You are on page 1of 15

TUGAS MAKALAH

FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI I
OBAT SALURAN CERNA
(ANTAGONIS RESEPTOR H-2)












OLEH:
RISMAYA AMINI
J1E111215










PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dewasa ini, persentasi kasus-kasus penyakit yang berdampak pada
gangguan saluran pencernaan mulai mengalami peningkatan. Kecukupan
nutrisi tubuh berpengaruh besar terhadap produktivitas dan hal itu sangat
berkaitan erat dengan fungsi kerja saluran pencernaan. Saluran pencernaan
yang berfungsi secara optimal akan mampu memaksimalkan nilai
pemanfaatan ransum melalui proses pencernaan dan penyerapan nutrisi.
Kerugian utama adanya gangguan pada organ dan saluran pencernaan
tentunya berupa terganggunya penyerapan nutrisi. Gangguan pencernaan
akibat kesalahan makanan misalnya akan menyebabkan saluran pencernaan
tidak dapat bekerja dengan baik.
Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara metabolis
karena selalu terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna
makanan. Makanan kemungkinan mengandung kontaminan yang merugikan
saluran pencernaan. Dengan demikian saluran pencernaan merupakan organ
yang rentan terhadap gangguan. Gangguan saluran pencernaan bervariasi
dari yang ringan hingga yang berat dan dapat menimbulkan kematian bila
tidak ditangani dengan baik. Gangguan saluran pencernaan dapat dicegah
dengan menjaga keseimbangan mikroflora alami yang terdapat pada saluran
pencernaan. Saluran pencernaan orang dewasa mempunyai luas permukaan
sekitar 200 m
2
.
Saluran pencernaan juga berhubungan langsung dengan lingkungan
luar, sehingga dapat menjadi tempat keluar masuknya mikroorganisme
pathogen. Mikroorganisme patogen yang terdapat dalam saluran pencernaan
secara potensial dapat merusak mukosa saluran pencernaan.
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan mikroorganisme
pathogen yang melekat pada permukaan sel epitel usus dan dapat
menyebabkan diare. Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan
kondisi feses yang tidak berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3
kali selama 24 jam. WHO menyatakan ada sekitar 4 milyar kasus diare
setiap tahun dengan tingkat mortalitas 3-4 juta per tahun.
Saluran pencernaan berfungsi penting dalam memberi tubuh
persediaan akan air, elektrolit dan makanan yang terus-menerus. Karena itu
gangguan pada sistem pencernaan akan mengganggu penyediaan air,
elektrolit dan makanan yang akan berdampak buruk bagi tubuh. Salah satu
gangguan dari saluran pencernaan yang dapat berakibat fatal adalah ulkus
peptikum.
Ulkus peptikum adalah lesi yang dapat terjadi pada saluran
pencernaan dan biasanya bersifat menahun. Ulkus peptikum merupakan
gangguan saluran pencernaan yang sering terjadi. Di USA kira-kira 4 juta
orang menderita ulkus peptikum (duodenum dan gaster), dan 150.000 kasus
baru didiagnosis tiap tahunnya. Sekitar 180.000 pasien harus di rawat di
rumah sakit, dan kira-kira 5000 orang meninggal tiap tahunnya. Insiden
tertinggi ulkus peptikum biasa terjadi akibat infeksi oleh Helicobacter
pylori, dan biasanya yang sering terkena infeksi adalah golongan sosial
ekonomi rendah. Angka mortalitas meningkat pada orang tua, berhubungan
dengan penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Pada negara
berkembang angka morbiditas ulkus peptikum tidak terlalu tinggi tetapi
angka mortalitasnya tinggi, berhubungan dengan adanya komplikasi-
komplikasi ulkus peptikum. Di Indonesia sekitar 4 juta orang menderita
ulkus peptikum dengan prevalensi 1,84%.
Terjadinya ulkus peptikum dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab
dan faktor risiko. Ulkus peptikum secara umum terjadi akibat adanya
gangguan mekanisme pertahanan mukosa gaster atau adanya produksi asam
yang berlebihan. Ulkus dapat menyebabkan komplikasi yang fatal seperti
perdarahan, perforasi, penetrasi ke organ lain, obstruksi dan keganasan.
Komplikasi-komplikasi tersebut sering terjadi akibat diagnosis yang
terlambat karena gejala klinis pada ulkus sering menyerupai gejala
gangguan saluran pencernaan yang lain. Karena itu penting untuk
mendiagnosis ulkus secara dini dan menerapkan terapi yang adekuat.

BAB II
ISI
Penyakit saluran cerna yang paling sering terjadi adalah radang
kerongkongan (reflux esofagus), radang mukosa lambung (gastritis), tukak
lambung usus (ulcus pepticum), dan kanker lambung usus.
1. Radang kerongkongan (reflux esofagus)
Adalah terjadinya aliran balik isi lambung ke kerongkongan, termasuk
reflux asam lambung yang akan merusak lapisan mukosa dan terjadi
peradangan. Gejala dari radang kerongkongan berupa perasaan terbakar dan
perih di belakang tulang dada karena luka mukosa bersentuhan dengan
makanan atau minuman yang merangsang (alkohol, minuman bersoda).
Perasaan asam atau pahit di mulut akibat mengalirnya kembali isi lambung.
Tindakan pertama untuk mengatasinya adalah dengan meninggikan kepala
10-15cm sewaktu tidur.
2. Radang lambung (gastritis)
Selain karena reflux getah duodenum, radang lambung bisa disebabkan
oleh beberapa obat seperti asetosal, indometasin, kortekosteroid dan alkohol
dengan jalan menghambat produksi prostaglandin tertentu yang melindungi
mukosa.
3. Tukak lambung-usus (ulcus pepticum)
a. Tukak lambung
Berdasarkan urutan kepentingannya, yang menstimulasi terjadinya tukak
lambung adalah :
Produksi asam lambung yang berlebihan akibat jadwal makan yang
tidak teratur
Makanan yang kurang lembut, atau susah dicerna
Mengkonsumsi minuman yang mengandung kafein seperti kopi dan
teh, makanan yang mengandung gas, asam dan pedas
Stress yang dapat meningkatkan sekresi asam lambung
Penyebab tukak lambung hampir sama dengan radang lambung, terutama
disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter pylori. Helicobacter pylori
adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan lambung
yang kronis pada manusia. Kuman berbentuk spiral yang akan
membentuk enzim dan protein toksis yang merusak mukosa. Infeksi
bakteri helicobacter kemungkinan besar didapat dengan memakan
makanan dan air yang tercemar serta melalui kontak orang ke orang,
bakteri ini terdapat pada hampir separo orang sehat, terutama lansia dan
anak-anak.
b. Tukak Usus
Usus merupakan organ yang sangat peka terhadap asam. Tukak
Usus terjadi karena hipersekresi lambung, gangguan dalam mobilitas
lambung maka isi lambung yang asam akan diteruskan ke usus dan dalam
jumlah yang berlebih maka terjadilah tukak duodenum/usus.
4. Kanker Lambung
Kanker lambung adalah jenis kanker saluran cerna dimana Helicobacter
pylori memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit ini. Pada
awalnya penderita tidak menyadari gejala, bila gejala itu semakin meningkat
baru bisa ditentukan lokasi tumbuhnya kanker itu. Penderita mengalami
penurunan berat badan, kelelahan, kesulitan menyerap nutrisi dan mineral.
Faktor yang diduga meningkatnya resiko kanker lambung antara lain
merokok, alkohol atau makanan yang mengandung banyak garam dan nitrat.
(Tjay & Rahardja, 2002).
II.1 Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum (UP) adalah kerusakan pada lapisan mukosa, sub
mukosa sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktifitas
pepsin dan asam lambung. Ulkus peptikum dapat mengenai esofagus sampai
usus halus, tetapi kebanyakan terjadi pada bulbus duodenum (90%) dan
kurvatura minor. Patogenesis UP beragam dan belum diketahui seluruhnya.
Umumnya terjadi akibat sekresi asam yang berlebihan dan gangguan
ketahanan / integritas mukosa, sehingga terjadi difusi balik ion H+ dari
lumen usus masuk ke dalam mukosa. Mekanisme keseimbangan antara
faktor agresif (perusak) dan faktor defensif (ketahanan mukosa) sangat
penting untuk mempertahankan fungsi dan integritas saluran cerna. Faktor
agresif yang utama adalah asam lambung dan pepsin. Faktor defensif yang
berperan adalah mucous barrier (mukus dan bikarbonat), mucosal
resistance barrier (resistensi mukosa), microcirculation (aliran darah
mukosa) dan prostaglandin (Djuwantoro, 1992).
Klasifikasi UP yang sering digunakan dibuat oleh Schuster dan Gross
(1963) yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder. Ulkus peptikum primer
adalah ulkus yang terjadinya terutama dipengaruhi langsung oleh sekresi
asam lambung dan pepsin yang berlebihan. Pada ulkus peptikum primer
kronis ditemukan jaringan nekrotik dengan dasar eksudat fibropurulen dan
jaringan granulasi vaskular dengan pembentukan fibrosis. Pada permukaan
jaringan nekrotik tersebut sering ditemukan Helicobacter pylori. Ulkus
peptikum sekunder didasarkan adanya gangguan ketahanan mukosa saluran
cerna, yang dapat terjadi setelah mengalami penyakit/trauma berat (stress
ulcer), luka bakar (Curlings ulcer), penyakit intrakranial (Rokitansky-
Cushings ulcer), minum aspirin atau kortikosteroid, dan penyakit hati
kronis (Djuwantoro, 1992).

Dasar pengobatan UP berkembang dengan ditemukannya penghambat
sekresi asam lambung, seperti antagonis muskarinik (antikolinergik), ARH-
2, dan penghambat pompa proton. Reseptor H-2, sebuah subtipe reseptor
histamin, ditemukan oleh Sir James Black pada tahun 1971, sebagai
mediator penting dalam asam lambung. Reseptor histamin berada pada
lapisan basolateral dan sel parietal. Adanya histamin pada reseptor H-2 akan
mengaktifasi adenilsiklase dan terjadi peningkatan konsentrasi
cyclicadenosin monophosphate (c-AMP) intraselular. Peningkatan
konsentrasi c-AMP mengaktifasi pompa proton (hidroksida kalium ATP-
ase) pada sel parietal untuk mensekresi ion hidrogen (H+) menggantikan
posisi ion kalium (K+). ARH-2 secara selektif dan kompetitif menghambat
pengikatan histamin pada reseptor H-2, selanjutnya menurunkan konsentrasi
cAMP dan menurunkan sekresi ion hidrogen pada sel parietal (Aziz, 2002).
II.2 Penggolongan
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat tukak lambung-usus
dapat digolongkan dalam 7 kelompok, yakni :
1. Antasida
2. Penghambat asam
3. Zat pelindung mukosa
4. Antibiotik
5. Obat penguat motilitas
6. Obat penenang, dan
7. Zat-zat pembantu
(Tjay & Rahardja, 2002).
Zat penghambat sekresi asam dapat dibagi dalam beberapa kelompok
menurut mekanisme kerjanya, yaitu :
1. H-2 bloker
2. Penghambat pompa proton
3. Antikolinergik
4. Analogon prostaglandin-E1
(Tjay & Rahardja, 2002).

II.3 Antagonis reseptor H-2
II.3.1 Pengertian
Obat yang termasuk H-2 bloker ialah simetidin, ranitidin, dan
famotidin. Obat tersebut merupakan penghambat sekresi asam lambung
yang kuat, baik oleh histamin, gastrin, maupun oleh zat-zat lain. Obat ini
terbukti dapat mengurangi lebih dari 90% sekresi asam lambung akibat
rangsangan makanan atau rangsangan histamin pada malam hari. Obat-obat
ini mempermudah proses pennyembuhan dan mencegah kekambuhan ulkus
peptikum (Staf pengajar departemen farmakologi fakultas kedokteran
universitas sriwijaya, 2008).
Ada 4 jenis antagonis reseptor H-2 yang dikenal, yaitu: simetidin,
ranitidin, famotidin dan nizatidin. Simetidin merupakan senyawa antagonis
reseptor pertama yang ditemukan, yang mengandung cincin imidazol dari
histamin. Pada penemuan selanjutnya cincin imidazol digantikan dengan
senyawa furan (ranitidin) dan senyawa tiazol (famotidin dan nizatidin)
(Gambar 2) (Aziz, 2002).

(Aziz, 2002).
Meskipun antagonis histamin reseptor H-2 (antagonis H-2)
menghambat kerja histamin pada semua reseptor H-2, namun penggunaan
klinis utamanya ialah sebagai penghambat sekresi asam lambung. Dengan
menghambat secara kompetitif ikatan histamin dengan reseptor H-2, zat ini
mengurangi konsentrasi cAMP intraselular, dengan demikian, juga sekresi
asam lambung. Empat macam obat yang digunakan yaitu simetidin,
ranitidin, famotidin, dan nizatidin, setelah satu dosis tunggal mampu
menghambat (lebih dari 90%) sekresi basal, yang dirangsang makanan dan
sekresi malam hari (Mycek et al, 2001).
II.3.2 Mekanisme kerja
Obat-obat ini diduga bekerja dengan cara menghambat interaksi
histamin dengan reseptor H2 secara kompetitif dan selektif sehingga tidak
memberikan efek pada reseptor H1. Kerja utama obat ini adalah mengurangi
sekresi asam lambung yang disebabkan oleh histamin, gastrin, obat-obat
kolinomimetrik (AINS), rangsangan vagal makanan (terutama asam),
insulin, dan kopi. Juga perlu diketahui, obat-obat ini tidak hanya
menghambat sekresi asam nokturnal tetapi juga basal. Selain itu, obat-obat
ini mereduksi dengan baik volume cairan lambung dan konsentrasi ion
histamin+. Simetidin, ranitidin, dan famotidin memiliki pengaruh yang kecil
terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter esofagus. Nizatidin
dapat menekan kontraksi asam lambung sehingga memperpendek waktu
pengosongan lambung dan hal ini diduga karena efeknya menghambat
asetilkolinesterase (Staf pengajar departemen farmakologi fakultas
kedokteran universitas sriwijaya, 2008).
II.3.3 Farmakokinetik
Antagonis H2 diabsorpsi secara cepat dan baik setelah pemberian oral.
Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Waktu paruh
eliminasi ranitidin, simetidin, dan famotidin kurang lebih 2-3 jam sedangkan
nizatidin lebih pendek yaitu 1,3 jam. Walaupun obat-obat ini mengalami
metabolisme hepatik, obat-obat ini diekskresi dalam jumlah besar di urine
dalam bentuk utuh sehingga pada gangguan ginjal perlu dilakukan
penyesuaian dosis (Staf pengajar departemen farmakologi fakultas
kedokteran universitas sriwijaya, 2008).
II.3.4 Indikasi klinik
a. Ulkus peptikum : Keempat obat ini sama efektifnya dalam
mempercepat penyembuhan ulkus duodenum dan lambung.
Namun, kekambuhan sering terjadi setelah pengobatan dengan
antagonis H2 dihentikan (60-100% per tahun). Hal ini dapat
dicegah secara efektif dengan eradikasi Helicobacter pylori, dan
antagonis H2 masih digunakan secara luas pada pengobatan ulkus
peptikum dalam kombinasi dengan obat-obat antimikroba.
b. Sindrom Zollinger-Ellison : Sindrom Zollinger-Ellison merupakan
suatu keadaan yang jarang dengan tumor yang memproduksi
gastrin menyebabkan hipersekresi HCL. Dengan antagonis H2,
hipersekresi asam lambung dapat dipertahankan pada kadar yang
aman pada pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison.
c. Ulkus karena stress akut : Obat-obat ini berguna untuk mengatasi
ulkus karena stress akut yang menyertai trauma fisik pada pasien
dengan risiko tinggi di unit perawatan intensif (ICU).
d. Penyakit refluks gastroesofageal (heartburn) : dosis rendah
antagonis H2, yang akhir-akhir ini dilepaskan untuk dijual bebas
nampaknya efektif untuk mencegah dan mengobati nyeri ulu hati
(refluks gastroesofageal). Karena obat-obat ini bekerja dengan
menghentikan sekresi asam, maka obat-obat ini tidak
menghilangkan gejala selama sedikitnya 45 menit. Antasida lebih
efisien menetralkan asam yang telah disekresi di dalam lambung.
(Mycek et al, 2001).
II.3.5 Efek samping
Efek samping simetidin biasanya ringan dan disertai terutama dengan
aktivitas farmakologis utama dari obat tersebut, yaitu mengurangi produksi
asam lambung. Efek samping hanya terjadi pada sejumlah kecil pasien, dan
umumnya tidak memerlukan penghentian obat. Efek samping yang paling
sering terjadi ialah sakit kepala, pusing, diare, dan nyeri otot. Efek susunan
saraf pusat lainnya (bingung, halusinasi) terjadi pada pasien lanjut usia atau
penggunaan jangka panjang. Simetidin dapat juga memiliki efek endokrin,
karena obat ini bekerja sebagai antiandrogen nonsteroid. Efek ini meliputi
ginekomastia, galaktorea (pengeluaran ASI yang berkepanjangan), dan
jumlah sperma yang berkurang. Simetidin menghambat sitokrom P-450 dan
dapat memperlambat metabolisme (jadi memperkuat efek) dari beberapa
obat (misalnya warfarin, diazepam, fenitoin, quinidin, karbamazepin,
teofilin, imipramin), kadang-kadang menyebabkan efek klinik yang serius
(Mycek et al, 2001).
II.3.6 Contoh obat
a. Simetidin
Mekanisme kerja
Simetidin merupakan antagonis kompetitif histamin pada reseptor
H2 dari sel parietal sehingga secara efektif dapat menghambat
sekresi asam lambung. Simetidin juga memblok sekresi asam
lambung yang disebabkan oleh rangsangan makanan, asetilkolin,
kafein, dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan tukak
lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal
sindrom Zolinger Ellison (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Farmakokinetik
Simetidin dapat dicerna secara cepat dalam saluran cerna, kadar
plasma tertinggi dicapai dalam 1 jam bila diberikan dalam keadaan
lambung kosong dan 2 jam bila diberikan bersama sama dengan
makanan (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Efek samping
Simetidin dapat menimbulkan efek samping seperti diare, pusing,
kelelahan dan rash (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Dosis
Dosis Simetidin adalah 200 400 mg (Siswandono & Soekardjo,
1995).


b. Ranitidin
Mekanisme kerja
Ranitidin HCl merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas
pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi
asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung
(Siswandono & Soekardjo, 1995).
Farmakokinetik
Ranitidin HCl diserap 3987% setelah pemberian oral dan mempunyai
masa kerja yang cukup panjang, pemberian dosis 150 mg efektif
menekan sekresi asam lambung selama 812 jam. Kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 23 jam setelah pemberian oral, dengan waktu
paro eliminasi 23 jam (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Efek samping
Efek samping Ranitidin HCl antara lain hepatitis, trombositopenia dan
leukopenia yang terpulihkan, sakit kepala dan pusing (Siswandono &
Soekardjo, 1995).
Dosis
Dosis Ranitidin HCl adalah 150300 mg (Siswandono & Soekardjo,
1995).
c. Famotidin
Mekanisme kerja
Famotidin merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada
reseptor H2, sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam
lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung.
Famotidin merupakan antagonis H2 yang kuat dan sangat selektif
dengan masa kerja panjang (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Farmakokinetika
Penyerapan Famotidin dalam saluran cerna tidak sempurna 4045 %
dan pengikatan protein plasma relatif rendah 1522 %. Kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 13 jam setelah pemberian oral, waktu paro
eliminasi 2,54 jam, dengan masa kerja obat 12 jam (Siswandono &
Soekardjo, 1995).
Efek samping
Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia, konstipasi,
diare, sakit kepala dan pusing (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Dosis
Dosis Famotidin adalah 2040 mg (Siswandono & Soekardjo, 1995).
d. Nizatidin
Efek farmakologi dan potensi nizatidin sama seperti ranitidin. Berbeda
dengan simetidin, ranitidin, dan famotidin (yang dimetabolisme oleh
hati), nizatidin dieliminasi terutama oleh ginjal. Karena sedikit terjadi
metabolisme first-pass dengan nizatidin, maka ketersediaan hayatinya
hampir 100% (Mycek et al, 2001).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah :
1. Ulkus peptikum (UP) adalah kerusakan pada lapisan mukosa, sub mukosa
sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktifitas pepsin dan
asam lambung.
2. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat tukak lambung-usus dapat
digolongkan dalam 7 kelompok, yakni : Antasida, penghambat asam, zat
pelindung mukosa, antibiotik, obat penguat motilitas, obat penenang, dan
zat-zat pembantu.
3. Antagonis reseptor H-2 merupakan golongan zat penghambat sekresi asam.
Ada 4 jenis antagonis reseptor H-2 yang dikenal, yaitu: simetidin, ranitidin,
famotidin dan nizatidin.
4. Obat-obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat interaksi histamin
dengan reseptor H2 secara kompetitif dan selektif. Kerja utamanya adalah
mengurangi sekresi asam lambung yang disebabkan oleh histamin, gastrin,
obat-obat kolinomimetrik (AINS), rangsangan vagal makanan (terutama
asam), insulin, dan kopi.




DAFTAR PUSTAKA
Aziz, N. 2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 dalam Pengobatan Ulkus Peptikum.
Sari Pediatri Vol. 3 No. 4. Hal 222 226.

Djuwantoro, D. 1992. Diagnosis dan Pengobatan Tukak Peptik. Cermin Dunia
Kedokteran. Hal 14-7.

Mycek, M. J., R. A. Harvey & P. C. Champe. 2001. Farmakologi : Ulasan
Bergambar. Widya medika. Jakarta.

Siswandono & B. Soekardjo, 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press.
Surabaya.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

Tjay, T. H & K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.

You might also like