You are on page 1of 14

ANALGESIK DALAM ANESTESI

Obat Analgesik
Obat-obat analgesik digunakan sebagai bagian dari teknik anestesi untuk
menghilangkan nyeri, mengurangi respon autonom terhadap pembedahan, dan
memungkinkan pemberian konsentrasi obat inhalasi dan IV yang lebih rendah dalam
pemeliharaan anesthesia.

ANALGESIK OPIOID
Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek
seperti morfin. Semua obat yang masuk ke kategori ini bekerja dengan jalan mengikat
reseptor opioid spesifik pada susunan saraf pusat untuk menghasilkan efek yang
meniru efek neurotransmitter peptida endogen. Penggunaannya yang utama adalah
untuk menghilangkan nyeri yang dalam, baik karena operasi ataupun sebagai akibat
luka atau suatu penyakit, seperti kanker.
Opioid berinteraksi dengan reseptor protein pada membran sel-sel tertentu di
susunan saraf pusat, pada ujung saraf perifer, dan pada sel-sel saluran cerna. Efek
utama opioid diperantarai oleh 4 reseptor antara lain reseptor (Mu), reseptor
(kappa), reseptor (delta), dan reseptor (sigma).


Kerja Antagonis dan Agonis di Reseptor Opioid

Reseptor opioid terdapat pada daerah umum SSP yang terlibat dalam mengintergrasi
pembentukan nyeri, antara lain di :
- batang otak, mempengaruhi pernapasan, batuk, mual dan muntah, memelihara
tekanan darah, diameter pupil, dan mengontrol sekresi lambung
- talamus media, mempengaruhi nyeri yang dalam yang tidak terlokalisasi dan
mempengaruhi emosi
- medula spinalis, terlibat penerimaan dan integrasi hasil pembentukan sensorik,
yang mempengaruhi pengurangan rasa nyeri stimulus aferen.
- Hipotalamus, mempengaruhi sekresi neuroendokrin
- Sistem limbik, mempengaruhi tingkah laku
Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan :
1. Reseptor (mu) : -1, analgesic supraspinal, sedasi.
-2, analgesic spinal, depresi nafas, euphoria,
ketergantungan fisik, kekakuan otot.
2. Reseptor (delta): anlgesik spinal, epileptogen.
3. Reseptor k (kappa): k-1 analgesik spinal
k-2 tak diketahui
k-3 analgesik supraspinal
4. Reseptor (sigma): disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
5. Reseptor (epsilon): respon hormonal

Analgesik opioid dapat memiliki karakteristik kerja agonis murni, agonis
parsial, atau campuran (agonis dan antagonis) pada reseptor-reseptornya.

Agonis murni
Kelompok obat ini menghasilkan efek klasik opioid, yaitu analgesia, euforia,
sedasi, depresi ventilasi, dan ketergantungan fisik. Efek sistemik opioid disebabkan
oleh aktivitas sentral dan perifer.
Tabel 1. Kerja sentral dan perifer opioid

Sistem Saraf Pusat Sistem Respirasi Traktus Gastrointestinal
Analgesia Efek antitusif Penurunan peristaltik
menyebabkan:
Sedasi Bronkospasme pada pasien- - konstipasi

Tabel 2. Agonis opoioid murni yang digunakan pada anesthesia

Obat Rute
Pemberian
Dosis Onset Durasi (menit) Keterangan
Morfin IM 0.2-0.3 mg/kg 20-30
menit
60-120 Juga diberikan secara subkutan,
perrektal, epidural, intratekal
IV 0.1-0.15 mg/kg 5-10
menit
45-60 Efektif mengatasi nyeri visceral
dan nyeri iskemia miokard.
Kurang efektif untuk trauma
Fentanyl IV 1-3 g/kg 2-3
menit
20-30 Prosedur singkat, ventilasi
spontan
5-10 g/kg 1-2
menit
30-60 Prosedur lama, ventilasi dikontrol
Alfentanil IV 10 g/kg 30-60
detik
5-10 Prosedur singkat. Dapat
menyebabkan depresi napas yang
nyata
Infus IV 0.5-2
g/kg/menit
30-60
detik
Tergantung
infus
Prosedur lama, ventilasi dikontrol
Ramifentanil Infus IV 0.1-0.3
g/kg/menit
15-30
detik
Tergantung
infus
Prosedur besar. Pemulihan sangat
cepat. Depresi napas nyata.
Banyak digunakan pada TIVA
pasien yang rentan - Keterlambatan pengosongan
lambung
Euforia Sistem Kardiovaskular Konstriksi sfingter
Mual dan muntah - Vasodilatasi perifer
- Bradikardia akibat
stimulasi vagal
Sistem Endokrin
- Pelepasan ADH dan
katekolamin
Konstriksi pupil Kulit
Depresi ventilasi:
- frekuensi lebih
dipengaruhi dibanding
kedalaman
- Respon terhadap CO
2
menurun
Gatal
Depresi pusat vasomotor
Adiksi
Traktus urinarius
- peningkatan tonus sfingter
- retensi urin
Pethidine IM 1-2 mg/kg 15-20
menit
30-60 Mual dan muntah jelas. Sedikit
efek pada otot polos


Tramadol
Merupakan suatu agonis lemah yang terutama bekerja pada reseptor MOP
dengan potensi kurang lebih 10% potensi morfin, tetapi memiliki potensi 100% dalam
efek sampingnya, seperti mual, muntah, dan konstipasi.
Tramadol juga menghambat pengambilan kembali noradrenalin dan 5-
hidroksitriptamin (5-HT) di dalam SSP, sehingga memperkuat jaras inhibitorik
desenden yang mengatur persepsi nyeri.
Tramadol diabsorbsi baik per oral, dosisnya 50-100 mg tidak lebih dari 4 jam
sekali. Dosis serupa dapat diberikan melalui IV dan IM.

Antagonis parsial dan gabungan agonis/antagonis
Obat-obat ini diperkenalkan dengan harapan bahwa dengan aktivitas agonis
parsial semata atau dengan gabungan aktivitas agonis/antagonis, analgesia dapat
dicapai tanpa mendapat masalah depresi ventilasi. Akan tetapi, efektivitas yang ideal
belum dapat dicapai.

Nalbuphine, meptazinol, dan pentazocine
Obat-obat tersebut merupakan analgesic sintetik yang memiliki aktivitas agonis pada
satu reseptor opioid dan aktivitas antagonis pada reseptor yang lain. Nabuphine setara
dalam hal potensi dan durasi dengan morfin, dan menghasilkan efek analgesik
tertinggi. Meptazinol hanya memiliki seper-sepuluh potensi morfin dengan insidensi
mual dan muntah tinggi. Pentazocine memiliki kurang lebih seperempat potensi
morfin.

Buprenorphine
Merupakan agonis parsial, tetapi 30 kali lebih poten dibandingkan morfin dengan
durasi kerja yang lebih lama, yaitu hingga 8 jam. Buprenorphine diabsorbsi baik saat
diberikan sublingual. Mual dan muntah mungkin berat dan berkepanjangan.

Antagonis murni
Satu-satunya obat yang lazim digunakan secara klinis sadalah naloxone. Obat
golongan ini memiliki aktivitas antagonis di seluruh reseptor opioid, membalikkan
seluruh efek agonis opioid murni yang diperantarai secara sentral.

Fentanyl
I. Penggunaan: Analgesik, anestesi
II. Dosis:
1. Analgesia:
a. IV/IM : 25-100 g (0.7-2 g/kg)
b. Oral transmukosa: 200-400 g (5-15 g/kg) setiap 4-6 jam.
Oralet harus dihisap dan tidak dikunyah
2. Induksi:
a. Bolus IV: 5-40 g/kg atau
b. Infus: 0.25-0.2 g/kg/menit selama 20 menit. Dosis dititrasi
sesuai dengan respon pasien. Untuk menghindari kekuan dinding dada
diberikan relaksan otot secara serentak dengan dosis induksi.
3. Suplemen anesthesia:
a. IV: 2-20g/kg
b. Infus: 0.025-0.25 g/kg/menit
4. Anestetik tunggal:
a. IV: 50-150 g/kg (dosis total) atau
b. Infus: 0.25-0.5 g/kg/menit
5. Epidural:
a. Bolus: 50-100 g (1-2 g/kg); encerkan dalam 10 ml NS atau
anestetik lokal
b. Infus: 25-60 g/jam (0.5-0.7 g/kg/jam)
6. Spinal:
a. Bolus: 5-20 g (0.1-0.4 g/kg)
7. Blok regional IV:
a. Tambahkan 50 g (1 g/kg) fentanyl pada anestetik lokal
8. Blok pleksus brakhialis:
a. Tambahkan 50-100 g (1-2 g/kg) fentanyl pada 40 ml (0.5-
0.75 ml/kg) anestetik lokal
9. Analgesia dikontrol pasien:
a. IV bolus: 15-75 g (0.3-1.5 g/kg)
b. IV infus: 15-100 g/jam (0.3-2 g/kg/jam)
c. Interval halangan 3-10 menit
d. Epidural bolus: 4-8 g (0.08-0.16 g/kg)
e. Epidural infus: 6 g/jam (0.12 g/kg/jam)
f. Interval halangan 10 menit
10. Sistem transdermal
a. Awal: 25-50 g/jam
b. Pemeliharaan: 25-100 g/jam
c. Dosis didasarkan pada kebutuhan analgesic 24 jam
sebelumnya. 60 mg dosis morfin IM = 360 mg dosis morfin PO = 100
= 200 g/kg dosis fentanyl transdermal. Dosis > 50 g/jam hanya
digunakan pada pasien yang sudah mendapatkan dan sudah mengalami
sejumlah toleransi terhadap opioid.
d. Setiap aplikasi transdermal memberikan 72 jam persalinan
analgesik yang dapat diandalkan. Konsentrasi terapeutik tidak tercapai
hingga 12-24 jam setelah aplikasi awal. Dosis awal dapat ditingkatkan
setelah 3 hari. Titrasi lebih lanjut harus dievaluasi setelah 2 aplikasi (6
hari) pada dosis yang baru.

III. Eliminasi: Hati
IV. Kemasan:
1. Suntikan: 50 g/ml
2. Transdermal: 25 g/jam, 50 g/jam, 75 g/jam, 100 g/jam
3. Oralet transmukosa: 200 g, 300 g, 400 g
V. Penyimpanan
1. Suntikan: suhu kamar (15-30 C). Lindungi dari cahaya.
2. System transdermal; suhu di bawah 30 C
VI. Pengenceran
1. IV: 500 g dalam 100 ml NS (5 g/ml)
2. Bolus epidural: 50-100 g dalam 15-20 ml anestetik lokal atau NS
3. Infus epidural: 100-500 g dalam 100 ml anestetik lokal atau NS
VII. Farmakologi
Merupakan turunan fenilpiperidin, yaitu agonis opioid yang poten. Sebagai
suatu analgesik, fentanyl 75-125 kali lebih poten dibandingkan morfin. Onset
dan durasi aksi yang cepat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar
dibandingkan dengan morfin. Depresi dari ventilasi tergantung pada dosis dan
dapat berlangsung lebih lama dibanding analgesia. Stabilitas kardiovaskular
dipertahankan walaupun dalam dosis besar saat digunakan sebagai anestetik
tunggal. Aliran darah otak, kecepatan metabolism otak, dan tekanan
intracranial menurun. Fentanyl (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik
lokal pada blok saraf tepi. Keadaan sebagian disebabkan oleh sifat anestetik
lokal yang lemah (dosis yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya
terhadap reseptor opiate pada terminal saraf tepi. Fentanyl dikombinasi dengan
droperidol untuk menimbulkan neuroleptalanalgesia.
VIII. Farmakokinetik
1. Onset
a. IV: dalam 30 detik
b. IM: <8 detik
c. Epidural/spinal: 4-10 menit
d. Transdermal: 12-18 jam
e. Oral transmukosa: 5-15 menit
2. Efek puncak
a. IV: 5-15 menit
b. IM: 15 menit
c. Epidural/spinal: <30 menit
d. Oral transmukosa 20-30 menit
3. Durasi aksi
a. IV: 30-60 menit
b. IM: 1-2 jam
c. Epidural/spinal: 1-2 jam
d. Transdermal: 3 hari
e. Oral transmukosa: 1-2 jam
4. Interaksi dan toksisitas
Efek mendepresi sirkulasi dan ventilasi dipotensiasi oleh narkotik,
sedative, anestetik volatil, oksida nitrosa; efek mendepresi ventilasi
dipotensiasi oleh amfetamin, inhibitor MAO, fenotiazin, dan
antidepresan trisiklik; analgesia ditingkatkan dan diperpanjang oleh
agonis alfa-2 (epinefrin, klonidin, dll); kekakuan otot pada dosis yang
lebih tinggi cukup untuk mengganggu ventilasi; penambahan epinefrin
pada fentanyl intratekal/epidural menimbulkan peningkatan efek
samping (contohnya mual) dan memperpanjang blok motorik.
IX. Pedoman/Peringatan
1. Pada pasien yang secara hemodinamik stabil, dosis analgesic dapat
diberikan 2-4 menit sebelum laringoskopi untuk memperlemah respon
presor terhadap intubasi. Kebutuhan akan obat-obatan induksi
(contohnya natrium thiopental) dapat menurun.
2. Kurangnya dosis pada pasien manula, hipovolemia, pasien berisiko
tinggi, dan pada penggunaan bersamaan dengan sedatif dan narkotik
lainnya. Dosis tahapan harus ditentukan dari efek dosis awal.
3. Efek narkotik direversi oleh naloxone (0.2-0.4 mg IV atau lebih
tinggi). Lamanya reversi dapat lebih pendek dibandinkan dengan
lamanya aksi narkotik.
4. Dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan tonus dan kekakuan otot
peka naloxone yang meningkat.
5. Melintasi sawar plasenta, dan penggunaan pada partus dapat
menimbulkan depresi pernapasan pada neonates. Kemungkinan
diperlukan resusitasi; sediakan naloxone
6. Efek samping yang tidak diinginkan dari fentanyl epidural, kaudal,
atau intratekal meliputi depresi pernapasan yang tertunda (hingga 8
jam setelah dosis tunggal), pruritus, mual dan muntah, retensi urin.
Naloxone (IV 0.2-0.4 mg prn atau infus 5-10 g/kg/jam) efektif untuk
profilaksis dan/atau pengobatan efek samping ini. Bantuan ventilasi
untuk depresi pernapasan harus tersedia. Antihistamin (contohnya
difenhidramin 12.5-25 mg IV/IM setiap 6 jam prn) dapat digunakan
dalam mengobati pruritus. Metoklorparamid (10 mg IV setiap 6 jam)
dapat digunakan untuk mengobati mual dan muntah. Retensi urin yang
tidak memberikan respon terhadap naloxone kemungkinan
memerlukan kateterisasi kadung kemih langsung.
7. Jika pasien mengalami septicemia, infeksi pada tempat suntikan atau
koagulopati, suntikan epidural, kaudal, atau intratekal harus dihindari.
8. Setelah dikonsumsi oralet transmukosa harus diangkat atau jika pasien
memperlihatkan tingkat sedative/analgesik yang cukup atau tanda
depresi pernapasan. Angkat matriks obat dari gagang dengan kertas
tissue dan cuci.
9. Paparan kulit karena kecelakaan dengan oralet transmukosa harus
diterapi dengan membilas daerah yang terkena dengan air dingin.
10. Fentanyl system transdermal merupakan kontraindikasi dalam
penatalaksanaan nyeri akut atau pascabedah, termasuk penggunaan
pada pembedahan rawat jalan
X. Efek samping utama
1. Kardiovaskular: hipotensi, bradikardia
2. Polmoner: depresi pernapasan, apneu
3. SSP: pusing, pernglihatan kabur, kejang
4. GI: mual, emesis, pengosongan lambung tertunda, spasme traktus
biliaris
5. Mata: miosis
6. Musculoskeletal: kekakuan otot.



Ketorolak
I. Penggunaan: Analgesik
II. Dosis:
1. Pemuatan:
a. IV/IM lambat: 30-60 mg (0.5-1 mg/kg)
2. Pemeliharaan:
a. IV/IM lambat: 15-30 mg (0.25-0.5 mg/kg) setiap 4-6 jam prn
3. Dosis maksimum total (gabungan oral dan parenteral)
a. 150 mg (2-3 mg/kg/hari) untuk hari pertama
b. 120 mg/hari (1.5-2.5 mg/kg/hari)
c. Dosis PO maksimum40 mg/hari
4. Dosis IV harus diinfuskan secara perlahan (dalam 5 menit) untuk
mengurangi risiko flebitis. Batas lama pemakaian ketorolak oral (14
hari) untuk memperkecil efek samping yang serius (contohnya
perdarahan GI)
III. Eliminasi: Hati, ginjal
IV. Kemasan:
1. Suntikan: 15 mg/ml
2. Tablet: 10 mg
V. Penyimpanan
1. Suntikan/tablet: suhu kamar (15-30 C). Lindungi suntikan dari
cahaya.
VI. Pengenceran
1. IV: 500 g dalam 100 ml NS (5 g/ml)
2. Bolus epidural: 50-100 g dalam 15-20 ml anestetik lokal atau NS
3. Infus epidural: 100-500 g dalam 100 ml anestetik lokal atau NS
VII. Farmakologi
Merupakan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang memperlihatkan
aktivitas analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Ketorolak menghambat
sintesis PG dan dapat dianggap suatu analgesic yang berkerja secara perifer.
Potensi analgesic ketorolac 30 mg IM setara dengan 9 mg morfin dengan
sedikit rasa mengantuk, mual , muntah, dan tanpa perubahan fungsi ventilasi
yang bermakna. Potensi analgesic ketorolac 10 atau 20 mg PO setara dengan
650 mg aspirin atau 600 mg asetaminofen dengan 60 mg kodein. Tidak seperti
opioid, ketorolac tidak menurunkan MAC anestetik volatile. Pada dosis klinik
tidak dapat perubahan yang bermakna pada jantung atu parameter
hemodinamik. Ketorolac menghambat agregasi trombosit dan memperpanjang
masa perdarahan. Penghambatan fungsi trombosit menghilang dalam 24-48
jam setelah obat dihentikan. Ketorolac tidak mempengaruhi hitung trombosit,
PT, ataupun APTT.
VIII. Farmakokinetik
1. Onset
a. IV: <1 menit
b. IM: <10 menit
c. PO: <1 jam
2. Efek puncak
a. IV/IM/PO: 1-3 jam
3. Durasi aksi
a. IV/IM/PO: 3-7 jam
4. Interaksi dan toksisitas
Efek dipotensisasi dengan pemberian bersama salisilat, peningkatan
toksisitas litium, metotreksat; risiko perdarahan ditingkatkan dengan
pemberian bersama dengan NSAID, antikoagulan, atau terapi heparin
dosis rendah; dapat mencetuskan gagal ginjal pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, gagal jantung atau disfungsi hati, pasien
dengan terapi diuretic, dan manula.
IX. Pedoman/Peringatan
1. Ketorolac merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
hipersentisitivitas terhadap ketorolac sebelumnya, atau dengan sindrom
polip nasi lengkap atau parsial, angioedema, atau reaktivitas
bronkospastik terhadap aspirin atau NSAID lainnya.
2. Jangan gunakan sebagai analgesia obstetri
3. Tidak dianjurkan untuk premedikasi karena memperpanjang waktu
perdarahan
4. Ketorolac tidak kompatibel dan jangan dicampur dengan larutan
morfin sulfat, meperidin, prometazin, atau hidroksizin.
X. Efek samping utama
1. Kardiovaskular: vasodilatasi, pucat, angina
2. Polmoner: dyspnea, asma
3. SSP: rasa mengantuk, pusing, sakit kepala, berkeringat, depresi,
euphoria
4. GI: ulserasi, perdarahan, dyspepsia, mual, muntah, diare, nyeri
gastrointestinal
5. Musculoskeletal: pruritus, urtikaria
DAFTAR PUSTAKA

Obat-obatan Anestesia. Omoigui, Sota. 1994. Jakarta: EGC
Kumpulan Kuliah Anestesia.2009.Jakarta: EGC

You might also like