You are on page 1of 36

0

TINJAUAN PUSTAKA
CEDERA KEPALA


Dokter Pembimbing:
Dr.Ananda Setiabudi, Sp.S

Disusun oleh:
Mutiara Sazkia
030.08.169

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
RUMAH SAKIT BUDHI ASIH
Periode 12 November 2012 - 15 Desember 2012
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
November 2012
1

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr. wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga pada akhirnya
saya dapat menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya.
Referat ini disusun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf di RS Budhi Asih.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ananda
Setiabudi, Sp.S selaku pembimbing makalah kasus saya di Kepanitraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf di RS Budhi Asih.yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan
dalam penyusunan makalah ini.
Saya sadari betul bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
makalah yang saya buat ini.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah referat ini
dapat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi mahasiswa
kedokteran.

Terima kasih
.Wassalamualaikum wr. wb.


Jakarta, November 2012
Penyusun,


Mutiara Sazkia
030.08.169

2

BAB I
PENDAHULUAN


Era globalisasi saat ini semakin meningkatkan mobilitas manusia, baik dalam
perjalanan antar desa, antar kota, maupun propinsi, serta antar negara. Kondisi tersebut
menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi, dan pada
akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas. Apalagi dalam kondisi
sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu
lintas.
1
Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan
kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh
karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif.
2
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak dia atas usia 1 tahun di
Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis
adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5%
penderita trauma kapitis meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai
dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering
menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan
rumah sakit masih membutuhkan pelayanan jagka panjang.
2
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar,
meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien
dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya merupakan
trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.
Manajemen trauma kapitis sendiri pada dasarnya dibagi dalam manajemen non
operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit saraf (neurologi) dan
manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah saraf.
2
Manajemen trauma kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran
kualitas hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya (patient
oriented) yang mayoritas berusia muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk
mengembangkan kariernya.
2

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
1.1 ANATOMI KEPALA

Gambar 1. Anatomi kulit kepala. (Dikutip dari: Mung S. Scalp Layers. Available at:
http://medic4u.webs.com/anatomy.htm)

a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
sebasea (keringat).
Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea.
4

Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri karotis interna
dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat,
berupa fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior),
m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi
oleh N. VII.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup,
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi
infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi
SCALP bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini
disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering
ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat
erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung
berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama
untuk mengeluarkannya.
3


b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiridari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
5

frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.
3,4

c. Meninges
3,4

Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu:

Gambar 2. Lapisan Pelindung Otak. (Dikutip dari: Wexner Medical Center. Available at:
http://medicalcenter.osu.edu/patientcare/healthcare_services/nervous_system/meningitis
/Pages/index.aspx)

1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling
luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung
melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan
meningeal). Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
6

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri meningea anterior,
media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri
opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media,
dan arteri vertebralis untuk yang posterior.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis.
1,3,4

2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat
dibawah duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan
nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki
banyak trabekula yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput
ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural, dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.

3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid,
hanya pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari
dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat
erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
3,4

7

d. Otak

Gambar 3. Bagian otak (Dikutip dari: University of Maryland. Available at:
http://www.umm.edu/patiented/articles/what_brain_tumors_000089_1.htm)


Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orangdewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan
serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
4


e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
8

ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
4

Gambar 4. Aliran Cairan Cerebrospinal. (Dikutip dari:
http://medic4u.webs.com/anatomy.htm)



f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).
4

g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalamdindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
4
9

1.2 FISIOLOGI KEPALA

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4
10 mmHg
(8)
. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah
intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat.
Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya
adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan
Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16%
dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah
otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya.
ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera
otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada
level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk meningkatkan ADO.
4











10

2. CEDERA KEPALA

SINONIM: Trauma kapitis = cedera kepala = head injury = trauma kranioserebral =
Traumatic Brain Injury.
2

2.1 DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.
2

2.2 EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian
cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala
meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala.
2
Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi
hampir 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala.
Data menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan
kecacatan pada usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang
memerlukan tindakan operasi.
2
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas
dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah
cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi 96% trauma
kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi
pada usia muda 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya
memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala yang
menjalani pemeriksaan CT Scan.
1
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau
menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan
tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang
11

memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala
membentur lantai.
1,3

2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas,
berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak.
Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon,
kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya
golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga,
kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.
3,5

2.4 MEKANISME CEDERA OTAK
1. Secara Statis (Static Loading)
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada
kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul kerusakan
berturut-turut mulai dari kulit, tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini
sangat jarang terjadi.
6

2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)
Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk
impulsif dan / atau impak.
6

Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala
mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh : pukulan
pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi
dari kepala yang bisa menyebabkan cedera otak.
6
a. Impak (Impact Loading)
Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2 bentuk
impak:
Kontak / benturan langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan :
- Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup
kontusio
12

- Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di
luar tempat trauma
- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan
oleh gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran
yang ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan
otak.
3,6

Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan
tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi
dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus
(diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk
coup, contra coup, dan intermediate.
3,6

2.5 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari
jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi
dan radikal bebas.
6

Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung
Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
13

tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.
6

Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi coup (cedera di tempat benturan).
3,6
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat
menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan
dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa
jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang
keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi
baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh
dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan
(frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari
belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di
daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan
tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.
3,6
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan
robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : Intermediate coup, contra
coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral.
3,6
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan
tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian
disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan
dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung
(kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra
coup).
6


14

2.6 KLASIFIKASI
2.6.1 Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu
lesi primer dan lesi sekunder.
Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur
tulang tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular
difus.
1,3

Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal,
perdarahan intraserebral, dan infeksi.
1,3

2.6.2 Berdasarkan patologi:
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasio serebri
2


Komosio Cerebri/Cedera Kepala Ringan
Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan pemeriksaan
klinis, sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan patologi. CKR
dianalogikan sama dengan komosio serebri. Di klinik, klasifikasi CKR lebih umum
dipakai karena memiliki beberapa keuntungan yaitu:
Mempergunakan GCS yang berguna untuk menilai berat ringannya cedera,
penilaiannya mudah bagi dokter spesialis, dokter umum, maupun paramedis, dan
nilai GCS dapat dipakai sebagai monitoring kondisi pasien
Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi.
1,7

15

Kontusio Cerebri
Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater.
Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh
darah kecil seperti kapiler, vena, dan arteri), nekrosis otak dan infark. Terutama
melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan
dan lekukan tulang saat terjadi benturan.
1,7,8
Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul
perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang berlawanan dari
cedera (countre-coup). Kontusio intermediate coup terletak diantara lesi coup dan
countre coup.
1,3,8

Gambar 5. Cedera Countre-Coup (Dikutip dari: http://ffden-
2.phys.uaf.edu/211_fall2010.web.dir/karlin_swearingen/pages/low_velocity.html)


Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain
adalah perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema
vasogenik. Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-
72 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam beberapa minggu) dan gliosis
aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik
terlihat sebagai lesi kistik kecoklatan.
6
Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika
melibatkan lobus frontal dan temporal bilateral, disebut cedera tetrapolar, memberikan
gejala TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline
shift) dan disertai koma atau penurunan kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan
16

berupa daerah kecil hiperdens yang disertai atau dikelilingi oleh daerah hipodens karena
edema dan jaringan otak yang nekrosis.
3

Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya
berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan
intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung.
Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda
asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka,
sedangkan laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat
dari kekuatan mekanis.
3

2.6.3 Berdasarkan lokasi lesi

Lesi diffus
Lesi kerusakan vaskuler otak
Lesi fokal
o Kontusio dan laserasi serebri
o Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural
Hematoma subdural
Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar.
2


Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis
tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik,
meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran
bahkan sampai koma.
1
17

Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan
disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang
mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak
atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan
pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai
derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada
umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.
3
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan
kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran
bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum
sampai ke batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-
scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson
yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear
hemorrages.
3

Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya
dapat berupa:
1. Cedera Akson Difus (Diffuse Axonal I njury = DAI)

Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam.
Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa
maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak
kejadian, suatu keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan
sekelilingnya dan tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari
luar. Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga
dipakai istilah cedera akson difus.
3
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis
ini relatif jarang ditemukan.
18

b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 %
dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang
otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya
mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat.
6
2. Cedera Vaskular Difus (Diffuse Vaskular I njury = DVI)
Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien
segera meninggal dalam beberapa menit.
3

Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang
cepat terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada
daerah temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea media.
Jika tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian.
1,2,3,9,10


Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek.
Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat
terjadi cedera.
1,3,10

Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid.
1,3,10

Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai
hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya
robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90
19

persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia
basalis.
1,2,3

Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada
trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan
ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih
sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang otak.
2,3

3. Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan GCS
2
Kategori GCS Gambaran Klinik CT Scan Otak
Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologik (-) Normal
Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit neurologik (-) Normal
Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit
neurologik (+)
Abnormal
Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal
Catatan:
1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat
2. Jika abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita
dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat
2


2.7 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.
2

20

Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
2. Penilaian fungsi vital
3. Otorrhea/rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5. Ekimosis mastoid bilateral/Battles sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak
10. Pemeriksaan pupil
11. Refleks kornea
12. Dolls eye phenomenone
13. Monitor pola pernafasan
14. Gangguan fungsi otonom
15. Funduskopi.
2

HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal.
2,3,5,10


Hematoma Epidural di Fossa Posterior
Gejala dan tanda klinis:
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
21

5. Pupil isokor
2,3,5,10


Penunjang diagnostik:
- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks
2,3,5


Gambar 6. CT Scan Hematom Epidural. (Dikutip dari:
http://classic.muhealth.org/neuromed/images/epidural.jpeg)
-

HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya bridging vein
(vena jembatan). Jenis:
a. Akut : interval lucid 0-5 hari
b. Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu
c. Kronik : interval lucid >3 bulan
2


Hematoma Subdural Akut
Gejala dan tanda klinis:
Sakit kepala
Kesadaran menurun
2


Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan
arakhnoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti
bulan sabit.
1,2,3,5,7,10

22


Gambar 7. CT Scan Hematom Subdural. (Dikutip dari:
http://webmm.ahrq.gov/media/cases/images/case6_fig1.jpg)

HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral
mono- atau multiple.
3,6

Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Neurology/IC_hemorrhage2.htm)


FRAKTUR BASIS KRANII
1. Anterior
Gejala dan tanda klinis :
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
- Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
- anosmia
2,3
23


Gambar 9. Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye (Dikutip dari:
http://doctorsgates.blogspot.com/2011/02/raccoon-eyes-sign-for-basal-skull.html)


2. Media
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
2,3,9

3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
- Bilateral mastoid ecchymosis/battles sign
2,3,5

Gambar 10. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battles Sign (Dikutip dari:
http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Battle%27s%20sign.htm)

Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section)
2

DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda kllinis :
- Koma lama trauma kapitis
24

- Disfungsi saraf otonom
- Demam tinggi
2

Penunjang diagnostik:
CT scan otak
Awal normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
Ulangan setelah 24 jam, edema otak luas
2


PERDARAHAN SUBARAKNOID TRAUMATIKA
Gejala dan tanda klinis:
- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: perdarahan (hiperdens) diruang subarakhnoid
2,6,8

Gambar 11. CT Scan Subarachnoid Hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.neurographics.org/3/1/2/4.shtml)


Diagnostik Pasca Perawatan
1. Minimal (Simple Head Injury)
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma (APT),
tidak ada defisit neurologis

2. Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury)
25

GCS 13-15, CT Scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat
RS< 48 jam, amnesia pada trauma (APT) < 1 jam

3. Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)
GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau
GCS > 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau
abnormal CT scan, pingsan >30 menit 24 jam, APT 1-24 jam


4. Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)
GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam, APT >
7 hari.
1,2

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah tepi lengkap
Gula darah sewaktu
Ureum kreatinin
Albumin serum (hari ke-1)
Analisa gas darah (Astrup)
Elektrolit darah dan elektrolit urin (bila perlu)
Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan hematologis)
7,9


Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah
leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema,
kontusio, hematoma)
7,9,10


Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri
7

26

2.9 PENATALAKSANAAN
Terapi Kasus ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan pada luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
- Pasien cenderung mengantuk
- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil
Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
- Sakit kepala dan muntah
- Tidak ada yang mengawasi dirumah
- Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit
2

Terapi Cedera Kepala Ringan
Indikasi rawat inap CKR:
Nilai GCS <15
Orientasi (waktu dan tempat) terganggu, adanya amnesia
Gejala sakit kepala, muntah, dan vertigo
Fraktur tulang kepala
Tidak ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah
Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi hematoma
intrakranial
7

Tujuan rawat inap CKR:
Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)
Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi luhur pasca trauma
berkepanjangan yang akan mempengaruhi kualitas hidup
Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau hematoma subdural
3,7


27

Pemeriksaan penunjang CKR
- Laboratorium: darah tepi lengkap
- Foto kepala AP/lateral, foto servikal kalau perlu
- CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma intrakranial dengan
gejala riwayat lucide interval, sakit kepala progresif, muntah proyektil,
kesadaran menurun, dan gejala lateralisasi
2,3,7


Tata laksana dan tindak lanjut
- Tirah baring dengan kepala ditinggalkan 20- 30, dimana posisi kepala dan
dada pada satu bidang, lamanya disesuaikan dengan keluhan (sakit kepala,
muntah, vertigo). Mobilisasi bertahap harus dilakukan secepatnya
- Simtomatis:
Analgetik (parasetamol, asam mefenamat), anti vertigo (beta histin mesilat),
antiemetik
- Antibiotik jika ada luka (ampicilin 4x500 mg)
- Perawatan luka
- Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 1 kolf/12 jam, untuk
mencegah dehidrasi
1,7


Unit terkait
PPM bedah saraf bila ada hematoma epidural atau hematom subdural yang
perlu tindakan bedah.
1,7

Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat
Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation
(C)

A: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke
bawah
Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal
Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu
28

Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
B:
- Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten
- Bila perlu pakai ventilator
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor
ekstrakranial berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
- Menghentikan sumber perdarahan
- Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer
laktat per infus
- Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah
1,7


Pemeriksaan fisik CKS/CKB
Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi:
- Kesadaran
- Tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan
- Pupil
- Defisit fokal serebral
- Cedera ekstrakranial (dengan konsultasi dan kerjasama tim)
7


Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder

Pemeriksaan Penunjang CKS/CKB
Lihat pemeriksaan radiologi dan laboratorium
1,7

Tekanan Intra Kranial meninggi
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK.
TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah harus diturunkan dengan
cara:

29

- Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2 dipertahankan
antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba dilepas dengan
mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperbentilasi diteruskan 24-48
jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan
lakukan CT Scan ulang
1,2,3,7
- Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap
6jam, selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320
mOsm.
Loop diuretik (furosemid)
Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan memperpanjang
efek osmotik serum oleh manitol. Dosis: 40mg/hari
Terapi barbiturat
Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis
sekitar 1mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48
jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
Posis tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam
satu bidang.
1,7

Keseimbangan cairan dan elektrolit
Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal,
takikardi kembali normal dan volume urin 30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dimulai
30

makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Bila terjadi gangguan keseimbangan cairan
elektrolit (pemberian diuretik, diabetes insipidus, SIADH), pemasukan cairan harus
disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum,
kreatinin, dan osmolalitas darah.
1,7

Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan
protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
- Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan
dengan keseimbangan elektrolit.
1,7


Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan
jaringan saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan
piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.
1,7

Komplikasi
- Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk
terjadinya kejang pasca CKB, yaitu:
GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak,
Hematom Subdural, Hematom Epidural
Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam
kurun waktu <24 jam pasca cedera

31

Pengobatan
Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v, dilanjutkan
dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100
mg/hari
Profilaksis:
Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari
selama 7-10 hari.
1,3,7


- Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis
meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v
selama 10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari
atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal negatif.
1,3,7


- Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu
dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan
lipat paha. Dan ditambahkan obat antipiretik.
1,3,7


- Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain,
dengan 19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan
mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan
fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi. Keadaan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral atau bersama H2 reseptor bloker
yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v selama 5
hari, atau Proton Pump Inhibitor seperti omeprazole.
1,3,7



32

- Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan
penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika dan
pemberian diuretika serta oksigen.
1,3,7


Neurorestorasi /neurorehabilitasi
- Pasien dengan penurunan kesadaran, program neurorestorasi /neurorehabilitasi
dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus dengan perubahan posisi berbaring
tiap 8 jam, pneumonia ortostatik dengan perubahan posisi berbaring tiap 8 jam,
dan ekstermitas digerakkan secara pasif.
- Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologis ulang termasuk pemeriksaan
kortikal luhur, karena banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur yang
menurunkan kualitas hidup pasca cedera kranio serebral.
1,7


Indikasi operasi penderita trauma kapitis
1. EDH (epidural hematoma):
a. > 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal denagn fungsi
batang otak masih baik.
b. >30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak
masih baik
c. EDH progresif
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
2. SDH (subdural hematoma)
a. SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang
otak masih baik
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
Indikasi operasi ICH pasca trauma:
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing refleks)
33

c. Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi
dekompensasi.
2

2.10 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.
3
Diffuse Injury Grade CT appearance Mortality
I Normal CT Scan 9.6%
II Cisterns present. Midline shift <5
mm
13,5%
III Cisterns compressed/ absent.
Midline shift <5 mm
34%
IV Midline shift >5 mm 56,2%

2.11 PENCEGAHAN DAN EDUKASI
Yang sangat efektif adalah pendidikan masyarakat
Penggunaan helm penyelamat dan memadai. Angka kematian 4600 (1962)
2400 (1992)
Penggunaan sabuk keamanan 11% (1982) 66% (1992)
Penggunaan kantong udara 550.000 jiwa terselamatkan, 40.000 pengemudi
terhindar dari kerusakan yang serius
Perilaku pengemudi
Kecepatan kendaraan.
1,3





34

BAB III
KESIMPULAN
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak
terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar
diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai.
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan
sekunder), berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri),
berdasarkan lokasi lesi (vaskuler, difus [DAI, DVI]), fokal [Hematoma epidural,
subdural, subarakhnoid, intraserebral, intraserebellar]), dan berdasarkan GCS (simple
head injury, CKR, CKS, CKB) guna menentukan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan, tatalaksana, indikasi operatif, dan prognosis.
Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan
dilakukan pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi adanya
perburukan. Pada kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis, observasi
perburukan, dan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan untuk menyingkirkan adanya
hematom, sedangkan untuk kasus CKS dan CKB tindakan awal yang dilakukan adalah
sesusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation
(C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil, defisit fokal serebral, cedera
ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap meliputi pemeriksaan laboratorium
lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang meninggi, Keseimbangan cairan dan
elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi komplikasi (epilepsi, infeksi, demam,
gangguan gastrointestinal, edema pulmonum, dan neurorestorasi /neurorehabilitasi.
Indikasi terapi operatif berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis bergantung
pada skor GCS.Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan
masyarakat berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk
keamanan, perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.



35

DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2
nd
Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-
154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6
th
Ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ
@KQoKCDUAAGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neuros
urg:journal:9&nmid=198747111. Accessed on: November 20 2012.
7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan
Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58
8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552.
Accessed on November 21 2012.
9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. 6
th
Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. p1067-1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. p12-18

You might also like