Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/ SMF Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun oleh :
Yudi Pratama (0907101010065)
Pembimbing: dr. Adi Purnawarman, Sp. JP-FIHA
BAGIAN/ SMF ILMU BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2014 1 BAB I PENDAHULUAN
Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut adalah terminology yang digunakan pada keadaan gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara acut. Berbeda dengan angina perkoris stabil, gangguan aliran darah ke miokard pada SKA bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis namun akibat pembentukan thrombus dalam arteri koroner yang sifatnya dinamis. 1
Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Angka kematian karena di seluruh dunia meningkat setiap tahun. The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun. Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika. Jenis-jenis penyakit arteri koroner yang banyak dijumpai antara lain angina pektoris stabil, silent ischemia, angina tak stabil, infark miokard, gagal jantung, dan kematian mendadak (sudden death). 2
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-segmentelevation myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), serta unstable angina. 2
Dari ketiga varian ACS di atas, STEMI memiliki angka mortalitas di rumah sakit dan angka morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan NSTEMI (7% vs 3-5%). 3 2 Sindrom koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG, yaitu: dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) atau angina pectoris tidak stabil. Klasifikasi ini akan mempercepat dan mempermudah identifikasi pasien pasien STEMI, oklusi total arteri koroner, yang memerlukan revaskularisasi segera. 1
3 BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi dan Klasifikasi Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi karena serangkaian pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada pembuluh darah. Berdasarkan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) dan marker biokimia jantung, maka Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), serta unstable angina. 4
2.2. Patofisiologi 5-6
1. Inisiasi proses aterosklerosis : peran endotel Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons inflamatorik dan pembentukan kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor-faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak.
4 2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor , IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak 3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami ruptur Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi dan seterusnya (Brieger et al., 2004). Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF- bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika 5 bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami ruptur. 4. Disrupsi plak, trombosis dan SKA Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya rupture (Brieger et al., 2004). Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Proses pembentukan atherosklerosis pertama sekali sudah terjadi pada awal kehidupan manusia, namun progresivitas perkembangan antara individu yang satu dengan individu yang lain berbeda tergantung dari faktor kerentanannya, seperti faktor genetik dan gaya hidup (Burke et al., 2003). 2.3 Manifestasi Klinis Riwayat perjalanan nyeri dada sangat penting untuk membedakan ACS dengan sejumlah penyakit lainnya. Gejalanya berupa gejala khas angina, yaitu nyeri dada tipikal yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat nitrat dan dapat dicetus oleh serangkaian faktor seperti latihan fisik, stress, emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Sebanyak dua pertiga pasien STEMI memiliki gejala 6 angina dalam beberapa minggu sebelumnya. Secara keseluruhan sebanyak 20% hanya memiliki gejala kurang dari 24 jam. 7
2.4 Diagnosis Diagnosa SKA merupakan rule out diagnosis, yang digambarkan atas hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG dan enzim petanda jantung. Atas dasar unsur-unsur tersebut, maka dapat dikategorikan dalam tiga tingkat kemungkinan suatu keadan SKA yang ditunjukkan oleh tabel berikut ini. Tabel 1. Panduan dalam menegakkan diagnosis SKA A. Kemungkinan besar B. Kemungkinan sedang C. Kemungkinan kecil Didapatkan salah satu temuan berikut: Tidak didapatkan temuan pada kolom A, tetapi didapatkan salah satu temuan berikut: Tidak didapatkan pada kolom A atau B, tetapi didapatkan salah satu temuan berikut: Anamnesa Keluhan utama berupa nyeri atau rasa tidak nyaman di dada atau lengan kir, ditambah: Riwayat nyeri dada sebelumnya, dan pasien dikenal sebagai pengidap PJK, termasuk riwayat IMA Keluhan utama berupa nyeri atau rasa tidak nyaman di dada atau lengan kiri, ditamkah: Usia > 70 tahun Laki-laki DM Keluhan iskemi tidak jelas Riwayak pemakaian kokain Pemeriksaan Fisik Regurgitasi mitral transien. Hipotensi. Keringatan dingin Edema paru atau rongki basah halus. Penyakit vascular ekstra-kardiak Rasa tidak nyaman di dada akibat berdebar- debar 7 EKG Deviasi segmen ST (>0,5 mm) transien atau baru atau inverse gel T(>2mm) dengan keluhan Gelombang Q Abnormalitas segmen ST atau gelombang T lama EKG normal atau gelombang T mendatar atau terbalik pada sadapan dengan gelombang R yang dominan Enzim Jantung Peningkatan troponin I atau T Peningkatan CK- MB Normal Normal
Diagnosis infark miokard akut didasarkan atas sejumlah hal,dimulai dari anamnesa gejala klinis yang khas, pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG), serta pemeriksaan biomarker jantung. Sebagian besar pasien SKA dating dengan keluhan nyeri dada, rasa berat, atau rasa seperti ditekan, rsa seperti dicengkram di belakang sternum bias menjalar ke ranhang, bahu, punggung atau lengan, nyeri dada tipikal yang berlangsung selama 20 Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat nitrat (lili). Maka, nyeri dada tersebut dicurigai sebagai suatu nyeri dada pada ACS. Selanjutnya segera lakukan pemeriksaan EKG, jika dijumpai adanya ST elevasi atau adanya suatu LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka diagnosanya adalah STEMI, namun jika tidak dijumpai adanya ST elevasi namun dijumpai adanya ST depresi, T inverted atau gambaran EKG yang normal, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan biomarker jantung, yaitu Troponin I atau Troponin T. Jika terdapatnya peningkatan nilai biomarker tersebut maka diagnosanya adalah NSTEMI, namun jika nilai biomarker normal, maka diagnosanya menjadi Unstable Angina (UAP). 7 Pada pemeriksaan laboratorium, perbedaan antara angina pectoris tidak stabil dengan infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) adalah pada beratnya iskemik. Pada NSTEMI, iskemia yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan kerusakan miokard ditandai dengan peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin). Pada pasien yang dating dalam 4 jam setelah awitan gejala, diagnosis APTS dan STEMI sulit dibedakan karena peningkatan troponin T dan CK-MB baru erdeteksi 4-6 jam setelah awitan. 1 8 Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL. 7
Gambar 2.1. Alur Diagnosa STEMI 7
Gambar 2.2 Gambaran ST elevasi pada EKG 2
9 2.5 Penatalaksanaan Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hamper sama baik pra maupun saat di rumah sakit hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih ditekankan untuk segera melakukan reperfusi baik dengan medikamentosa (trombolisis) atau intervensi (percutaneus coronary intervention- PCI). Berdasarkan rekomendasi AHA/ACC tahun 2010, sangat ditekankan waktu efektif reperfusi terapi. Tatalaksana SKA dibagi atas: 1. Prehospital - Monitoring dan amankan ABC, persiapkan RJP dan defibrilasi - Berikan Aspirin dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin dan morfin jika diperlukan - Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi - Lakukan pemberitahuan ke Rumah sakit untuk persiapan penerimaan pasien dengan STEMI
2. Hospital - Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen - Pasang intravena - Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah - Lengkapi check list fibrinolitik, cek kontraindikasi - Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit dan pembekuan darah - Pemeriksaan sinar X (<30 menit setelah pasien sampai IGD) - Berikan Aspirin 160-325 mg dikunyah - Nitrogliserin sublingual - Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang
10 Adapun penatalaksanaan STEMI antara lain sebagai berikut: 7 a. Terapi Reperfusi Terapi reperfusi merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan STEMI tahap awal karena fase inilah yang menentukan progresivitas perburukan area infark. Bagi pasien dengan manifestasi klinis STEMI <12 jam dengan ST elevasi persisten atau adanya LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka Percutaneous Coronary Intervention (PCI) primer atau terapi reperfusi secara farmakologi harus dilakukan sesegera mungkin. Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien tiba di rumah sakit dan setelah tiba di rumah sakit ditunjukkan oleh Gambar 5. Terapi PCI primer diindikasikan dilakukan dalam dua jam pertama terhitung jarak pertama sekali pasien mendapatkan terapi (first medical contact). Dalam dua jam pertama tersebut terapi reperfusi dengan PCI primer lebih diutamakan dibandingkan dengan terapi dengan menggunakan fibrinolisis. Sebelum dilakukan PCI primer maka dianjurkan pemberian dual antiplatelet therapy (DAPT) meliputi aspirin dan adenosine diphosphate (ADP). 7
b. Terapi Non-reperfusi Terapi non reperfusi ini dilakukan jika onset serangan sudah melibihi 12 jam. Obat-obat yang digunakan meliputi antitrombotik, meliputi aspirin, clopidogrel, serta agen antithrombin seperti UFH, enoxaparin, atau fondaparinux harus diberikan sesegera mungkin (Bottiger et al., 2008). c. Terapi STEMI untuk Jangka waktu yang Lama Terapi STEMI untuk jangka waktu yang lama terdiri dari (Steg et al., 2012): a) Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko, meliputi berhenti merokok, kontrol diet dan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, kontrol tekanan darah, intervensi faktor psikososial. b) Terapi Antitrombolitik, meliputi pemberian aspirin. c) Pemberian Beta-Blocker. d) Pemberian agen untuk merendahkan kadar lemak tubuh. e) Pemberian Nitrat 11 f) Pemberian Calcium Channel Blocker g) Pemberian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACE-inhibitor) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB). h) Pemberian Aldosteron Antagonist i) Pemberian Magnesium, glukose-insulin-pottasium, lidocaine.
2.7 KOMPLIKASI
Adapaun komplikasi STEMI antara lain sebagai berikut) adalah sebagai berikut: 3,4,7
a. Gagal jantung Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan atau penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan diastolic.
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut berdasarkan suara ronkhi dan S3 gallop: 1. Derajat I : tidak ada rhonki dan S3 gallop 2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronkhi di basal paru (setengah lapangan paru bawah), S3 galopdan peningkatan tekananvena pulmonalis. 3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru. 4. Derajat IV :Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru disertai dengan syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
12 b. Stroke iskemik Konsultasi neurologis perlu dilakukan pasd pasien STEMI yang mengalami strole iskemik akut (level of evidence C).Pasien STEMI yang mengalami stroke iskemi akut dan AF persisten harus mendapat terapi warfarin seumur hidup (INR 2-3) (level of evidence A).Pasien STEMI dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki sumber AF d jantung, trombus mural/ akinetik segmen harus mendapat terapi warfarin intensitas sedang.Durasinya tergantung kondisi klinis (minimal 3bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik segmen dan tidak terbatas pada pasien AF persisten).Pasien harus mendapat LMWH/UFH sampai antikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence B).Cukup beralasan untuk menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of evidence A).Cukup beralasan untuk pasien STEMI dengan risiko stroke iskemik akut nonfatalmenerima terapi suportif untuk menuunkan komplikasi dan meningkatkan outcome fungsional (level of evidence C).Angioplasty karotis 4-6 minggu setelah stroke iskemik dapat dipertimbangkan pada pasien STEMI yang mengalami stroke iskemik akut karena stenosis pada a.carotis inferior min 50% dengan risiko tiggi morbiditas/mortalitas setelah STEMI (level of evidence C). 2
2.8 Prognosis Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan TIMI score (Thrombolysis in Myocardial Infarction). TIMI skor risiko untuk mengidentifikasi STEMI signifikan gradien dari risiko kematian dengan menggunakan variabel yang menangkap sebagian besar informasi prognostik yang tersedia di multivariabel model. Kapasitas prediksi risiko ini skor stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan bukan perokok. Selain itu,TIMI skor risiko dilakukan baik dalam data eksternal yang besar ditetapkan pasien dengan STEMI. 8 13 Gambar 2.3 Skor TIMI
Selain menggunakan skor TIMI, stratifikasi risiko pada STEMI dapat dinilai dengan menggunakan Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) score. Skor ini menyajikan stratifikasi risiko baik saat masuk, selama perawatan, maupun saat keluar dengan lebih akurat. 1,2,7
14 BAB III KESIMPULAN
Penyakit kardiovaskuar saat ini merupakan penyebab banyak kematian di negara berkembang dan diperkirakan menjadi semakin banyak pada tahun 2020. Pada saat ini coronary artey disease (CAD) merupakan prevalensi paling banyak dan berhubungan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Unstable angina/STEMI adalah sindrom klinis bagian dari sindrom koroner akut biasanya, tetapi tidak selalu disebabkan oleh aterosklerosis pada CAD dan berhubungan dengan peningkatan resiko kematian jantung dan infark miokard lanjut. Pada spektrum SKA, UA/NSTEMI adalah ditemukan melalui elektrokardiografi dengan depresi segmen ST atau inversi gelombang T prominen dan atau hasil positif dari biomaker nekrosis (troponin) pada ketidakhadiran elevasi segmen ST dan pada kelainan klinis yang sesuai. Angina pektoris tak stabil dan infark miokard akut tanpa elevasi ST diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak menetap akibat ketidak seimbangan kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pada dasarnya terdapat empat terapi utama yang harus dipertimbangkan pada pasien NSTEMI : Terapi anti-iskemia, terapi antiplatelet/antikoagulan, terapi nonvasiv (kateterisasi dini/revaskularisasi), perawatan sebelum meninggalkan rumah sakit dan sesudah perawatan rumah sakit.
15 DAFTAR PUSTAKA
1. Rilantono I. Lili. 2012. Penyakit Kardiovaskular. FKUI. Jakarta. 2. Hamm CW., Bassand JP., Agewall S., Bax J., Boersma E. 2011. ESC Guidelines for the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting Without persistent ST-segment Elevation. European Heart Journal. 2011; 32: 2999-3054. 3. McManus DD., Gore J., Yarzebski J.,Spencer F., Lessard D et al. 2011. Recent Trends in The Incidence, treatment, and Outcome of Patients with STEMI and NSTEMI. Am J Med. 124:40-47. 4. Lilly S Leonard. 2011. Pathophysiology of Heart Disease 5 th Edition. Harvard Medical School. Philadelphia. 5. Alwi, Idrus. 2006. Tatalaksana Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. 6. Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill, 2000, 138797. 7. Steg G., James SK., Atas D., Badano LP., Lundqvist., Borger MA. 2012. ESC Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-segment Elevation. European Heart Journal. 33:2569-2619. 8. Morrow, David. Antman Elliott. Charlesworth, Andrew, et al. 2011. TIMI Risk Score for ST-Elevation Myocardial Infarction: A Convenient, Bedside, Clinical Score for Risk Assessment at Presentation. Diambil darihttp://circ.ahajournals.org.