You are on page 1of 5

116.

TINEA CORPORIS

1. Definisi
Tinea corporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi
maupun noninflamasi pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian muka,
leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea sirsinata, tinea
glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine trichophytique.

2. Epidemiologi
Tinea corporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang
panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi yang hangat dan lembab membantu
penyebaran infeksi ini. Oleh karena itu, daerah tropis dan subtropis memiliki insien yang tinggi
terhadap tinea corporis. Tinea corporis dapat terjadi pada semua usia. Bisa didapatkan pada orang
yang bekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan memudahkan infeksi. Penularan
juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung
melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel
dan lain-lain.

3. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur
ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang
terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Walaupun
semua dermatofita bisa menyebabkan tinea corporis, penyebab yang paling umum adalah T.
rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.

4. Patofisiologi
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host.
1. Perlekatan. Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada
jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan
sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea
juga bersifat fungistatik
2. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum
pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi
proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma
dan maserasi juga membantu penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan didalam dinding sel
dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul
ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.
3. Perkembangan respons host. Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan
organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Pada pasien yang
belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi minimal
dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang
dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita
diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe.
Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi untuk menyerang
jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable
terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan
menjadi sembuh.

5. Gejala Klinis
Penderita merasa gatal, dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam
efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan)
daripada bagian tengah. wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi
dan skuamasi, menahun.
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas,
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah tengahnya
biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang
sering disebut dengan sentral healing.
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat terlihat
secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberi
gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi. Pada tinea korporis yang
menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap
bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea
corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.

6. Diagnosis
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang diderita pasien.
Dari gambaran klinis didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai, dada, perut atau punggung. Infeksi
dapat terjadi setelah kontak dengan orang yang terinfeksi atau hewan atau objek yang baru
terinfeksi. Pasien mungkin mengalami gatal-gatal, nyeri atau pasien dapat merasa sensasi
terbakar.
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Woods, yang mengeluarkan sinar
ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan pada lesi akan timbul warna
kehijauan. Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan
elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan
bahan diatas bahan alas (objek glass), kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi
larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan
dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan
jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemnasan sediaan basah diatas
api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila terjadi
penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai.
Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH,
misalnya tinta Parker superchroom blue black.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung
sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah
medium agar dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi
lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan
sensitivitasnya kurang ( 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.

7. Diagnosa Banding
Diagnosis tinea korporis tidak sulit ditegakkan pada umumnya, namun ada beberapa
penyakit kulit yang dapat membuat rancu diagnosis tersebut, misalnya dermatitis seboroika,
psoriasis, dan pitiriasis rosea.
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya
dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit,
misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.. Kulit kepala berambut juga sering
terkena penyakit ini. Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroika adalah skuamanya
yang berminyak dan kekuningan.
Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema pada bagian
pinggir sehingga menyerupai tinea. Perbedaannya ialah pada psoriasis terdapat tanda-tanda khas
yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetes lilin, dan fenomena auspitz.
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor,
misalnya lutut, siku, dan punggung.
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan
bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang
dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Perbedaannya pada pitiriasis rosea
gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus sedangkan pada tinea
korporis kasar. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya.

8. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan pada pasien bervariasi tergantung derajat lesi yang ada.
Prinsip pengobatan pada tinea kruris lebih kurang sama dengan prinsip pengobatan tinea korporis
a. Terapi topikal
Terapi ini direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada
jaringan. Pada masa kini selain obat-obat topical konvensional, misalnya asam salisil 2-4%, asam
benzoate 6-12%, sulphur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5% dan zat warna (hijau brilian
dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topical baru. Obat-obat baru ini diantaranya tolnaftat
2%; tolsiklat, haloprogin, berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam
berbagai formulasi. Dan semua obat-obat baru ini memberikan keberhasilan terapi (70-100%).
Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan.
Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi. Berikut
obat yang sering digunakan :
1). Topical azol terdiri atas: Econazol 1 %, Ketoconazol 2 %, Clotrimazol 1%, Miconazol 2% dll.
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan
ergosterol membran sel jamur.
2). Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga
skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur, yaitu naftifine 1%,
butenafin 1%. Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7
hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.
3). Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan
esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen
topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum
luas.
b. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa
obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak
tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien immunocompromised, atau pasien tidak
responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.
1). Griseofulvin. Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25
mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan
bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
2). Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk
golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari - 2 minggu pada pagi hari setelah
makan.
3). Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi
tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4). Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat
fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea.
Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.
5). Amfoterisin B. Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces
nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur,
protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.

You might also like