2.2.1 Definisi Trauma Servikal Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 1997). Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput hingga C 2 .
2.2.2 Klasifikasi Trauma Servikal Tingkat cedera didefinisikan oleh ASIA menurut Penurunan Skala (dimodifikasi dari klasifikasi Frankel), dengan menggunakan kategori berikut: A Lengkap Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang dipertahankan dalam segmen sacral S4-S5. B lengkap Fungsi sensori dipertahankan di bawah tingkat neurologis dan meluas melalui segmen sakral S4-S5. C lengkap Fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan sebagian besar otot kunci di bawah tingkat otot neurologis memiliki nilai kurang dari 3. D lengkap Fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan sebagian besar otot kunci di bawah level neurologis telah kelas otot lebih besar dari atau sama dengan 3. E Normal Fungsi sensorik dan motorik yang normal.
Cedera servikal dapat digolongkan menjadi : Cedera fleksi o Fraktur kompresi : disebabkan karena fleksi yang tiba-tiba. o Fraktur fleksi teardrop : melibatkan seluruh columna ruang interspinosus melebar dan dapat menyebabkan cedera medulla spinalis. o Subluksasi anterior : kompleks ligamentum superior mengalami ruptur sedangkan ligamentum anterior tetap utuh. o Dislokasi faset bilateral : disebabkan fleksi yang berlebihan o Fraktur karena dorongan : terjadi karena fleksi leher yang tiba-tiba selain itu bisa juga terjadi karena fraktur langsung di prosesus spinosus, trauma oksipital, tarikan yang sangat kuat di ligamentum supraspinosus. Cedera Fleksi-rotasi o Dislokasi faset unilateral : terjadi saat fleksi bersamaan dengan rotasi sehingga ligamentum dan kapsul teregang maksimal. Dislokasi kedepan pada vertebra di atas dengan atau tanpa di sertai kerusakan tulang. o Dislokasi antlantoaxial : terjadi karena hiperekstensi, terjadi pergeseran sendi antara C1 dan C2 dan biasanya fatal. Cedera ini dapat menyebabkan rheumatoid arthritis. Cedera ekstensi o Fraktur menggantung : terjadi pada C2 yang disebabkan karena hiperekstensi dan kompresi yang tiba-tiba. o Ekstensi teardrop : hiperekstensi mendadak dan terjadi akibat tarikan oleh ligamentum longitudinal. Cedera compresi axial o Fraktur jefferson : terjadi pada C1 dan disebabkan karena kompresi yang sangat hebat. Kerusakan terjadi di arkus anterior dan posterior. o Fraktur remuk vertebra : penekanan corpus vertebra secara langsung dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang masuk ke kanalis spinalis kemudian menekan medulla spinalis sehingga terjadi gangguan saraf parsial o Fraktur atlas : Tipe I dan II : fraktur stabil karena terjadi pada arkus anterior dan posterior. Tipe III : terjadi pada lateral C1 Tipe IV : sering disebut sebagai fraktur jefferson
2.2.3 Etiologi Trauma Servikal Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja. Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: o Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. o Fraktur akibat kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh. o Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh. 2.2.6 Manifestasi Klinis Trauma Servikal Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut: Nyeri Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya. Bengkak/edama Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya. Memar/ekimosis Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya. Spasme otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur. Penurunan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema. Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. Mobilitas abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang. Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. Deformitas Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. Shock hipovolemik Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Servikal X ray servikal 3 posisi : AP, lateral, dan odontoid (open mouth view) Dilakukan pada pasien dengan riwayat nyeri atau trauma di leher. Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur, dislokasi), untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi CT scan dari basis crania sampai torakal atas (T1-2), potongan axial 1 mm Pemeriksaan ini dapat mendeteksi fraktur servikal pada pasien yang berisiko tinggi dan menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural MRI Mengevaluasi medulla spinalis, mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema, dan kompresi. Mielografi Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas atau dicurigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi) Foto rontgen toraks Memperlihatkan keadaan paru Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal) Mengukur volume inspirasi maksimal atau ekspansi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus atau otot interkostal GDA Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi 10% pasien dengan fraktur basis kranii, wajah, atau torakal bagian atas mengalami fraktur servIkal.
2.2.8 Penatalaksanaan Trauma Servikal a. Pertolongan pertama untuk cedera servikal Setiap trauma kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikalis merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine taruma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher. Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Ini jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siap saja yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan. b. Penanganan operasi Tujuan dari penanganan operasi adalah untuk mereduksi mal aligment, dekompresi elemen neural dan restorasi stability. Indikasi operasi anterior dan posterior adalah: 1) Anterior approach Ventral kompresi Kerusakan anterior collum 2) Posterior approach Dorsal kompresi pada struktur neural Kerusakan posterior collum c. Pembatasan aktivitas Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu untuk menghindar iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebih, posisi tidur yang salah. d. Penggunaan Collar Brace Ada banyak jenis kolar untuk membatasi gerak leher. Kolar kaku atau keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars), kecual pada gerak fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak adalah dapat memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Penggunaan kolar sebaiknya digunakan sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya pada keadaan khusus, seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Kollar dapat dilepas atau tidak digunakan apabila rasa nyeri hilang, tanda spruling hilang dan adanya perbaikan defisit motorik. e. Modalitas terapi lain Termoterapi dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebeum ataupada saat traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit, 1-4 kali sehari, atau kompres panas selama 30 menit, 2-3 kali sehari. Penggunaan terapi fermakologi dapat membentu mengurangi rasa nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf. Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi diatas, aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan pertimbangan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid epidural maupun terapi operatif (Soertidewi, 2012).
2.2.9 KOMPLIKASI TRAUMA SERVIKAL Syok neurogenik. Merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi. Syok spinal. Merupakan keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak. Hipoventilasi. Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas. Hiperfleksia autonomic. Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.
1.2 ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA SERVIKAL A. PENGKAJIAN Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada klien dengan kasus trauma servikal adalah sebagai berikut : a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pendidikan, pekerjaan, hubungan pasien dengan penanggung jawab, dll. b. Status Kesehatan Saat Ini Pasien dengan trauma leher biasanya datang ke rumah sakit dengan keluhan utama, yaitu kehilangan kekuatan, gerakan, dan sensasi dari ektremitas di bawah tingkat cedera. Selain itu, perlu ditanyakan pada pasien/keluarga kapan mulai terjadinya kelainan, faktor apa yang memperberat penyakitnya, seberapa parah tingkat penyakit yang dirasakan/skala sakitnya. c. Riwayat Kesehatan Saat Ini Klien mengalami kehilangan kekuatan, gerakan, dan sensasi dari ektremitas di bawah tingkat cedera, terdapat perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera. d. Riwayat Penyakit Dahulu Haruslah diketahui penyakit atau masalah kesehatan yang pernah dialami pasien sebelumnya baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya (keadaan jantung dan pernafasan, serta penyakit kronis). Hal ini sebagai data dasar dalam memberikan terapi pada pasien dan dapat mempengaruhi prognosa pasien. e. Riwayat Penyakit Keluarga Adakah anggota keluarga/generasi sebelumnya yang mengalami penyakit seperti yang dialami pasien dan/atau penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa pasien. f. Pola aktivitas/istirahat - Pada pasien ini terjadi kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada/di bawah lesi - Kelemahan umum/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf) (Doenges E. Marilyn, 2000) g. Pola eliminasi Biasanya pada pasien ini terjadi inkontinensia defekasi dan berkemih. Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emesis berwarna seperti kopi- tanah/hematemesis h. Personal hygiene Pasien sangat tergantung kepada orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari (bervariasi) i. Pola seksualitas Gejala: keinginan untuk kembali seperti fungsi normal Tanda: ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur j. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum - Kesadaran: sadar sampai penurunan kesadaran - Tanda vital: perubahan nilai tanda-tanda vital, poikilotermi (ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan) (ENA, 2000) 2) Kepala dan leher Sebagai akibat dari trauma leher menyebabkan trauma saluran pernafasan yang mengakibatkan pemisahan parsial krikotrakea, robekan mukosa saluran pernafasan setinggi ini akan memberi gejala berupa; batuk, hemoptisis, dan emfisema subkutis pada leher. Bila trakea robek terlepas dari krokoidea, maka sokongan kaku ke saluran pernafasan oleh cincin trakea akan berkurang ditempat avulsi. Pada trauma yang sedikit lebih tinggi, kartilago krokoidea remuk pada columna vertebralis dan lamina cartilago tiroidea terpecah menjadi dua yang memberikan gejala perdarahan. Cedera yang terjadi dikomisura anterior menyebabkan perdarahan ke dalam jaringan lunak laring dan timbul sesak, nyeri timbul sewaktu menelan. Pada trauma tajam di leher dapat menyebabkan perdarahan yang kemungkinan akan memberikan gejala sesak. Menurut Doenges E. Marilyn (2000), menyebutkan bahwa temuan fisik akan bervariasi , tergantung pada tingkat cedera, derajat syok spinal, dan letak cedera cervical, yaitu: C1-3 : Quadreplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan/sistem muskular total C4-5 : Quadreplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari C6-7: Quadreplegia dengan beberapa gerakan lengan/tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari C7-8 : Quadreplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan 3) Thoraks dan Dada - Jantung Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak Tanda: Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), hipotensi postural, bradikardia, ekstremitas dingin dan pucat. Hilangnya keringat pada daerah yang terkena - Paru Gejala: napas pendek, sulit bernafas Tanda: pernafasan dangkal/labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis, penggunaan otot-otot pernapasan, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal 4) Abdomen Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus aralitik) 5) Sistem neurosensori Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan/kaki. Paralisis flaksid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung pada area spinal yang sakit Tanda: kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada stok spinal). Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembali normal setelah syok spinal sembuh), kehilangan tonus otot/vasomotor, kehilangan refleks/refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat dari bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal. 6) Ekstremitas - Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak - Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia - Adanya spasme otot, kekakuan 7) Kulit dan Kuku Kulit teraba hangat dan kering k. Pengkajian Psikologis Dimana pasien dengan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya. l. Data sosial Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang- orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman. m. Data spiritual Data spiritual yang diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran. n. Pemeriksaan Penunjang 1) Sinar x spinal 2) CT Scan 3) MRI 4) Mielografi 5) Foto ronsen torak 6) Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal) 7) GDA
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien dengan trauma leher/cervical adalah: a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi b. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah atau hipotensi c. Nyeri akut b/d adanya perlukaan/trauma pada leher
C. INTERVENSI
DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, diharapkan pola napas pasien efektif Kriteria hasil: - RR 16-20 x/mnt - Pernapasan teratur - Tidak ada dispnea atau takipnea - Tidak terdapat otot bantu napas - Pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri
Mandiri Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan, adanya pernafasan bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan. Auskultasi suara nafas Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontraindiksi Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang. Kolaborasi : Berikan oksigen sesuai indikasi Rujuk/konsultasikan pada ahli terapi pernapasan dan fisik Bantu dengan fisioterapi dada dan gunakan alat-alat bantu nafas sesuai indikasi Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah atau hipotensi Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, diharapkan perfusi jaringan adekuat Kriteria hasil: - Tingkat kesadaran composmentis (GCS 13-15) - Tanda vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah 110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 o C) - Nadi teraba kuat - Tidak terdapat sianosis - Akral teraba hangat - CRT < 2 detik - AGD normal
Mandiri Atur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring. Atur suhu ruangan Tinggikan ekstremitas bawah Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang. Sediakan oksigen dengan nasal canul untuk mengatasi hipoksia Ukur tanda-tanda vital Pantau adanya ketidakadekuatan perfusi : Peningkatan rasa nyeri Kapilari refill > 2 detik Kulit : dingin dan pucat Penurunanan output urine Pantau GCS Kolaborasi Awasi pemeriksaan GDA Nyeri akut b/d adanya trauma pada leher Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, nyeri berkurang Kriteria hasil: - Klien melaporkan penurunan rasa nyeri - Skala nyeri turun - Klien tampak rileks Mandiri Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, karakteristik, lama serangan, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, dan faktor presipitasi. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 10. Bantu pasien dalam mengidentifikasi - Ekspresi wajah tampak tenang - TTV dalam batas normal (nadi 60- 100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah 110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5- 37,5 o C)
faktor pencetus atau yang memperberat Berikan tindakan kenyamanan, misal perubahan posisi, masase, kompres hangat/dingin, sesuai indikasi Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat. Kolaborasi Berikan obat sesuai indikasi: relaksan otot seperti dantren (dantrium); analgesik; antiansietas, misal Diazepam (Valium) Pendidikan Kesehatan Memberikan informasi yang akurat untuk meningkatkan pengetahuan keluarga/klien dan respon terhadap pengalaman nyeri
Arifin, zafrullah. 2012. Analisis Nilai Functional Independence Measure Penderita Cedera Servikal Dengan Perawatan Konservatif. Universitas padjajaran Bandung. Doctherman Joanne McCloskey, Gloria N. B. 2008. NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION (NIC) 5th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier ENA. 2000. Emergency Nursing Core Curriculum. 5 th ED. USA: WB.Saunders Company Lusiyawati. 2009. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada Nn. S Dengan Cedera Kepala Ringan di Bangsal Flamboyan RSUD Pandan Arang Boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. Marilynn E. Doenges/ Mary Frances Moorhouse/ Alice C. Geisler. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk perencanaan dan pe ndokumentasian perawatan pasien) Edisi 3. Jakarta: EGC Milby AH, Halpern CH, Guo W, Stein SC. 2008. Prevalence of cervical spinal injury in trauma. Neurosurg Focus. Moorhead Sue, et al. 2008. NURSING OUTCOMES CLASSIFICATION (NOC) 5th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier Oman, Kathleen. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergency. Jakarta : EGC Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Saraf, FKUI RS Cipto Mangunkusumo