degeneratif ini, memberi manifestasi pada morfologi berbagai organ panca indra
tersebut baik pada fungsi melihat, mendengar, keseimbangan ataupun perasa dan
perabaan. Pada keadaan yang ekstrim dapat bersifat patologik, misalnya terjadi
ekstropion/entropion, ulkus kornea, glaukoma, dan katarak pada mata, sampai
keadaan konfusio akibat penglihatan yang terganggu. Pada telinga, dapat terjadi tuli
konduksi dan sindrom Meniere (keseimbangan).
2. Sistem Gastrointestinal
Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain
perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi lebih mudah tanggal. Perubahan atrofik
juga terjadi pada mukosa, kelenjar, dan otot-otot pencernaan. Berbagai perubahan
morfologik akan menyebabkan perubahan fungsional samapai perubahan patologik
yang melipui gangguan mengunyah dan menelan, penurunan nafsu makan,
konstipasi, serta berbagai penyakit seperti disfagia, hiatus hernia, ulkus peptikum,
divertikulosis, pankreatitis, sindrom malabsorbsi, karsinoma kolon dan rektum,
kolitis iskemik dan kolitis ulserativa.
3. Sistem Kardiovaskular
Meskipun tanpa disertai adanya penyaki, pada usia lanjut jantung sudah
menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi sekuncup.
Terjadi pula penurunan yang signifikandari cadangan jantung dan kemampuan untuk
meningkatkan kekuatan curah jantung, misalnya pada keadaan latihan/exercise.
Golongan lansia sering kali kurang merasakan nyeri dibandingkan usia muda dan
gejala awal infark miokard akut seringkali adalah gagal jantung, embolus, hipotensi
atau konfusio.
Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada pembuluh darah. Terjadi penebalan
inima (akibat proses aterosklerosis) atau tunika media (akibat proses menua) yang
pada akhirnya menyebabkan kelenturan pembuluh darah tepi meningkat. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah terutama tekanan darah sisolik, walaupun
tekanan darah diastolik juga sering meningkat sebagai akibat banyak faktor lain
termasuk genetik.
4. Sistem Respirasi
Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20-25 tahun,
setelah itu mulai menurun fungsinya. Elastisitas paru menurun, kekakuan dinding
dada meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua ini mengakibatkan turunnya
rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak bebas dan pelebaran gradien alveolar
areri untuk oksigen. Disamping itu, pada sistem respirasi juga terjadi penurunan
gerak silia di dinding sistem respirasi, penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik
lain, yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi akut pada
saluran nafas bawah. Berbagai penurunan morfologik dan fungsional tersebut, akan
mempermudah terjadinya berbagai keadaan patologik diantaranya PPOK (penyakit
paru obstruksif kronis), penyakit infeksi paru akut/kronis, dan keganasan pada paru-
bronkus.
5. Sistem endokrinologik
Pada sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar glukosa
puasa normal. Pada lansia juga terjadi penurunan tingkat produksi hormon tiroid dan
tingkat bersihan metabolik tiroid. Pada lansia pria terjadi penurunan respon RSH
terhadap TRH. Pada wanita, terjadi penurunan hormon estrogen pasca menopause
sehingga bisa menimbulkan osteoporosis. Pada usia lebih tua, kejadian osteoporosis
pada pria juga meningkat karena faktor-faktor inakivitas, asupan kalsium kurang,
pembuatan vitamin D melalui kulit menurun, dan juga faktor hormonal.
6. Sistem hematologik
Pola pertumbuhan sel darah merah (SDM) dan sel darah putih (SDP) secara kualitatif
tidak berubah pada penuaan, akan tetapi sumsum tulang secara nyata mengandung
lebih sediki sel hemopoitik dengan respon terdahap stimuli buatan agak menurun.
Respon regeneratif terhadap hilang darah atau terapi anemia pernisiosa agak kurang
dibanding waktu muda. Rentang hidup SDM tidak berubah akibat proses menua, juga
morfologi tidak menunjukkan perubahan penting. Berbagai jenis anemia yang seringi
didapatkan pada usia lanjut antara lain anemia defisiensi besi, anemia megaloblastik,
dan anemia akibat penyakit kronis.
7. Sistem persendian
Pada sinovial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya permukaan sendi, fibrasi,
dan pembentukan celah dan lekukan di permukaan tulang rawan. Erosi tulang rawan
hialin menyebabkan eburnasi tulang dan pembentukan kista di rongga sukondra dan
sumsum tulang. Semua perubahan ini serupa dengan yang terdapat pada
osteoartrosis. Keadaan tersebut baru bisa dikatakan patologik bila terdapat stres
tambahan misalnya bila terjadi trauma atau pada sendi penanggung beban. Diantara
penyakit sendi yang sering terdapat pada usia lanjut adalah osteoartritis, rematoid
artritis, gout, dan pseudogout, arthritis monoartikuler senilis dan rematika
polimialgia.
8. Sistem urogenital
Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan, antara lain penebalan kapsula bowman
dan gangguan permeabilitas terhadap solut yang akan difiltrasi, nefron mengalami
penurunan jumlah dan mulai terlihat atrofi. Akan tetapi, fungsi ginjal secara
keseluruhan dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun. Bila terjadi stres fisik
(latihan berat, infeksi, gagal jantung, dan lain-lain) ginjal tidak dapat mengatasi
peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah terjadi gagal ginjal. Pada usia lanjut,
kreatinin juga tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal karena jumlah protein
tubuh dalam massa otot (yang merupakan kontributor kadar kreatinin darah) sudah
menurun.
9. Infeksi dan imunologi
Pada usia lanjut timus mengalami resorbsi. Jumlah sel T dan sel B tidak berubah,
walaupun secara kuantitatif terjadi perubahan berupa tanggapan terhadap stimuli
artifisial. Pada usia lanjut pembenukan autoantibodi pun meningkat sehingga
insidensi penyakit autoimun meningkat. Pengenalan dan penyerangan terhadap sel-
sel tumor juga menurun, menyebabkan insidensi penyakit neoplasma meningkat.
Tanggapan makrofag dan imunitas bawaan yang lain, misalnya sel mukosa, sel kulit,
silia di sistem respirasi, serta pembentukan protein fase akut menurun sehingga
meningkatkan faktor predisposisi terhadap terjadinya penyakit infeksi.
Peningkatan predisposisi pada infeksi tersebut penting pada lansia, karena pada usia
lanjut infeksi cenderung menjadi berat, bahkan menyebabkan kematian. Infeksi
saluran nafas bawah (pneumonia dan bronkopneumonia) serta infeksi saluran kemih
merupakan infeksi penting pada usia lanjut, yang bisa berlanjut lebih berat. Faktor-
faktor yang memperberat infeksi tersebut diantaranya adalah imobilisasi,
instrumental, serta iatrogenik.
10. Sistem saraf pusat dan otonom
Terjadi penurunan berat otak sekitar 10% pada penuaan antara umur 30-70 tahun.
disamping meningen menebal, giri dan sulci otak berkurang kedalamannya. Akan
tetapi kelainan ini tidak menimbulkan kelainan patologik yang berarti. Pada semua
sitoplasma sel juga terjadi deposit lipofusin yang sering disebut sebagai pigmen wear
and tear. Yang bersifat patologis adalah adanya degenerasi pigmen subsansia nigra,
kekusutan neurofibriler dan pembentukan badan-badan Hirano. Keadaan ini sesuai
dengan proses terjadinya patologi pada sindrom Parkinson dan demensia tipe
Alzheimer. Pada pembuluh darah terjadi penebalan tunika intima dan tunika media
sehingga sering terjadi gangguan vaskularisasi otak yang berakibat terjadinya TIA,
stroke, dan demensia vaskuler. Vaskularisasi yang menurun pada daerah hipotalamus
menyebabkan terjadinya gangguan saraf oonom, disamping mungkin sebagai akibat
pengaruh berkurangnya berbagai neurotransmiter. Penyakit metabolik seperti
diabetes, hipotiroid, dan hipertiroid dapat menyebabkan gangguan pada susunan saraf
tepi, baik yang bersifat otonom atau tidak.
11. Sistem kulit dan integumen
Terjadi atrofi epidermis, kelenjar keringat, folikel rambut, serta berubahnya
pigmentasi dengan akibat penipisan kulit, fragil seperti selaput (seperi kulit ari buah
salak). Warna kulit berubah dan terjadi pigmentasi yang tidak merata. Kuku menipis
dan mudah patah, rambut rontok sampai terjadi kebotakan. Lemak subkutan
berkurang menyebabkan berkurangnya bantalan kulit, sehingga daya tahan terhadap
tekanan dan perubahan suhu menjadi berkurang. Akibatnya pada lansia mudah terjadi
dekubitus, hipotermia, atau hipertermia. Penipisan kulit tersebut menyebabkan kulit
mudah terluka dan terjadi infeksi kulit.
12. Otot dan tulang
Otot-otot mengalami atrofi karena berkurangnya akitivitas, gangguan metabolik, atau
denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, proses berpasangan (coupling)
penulangan, yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat, terutama
pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya aktivitas tubuh, juga akibat
penurunan hormon estrogen (pada wanita), vitamin D (terutama orang yang kurang
terkena sinar matahari) dan beberapa hormon lain seperti kalsitonin dan parathormon.
Tulang-tulang terutama trabekulae menjadi lebih berongga-rongga, mikoarsitektur
berubah dan sering berakibat patah tulang baik akibat benturan ringan maupun
spontan.
13. Badan menyeluruh
Pada lansia terjadi penurunan tinggi badan (postur bungkuk karena kifosis), berat
badan menurun, rasio lemak atau BB bersih meningkat, dan air tubuh total juga
menurun.

G. Imobilisasi
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari
atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik.
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada
usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoarthritis merupakan penyebab utama
kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan
gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan imobilisasi.
Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orang usia lanjut terus
menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit (Setiati dan
Roosheroe, 2007).
Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang
mengalami imobilisasi, meliputi (Liza, 2008) :
Evaluasi Keterangan
Anamnesis Riwayat dan lama disabilias/imobilisasi
Kondisi medis yang merupakan faktor resiko dan penyebab
imobilisasi
Kondisi premorbid
Nyeri
Obat-obatan yang dikonsumsi
Dukungan pramuwedha
Interaksi sosial
Faktor psikologis
Faktor lingkungan
Pemeriksaan fisik Status kardiopulmonal
Kulit
Muskuloskeletal : kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi,
lesi dan deformitas kaki
Neurologis : kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
Gastrointestinal
Genitourinaria
Status fungsional Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari-
hari (AKS) Barthel
Status mental Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatri depression scale
(GDS)
Status kognitif Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state
examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)
Tingkatan
mobilitas
Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi
roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait),
nyeri saat bergerak
Pemeriksaan
penunjang
Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto
lutut, ekokardiografi, dan lain-lain) dan komplikasi akibat
imobilisasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah,
hemostasis, dan lain-lain)
Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim medis
interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha. Edukasi kepada
pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan
ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna,
perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup perkiraan
waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi. Temukenali dan berikan terapi bila
terjadi infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi
pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyetara lainnya. Evaluasi seluruh obat-
obatan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau
kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi
yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi
vitamin dan mineral. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi
medis terjadi meliputi latihan mobilitas ditempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif,
dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik)
latihan koordinasi/keseimbangan, dan ambulasi terbatas. Bila diperlukan sediakan dan
ajarkan cara penggunaan alat-alat banu berdiri dan ambulasi. Manajemen miksi dan
defekasi. Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten. Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien
yang mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mobilitas yang
adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen (Liza, 2008).
Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain (Setiati an Roosheroe, 2007) :
1. Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang
penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga
faktor yang meningkatkan risiko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di
vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada
vena dalam , dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam
meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah yang
telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas,
bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai.
2. Emboli paru
Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu
yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba.
Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena dalam.
Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh lepasnya
trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan
mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat
fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebab kesakitan dan
kematian pada pasien lanjut usia.
3. Kelemahan otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan
otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien
dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional,
kelemahan, dan jatuh.
4. Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena
sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan seseorang
semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
5. Osteoporosis
Osteoporosis timbul akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan
pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan
kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor
utama yang menyebabkan kehilangan masa tulang pada imobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang.
6. Ulkus dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien
usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi
mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25
mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan
menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama
akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara
permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan
pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan.
7. Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering imbul adalah iskemia
serebral, khususnya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah
dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat,
mekanisme kompensasi menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia,
umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3
minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri
dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia
8. Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)
Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien
geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan
baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan
sputum sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran urin juga terganggu
akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Inkontinensia
urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang disebabkan
ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental,
dan gangguan sensasi kandung kemih.
9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang akibatnya akan
terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah
perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut
yang imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan
tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen
urin sehingga terjadi hipoproteinemia.
10. Konstipasi dan skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses
tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi
lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-obatan juga
dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi.
Prognosis pada pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang mendasari
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat
memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat
sampai menimbulkan kematian (Liza, 2008).

H. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area yang
secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Area
yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi
cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sakrum, trokanter mayor, dan spina
ischiadica superior anterior, tumit, dan siku (Pranarka, 2009).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus meliputi faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut yaitu penipisan sel kulit, elastisitas kulit yang
berkurang, penurunan perfusi kulit secara progresif, sejumlah penyakit yang seperti DM
yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskular perifer dan penurunan fungsi
kardiovaskular seperti pada sistem pernapasan sehingga tingkat oksigenasi darah pada
kulit menurun, status gizi underweight atau kebalikannya overweight, anemia,
hipoalbuminemia, penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak
pembuluh darah, keadaan dehidrasi. Sedangkan faktor ekstrinsik yang menyebabkan
dekubitus antara lain kebersihan tempat tidur yang kurang, posisi yang tidak tepat,
perubahan posisi yang kurang, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan
medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga
memudahkan terjadinya dekubitus (Kadir, 2007).
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan
perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi
tiga (Kadir, 2007; Pranarka, 2009) :
1. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur 2,5
0
C dibandingkan kulit sekitarnya dan akan
sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Tejadi karena iskemia jaringan setempat
akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.
2. Tipe arteriosklerosis
Mempunyai beda temperatur kruang dari 1
0
C antara daerah ulkus dengan kulit
sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada
pembuluh darah (arterosklerotik) ikut berperan untuk terjadinya dekubitus disamping
faktor tekanan. Dengan perawatan, ulukus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe terminal
Terjadi pada pasien dengan tingkat keparahan tinggi, sulit untuk sembuh.

Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya
dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya
pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk meramalkan terjadinya
dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton (Kadir, 2007). Skor
dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor 12-13
memiliki risiko sedang, skor <12 berkaitan dengan peningkatan risiko 50 kali lebih
besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus, sedangkan skor >14 memiliki risiko yang
sangat kecil. Skor tersebut meliputi (Pranarka, 2009) :
Item Skor
Kondisi fisik
- Baik
- Sedang
- Buruk
- Sangat buruk
4
3
2
1
Kesadaran
- Kompos mentis
- Apatis
- Konfusi/soporus
- Stupor/koma

4
3
2
1
Aktivitas
- Ambulan
- Ambulan dengan bantuan
- Hanya bisa duduk
- Tiduran

4
3
2
1
Mobilitas
- Bergerak bebas
- Sedikit terbatas
- Sangat terbatas
- Tak bisa bergerak

4
3
2
1
Inkontinensia
- Tidak
- Kadang-kadang
- Sering inkontinensia urin
- Inkontinensia alvi dan urin

4
3
2
1
Tindakan berikutnya adalah menjaga kebersihan penderia khususnya kulit, dengan
memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion,
terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan
massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskret/sekret harus dibersihkan
dengan hati-hati agar tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita (Kadir, 2007).
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah
terjadinya dekubitus meliputi (Kadir, 2007) :
1. Meningkatkan status kesehatan penderita, misalnya mengatasi anemia,
mengoreksi hipoalbuminemia, nutrisi dan hidrasi yang cukup, pemberian vitamin
(vitamin C) dan mineral (Zn), serta mencoba mengatasi/mengobati penyakit-
penyakit yang ada pada penderia, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah melalui:
a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap 2 jam
b. Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh
penderita, misalnya kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun,
kasur air yang temperatur airnya dapat diatur (kasur dekubitus)
c. Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi
darah setempat terganggu.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan berikan tindakan medik sesuai
dengan apa yang dihadapi. Berikut adalah stadium pada dekubitus beserta
penatalaksanaannya (Kadir, 2007; Pranarka, 2009) :
1. Dekubitus derajat I
Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis.
Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi
lotio, kemudian di massase 2-3 x/hari
2. Dekubitus derajat II
Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang dangkal. Perawatan luka harus
memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek
dengan es dan dihembuskan dengan udara hangat bergantian untuk merangsang
sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk merangsang
tumbuhnya jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan salep ini jangan
terlalu sering karena malahan dapat merusak pertumbuhan jaringan yang
diharapkan.
3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan
sering sudah ada infeksi. Usahakan luka selalu bersih dan eksudat diusahakan
dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan
sehingga permeabel untuk masuknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban
luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Jika
luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik
mungkin diperlukan.
4. Dekubitus derajat IV
Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai jaringan
nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik
yang ada harus dibersihkan, sebab akan menghalangi pertumbuhan
jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini,
dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibandingkan tindakan bedah yang juga
merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih,
penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Usaha untuk mempercepat
penyembuhan luka antara lain dengan memberikan oksigenasi pada daerah luka,
tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah
dan sampai pada transplasntasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat
IV ini dapat mencapai 40%.

I. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri
(gram positif maupun gram negatif, tipikal maupun atipikal), virus, jamur, dan parasit.
Tiga jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi antara lain pneumonia
komunitas (community-aquired pneumonia, CAP), pneumonia yang di dapat di rumah
sakit (hospital-acquired pneumonia, HAP), dan pneumonia yang didapat di ICU
(ventilator-associated pneumonia, VAP) (Liza, 2008b).
Diagnosis pada pneumonia ditegakkan berdasarkan adanya gambaran infilrat baru atau
perubahan infiltrat progresif pada foto thoraks, dengan disertai sekurang-kurangnya 1
gejala mayor atau 2 gejala minor. Gejala mayor pada pneumonia meliputi batuk, sputum
produktif, demam (suhu > 37,8
0
C), sedangkan gejala minornya meliputi sesak napas,
nyeri dada, konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik, dan jumlah leukosit >12.000/L.
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk
dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium),
tidak mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut (Liza, 2008b).
Terapi yang diberikan pada pasien pneumonia terdiri dari terapi suportif, terapi
farmakologis, dan rehabilitasi medik. Terapi suportif meliputi oksigenasi, terapi cairan,
nutrisi, mukolitik-ekspektoran, dan bronkodilator. Sedangkan terapi farmakologisnya
meliputi pemberian antibiotika empiris dan antibiotik spesifik. Antibiotik empiris segera
diberikan sejak awal sesuai jenis pneumonia yang terjadi (CAP, HAP atau VAP). Pada
CAP diberikan antibiotika golongan b-laktam/ anti b-laktamase dan sefalosporin generasi
III atau IV yang dikombinasikan dengan makrolid atau doksisiklin, atau fluorokuinolon
saluran napas (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada
HAP atau VAP dipilih antibiotika yang bekerja terhadap kuman pseudomonas dan
kuman nosokomial lain, seperti sefalosporin generasi III anti-pseudomonas, sefalosporin
generasi IV, piperacilin-tazobaktam, kuinolon anti-pseudomonas (ciprofloksasin), atau
aminoglikosida. Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan
biakan kuman dan uji resistensi. Pemilihan antibiotik harus memperhatikan penurunan
fungsi organ yang mungkin sudah terjadi pada usia lanjut. Rehabilitasi medik yang
diberikan berupa fisioterapi dada dan program lain yang terkait (Liza, 2008b).
Komplikasi yang timbul pada pasien pneumonia berupa empiema, efusi pleura, gagal
napas, sepsis sampai syok sepsis (Liza, 2008b).
J. Pasien dalam skenario hanya tidur-tiduran saja selama 2 minggu. Berbagai faktor fisik,
psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Rasa nyeri,
lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis yang terjadi akibat
proses menua dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien tersebut. Sejak 5 hari yang
lalu, psien mengalami kesulitan BAB dan makan hanya sedikit. Kesulitan BAB pada usia
lanjut dapat disebabkan oleh lamanya transi feses di kolon. Hal ini dipengaruhi oleh
adanya disfungsi pleksus mienterikus yang menginervasi kolon dalam gerak peristalik.
Selain itu, pada beberapa lansia yang mengalami konstipasi juga ditemukan adanya
peningkatan kadar endorphin yang dapat berikatan dengan reseptor opioid di mukosa
kolon dan menghambat gerak peristaltik. Pada pasien dalam skenario ini, kesulitan BAB
dipengaruhi juga oleh imobilisasi yang akan semakin meningkatkan lama transit feses di
kolon. Akibatnya, penyerapan air akan meningkat dan feses menjadi keras sehingga
semakin sulit dikeluarkan. Sementara itu, kesulitan makan pada pasien lansia
dipengaruhi beberapa faktor seperti:
1. Kondisi traktus digestifus yang mulai menurun baik secara anatomis maupun
fisiologis, misalnya : berkurangnya jumlah gigi sehingga kemampuan mengunyah
makanan berkurang, menurunnya peristaltik usus sehingga lama transit makanan
meningkat dan mengurangi rasa lapar.
2. Depresi yang mengurangi motivasi untuk makan
Penurunan nafsu makan pada pasien juga dapat disebabkan oleh imobilisasi. Hal tersebu
disebabkan oleh adanya penurunan kecepatan metabolik sehingga terjadi penurunan
rangasang lapar. Rangsang lapar yang menurun menyebabkan pasien makan hanya
sedikit. Saat dirawa dirumah anaknya keadaan pasien yang tampak semakin lemas dan
tidak mau makan sama sekali. Keadaan tidak mau makan ini kemungkinan besar
dipengaruhi oleh faktor psikis pasien terhadap perubahan lingkungan tempat tinggalnya.
Kurangnya perhatian dan kasih sayang juga dapat mengakibatkan keadaan tersebut.
Selain itu, keadaan penyakit yang dideritanya juga berperan terhadap kondisi pasien.
Dengan penyakit yang diderita pasien ditambah dengan keadaan tidak mau makan,
asupan gizi pasien menjadi tidak adekuat, menyebabkan pasien tampak semakin lemas.
Sejak 3 minggu yang lalu, pasien juga mengalami batuk berdahak, tidak berdarah, tidak
demam, dan tidak didapatkan nyeri dada. Dan sejak satu hari yang lalu, pasien gelisah
dan sangat bingung. Batuk adalah keluhan paling sering didapatkan pada hampir semua
penyakit yang mengenai saluran napas dari bahan yang tidak diinginkan yang terdapat di
saluran napas. Etiologi batuk dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu infeksi akut maupun
kronik, inflamasi parenkim ataupun saluran napas, tumor, benda asing, dan gangguan
kardiovaskular. Sementara itu, dahak adalah materi yang dikeluarkan dari saluran napas
bawah oleh batuk. Batuk dengan dahak menunjukkan adanya eksudat bebas dari saluran
pernapasan, seperti pada bronkitis kronik, bronkiektasis, dan kavitas. Gelisah dan
bingung yang terjadi pada pasien dapat merupakan tanda depresi. Pada usia lanjut gejala
depresi seringkali tidak khas. Beberapa karakteristik depresi pada usia lanjut antara lain
sedih/murung biasanya kurang tampak, keluhan hipokondriasis yang dominan, gangguan
memori, apatis dan kehilangan motivasi, ansietas dan agitasi.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan GCS 7, E3M2V2, tekanan darah 120/70
mmHg (normal), RR 30 x/menit (meningkat), suhu 36
0
C (normal bawah), dan HR 108
x/menit (meningkat). E3 (eye opening 3) berarti bahwa pasien membuka mata dengan
rangsang nyeri, M2 (motoric respons 2) berarti bahwa pasien mengalami ekstensi
abnormal (tangan satu atau keduanya ekstensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal dan
kaki ekstensi) saat diberi rangsang nyeri, sedangkan V2 (verbal respons 2) berarti bahwa
pasien mengeluarkan suara tanpa arti (mengerang). Skor GCS 7 menunjukkan terjadinya
penurunan kesadaran pada pasien . Hal ini mungkin disebabkan karena adanya riwaya
penyakit batuk pada pasien yang mengakibatkan terjadinya penurunan saturasi O
2
yang
menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran pada pasien. Penurunan O
2
akan
dikompensasi tubuh dengan cara meningkatkan RR dan HR untuk mencukupi kebutuhan
O
2
tubuh yang semakin menurun (Parhusip, 2004).
Pada pemeriksaan paru sebelah kanan pasien didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar
bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran
4x5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9, leukosit 7.500 dan dari
pemeriksaan foto thoraks menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.
Ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan peningkatan fretmitus raba yang disertai
dengan gejala batuk berdahak tidak berdarah tanpa demam, nyeri dada, mialgia, dan
leukositosis yang tidak terlalu tinggi menunjukkan gejala atypical pneumonia. Pada
pneumonia terjadi infeksi pada parenkim paru, asinus terisi cairan eksudat, dan infiltrasi
sel radang ke dinding alveoli. Adanya infiltrat sel radang menyebabkan konsolidasi pada
paru sehingga fremitus raba meningkat karena penghantaran getaran oleh infiltrat.
Ronkhi basah adalah suara nafas tambahan berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran
yang terjadi karena adanya cairan dalam jalan nafas. Ronkhi basah kasar menunjukkan
adanya sekret yang berlebihan pada saluran nafas. Suara dasar bronkhial adalah ekspirasi
lebih panjang dan jelas, seperti suara dekat trakea. Suara bronkhial terjadi karana adanya
konsolidasi dalam jalan nafas. Kesuraman homogen paru pada pasien pneumonia
disebabkan karena timbunan sekret yang menggantikan udara yang mengisi sebagian
besar jaringan paru (Faridawai, 1995; Irawaty, 2009). Tidak adanya nyeri dada pada
pasien terjadi karena sedikitnya jumlah reseptor nyeri yang terdapa di paru-paru dan
pleura.
Luka pada punggung bawah pasien menunjukkan bahwa pasien telah mengalami
dekubitus. Dekubitus pada usia lanjut sering terjadi karena terjadi perubahan kulit yang
berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain berkurangnya jaringan lemak subkutan,
berkurangnya jaringan kolagen dan elastik, serta menurunnya efisiensi kolateral kapiler
pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh (Pranarka, 2009). Dekubitus yang
terjadi pada pasien kemungkinan merupakan komplikasi imobilisasi. Tekanan lebih dari
25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan
menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Bila kompresi berlangsung lama akan
mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen
mempertahankan iskemia kulit. Relief bebas tekanan mengakibatkan pembuluh darah
tidak dapat terbuka sehingga terbentuk luka akibat tekanan (Setiati dan Roosheroe,
2007). Skor Norton 9 pada pasien menunjukkan bahwa pasien memiliki resiko tinggi
terkena dekubitus.
Pada pasien tersebut tidak didapatkan deman dan leukosit. Hal ini terjadi karena
penurunan respon inflamasi (penurunan respon interleukin-1, faktor nekrosis tumor dan
IL-6 terhadap adanya pirogen) pada lansia yang menyebabkan tidak terjadinya reaksi
inflamasi misalnya peningkatan suhu tubuh (demam). Pada lansia juga terjadi penurunan
sistem imunitas tubuh yang disebabkan penurunan produksi imunoglobulin, terjadinya
atrofi thymus sehingga sel T dan limfosit T kehilangan fungsi, antibodi yang dihasilkan
dalam jumlah sedikit dan durasi antibodi dalam darah lebih singkat, terjadi perubahan
sistem proliferasi limfosit karena penurunan interleukin 2. Salah satu penyebab
menurunnya produksi/proliferasi sel yang berakibat supresi imunitas yaitu peningkatan
antagonis sitokin pada usia lanjut. Tidak adanya panas pada setiap injeksi pada usia
lanjut selain menyulitkan diagnosis, juga menunjukan prognosis yang jelek, karena panas
itu sendiri menunjukkan adanya kemampuan badan dalam melawan infeksi (Rahayu dan
Bahar, 2007).
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien meliputi terapi preventif, promotif, kuratif,
dan rehabilitatif. Terapi preventif dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi yang
lebih lanjut pada pasien. Untuk mencegah timbulnya dekubitus pada pasien imobilisasi
bisa dilakukan beberapa tindakan antara lain merubah posisi pasien yang tidak dapat
bergerak sendiri (minimal setian 2 jam sekali) untuk mengurangi tekanan, melindungi
bagian tubuh yang tulangnya menonjol dengan bahan-bahan yang lembut (misalnya
bantal, bantalan busa), mengkonsumsi makanan sehat dengan zat gizi yang seimbang,
menjaga kebersihan kulit dan mengusahakan agar kulit tetap kering, jika pasien harus
menjalani tirah baring dalam waktu yang lama, bisa digunakan kasur khusus (kasur
dekubitus), yaitu kasur yang diisi dengan air atau udara (Nurcahyo, 2010). Selain itu,
pencegahan dekubitus juga dapat dilakukan dengan melatih pergerakan dengan
memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan. Pemberian
minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan unuk mencegah maserasi (Setiati
dan Laksmi, 2007). Pengontrolan tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat-
obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan
yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi.
Terapi promotif yang dapat diberikan pada pasien berupa edukasi kepada pasien dan
keluarganya mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan
ambulasi dini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Sementara itu, untuk mencegah
infeksi pada luka perlu dilakukan edukasi mengenai cara merawat luka yang baik dan
benar serta pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul. Pada pasien
telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi cairan. Terapi
oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada pasien sehingga tidak timbul
hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemia, sedangkan
pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang terjadi pada
pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan antibiotik empirik yang sesuai dengan
lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi ( di masyarakat atau di
rumah sakit) sambil menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan
pemilihan jenis antibiotika perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai
akibat proses menua serta komorbid yang ada pada lansia yang kesemuanya akan
berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabolisme obat, ekskresi dan
interaksi obat (Rahayu dan Bahar, 2007). Untuk pasien pneumonia yang dirawat di
rumah sakit dapat diberikan klindamisin dan seftazidim. Sementara itu, untuk mengatasi
dekubitus yang terjadi pada pasien disesuaikan derajatnya. Berdasarkan diskusi
kelompok kami dengan melihat gambaran dekubitus derajat II. Oleh karena itu,
penatalaksanaannya pun disesuaikan dengan tatalaksana dekubitus derajat II seperti
yang tercantum pada tinjauan pustaka.
Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi. Tujuan
rehabilitasi adalah untuk mempertahankan mobilitas dan kekuatan otot serta menurunkan
ketergantungan pasien terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan
bertahap dan aman bagi pasien. Indikasi diberikan terapi rehabilitasi medik berupa
kemunduran muskuloskeletal (penurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot,
keterbatasan rentang gerak sendi serta penurunan kekuatan skeletal), kemunduran
kardiovaskuler, kemunduran respirasi (tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia),
perubahan-perubahan fungsi urinaria (berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen
bagian bawah, dan batas kandung kemih yang dapat diraba, tekanan atau nyeri pada
abdomen bagian bawah), perubahan-perubahan gastrointestinal (pengosongan rektum
yang tidak sempurna, anoreksia, mual, gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan,
dan sakit kepala serta sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada
abdomen bagian bawah, rasa penuh, tekanan), faktor-faktor lingkungan (kamar mandi
tanpa pegangan, karpet yang lepas, penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi,
lantai licin, dan tempat duduk toilet yang rendah dapat menurunkan mobilitas pasien)
(Juwita, 2009).
Lima tujuan mengarahkan intervensi keperawatan untuk mencegah atau meniadakan
sekuel fisiologis dari imobilisasi meliputi (Juwita, 2009) :
1. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang termasuk
pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik dan isotonik,
aktivitas penggunaan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme protein dan
pembentukan tulang, dan sikap komitmen terhadap latihan.
a. Kontraksi otot isometrik
Kontraksi otot isometrik meningkatkan tegangan otot tanpa mengubah panjang
otot yang menggerakkan sendi. Kontraksi digunakan untuk mempertahankan
kekuatan otot dan mobilitas dalam keadaan berdiri (misalnya otot-otot kuadrisep,
abdominal dan gluteal) dan untuk memberikan tekanan pada tulang bagi orang-
orang dengan dan tanpa penyakit kardiovaskuler. Kontraksi isometrik dilakukan
dengan cara bergantian mengencangkan dan merelaksasikan kelompok otot.
b. Kontraksi otot isotonik
Kontraksi otot yang berlawanan atau isotonik berguna untuk mempertahankan
kekuatan otot-otot dan tulang. Kontraksi ini mengubah panjang otot tanpa
mengubah tegangan. Karena otot-otot memendek dan memanjang, kerja dapat
dicapai. Kontraksi isotonik dapat dicapai pada saat berada di tempat tidur, dengan
tungkai menggantung di sisi tempat tidur, atau pada saat duduk di kursi dengan
cara mendorong atau menarik suatu objek yang tidak dapat bergerak. Ketika
tangan atau kaki dilatih baik otot-otot fleksor dan ekstensor harus dilibatkan.
c. Latihan kekuatan
Aktivitas penguatan adalah latihan pertahanan yang progresif. Kekuatan otot
harus menghasilkan peningkatan setelah beberapa waktu. Latihan angkat berat
dengan meningkatkan pengulangan dan berat adalah aktivitas pengondisian
kekuatan. Latihan ini meningkatkan kekuatan dan massa otot serta mencegah
kehilangan densitas tulang dan kandungan mineral total dalam tubuh.
d. Latihan aerobik
Latihan aerobik adalah aktivitas yang menghasilkan peningkatan denyut jantung
60-90% dari denyut jantung maksimal dihitung dengan (220- usia seseorang) x
0,7. Aktivitas aerobik yang dipilih harus menggunakan kelompok otot besar dan
harus kontinu, berirama, dan dapat dinikmati. Contohnya termasuk berjalan,
berenang, bersepeda, dan berdansa.
2. Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang gerak,
posisi yang tepat, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
a. Latihan rentang gerak baik aktif maupun pasif
Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot
serta meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu
menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya
membantu mempertahankan fleksibilitas.
b. Mengatur posisi
Mengatur posisi digunakan untuk meningkatkan tekanan darah balik vena. Jika
seseorang diposisikan dengan tungkai tergantung, pengumpulan dan penurunan
tekanan darah balik vena akan terjadi. Posisi duduk di kursi secara normal dengan
tungkai tergantung secara potensial berbahaya untuk seseorang yang beresiko
mengalami pengembangan trombosis vena. Mengatur posisi tungkai dengan
ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki)
mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.
3. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta
menghilangkan sekresi.
4. Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat meliputi tindakan-tindakan
pendukung untuk mempertahankan tonus vaskuler (termasuk mengubah posisi dalam
hubungannya dengan gravitasi), stoking kompresi untuk memberikan tekanan
eksternal pada tungkai, dan asupan cairan yang adekuat untuk mencegah efek
dehidrasi pada volume darah. Pergerakan aktif mempengaruhi toleransi ortostatik.
5. Terakhir, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada
dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi
eliminasi. Pembahasan tentang intervensi disajikan di sini.

DAFTAR PUSTAKA
Faridawati, R. 1995. Penatalaksanaan Pneumonia Bakteri pada Usia Lanjut.
http://www.kalbe.co.id./files/cdk/files/06penatalaksanaanpneumonia101.pdf/06penatalaksana
anpneumonia101.html
Irawaty. 2009. Pulmonary Infection.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/copy%20kuliah%20.pdf
Juwita, P. 2009. Imobilitas dan Toleransi Aktivitas pada Lansia.
http://pusva.wordpress.com/category/health
Kadir, S. 2007. Dekubitus. http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/decubitus/
Liza. 2008a. Pneumonia pada Geriatri. http://www.scribd.com/doc/6240476/Pneumonia-
Pada-Geriatri-Infeksi-Saluran-Kemih
Martono, H.H. 2009. Aspek Fisiologik dan Patologik Akibat Proses Menua. Dalam :
Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal : 56-74.
Nurcahyo. 2010. Ulkus Dekubitus. http://www.indoneisaindonesia.com/f/13444-ulkus-
dekubitus/
Parhusip. 2004. Pola Bakteriologi Infeksi Saluran Nafas Bawah.
http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-parhusip3.pdf
Pranarka, K. Dekubitus. 2009. Dalam : Martono, H.H. dan Pranarka,K. (eds). Buku Ajar
Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 272-83.

You might also like