Oleh AFRILAWATI RISNA FITRIANI VINCENSIUS ROLIS LAIA
S-1 KEPERAWATAN IA STIKes RANAH MINANG PADANG 2013
2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobilalamin, puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pemberi atas berkat dan limpahan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan berkehendak. Penulis yakin dan sadar bahwa tanpa bimbingan tangan dan penyertaan-Nya, karya tulis ini tidak akan pernah terselesaikan dengan baik. Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing serta teman-teman yang telah memberikan sarannya kepada Penulis. Tak ada gading yang tak retak. Karya tulis ini juga masih jauh dari kesempurnaan, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya karya tulis ini. Padang, 1 Juni 2014
Penulis
3
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL ............................................................................................. 1 KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 4 B. Rumusan Masalah .................................................................................... 4 BAB II LANDASAN TEORITIS I. Konsep Dasar Penyakit A. Pengertian Keratitis ................................................................................ 5 B. Etiologi Keratitis .................................................................................... 5 C. Klasifikasi Keratitis ................................................................................ 6 D. Manifestasi Klinis Keratitis .................................................................... 7 E. Anatomi Fisiologi Kornea ...................................................................... 8 F. Patofisiologi Keratitis ........................................................................... 13 G. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 15 H. Penatalaksanaan .................................................................................... 16 II. Konsep Keperawatan Teoritis A. Pengkajian ............................................................................................ 20 B. Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 22 C. Rencana Tindakan Keperawatan .......................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25
4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keratitis adalah peradangan pada kornea, membran transparan yang menyelimuti bagian berwarna dari mata (iris) dan pupil. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat, namun beberapa kondisi dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya, luka atau trauma pada mata dapat menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang sangat kering juga dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea. (Kaiser, 2005). Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya. (Diunggah dari http://lanugojaya.blogspot.com/2012/09/keratitis.html, 1 Juni 2014).
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep dasar penyakit keratitis 2. Bagaimana anatomi dan fisiologi kornea mata 3. Bagaimana patofisiologi dan web of cause terjadinya keratitis 4. Bagaimana asuhan keperawatan teoritis keratitis 5
BAB II LANDASAN TEORITIS
I. Konsep Dasar Penyakit
A. Pengertian Keratitis
Keratitis adalah inflamasi pada kornea oleh bakteri, virus, herpes simplek, alergi, kekurangan vit. A. Keratitis adalah peradangan pada kornea, keratitis disebabkan oleh mikrobial dan pemajanan. Keratitis Mikrobial adalah infeksi pada kornea yang disebabkan oleh berbagai organisme bakteri, virus, jamur/parasit, serta abrasi yang sangat bisa menjadi pintu masuk bakteri. Keratitis pemajanan adalah infeksi pada kornea yang terjadi akibat kornea tidak dilembabkan secara memadai dan dilindungi oleh kelopak mata. Kekeringan mata dapat terjadi dan kemudian diikuti ulserasi dan infeksi sekunder. (Brunner and Suddarth, 2001) Keratitis adalah peradangan pada kornea, membran transparan yang menyelimuti bagian berwarna dari mata (iris) dan pupil. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat, namun beberapa kondisi dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya, luka atau trauma pada mata dapat menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang sangat kering juga dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea. (Kaiser, 2005) Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. (http://berita19.wordpress.com/2010/02/03/infeksi-pada-mata-keratitis/)
B. Etiologi Keratitis
Adapun etiologi dari keratitis adalah: 1. Bakteri 6
a. Staphylococcus b. Streptococcus c. Pseudomonas d. Pseudococcus 2. Virus a. Virus herpes simpleks b. Virus herpes zoster 3. Jamur a. Candida b. Aspergillus 4. Hipersensitif: Toksin/alergen 5. Gangguan nervus trigeminus 6. Idiopatik
C. Klasifikasi Keratitis
Berdasarkan etiologi atau penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi: 1. Keratitis mikrobakterial Keratitis ini diakibatkan oleh berbagai organisme bakteri,virus, jamur, atau parasit, abrasi sedikitpun bisa menjadi pintu masuk bakteri. Kebanyakan infeksi kornea terjdi akibat trauma atau gangguan mekanisme pertahanan sistemis ataupun lokal. 2. Keratitis bakterial Keratitis akibat dari infeksi stafilokokkus, berbentuk seperti keratitis pungtata, terutama dibagian bawah kornea 3. Keratitis dendritik herpetik Keratitis dendritik yang disebabkan virus herpes simpleks akan memberi gambaran spesifik berupa infiltrat pada kornea dengan bentuk seperti ranting pohon yang bercabang cabang dengan memberikan uji fluoresin positif nyata pada tempat percabanagn. 4. Keratitits herpes zooster 7
Merupakan manifestasi klinis dari infeksi virus herpes zooster pada cabang saraf trigeminus, 5. Keratitis pungtata epitelial Keratitits dengan infiltrat halus pada kornea, selain disebabkan oleh virus keratitits pungtata juga disebabakan oleh obat seperti neomicin dan gentamisin. 6. Keratitits disformis Merupakan keratitits dengan bentuk seperti cakram didalam stroma permukaan kornea, keratitis ini disebabkan oleh infeksi atau sesudah infeksi virus herpes simpleks 7. Keratitis pemajanan Infeksi ini terjadi bila kornea tidak dilembabkan secara memadai dan dilindungi oleh kelopak mata. Kekeringan kornea dapat terjadi dan kemudian dapat diikuti ulserasi dan infeksi sekunder. Pemajanan kornea dapat diebabakan oleh karena keadaan eksoptalmus, paresis saraf kranial VII tetapi juga dapat terjadi pada pasien koma atau yang dianastesi. a. Keratitis lagoftalmos Terjadi akibat mata tidak menutup sempurna yang dapat terjadi pada ektropion palpebra, protrusio bola mata atau pada penderita koma dimana mata tidak terdapat reflek mengedip. b. Keratitis neuroparalitik Terjadi akibat gangguan pada saraf trigeminus yang mengakibatkan gangguan sensibilitas dan metabolisme kornea c. Keratokonjungtivitis sika Terjadi akibat kekeringan pada bagian permukaan kornea.
D. Manifestasi Klinis Keratitis
Adapun tanda dan gejala yang tampak adalah: 1. Inflamasi bola mata yang jelas 2. Terasa benda asing di mata 3. Cairan mokopurulen dengan kelopak mata saling melekat saat bangun 8
4. Ulserasi epitel 5. Hipopion (terkumpulnya nanah dalam kamera anterior) 6. Dapat terjadi perforasi kornea 7. Ekstrusi iris dan endoftalmitis 8. Fotofobia 9. Mata berair 10. Kehilangan penglihatan bila tidak terkontrol (Brunner dan Suddarth, 2001)
Selain itu, tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea atau hanya di sebagiannya saja.
E. Anatomi Fisiologi Kornea
1. Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva ( AAO, 2008). Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 m, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm ( Riordan-Eva, 2010). Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas : 9
a. Epitel Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005). b. Membran bowman Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi (Ilyas, 2005). c. Stroma Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen 10
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma (Ilyas, 2005). d. Membran Descemet Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2005). e. Endotel Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2005).
2. Histologi Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel (Riordan-Eva, 2010). 11
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia). Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan bercabang (Eroschenko, 2003). Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descemet merupakan membran basal epitel kornea (Eroschenko, 2003) dan memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur sekali (Hollwich, 1993).
3. Perdarahan dan Persarafan Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus (Riordan-Eva, 2010). Saraf trigeminus ini memberikan sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh (Hollwich, 1993).
4. Fisiologi Kornea Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang 12
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009). Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut- lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Vaughan, 2009). Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil (Vaughan, 2009).
13
F. Patofisiologi Keratitis
Karena kornea bersifat avaskuler, maka mekanisme pertahanan pada waktu peradangan tidak segera berlangsung, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea (Vaughan, 2009). Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen (Vaughan, 2009). Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat (Vaughan, 2009).
14
Web of cause Keratitis
Bakteri Virus Jamur Gangguan Nervus Trigeminus Idiopatik KERATITIS Reaksi Inflamasi pada mata Timbul infiltrat di kornea Kerusakan jaringan epitel Adanya gesekan kornea dengan palpebra Masalah Keperawatan: Gangguan persepsi sensori: Penglihatan Masalah Keperawatan: Nyeri Masalah Keperawatan: Resiko tinggi cedera Masalah Keperawatan: Intoleransi Aktivitas Gangguan refraksi cahaya Penurunan ketajaman penglihatan 15
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tajam penglihatan Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan untuk mengetahui fungsi penglihatan setiap mata secara terpisah. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan kartu snellen maupun secara manual yaitu menggunakan jari tangan. 2. Pemulasan fluorescein Kerokan kornea yang kemudian dipulas dengan pulasan gram maupun giemsa. 3. Pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10 % pada kerokan kornea 4. Pemeriksaan schirmer. 5. Kultur bakteri atau fungi 6. Uji dry eye Pemeriksaan mata kering atau dry eye termasuk penilaian terhadap lapis film air mata ( tear film ), danau air mata ( teak lake ), dilakukan uji break up time tujuannya yaitu untuk melihat fungsi fisiologik film air mata yang melindungi kornea. Penilaiannya dalam keadaan normal film air mata mempunyai waktu pembasahan kornea lebih dari 25 detik. Pembasahan kornea kurang dari 15 detik menunjukkan film air mata tidak stabil. 7. Menentukan bakteri yang menyerang mata. 8. Ofthalmoskop Tujuan pemeriksaan untuk melihat kelainan serabut retina, serat yang pacat atropi, tanda lain juga dapat dilihat seperti perdarahan peripapilar. 9. Keratometri ( pegukuran kornea ) Keratometri tujuannya untuk mengetahui kelengkungan kornea, tear lake juga dapat dilihat dengan cara focus kita alihkan kearah lateral bawah, secara subjektif dapat dilihat tear lake yang kering atau yang terisi air mata. 16
10. Tonometri digital palpasi Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea ireguler dan infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan dengan tahahan lentur telapak tangan dengan tahanan bola mata bagian superior.
H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang. Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: 17
natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan.
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemeberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah virus. Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid. Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan mengakibatkan paralisis otot siliar 18
sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli. Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan lemcyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar. Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada. Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya 19
dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.
20
II. Asuhan Keperawatan Teoritis
A. Pengkajian
1. Data Demografi Dikaji identitas klien serta penanggung jawabnya, meliputi: nama klien, nomor MR, tanggal lahir, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, dsb. 2. Riwayat Kesehatan a. Riwayat Kesehatan Sekarang Pada umumnya, akan tampak tanda dan gejala berikut, visus menurun (gangguan penglihatan), mata terasa sakit, lakrimasi, mata bengkak merah, fotofobia.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami penyakit mata, seperti konjungtivitis, herpes, atau mungkin pernah mengalami trauma. Selain itu perlu dikaji juga penyakit-penyakit keturunan, seperti DM, Hepatitis, dsb.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga Perlu dikaji penyakit-penyakit keturunan yang mungkin dialami oleh keluarga.
3. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Kesadaran: Compos Mentis Selain itu perlu dinilai tanda-tanda vital klien. b. Rambut dan Kepala I: Dinilai keadaan kepala dan rambut klien, ada lesi atau tidak, warna rambut, kekuatan dan warna rambut serta distribusinya, kebersihan kepala. P: Diraba adakah pembengkakan di kepala atau tidak 21
c. Telinga I: Dilihat keadaan telinga, liang telinga adakah serumen atau tidak, keadaan membran timpani. Selain itu, dinilai fungsi pendengaran. d. Mata Hiperemi pada konjungtiva. Adanya flikten/infiltrat pada kornea Adanya lakrimasi, blefarospasme Mata tampak merah dan bengkak e. Hidung Dikaji keadaan telinga, adakah pembesaran atau tidak, keadaan liang hidung, keadaan septum nasi dan juga fungsi penciumannya. f. Mulut Dinilai keadaan mukosa bibir, bau mulut, keadaan gigi, lidah, keadaan tonsil, serta fungsi pengecapan. g. Leher Perlu dinilai adakah pembesaraan kelenjar tiroid, kelenjar getah bening, juga keadaan tekanan vena jugularis. h. Thoraks Paru-paru I: Dinilai keadaan umum dada, simetris atau tidak. Pergerakannya sama atau tidak, ekspansi paru maksimum atau tidak. P: Dinilai focal fremitusnya, sama atau tidak kiri dan kanan P: Dinilai bunyi lapang paru A: Dinilai bunyi nafas di seluruh lapang paru Kardiovaskuler I: Dinilai keadaan ictus cordis, terlihat atau tidak P: Diraba letak ictus cordis dan letaknya P: Dinilai batas-batas jantung A: Dinilai bunyi jantung sistole dan diastolenya. i. Abdomen I: Dinilai keadaan abdomen, ada ascites atau tidak, lesi. 22
A: Dinilai bising usus P: Dinilai kualitas nyeri tekan dan nyeri lepas P: Dinilai bunyi abdomen j. Genito Urinaria Perlu dikaji keadaan genitalia klien, terpasang kateter atau tidak, ada pembesaran atau tidak. k. Ekstremitas Dilihat keadaan ekstremitas, lengkap atau tidak, ada udema atau tidak. l. Persarafan Dinilai keadaan GCS klien, kekuatan ototnya dan fungsi sarafnya m. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Dikaji pemenuhan kebutuhan dasar klien pada saat sehat dan sakit. n. Data Penunjang Dikaji data-data tambahan, seperti data laboratorium, rontgen dan data-data penunjang lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan Teoritis 1. Gangguan persepsi sensori: penglihatan b.d adanya inflamasi pada kornea 2. Nyeri b.d proses inflamasi; iritasi atau infeksi pada mata 3. Resiko tinggi cedera b.d penurunan ketajaman penglihatan 4. Intoleransi aktivitas b.d penurunan ketajaman penglihatan
23
C. Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC Intervensi dan Aktivitas 1. Gangguan persepsi sensori: Penglihatan a. Vision Compensation Behaviour Penglihatan meningkat
a. Eye Care Monitor adanya kemerahan dan adanya eksudat Tentukan derajat penurunan penglihatan atau tes tajam penglihatan Instruksikan pasien untuk tidak menyentuh matanya Monitor refleks kornea Anjurkan pasien untuk menggunakan kacamata katarak Lakukan tindakan untuk membantu pasien menangani keterbatasan penglihatan. Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaan tentang kehilangan penglihatan. 2. Nyeri a. Pain Level Nyeri berkurang Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Mampu mengontrol nyeri
b. Comfort level Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang\ Tanda vital dalam rentang normal a. Pain Management Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhuruangan, pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi nyeri Ajarkan tentang teknik non farmakologi b. Analgesic Administration Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi Cek riwayat alergi Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik 24
pertama kali 3. Resiko Cedera a. Risk Kontrol Klien terbebas dari cedera Klien mampumenjelaskan cara/metode untukmencegah injury/cedera Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal
a. Environment Management (Manajemen lingkungan) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan) Memasang side rail tempat tidur Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
25
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Media Aesculapius FKUI: Jakarta. Suhardjo. 1999. Penggunaan Asiklovir Oral pada Herpes Zoster Oftalmikus. Cermin Dunia Kedokteran No.122; 36-38. Available at : http//cermin Dunia Kedokteran2.mht Susetio B. 1993. Penatalaksanaan infeksi jamur pada mata dalam Cermin dunia kedokteran.; Available from : http//www.kalbe.co.id-files-cdk-files- cdk_087_mata.html