You are on page 1of 103

UNIVERSITAS INDONESIA

Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan


Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben
Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate






SKRIPSI




Deagita Yolani
0806326595












FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM S1 KIMIA
DEPOK
JANUARI 2012

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA




Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan
Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben
Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate






SKRIPSI



Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains







Deagita Yolani
0806326595








FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN KIMIA
DEPOK
JANUARI 2012

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS



Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya
nyatakan dengan benar.






Nama : Deagita Yolani
NPM : 0806326595
Tanda Tangan :
Tanggal : 30 Desember 2011



Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN




Skripsi ini diajukan oleh
Nama : Deagita Yolani
NPM : 0806326595
Program Studi : Departemen Kimia
Judul Skripsi : Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan
Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai
Adsorben Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate




Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Program Studi S1 - Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Indonesia



DEWAN PENGUJI


Pembimbing I : Dra. Tresye Utari, M.Si

Pembimbing II : Dr. Yoki Yulizar, M.Sc

Penguji I : Dr. rer. nat. Widayanti Wibowo

Penguji II : Dr. Yuni K. Krisnandi

Penguji III : Dr. Asep Saefumillah






Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 6 Januari 2012



Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS



Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:

Nama : Deagita Yolani
NPM : 0806326595
Program Studi : Kimia
Departemen : Kimia
Fakultas : MIPA
Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan Polydiallyl Dimethyl
Ammoniumsebagai Adsorben Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 30 Desember 2011
Yang menyatakan




( Deagita Yolani )




Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Sains Jurusan Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tidaklah mungkin bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik
selama masa perkuliahan sampai dengan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada:
a. Kedua orang tua saya (Ibu dan Alm.Bapak), dan adik saya, yang selalu
memberikan dukungan baik materil maupun imateril, dorongan semangat,
dan doa yang tiada hentinya;
b. Dra.Tresye Utari, M.Si, selaku dosen pembimbing I dan koordinator
penelitian yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini;
c. Dr. Yoki Yulizar, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penelitian dan
penyusunan skripsi ini;
d. Novena Damar Asri, S.Si yang telah banyak membimbing penulis dalam hal
penulisan skripsi yang baik dan benar;
e. Dr. Ridla Bakri, M.Phil selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA Universitas
Indonesia;
f. Drs. Erzi Rizal selaku pembimbing akademis yang telah membimbing penulis
dalam kegiatan akademis perkuliahan;
g. Dr. rer. nat Widayanti Wibowo, Dr. Yuni K. Krisnandi, Dr. Asep Saefumillah
selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan kepada penulis;
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
h. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia yang
telah memberikan bekal ilmu yang sangat berguna selama perkuliahan bagi
penulis;
i. Ir. Hedi Surrahman, M.Si yang telah banyak memberikan bantuan dalam
proses peminjaman alat dan bahan selama penelitian;
j. Bapak Sutrisno Babe Perpustakaan, Mbak Ina, Mbak Cucu, Mbak Tri,
Mbak Emma, Pak Mardji, Pak Hadi, Pak Kiri, Pak Amin, dan seluruh staf
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia;
k. Kak Rispa, Kak Alvin, Kak Dio, Kak Daniel, Kak Rasyid, dan Pegawai Lab
Afiliasi Departemen Kimia UI lainnya, serta Bapak Wisnu dan operator XRD
Batan yang telah banyak membantu dalam karakterisasi sampel;
l. Rekan-rekan selama penelitian: Kak Sonia, Kak Narita, Kak Rosa, Kak Reka,
Kak Rohman, Kak Putri, Dinda, Bu Nurlita, dan seluruh rekan-rekan
penelitian lantai 3 dan 4 yang telah menemani penulis melewati masa-masa
suka dan duka penelitian dan selalu memberikan semangat kepada penulis;
m. Sahabat-sahabat saya: Esti, Inna, Tata, Asef, yang telah memberikan
semangat dalam perkuliahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Terima
kasih atas semua tawa, tangis, dan petualangan yang telah kita rasakan
bersama;
n. Seluruh teman-teman angkatan 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu;
o. Agung Kurniawan Putra selaku pembimbing ketiga bagi penulis yang telah
mencurahkan cinta kasih, waktu, tenaga, dan pikirannya kepada penulis, serta
dorongan semangat dan wejangan-wejangan pembakar semangatnya yang
selalu berhasil membantu penulis dalam mengatasi berbagai permasalahan;
p. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
saya dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Penulis
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
ABSTRAK



Nama : Deagita Yolani
Program Studi : Kimia
Judul : Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan Polydiallyl
Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben Sodium Dodecyl Benzene
Sulfonate


Bentonit merupakan salah satu mineral yang kelimpahannya cukup besar di
Indonesia. Kemampuan bentonit sebagai adsorben beserta modifikasi untuk
meningkatkan kemampuan adsorpsinya telah banyak dilakukan sebelumnya, dan
salah satunya adalah melalui metode pilarisasi. Penelitian ini dilakukan untuk
membuat bentonit terpilar Al dengan template CTAB yang akan diaplikasikan
untuk adsorben limbah surfaktan Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate (SDBS).
Bentonit yang telah diaktivasi dan difraksinasi untuk mendapatkan fraksi
montmorillonite (MMT), kemudian dijenuhkan dengan NaCl (Na-MMT). KTK
(Kapasitas Tukar Kation) Na-MMT ditentukan dengan adsorpsi metilen biru,
diperoleh nilai KTK sebesar 34,9 meq/100gr. Pembuatan bentonit terpilar Al
dilakukan dengan penambahan polikation Al dan surfaktan N-Cetyl-N,N,N-
Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB) secara bersamaan ke dalam Na-MMT
membentuk Al-MM T. Al-MMT yang dibuat dengan penambahan CTAB
kemudian dimodifikasi dengan Poly Dialllyl Dimethyl Ammonium Bromide
(PDDA) dengan konsentrasi yang divariasikan antara 1x10
-5
1x10
-3
M,
diperoleh konsentrasi optimum yang ditentukan menggunakan FTIR yaitu 5x10
-4

M. Hasil ini dinamakan PMAM yang diaplikasikan untuk adsorpsi SDBS dengan
melakukan variasi konsentrasi dan waktu kontak SDBS. Kondisi optimum yang
diperoleh adalah konsentrasi 1x10
-3
M dan waktu kontak 45 menit dengan
%SDBS terserap 99,3%, kemudian dilakukan perbandingan kemampuan adsorpsi
PMAMt (PMAM dari Al-MMT tanpa CTAB), dan PMNM (Polymer Modified
Na-MMT), didapatkan %SDBS terserap sebesar 89,58% dan 97,23%.

Kata Kunci : Adsorpsi, Bentonit, Montmorillonite, Polikation Al,
PDDA, SDBS
xvi+ 87 halaman : 40 gambar, 10 tabel
Daftar Pustaka : 87 (1985-2011)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
ABSTRACT

Name : Deagita Yolani
Program Study: Chemistry
Title : Modification of Al-Pillared Bentonite Using Polydiallyl
Dimethyl Ammonium as an Adsorben to Sodium Dodecyl
Benzene-Sulfonate


Bentonite is one of the most abundant mineral in Indonesia. The ability of
bentonite as an adsorbent and modifications to enhance the adsorption capacity
has been studied before, and one of them was through a pillarization method. This
research was done to prepare Al pillared bentonite with CTAB as template and
will be applied for adsorbing surfactant Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate
(SDBS). Bentonite that was first activated and fractionated to obtain
montmorillonite (MMT), and then was saturated with NaCl, to obtain Na-MMT.
Cation Exchange Capacity (CEC) of Na-MMT was determined by methylene blue
adsorption, CEC values obtained for 34.9 meq/100gr. The preparation of Al-
pillared bentonite performed with the addition of Al and polycationic surfactant
N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB) simultaneously into the
Na-MMT to form Al-MM T. Then, Al-MMT was modified with Poly Dialllyl
Dimethyl Ammonium Bromide (PDDA) with concentrations that varied between
1x10
-5
- 1x10
-3
M, obtained the optimum concentration was determined using
FTIR is 5x10
-4
M. This result is called PMAM that will be applied to the
adsorption of SDBS by varying the concentration and contact time SDBS.
Optimum conditions obtained were 1x10
-3
M of concentration and 45 minutes of
contact time with% SDBS absorbed 99.3%, and then the adsorption capability of
PMAMt (PMAM without CTAB) and PMNM (Polymer Modified Na-MMT)
were compared in optimum condition, obtained 89,58% and 97,23% of %SDBS
absorbed.


Keywords : Adsorption, Bentonite, Montmorillonite, Polication Al, PDDA,
SDBS
xvi+ 87 pages : 40 pictures, 10 tables
Bibliography : 87 (1985-2011)


Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL......... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS....................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN............... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.............. v
KATA PENGANTAR.............................................................................................. vi
ABSTRAK........................................................................................................ viii
ABSTRACT.......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............. xiii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvi

1. PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang........... 1
1.2 Perumusan Masalah........................ 5
1.3 Tujuan Penelitian 5

2. TINJAUAN PUSTAKA......... 6
I. Kajian Pustaka dari Penelitian yang Telah Dilakukan.. .6
II. Studi Literatur. 8
2.1 Bentonit...................... 8
2.1.1 Montmorilonit............................................ 9
2.2 Polikation Al... 10
2.3 Adsorpsi.............. 11
2.3.1 Isoterm Adsorpsi 12
2.4 Interkalasi....... 12
2.4.1 Pilarisasi 14
2.5 Polielektrolit.................... 15
2.5.1 Muatan Polielektrolit...................................................................... 15
2.5.2 Konformasi Polielektrolit............................................................... 15
2.5.3 Poly Diallyl Dimethyl Ammonium (PDDA)................................... 16
2.6 Surfaktan. 17
2.6.1 N-Cetyl, N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB).. 18
2.6.2 Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate (SDBS). 19
2.7 Instrumen Karakterisasi... 20
2.7.1 XRF (X-Ray Flourescence)..... 20
2.7.2 Spektrofotometri Infra Merah FTIR. 21
2.7.3 Difraksi Sinar X (XRD). 21
2.7.4 Uv-Vis Spektrofotometer... 21
2.7.5 Brunauer-Emmet-Teller (BET).. 23
2.7.6 Transmission Electron Microscopy (TEM) 24

3. METODE PENELITIAN........ 25
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian..... 25
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
3.2 Alat dan Bahan........ 25
3.2.1 Alat Proses............................. 25
3.2.2 Alat Uji........... 25
3.2.3 Bahan......... 25
3.3 Prosedur kerja............ 26
3.3.1 Preparasi Montmorilonit........ 26

3.3.3.1.1 Preparasi bentonit alam... 26
3.3.3.1.2 Fraksinasi Sedimentasi Bentonit..................................... 26
3.3.3.1.3 Penjenuhan dengan NaCl............................................. 27
3.3.2 Penentuan Kapasitas Tukar Kation....... 27
3.3.3 Proses Pilarisasi Montmorilonit................. 27
3.3.4 Pembuatan PMAM (Polymer Modified Al(CTAB)-MMT)........... 28
3.3.5 Aplikasi PMAM sebagai Adsorben SDBS................................ 28
3.3.6 Pengujian Kekuatan Ikatan antara PDDA (dalam PMAM)
dengan SDBS.29

4. HASIL DAN PEMBAHASAN................ 30
4.1 Preparasi Montmorilonit..... 30
4.1.1 Preparasi bentonit alam... 30
4.1.2 Fraksinasi... 30
4.1.3 Penjenuhan dengan NaCl 31
4.1.4 Karakterisasi bentonit alam dan Na-MMT.. 35
4.1.4.1 Karakterisasi dengan XRD.. 38
4.1.4.2 Karakterisasi dengan FTIR.. 38
4.1.5 Penentuan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) 39
4.2 Pilarisasi Montmorilonit... 42
4.2.1 Pembuatan polikation Al 43
4.2.2 Pilarisasi MMT dengan polikation Al 44
4.2.3 Pilarisasi MMT dengan polikation Al dan template CTAB... 45
4.2.4 Karakterisasi MMT terpilar 47
4.2.4.1 Karakterisasi MMT terpilar dengan FTIR... 47
4.2.4.2 Karakterisasi MMT terpilar dengan XRD.. 49
4.2.4.3 Karakterisasi Na-MMT, Al-MMT, dan Al(CTAB)-MMT
dengan BET... 51
4.3 Modifikasi MMT dengan Polimer... 52
4.3.1 Karakterisasi PMAM.. 53
4.3.2 Penentuan adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT 54
4.4 Aplikasi PMAM sebagai Adsorben SDBS 56
4.4.1 Penentuan kondisi optimum aplikasi.. 56
4.4.1.1 Pengaruh konsentrasi awal SDBS.. 57
4.4.1.2 Pengaruh waktu pengadukan... 58
4.4.2 Perbandingan kemampuan adsorpsi adsorben 59
4.4.3 Karakterisasi PMAM-SDBS.... 60
4.4.3.1 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan FTIR.. 60
4.4.3.2 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan TEM 61
4.4.4 Isoterm Adsorpsi SDBS pada PMAM.. 62
4.4.4.1 Isoterm Adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM. 62
4.4.4.2 Isoterm Adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM... 63
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.4.5 Pengujian kestabilan interaksi antara PDDA (dalam PMAM) dengan
SDBS 65

5. KESIMPULAN DAN SARAN.. 66
5.1 Kesimpulan..... 66
5.2 Saran........... 67

DAFTAR PUSTAKA................ 68
LAMPIRAN .77





































Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR TABEL



Tabel 4.1 Tabel puncak difraktogram XRD pada bentonit alam
dan Na-MMT.. 36
Tabel 4.2 Tabel penentuan nilai KTK Na-MMT................................................ 40
Tabel 4.3 Nilai koefisien ikatan antara beberapa ion dengan montmorilonit..... 42
Tabel 4.4 Tabel puncak difraktogram XRD pada Al-MMT
dan Al(CTAB)-MMT...................................................................... 50
Tabel 4.5 Hasil karakterisasi menggunakan BET...............................................51
Tabel 4.6 Luas puncak serapan N-R dengan variasi konsentrasi PDDA............ 55
Tabel 4.7 Tabel perbandingan intensitas puncak N-R........................................ 56
Tabel 4.8 Tabel hasil adsorpsi dengan variasi waktu pengadukan tanpa
pengendapan secara alami.................................................................. 59
Tabel 4.9 Perbandingan kemampuan adsorpsi berbagai adsorben..................... 60
Tabel 4.10 Tabel hasil hasil uji kestabilan interaksi PDDA dan SDBS..65

















Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1 Struktur Montmorillonite............................................................... 10
Gambar 2.2 Struktur polikation Al model Keggin............................................ 11
Gambar 2.3 Proses interkalasi dalam lempung.................................................. 13
Gambar 2.4 Mekanisme pilarisasi..................................................................... 14
Gambar 2.5 Gambaran polielektrolit yang menempel pada substrat. 16
Gambar 2.6 Struktur PDDA.............................................................................. 16
Gambar 2.7 Struktur surfaktan.. 17
Gambar 2.8 Struktur CTAB............................................................................... 18
Gambar 2.9 Ukuran CTAB................................................................................ 19
Gambar 2.10 Struktur SDBS....... 19
Gambar 2.11 Skema kerja XRF.. 20
Gambar 2.12 Skema kerja Uv-Vis Spectrofotometer......................... 22
Gambar 2.13 Komponen-komponen TEM......................................................... 24
Gambar 4.1 Fraksi 2 (F2) setelah diendapkan selama 2 jam............................. 31
Gambar 4.2 Proses tukar kation dengan Na
+
..................................................... 32
Gambar 4.3 Proses penjenuhan dengan NaCl.................................................... 32
Gambar 4.4 Proses swelling Na-MMT.............................................................. 33
Gambar 4.5 Hasil uji dengan AgNO
3
1 M pada filtrat yang masih mengandung
Cl
-
(kiri) dan yang sudah bebas Cl
-
(kanan)................................... 34
Gambar 4.6 Tampilan fisik bentonit alam (kiri) dan Na-MMT (kanan)............ 34
Gambar 4.7 Difraktogram XRD bentonit alam dan Na-MMT.. 35
Gambar 4.8 Ukuran ion dan atom dalam tabel periodik 38
Gambar 4.9 Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT................................... 39
Gambar 4.10 Endapan Na-MMT yang diberi MB (kiri) dan filtratnya (kanan). 40
Gambar 4.11 Struktur metilen biru..................................................................... 41
Gambar 4.12 Proses pembuatan polikation Al................................................... 43
Gambar 4.13 Ikatan pilar Al
2
O
3
dengan Si tetrahedral....................................... 45
Gambar 4.14 Posisi polikation Al dan CTAB yang diharapkan......................... 46
Gambar 4.15 Spektra FTIR untuk Al-MMT tanpa CTAB dan Na-MMT.......... 47
Gambar 4.16 Spektra FTIR untuk Na-MMT, dan Al(CTAB)-MMT sebelum
dan setelah kalsinasi...................................................................... 48
Gambar 4.17 Difraktogram XRD bentonit alam, Na-MMT, Al-MMT
dan Al(CTAB)-MMT................................................................... 49
Gambar 4.18 Gambaran pola distribusi yang terjadi antara polikation Al dan
CTAB............................................................................................. 52
Gambar 4.19 Pearl Necklace Model... 53
Gambar 4.20 Spektra FTIR Al(CTAB)-MMT dan PMAM.... 54
Gambar 4.21 Kurva adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT. 55
Gambar 4.22 Kurva pengaruh konsentrasi awal SDBS terhadap %SDBS
terserap... 57
Gambar 4.23 Kurva penentuan waktu pengadukan optimum untuk
adsorpsi SDBS... 58
Gambar 4.24 Spektra FTIR PMAM dan PMAM yang telah jenuh oleh
SDBS..... 60
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 4.25 Hasil karakterisasi menggunakan TEM dengan perbesaran 20.00x
(a), 50.000x (b), 200.000x (c), dan 500.000x (d).. 62
Gambar 4.26 Kurva isoterm adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM63
Gambar 4.27 Kurva isoterm adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM.......64


























Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran 1: Bagan kerja penelitian
Lampiran 2: Bagan kerja penentuan surfaktan anionik (metode MBAS)
Lampiran 3a: Tabel data difraktogram XRD untuk bentonit alam
Lampiran 3b: Perhitungan basal spacing bentonit alam
Lampiran 4a: Tabel data difraktogram XRD untuk Na-MMT
Lampiran 4b: Perhitungan basal spacing Na-MMT
Lampiran 5: Data XRF pada F2 (Hadrah, Tesis 2011)
Lampiran 6a: Kurva standar metilen biru
Lampiran 6b: Data absorbansi larutan standar MB
Lampiran 7: Tabel data difraktogram XRD untuk Al-MMT
Lampiran 8:Tabel data difraktogram XRD untuk Al(CTAB)-MMT
Lampiran 9: Data BET uuntuk Na-MMT (Hadrah, Tesis 2011)
Lampiran 10: Data BET untuk Al(CTAB)-MMT
Lampiran 11: Data BET untuk Al-MMT
Lampiran 12a : Spektra FTIR PMAM dengan variasi konsentrasi
Lampiran 12b: Perbandingan luas puncak serapan N-R pada spektra FTIR
Lampiran 13a: Kurva standar SDBS
Lampiran 13b: Data absorbansi larutan standar SDBS
Lampiran 14a: Tabel perhitungan penyerapan SDBS ke dalam PMAM
Lampiran 14b: Spektra Uv-Vis Spektrofotometer variasi konsentrasi SDBS
Lampiran 15a: Tabel perhitungan waktu pengadukan optimum untuk penyerapan
SDBS
Lampiran 15b: Spektra UV-Vis Spektrofotometer variasi waktu pengadukan SDBS
Lampiran 16: Data isoterm adsorpsi SDBS pada PMAM












Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Air merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap makhluk hidup. Seiring
berkembangnya zaman dan meningkatnya kebutuhan manusia yang tidak disertai
dengan kesadaran akan kelestarian lingkungan, mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan terutama air. Di antara pencemaran udara, air, dan tanah,
pencemaran air merupakan salah satu bentuk pencemaran yang perlu diwaspadai,
dan di antara parameter pencemar air, parameter logam berat dan polutan organik
adalah yang paling berbahaya (Kus Sri Martini et al., 2009). Apabila air tercemar
maka akan memberi pengaruh berupa berkurangnya kandungan oksigen yang
terlarut, perubahan pH, temperatur air, dan berkurangnya nutrisi dalam air
(Prawiro, 1985). Pencemaran air terjadi apabila masukan zat organik maupun
anorganik ke dalam suatu perairan melampaui batas kemampuan ekosistem untuk
mengasimilasi zat tersebut. Dengan terlampauinya kemampuan asimilasi
ekosistem itu, maka terjadi penumpukan (akumulasi) zat organik atau zat
anorganik yang terdapat di dalam air. Akumulasi ini akan mengakibatkan
berkembangnya organisme tertentu secara berlebihan, sementara organisme lain
terhambat dan terdesak oleh organisme yang pertama (Taufik, 2005).
Senyawa deterjen bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian pada
makhluk hidup, terutama makhluk hidup yang tinggal di air seperti ikan. Menurut
Fujita dan Koga (1976), Lundahl, dan Cabredenc (1978) dalam Mautidina (2000)
menyatakan bahwa kematian pada ikan yang disebabkan oleh limbah deterjen
terjadi karena deterjen mampu menghambat kerja enzim di dalam tubuh ikan.
Selain itu, senyawa deterjen mampu menghambat masuknya oksigen dari udara ke
dalam air, sehingga mengakibatkan kadar oksigen dalam air berkurang dan
membuat organisme di dalamnya kekurangan oksigen (Varley, 1987). Senyawa
deterjen juga bersifat karsinogenik dengan tingkat keasaman (pH) rata-rata 10-12,
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
sementara pH yang dapat ditoleransi oleh lingkungan adalah 6-9 (Agung R,
2001).
SDBS (Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate) merupakan salah satu jenis
surfaktan yang digunakan sebagai bahan dasar deterjen, penggunaanya berkurang
sampai ditemukannya jenis surfaktan baru yang dianggap lebih ramah lingkungan
seperti LAS (C.J. Krueger, et al., 1998, dan A.M. Nielsen, et al., 1997) akan
tetapi berdasarkan data dari US EPA (Environmental Protection Agency)
registration products, diketahui bahwa SDBS masih banyak digunakan dalam
produk-produk seperti pada beberapa merk deterjen, pestisida, fungisida, dan
desinfektan. SDBS memiliki sifat yang sulit terdegradasi baik di air maupun di
tanah (M Elimelech, et al., 1999), sehingga butuh penanganan khusus untuk
menanggulangi masalah pencemaran yang disebabkan oleh surfaktan jenis ini.
Studi untuk mengatasi permasalahan pencemaran perairan masih terus
berkembang, salah satu metode yang sedang marak dikembangkan dan akan
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode adsorpsi. Selain adsorpsi,
metode lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah limbah surfaktan
adalah dengan fotokatalisis, akan tetapi karena harga yang relatif lebih mahal,
membuat teknik adsorpsi lebih banyak digunakan. Teknik adsorpsi memiliki
kemampuan yang baik dalam mengatasi limbah organik (Lizhong Zu, et al.,1998,
Runliang Zhu, et al., 2009), dan limbah anorganik seperti logam berat Cd dan Cu
(Liang-guo Yan, 2007, Chih-Huang Weng, et al., 2006).
Bentonit merupakan salah satu mineral yang kelimpahannya cukup besar
di alam, terutama di Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen ESDM pada
tahun 2005, bentonit tersebar di pulau-pulau besar Indonesia, seperti di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Jawa, dengan cadangan diperkirakan lebih
dari 380 juta ton. Namun, penggunaan bahan ini belum maksimal dan masih
bernilai rendah.
Bentonit memiliki konfigurasi 2:1 dimana terdiri dari 2 lapis tetrahedral
(silikon-oksigen), dan 1 lapis oktahedral (alumunium-oksigen-hidroksil).
Montmorilonit memiliki kandungan yang paling banyak di dalam bentonit alam.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Montmorilonit secara alami mengalami subtitusi isomorfis, dimana posisi Al
3+
digantikan oleh Mg
2+
/Fe
2+
dan Si
4+
digantikan Al
3+
sehingga memiliki muatan
total negatif dan harus diseimbangkan dengan kation seperti Na
+
dan Ca
2+
(Yunfei
Xi, et al., 2005). Bentonit alam masih bersifat hidrofilik, sehingga tidak efektif
bila digunakan sebagai adsorben senyawa organik yang terlarut dalam air
(Chaiko, D, 2002, dan J.H. Kim, et al., 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan
modifikasi terlebih dahulu terhadap bentonit alam agar dapat digunakan sebagai
adsorben limbah surfaktan dalam perairan.
Kemampuan adsorpsi bentonit alam dapat ditingkatkan dengan melakukan
modifikasi melalui proses tukar kation dalam bentonit dengan kation amina dari
surfaktan kationik [(CH
3
)
2
NHR]
+
(T.S. Anirudhan, M. Ramachandran, 2006).
Metode ini dikenal dengan pembuatan organoclay, dan dapat meningkatkan
afinitas antara bentonit dengan limbah organik, akan tetapi ruang antar lapis yang
sebagian besar diisi oleh surfaktan (Zhu, et al., 2008) mengakibatkan
berkurangnya ukuran basal spacing pada bentonit dan berkurangnya tempat bagi
limbah organik untuk teradsorpsi ke dalam ruang antar lapis (Zonghua Qin, et
al.,2010). Selain itu walaupun modifikasi bentonit dengan surfaktan dapat
meningkatkan basal spacing atau ruang antar lapis dalam bentonit, akan tetapi
sifatnya yang tidak stabil terhadap suhu yang tinggi mengakibatkan basal spacing
yang dihasilkan tidak permanen (J. Theo Kloprogge, et al., 2002). Hal ini
mendorong berkembangnya studi menggunakan polikation anorganik sebagai
agen pemilar, dimana dapat memberikan kestabilan yang tinggi terhadap panas
serta area permukaan yang luas, dan bila dikalsinasi akan menghasilkan pilar
oksida logam yang permanen (Kloprogge, et al., 2002, D. M. Manohar, et al.,
2005, A. Tabak, et al., 2007).
Selama beberapa dekade terakhir, penggunaan polikation logam seperti Al,
Fe, Ti, Zn sebagai agen pemilar dalam bentonit telah marak dilakukan (Liang-guo
Yan, et al., 2008, N.R. Sanabria, et al., 2009, R.B. Yu, et al., 2008, J.W. Tang, et
al., 2006). Polikation Al adalah agen pemilar yang paling banyak digunakan, baik
untuk selanjutnya digunakan secara langsung untuk mengadsorb logam, pewarna,
dan polutan-polutan lainnya (Z.H. Shao, et al., 2005, D. Pentari, et al., 2009)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
maupun tidak langsung melalui modifikasi lanjutan dengan cara menambahkan
kitosan (Wei Tan, et al., 2007), 3-aminopropyltriethoxysilane (Zonghua Qin, et
al., 2010), atau 2-pralidoxime (PAM) (Lev Bromberg, et al., 2011) pada bentonit
terpilar Al untuk selanjutnya digunakan sebagai adsorben, dimana proses
pemilaran membuat basal spacing meningkat secara permanen dan jumlah zat
yang dapat diadsorbsi semakin banyak (Tatsuya Yamazaki, et al., 2001).
Polikation Al dianggap sebagai pemilar yang baik karena dapat menghasilkan
volume pori dan kekuatan adsorpsi yang paling besar bila dibandingkan dengan
logam-logam lainnya (N. Maes, et al., 1996)
Penelitian-penelitian sebelumnya banyak menggunakan kitosan sebagai
modifier pada bentonit terpilar Al, karena sifatnya yang ramah lingkungan dan
mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi bentonit (Wei Tan, et al., 2007) akan
tetapi pada penelitian ini tidak tepat bila digunakan kitosan, karena kitosan dapat
berikatan dengan montmorilonit pada pH asam dengan terbentuknya gugus NH
3
+

yang selanjutnya dapat mengalami proses tukar kation dengan montmorilonit
(Darder, et al., 2005), sedangkan pada penelitian ini ditujukan sebagai adsorben
surfaktan yang memiliki pH basa. Selain itu penggunaan kitosan akan
menghasilkan hasil yang baik apabila digunakan untuk adsorben ion logam,
karena akan terjadi ikatan koordinasi antara gugus -NH
2
dan -OH pada kitosan
dengan ion logam (Wei Tan, et al., 2007), sedangkan pada penelitian ini surfaktan
yang akan diadsorpsi memiliki muatan negatif/kelebihan elektron, sehingga
kitosan tidak mampu berikatan dengan surfaktan anionik.
Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan
montmorilonit terpilar Al, untuk selanjutnya dimodifikasi dengan polimer
kationik PDDA (Poly Diallyl Dimethyl Ammonium) dan digunakan sebagai
adsorben surfaktan anionik SDBS (Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate). Pada
proses pemilaran montmorilonit, akan digunakan polikation Al dan CTAB (N-
Cetyl-N,N,N-Trimethyl Ammonium Bromide) yang ditambahkan secara
bersamaan, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Runliang Zhu,
Tong Wang, Fei Ge, Wangxiang Chen, dan Zhimin You pada tahun 2009
membuktikan bahwa pembuatan montmorilonit terpilar Al akan menghasilkan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
pilar yang tidak terlalu rigid dan pori seragam apabila digunakan CTAB sebagai
agen yang ikut membantu proses pilarisasi. Hal ini diharapkan akan memudahkan
PDDA masuk sebagai modifier pada montmorilonit dan meningkatkan
kemampuan adsorbsi. Walau penggunaannya pada bentonit belum pernah
dilakukan, PDDA terbukti mempunyai kemampuan adsorbsi yang baik untuk
surfaktan pada media emas (Alexander B, 2002), selain itu PDDA juga telah
digunakan sebagai modifier zeolit dan terbukti mampu mengadsorp surfaktan
dengan baik (Helen Stephanie, 2011).

1.2 Perumusan Masalah
a. Apakah pilarisasi bentonit alam dapat dilakukan dengan menggunakan
polikation Al dan surfaktan CTAB?
b. Apakah polikation PDDA dapat disisipkan pada pori-pori bentonit
alam yang telah terpilar?
c. Apakah organoclay bentonit-PDDA dapat mengabsorbsi surfaktan
anionik SDBS?
d. Apakah ikatan antara PDDA (dalam PMAM) dengan SDBS dapat
dipengaruhi oleh pH?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Melakukan pilarisasi pada bentonit alam dengan menggunakan
polikation Al dan surfaktan CTAB sebagai template.
b. Memodifikasi bentonit terpilar Al dengan PDDA dan mencari
konsentrasi adsorpsi PDDA optimum.
c. Mengaplikasikan bentonit terpilar Al yang telah dimodifikasi dengan
PDDA sebagai adsorben surfaktan SDBS dan mencari kondisi
optimumnya.
d. Menguji kekuatan ikatan antara PMAM dan SDBS dengan melakukan
variasi pH.

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Kajian Pustaka dari Penelitian yang Telah Dilakukan
Penelitian yang telah dilakukan pada tahun 1996 oleh H.Khalaf, et al.
menunjukkan bahwa bentonit dapat dipilarisasi dengan Al melalui pembuatan
polikation Al. Pada penelitian tersebut, kondisi optimum polikation Al dibuat
dengan mencampurkan NaOH ke dalam larutan AlCl
3
sampai terbentuk rasio
volume OH/Al sebesar 1,8. Setelah itu, bentonit ditambahkan pada larutan
polikation Al dengan rasio Al/bentonit 4 mmol/gram, untuk selanjutnya
ditambahkan CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) selaku modifier.
Terlihat penambahan CTAB dapat meningkatkan basal spacing dari sekitar 1,8
nm untuk Al-bentonit menjadi 2,1 nm. Akan tetapi kalsinasi hingga lebih dari 500
0
C menyebabkan basal spacing kembali ke kondisi normal dan area permukaan
bentonit menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan Al-bentonit. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, maka proses pemilaran pada penelitian kali ini tidak
dilakukan dengan penambahan polikation Al terlebih dahulu sebelum CTAB, dan
didapatkan informasi bahwa CTAB dapat dihilangkan dari bentonit pada suhu
diatas 500
o
C.
Kloprogge, et al. pada tahun 2002 melakukan penelitian dengan
menggunakan 10 jenis montmorilonit dari Miles, Queensland, Australia. Mereka
membuat montmorilonit terpilar Al dengan rasio volume OH/Al 2,2 dan
mengkarakterisasinya dengan XRD, ICP-AES, dan FTIR. Penelitian tersebut
membuktikan montmorilonit mampu bertahan hingga suhu 600
o
C. Penelitian
tersebut memberikan informasi akan karakteristik bentonit terpilar Al.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh A. Tabak, et al. pada tahun 2007,
dilakukan sintesis dan karakterisasi bentonit terpilar Al menggunakan bentonit
turki. Penelitian tersebut menghasilkan komposisi optimum dalam pembuatan
polikation Al dan bentonit terpilar Al, yaitu dengan rasio volume OH/Al 2,2 dan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
penambahan Na-MMT hingga rasio 9 mmol Al/gr Na-MMT. Penelitian tersebut
juga menunjukkan bahwa bentonit terpilar Al dapat bertahan hingga suhu 600
o
C.
Sebagian besar prosedur pemilaran dilakukan berdasarkan penelitian tersebut,
Namun pada penelitian kali ini tidak digunakan polikation Al saja sebagai agen
pemilar, tetapi digunakan pula template CTAB.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Runliang Zhu, et al. pada tahun
2009 adalah melakukan interkalasi pada bentonit menggunakan CTAB dan
polikation Al dengan variasi urutan penambahan keduanya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa struktur dan ukuran basal spacing Al-bentonit ditentukan
oleh urutan penambahan CTAB dan polikation Al ke dalam bentonit. Apabila
keduanya ditambahkan secara bersamaan/simultan ke dalam bentonit dan atau
CTAB ditambahkan terlebih dahulu sebelum penambahan polikation Al, maka
terbentuk basal spacing yang lebih besar dan ukuran pori yang seragam.
Penambahan CTAB setelah penambahan polikation Al tidak menunjukkan
perubahan basal spacing yang besar karena Al menghambat masuknya CTAB ke
dalam ruang antar lapis dan membuat proses pembentukan pilar tidak sempurna,
mengakibatkan ukuran pori menjadi tidak seragam. Pada penelitian kali ini,
dilakukan pemilaran dengan tahapan seperti penelitian tersebut, dimana CTAB
dan polikation Al ditambahkan secara bersamaan ke dalam bentonit. Akan tetapi
penelitian kali ini tidak berhenti pada proses pemilaran saja, melainkan
dilanjutkan dengan memodifikasi bentonit menggunakan polikation kemudian
mengaplikasikannya sebagai adsorben.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Runliang Zhu, et al. pada tahun
2009 membuktikan sekali lagi, bahwa polikation Al dan CTAB mampu
menginterkalasi bentonit secara bersamaan. Namun penelitian tersebut tidak
ditujukan untuk membuat pilar, melainkan membuat bentonit anorganik-organik,
untuk selanjutnya digunakan sebagai adsorben naftalen dan pospat. Penelitian
tersebut digunakan sebagai dasar yang memperkuat proses pembuatan bentonit
terpilar Al dengan template CTAB melalui penambahan CTAB terlebih dahulu
sebelum Al atau keduanya dimasukkan secara bersamaan, serta memberikan
informasi bahwa bentonit terinterkalasi Al dan suatu molekul bermuatan positif
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
(CTAB) masih memiliki kemampuan adsorpsi terhadap polutan organik yang
bermuatan negatif. Penelitian kali ini ditujuan untuk membuat pilar, sehingga
dilakukan proses kalsinasi lalu dimodifikasi dengan polikation, tidak dengan
CTAB seperti yang dilakukan pada penelitian sebelumnya. CTAB hanya
berfungsi sebagai template. Pada proses akhir, bentonit termodifikasi akan
diaplikasikan untuk polutan organik, yaitu surfaktan.
Penelitian yang dilakukan oleh Alexander B. pada tahun 2003 mempelajari
interaksi antara PDDA dengan surfaktan anionik yaitu SDS dengan menggunakan
media emas. Pada penelitian tersebut dihasilkan kompleks SDS-PDDA dengan
cepat. Akan tetapi karena penggunaan media emas yang mahal, maka pada
penelitian kali ini, digunakan bentonit dan surfaktan sebagai adsorben SDBS,
dimana SDBS masih cukup banyak digunakan dalam berbegai produk pembersih
rumah tangga dan industri.
Interaksi antara PDDA dan SDBS dipelajari juga oleh Suvasree
Mukherjee, et al. pada tahun 2011. Penelitian ini mempelajari interaksi fisika dan
kimia yang terjadi antara PDDA dengan berbagai surfaktan anionik. Penelitian
tersebut memberikan informasi bahwa PDDA mampu berikatan dengan baik pada
SDBS. Oleh karena itu pada penelitian kali ini dilakukan modifikasi
menggunakan medium zat padat yaitu bentonit sebagai tempat PDDA yang
selanjutnya diaplikasikan sebagai adsorben surfaktan SDBS.
II. Studi Literatur
2.1 Bentonit
Bentonit adalah istilah pada lempung yang mengandung monmorillonit
dalam dunia perdagangan dan termasuk kelompok dioktahedral. Nama bentonit
pertama kali digunakan tahun 1896 oleh Knight untuk menamai suatu jenis
lempung yang sangat plastis yang terdapat pada formasi Benton, Rock, Creek, di
negara bagian Wyoming, Amerika Serikat.
Bentonit dapat dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan kandungan
alumunium silikat hydrous, yaitu activated clay dan fuller's Earth. Activated clay
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
adalah lempung yang kurang memiliki daya pemucat, tetapi daya pemucatnya
dapat ditingkatkan melalui pengolahan tertentu. Sementara itu, fuller's earth
digunakan dalam fulling atau pembersih bahan wool dari lemak.
Berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Tipe Wyoming (Na-bentonit Swelling bentonite)
Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila
dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air. Dalam
keadaan kering berwarna putih atau krim, pada keadaan basah dan terkena sinar
matahari berwarna mengkilap. Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi
koloidal mempunyai pH: 8,5-9,8, tidak dapat diaktivasi, posisi pertukaran
diduduki oleh ion-ion sodium (Na
+
).
b. Mg, (Ca-bentonit non swelling bentonite)
Tipe bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air,
dan tetap terdispersi di dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan
mempunyai sifat menghisap yang baik. Perbandingan kandungan Na dan Ca
rendah, suspensi koloidal memiliki pH 4-7. Posisi pertukaran ion lebih banyak
diduduki oleh ion-ion kalsium dan magnesium. Dalam keadaan kering bersifat
rapid slaking, berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan coklat. Penggunaan
bentonit dalam proses pemurnian minyak goreng perlu aktivasi terlebih dahulu.
Endapan bentonit Indonesia tersebar di P. Jawa, P. Sumatera, sebagian P.
Kalimantan dan P. Sulawesi, dengan cadangan diperkirakan lebih dari 380 juta
ton, serta pada umumnya terdiri dari jenis kalsium (Ca-bentonit). Beberapa lokasi
yang sudah dan sedang dieksploitasi, yaitu di Tasikmalaya, Leuwiliang,
Nanggulan, dan lain-lain. Indikasi endapan Na-bentonit terdapat di Pangkalan
Brandan; Sorolangun-Bangko; Boyolali (www.tekmira.esdm.go.id).
2.1.1.Montmorilonit (MMT)
Montmorilonit merupakan anggota kelompok mineral clay. Umumnya
montmorilonit membentuk kirstal mikroskopik atau setidaknya kristal micaceous
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
berlapis sangat kecil. Kandungan air sangat bervariasi dan apabila air diabsorbsi,
montmorilonit cenderung mengembang sampai beberapa kali volume awal. Sifat
struktur unit tetrahedral dan oktahedral ini membuat montmorilonit menjadi
mineral yang bermanfaat untuk berbagai tujuan, seperti untuk dijadikan katalis
dan adsorben. (www.tekmira.esdm.go.id)
Struktur montmorilonit seperti halnya pilosilikat 2:1 yang lain tersusun
dari lapisan tetrahedral yang mengapit lapisan oktahedral (lihat Gambar 2.1).
Secara alami struktur montmorilonit mengalami proses substitusi isomorfis,
dimana posisi Al
3+
digantikan oleh Mg
2+
/Fe
3+
/Fe
2+
dan Si
4+
digantikan Al
3+
.
Sebagai konsekuensinya terdapat netto muatan negatif pada permukaan dan harus
dinetralkan oleh kation lain, kation ini disebut kation interlayer (exchangeable
cations). (Yunfei Xi, et al., 2005)






Gambar 2.1 Struktur montmorilonit (Sumber: Syuhada et al., 2009)

2.2. Polikation Al
Polikation Al dengan rumus molekul [Al
13
O
4
(OH)
24
(H
2
O)
12
]
7+
merupakan
agen pemilar yang paling banyak digunakan karena mampu meningkatkan basal
spacing yang paling besar dan seragam bila dibandingkan dengan menggunakan
logam Ti, Zr, Fe, sebagai agen pemilar (Maes,N. et al., 1996). Struktur polikation
Al dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Al, Fe, Mg
OH
O
Li, Mn, Pb, Ca
Tetrahedral
Tetrahedral
Oktahedral
Exchangeable cation
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012







Gambar 2.2. Struktur polikation Al model Keggin (sumber: Furrer et al., 1992)

2.3. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan
maupun gas) terikat pada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film
(lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut. Adsorpsi secara umum adalah
proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh
permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika
antara substansi dengan penyerapnya.
Definisi lain menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan
pada lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu materi
terkumpul pada bahan pengadsorpsi atau adsorben. Adsorpsi adalah pengumpulan
dari adsorbat diatas permukaan adsorben, sedang absorpsi adalah penyerapan dari
adsorbat kedalam adsorben dimana disebut dengan fenomena sorption. Materi
atau partikel yang diadsorpsi disebut adsorbat, sedang bahan yang berfungsi
sebagai pengadsorpsi disebut adsorben.
Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi fisika (disebabkan
oleh gaya Van Der Waals (penyebab terjadinya kondensasi gas untuk membentuk
cairan) yang ada pada permukaan adsorben) dan adsorpsi kimia (terjadi reaksi
antara zat yang diserap dengan adsorben, banyaknya zat yang teradsorbsi
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
tergantung pada sifat khas zat padatnya yang merupakan fungsi tekanan dan suhu)
(Brady, 1999)
2.3.1 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi adalah suatu model matematika yang menggambarkan
distribusi dari adsorbat diantara cairan dan adsorben, berdasarkan asumsi bahwa
sebagian besar berhubungan dengan heterogenitas/homogenitas dari adsorbat. Ada
beberapa jenis isoterm adsorpsi yaitu isoterm adsorpsi Langmuir, Freundlich, dan
Temkin (Kumar, et al., 2009).
2.4 Interkalasi
Interkalasi adalah suatu penyisipan spesies tamu (ion, atom, atau molekul)
ke dalam antarlapis senyawa berstruktur lapis. Schubert, et al., 2002
mendefinisikan interkalasi adalah suatu penyisipan suatu spesies pada ruang antar
lapis dari padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya.Atom-atom
atau molekul-molekul yang akan disisipkan disebut sebagai interkalan, sedangkan
yang merupakan tempat yang akan dimasuki atom-atom atau molekul-molekul
disebut sebagai interkalat. Metode ini akan memperbesar pori material, karena
interkalan akan mendorong lapisan atau membuka antar lapisan untuk
mengembang
Menurut Ogawa dalam Rusman (1999), mekanisme pembentukan
interkalasi dapat dikelompokan menjadi lima golongan, yaitu :
1. Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran kation. Senyawa
terinterkalasi jenis ini terbentuk dari pertukaran kation tamu dengan kation yang
menyetimbangkan muatan lapis. Jumlah kation tamu yang dapat terinterkalasi
tergantung pada jumlah muatan yang terkandung pada lapisan bahan inang.
Lempung terpilar adalah salah satu contoh senyawa terinterkalasi yang diperoleh
dari pertukaran kation. Spesies tamu dalam hal ini berperan sebagai pilar yang
akan membuka lapisan-lapisan lempung.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol dan pembentukan ikatan
hydrogen Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk jika spesies inang (host)
bersifat isolator dan tidak memiliki muatan permukaan. Interaksi antaraspesies
tamu dan lapisan spesies inang hanya berupa interaksi dipol dan ikatan hidrogen,
oleh karena itu jenis interkalasi ini tidak stabil dan senyawa yang terinterkalasi ini
dengan mudah dapat digantikan.
3. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol antara spesies tamu dan
ion-ion di dalam antar lapis. Senyawa interkalasi jenis ini dapat terjadi melalui
pertukaran molekul-molekul solven. Pertukaran tersebut terjadi antara molekul-
molekul solven yang mensolvasi ion-ion dalam antarlapis dengan molekul-
molekul tamu. Hal tersebut terjadi, jika molekul tamu mempunyai polaritas yang
tinggi. Pada material lempung, molekul monomer dapat terinterkalasi melalui
penggantian dengan molekul air.
4. Senyawa interkalasi yang dibentuk dengan ikatan hidrogen Bila dibandingkan
dengan senyawa interkalasi yang lain, maka spesies tamu akan terikat lebih kuat
di dalam spesies induk, sehingga deinterkalasi lebih sulit terjadi.
5. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari transfer muatan. Senyawa interkalasi yang
terbentuk jika lapisan bahan induk bersifat konduktif.

Proses interkalasi dalam lempung dijelaskan pada Gambar 2.3. Lempung
yang semula berbentuk lapisan alumino silikat, dengan masuknya interkalan
Gambar 2.3. Proses Interkalasi dalam Lempung (Sumber: Yateman, 2006)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
diantara lapisan mengakibatkan lapisan terdekatnya akan terpisah menjadi lapisan
alumino silikat interkalan-alumino silikat.

2.4.1 Pilarisasi
Pilarisasi adalah proses dimana senyawa berlapis baik material mikro
dan/atau mesopori dirubah menjadi bersifat stabil terhadap panas, dengan cara
tetap mempertahankan struktur berlapisnya (Schoonheydt et al., 1999). Terdapat 3
kriteria dalam pemilaran, yaitu (i) terjadi melalui proses interkalasi, umumnya
dengan proses tukar kation pada interlayer anorganik dengan kationik agen
pemilar, serta mengakibatkan peningkatan d
001
spacing sekurang-kurangnya 0,7
nm, (ii) material yang terpilar harus mampu mengembang (swelling), dan (iii)
basal spacing tidak berubah walaupun materi dipanaskan sekurang-kurangnya
200
o
C (pada beberapa kasus hingga 700-800
o
C), dalam kondisi hidrat atau
anhidrat dan ketika pH divariasikan (Bergaya et al,. 1995). Mekanisme pilarisasi
dapat dilihat pada Gambar 2.4.








Gambar 2.4. Mekanisme pilarisasi (Sumber: Vercauteren, S. et al., 1996)


Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.5 Polielektrolit
Polielektrolit adalah polimer yang merupakan pengulangan dari beberapa
grup elektrolit. Grup ini akan terdisosiasi dalam air, dan mengakibatkan polimer
bermuatan. Polielektrolit mempunyai sifat yang mirip dengan elektrolit (garam)
dan polimer (molekul berbobot besar), oleh karena itu polielektrolit juga sering
disebut polysalts.(M. Hess, et al., 2006)
2.5.1 Muatan polielektrolit
Asam dapat diklasifikasikan sebagai asam lemah atau kuat (begitu juga
dengan basa). Demikian juga terjadi untuk polielektrolit dapat dibedakan menjadi
lemah dan kuat. Polielektrolit kuat adalah yang terdisosiasi sempurna dalam
larutan yang mempunyai range pH luas. Polielektrolit lemah jauh berbeda sifatnya
dengan yang kuat, ia mempunyai konstanta disosiasi (pKa atau pKb) dalam
daerah 2 sampai 10, ini berarti akan terjadi disosiasi parsial dalam pH
intermediate. Jadi polielektrolit lemah tidak akan bermuatan sepenuhnya dalam
larutan dan fraksi muatan mereka dapat dimodifikasi dengan merubah pH larutan,
counter ion atau kuatnya ionik dalam larutan.
2.5.2 Konformasi polielektrolit
Konformasi polimer dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu arsitektur
polimer, afinitasnya terhadap pelarut, dan muatan polielektrolit. Rantai polimer
linear yang tak bermuatan selalu ditemukan dalam bentuk konformasi acak dalam
larutan, sedangkan dalam rantai linier polielektrolit yang bermuatan akan menolak
satu sama lain (gaya Coulomb). Hal ini mengakibatkan rantai menjadi lebih
terekspansi, konformasi menjadi seperti batang yang rigid. Jika larutan
mengandung sejumlah garam dalam jumlah tepat, muatan polielektrolit akan
ternetralkan dan akibatnya rantai polielektrolit akan kollaps menjadi konformasi
yang biasa. Konformasi polimer tentu mempengaruhi banyak hal pada sistem bulk
(seperti viskositas, turbiditas, dll). (R. Podgornik, M. Lier. 2006) Gambaran
polielektrolit yang menempel pada substrat dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012




2.5.3 Poly Diallyl Dimethyl Ammonium (PDDA)
Poly [diallyl(dimethyl)ammonium chloride] merupakan jenis polielektrolit
bermuatan positif, atau sering disebut polikation. Formula kimia monomer diallyl
dimethyl ammonium ini adalah C
8
H
16
N. Struktur PDDA dapat dilihat pada
Gambar 2.6.




Gambar 2.6 Struktur PDDA (sumber: http://mits.nims.go.jp)

PDDA merupakan polimer kationik yang larut dalam air. Di dalam air,
molekulnya berbentuk coil. Material ini mempunyai bentuk amina siklik dan
terdapat amina kuarterner sebagai amina kuarterner klorida. Kemampuan untuk
memodifikasi permukaan dan menyediakan karakter kationik memungkinkan
peneliti menggunakan PDDA untuk menarik muatan negatif secara selektif
sehingga terikat pada permukaan yang terlapisi PDDA. Ikatan antara molekul
n
Gambar 2.5. Gambaran polielektrolit yang menempel pada substrat
(http://www.imtek.de/cpi/polyelectrolyte-brushes.php)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
negatif dengan PDDA akan mengurangi kelarutan dari polimer kationik ini (Goo
Soo Lee, et al., 2001).

2.6 Surfaktan
Surfaktan atau dalam bahasa Inggris disebut Surfactant (surface active
agent) adalah zat yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan
permukaan sistem tersebut jika diberikan dalam konsentrasi rendah. Struktur
surfactant terdiri dari dua bagian, yaitu bagian ekor dan kepala. Bagian ekornya
ialah bagian hidrofobik atau tidak suka air, yang artinya dibutuhkan energi yang
besar untuk melakukan kontak dengan air. Bagian ekor ini terbentuk dari rantai
karbon, yang sifatnya jika makin panjang makin baik untuk menangkap kotoran
non polar. Bagian kepala merupakan bagian yang hirofilik atau menyukai air,
yang artinya tidak diperlukan energi yang besar untuk melakukan kontak dengan
air (Salanger, 2002).Struktur surfactant diperlihatkan pada Gambar 2.7.



Muatan yang terkandung pada kepala surfactant menentukan jenis
surfactant itu sendiri. Jenis-jenis surfactant:
a. Anionik membawa muatan negatif, contoh: Sodium Dodesyl Sulfate
(SDS) CH
3
(CH
2
)
11
OSO
3
-
Na
+
, Natrium Stearat CH
3
(CH
2
)
16
COO
-
Na
+
, dan
Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate C
12
H
25
C
6
H
4
SO
3
-
Na
+

Gambar 2.7 Struktur surfactant (www.naturallycurly.com)

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
b. Kationik membawa muatan positif, contoh: Dodesilamin Hidroklorida,
[CH
3
(CH
2
)
11
NH
3
]
+
Cl
-
, Dodesiltrimetil Amonium Bromida
[CH
3
(CH
2
)
15
N(CH
3
)
3
]
+
Br
-
, Heksadesil Trimetilamonium Bromida
(HDTMA-Br) [C
16
H
33
N(CH
3
)
3
]
+
Br
-
, dan Oktadesil Trimetilamonium
Bromida (ODTMA-Br) [C
18
H
37
N(CH
3
)
3
]
+
Br
-
.
c. Zwitterionik membawa muatan positif dan negatif, contoh: Dodesil
Betain, CH
3
(CH
2
)
11
NHCH
2
CH
2
COOH.
d. Nonionik tidak bermuatan, contoh: Tergitol, C
9
H
19
C
6
H
4
O(CH
2
-
CH
2
O)
40
H, Poliostilen laurel eter, dan C
12
H
25
O(C
2
H
4
O)
8
H.

2.6.1 N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB)
Memiliki nama lain N,N,N-Trimethyltetradecylammonium Bromide; N-
Hexadecyl-N,N,N-Trimethylammonium Bromide; N-Hexadecyl Trimethyl
Ammonium Bromide; Palmityl Trimethyl Ammonium Bromide; Trimethyl
Hexadecyl-Ammonium Bromide; 1-Hexadecanaminium, N,N,N-Trimethyl-
,Bromide.
CTAB merupakan surfaktan kationik dengan rumus molekul C
19
H
42
BrN.
Penggunaannya sebagai materi yang membantu proses pilarisasi bentonit dengan
Al telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai basal spacing
(Zhu, Runliang et al., 2009). Struktur dan ukuran CTAB dapat dilihat pada
Gambar 2.8 dan 2.9.


Gambar 2.8 Struktur CTAB (Sumber: Zhu, Jianxi, et al., 2011)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012

Gambar 2.9 Ukuran CTAB ( Sumber: Runliang Zhu, et al., 2009)

2.6.2 Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate (SDBS)
SDBS (Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate) merupakan salah satu jenis
surfaktan yang digunakan sebagai bahan dasar deterjen, penggunaanya berkurang
sampai ditemukannya jenis surfaktan baru yang dianggap lebih ramah lingkungan
seperti LAS (Krueger, C.J, et al., 1998, dan Nielsen, et al., 1997). Akan tetapi
berdasarkan data dari US EPA (Environmental Protection Agency) registration
products, diketahui bahwa SDBS masih banyak digunakan dalam produk-produk
seperti beberapa merk deterjen, pestisida, fungisida, dan desinfektan. SDBS
selaku salah satu jenis surfaktan, memilik sifat layaknya deterjen karena bahan
dasar deterjen yang memang sebagian besar terdiri dari surfaktan. Keberadaan
limbah ini dalam air dapat membahayakan lingkungan dan membunuh makhluk
hidup air yang ada di dalamnya karena dapat mengurangi kadar oksigen dalam air
dan mengganggu kerja enzim organisme di dalamnya, contohnya ikan (Mautidina,
2000 dan Varley, 1987). SDBS memiliki rumus molekul C
18
H
29
NaO
3
S dan
berbentuk garam tidak berwarna. Struktur SDBS dapat dilihat pada Gambar 2.10.





Gambar 2.10 Struktur SDBS(sumber: Salanger, 2002)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.7 Instrumen Karakterisasi
2.7.1 XRF (X-Ray Flourescence)
XRF merupakan instrumen yang dapat menganalisa unsur-unsur dalam
suatu senyawa. Instrumen terdiri dari sumber radiasi, tempat sampel, dan detektor.
Prinsip kerja XRF dapat dilihat pada Gambar 2.11. Elektron pada kulit dalam
dieksitasi oleh foton dalam wilayah sinar X. Saat terjadi proses deeksitasi,
elektron berpindah dari tingkat energi tinggi untuk mengisi kekosongan pada kulit
dalam. Perbedaan energi diantara kedua kulit atom tersebut muncul sebagai suatu
sinar X yang diemisikan atom. Spektrum sinar X yang berasal dari proses tersebut
muncul sebagai peak yang khas. Energi tiap peak dapat digunakan untuk
identifikasi unsur yang ada dalam sampel (analisa kualitatif) sedangkan intensitas
peak memberikan informasi kadar unsur (analisa kuantitatif) (Gunlazuardi, 2010).

Gambar 2.11. Skema kerja XRF (Sumber: http://www.goldtester.in/introduction-
of-XRF-technology.html)

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.7.2 Spektrofotometri Infra Merah (FTIR)
Instrumen FTIR menggunakan sumber radiasi dalam kisaran inframerah
(bilangan gelombang = 4000-400 cm
-1
). Radiasi dalam kisaran energi ini sesuai
dengan kisaran frekuensi vibrasi rentangan (stretching) dan vibrasi bengkokan
(bending) ikatan kovalen dalam kebanyakan molekul. Bila molekul menyerap
radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan amplitudo vibrasi
atom-atom yang saling berikatan. Panjang gelombang eksak absorbsi oleh suatu
tipe tertentu ikatan, bergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu
tipe ikatan yang berbeda (C-H, C-C, C-O dll) menyerap radiasi inframerah pada
panjang gelombang berbeda.
Instrument FTIR terdiri sumber cahaya (Nerst glower atau Globar),
monokromator, detektor, dan sistem pengolah data (komputer). Spektum yang
dihasilkan merekam panjang gelombang atau frekuensi versus % T. (Oxtoby,
2002).
2.7.3 Difraksi Sinar-X (XRD)
Max von Laude menyatakan bahwa kristal dapat digunakan sebagai kisi
tiga dimensi untuk difraksi radiasi elektromagnetik. Ketika radiasi
elektromagnetik melewati suatu materi, terjadi interaksi dengan elektron dalam
atom dan sebagian dihamburkan ke segala arah. Dalam beberapa arah, gelombang
berada dalam satu fasa dan saling memperkuat satu sama lain sehingga terjadi
interferensi konstruktif sedangkan sebagian tidak satu fase dan saling meniadakan
sehingga terjadi interferensi destruktif (Gunlazuardi, 2005).
Interferensi konstruktif tergantung pada jarak antar bidang (d), besar sudut
difraksi () dan berlangsung hanya apabila memenuhi hukum Bragg :
n = 2d sin n= 1, 2, 3,
2.7.4 UV-Vis Spektrofotometer
Molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena
mengandung elektron yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Spektrofotometer UV-Vis dapat membaca transisi pada panjang gelombang antara
190-1000 nm. Berdasarkan hukum lambert-Beer, absorbansi berbanding lurus
dengan konsentrasi, sesuai persamaan :
A = . b. C
A = a. b. C

Radiasi yang ditembakkan pada suatu sampel ada yang diserap dan ada
yang diteruskan. Logaritma daya radiasi yang diserap per daya radiasi yang
diteruskan merupakan nilai absorbansi (Gunlazuardi, 2010). Skema alat UV-Vis
spektrofotometer dapat dilihat pada Gambar 2.12

Gambar 2.12 Skema kerja UV-Vis spectrofotometer
(Sumber: http://bouman.chem.georgetown.edu/S00/handout/spectrometer.htm)

Cara kerja instrumentasi ini relatif sederhana. Berkas sinar dari sumber radiasi UV
dan/ atau Visible dipisahkan menjadi komponen panjang gelombangnya dengan
prisma ataupun diffraction grating. Setiap berkas sinar monokromatis kemudian
akan dipilah menjadi dua bagian dengan intensitas yang sebanding oleh peralatan
half mirror. Satu berkas sinar, berkas sampel, dilewatkan melalui wadah yang
A = absorbansi = absorptivitas molar
a = absorptivitas C = konsentrasi
b = tebal kuvet

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
transparan (kuvet) yang berisi larutan senyawa yang dipelajari dalam pelarut yang
transparan. Berkas sinar lainnya, pembanding, dilewatkan melalui kuvet yang
identik dengan kuvet sampel tetapi hanya mengandung pelarutnya saja. Intensitas
berkas sinar kemudian diukur dengan detektor dan keduanya dibandingkan.
Intensitas dari berkas pembanding, dimana tentunya tidak mengalami proses
serapan (kalaupun ada cukup kecil) ditentukan sebagai berkas dengan intensitas
Io. Intensitas dari berkas sampel ditentukan sebagai I. Dalam periode waktu yang
singkat, spektrometer menscan secara otomatis seluruh komponen panjang
gelombang dalam daerah tertentu. Scan daerah UV umumnya dilakukan dari 200
s/d 400 nm, dan scan daerah Visible dilakukan dari 400 s/d 800 nm (Gunlazuardi,
2010).

2.7.5 Brunauer-Emmet-Teller (BET)
Teori BET diperkenalkan tahun 1938 oleh Stephen Brunauer, Paul Hugh
Emmett, dan Edward Teller. BET adalah singkatan dari nama ketiga ilmuwan
tersebut. Teori ini menjelaskan fenomena adsorpsi molekul gas di permukaan zat
padat. Kuantitas molekul gas yang diadsorpsi sangat bergantung pada luas
permukaan yang dimiliki zat padat tersebut. Dengan demikian, secara tidak
langsung teori ini dapat dipergunakan untuk menentukan luas permukaan zat
padat (Mikrajuddin Abdullah dan Khairurrijal. 2009).
BET menerangkan keadaan molekul yang teradsorpsi pada permukaan zat
padat melalui persamaan berikut:

dengan P adalah tekanan kesetimbangan, Po adalah tekanan saturasi, v adalah
jumlah gas yang teradsorpsi, vm adalah jumlah gas yang teradsorpsi pada satu
lapis, dan c adalah konstanta BET yang memenuhi:

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.7.6 Transmission Electron Microscopy (TEM)
TEM digunakan dalam analisis mikrostruktur, idnetifikasi defect, analisis
interfasa, struktur kristal, tatanan atom pada kristal serta analisa elemental pada
skala nanometer. TEM bekerja dengan prinsip menembakkan elektron ke lapisan
tipis sampel, selanjutnya informasi tentang komposisi struktur dalam sampel
tersebut dapat terdeteksi dari analisis sifat tumbukan, pantulan maupun fase sinar
elektron yang menembus lapisan tipis tersebut. Dari sifat pantulan sinar elektron
tersebut juga bisa diketahui struktur kristal maupun arah dari struktur kristal
tersebut. Bahkan dari analisa lebih detail, dapat diketahui deretan struktur atom
dan ada tidaknya cacat (defect) pada struktur tersebut. Hanya perlu diketahui,
untuk observasi TEM ini, sampel perlu ditipiskan sampai ketebalan lebih tipis dari
100 nanometer. Dan penipisan tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, karena
memerlukan keahlian dan alat khusus. Obyek yang tidak bisa ditipiskan sampai
order tersebut sulit diproses. TEM mampu menghasilkan resolusi hingga 0,1 nm
(1 Angstrom) atau sama dengan pembesaran hingga satu juta kali.(Mikrajuddin
Abdullah dan Khairurrijal. 2009). Komponen-komponen pada TEM dapat dilihat
pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13. Komponen-komponen TEM (Sumber:
http://www.unl.edu/CMRAcfem/temoptic.htm)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Departemen Kimia FMIPA Universitas
Indonesia pada bulan Agustus sampai November 2011

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Proses
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain gelas piala 100 mL,
250 mL, 500 mL, dan 1000mL, labu ukur 10mL, 250 mL, 500mL, dan 1000 mL,
pipet volumetri, pipet tetes, gelas beker, batang pengaduk, botol semprot, bulb,
tabung reaksi, mortar, neraca analitik, oven, termometer, sentrifuge, sonikator,
ayakan mesh, dan magnetic stirrer, labu ukur, corong pisah.

3.2.2 Alat Uji
Alat uji yang digunakan untuk analisa dan karakterisasi adalah
spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2450, FTIR Shimadzu IR Prestige-21,
Difraksi sinar-X (XRD) Philip PW 1710, XRF dan BET.

3.2.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bentonit alam
(dari Tapanuli, Sumatera Utara), aquades, dan aquabides. Digunakan pula bahan-
bahan kimia yang berkualitas pro analis dari Merck, yaitu AgNO
3
, NaCl, HCl,
NaOH, metilen biru, N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl Ammonium Bromide, indikator
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
PP, H
2
SO
4
, dan kloroform. Sedangkan PDDACl dan SDBS diperoleh dari Aldrich
dengan kualitas pro analis.

3.3 Prosedur kerja
Prosedur kerja pada penelitian ini mengacu pada prosedur yang telah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Irwansyah, 2007; Putra, Agung. K, 2010 dan
Stephanie, Helen, 2011) dan jurnal internasional (Tabak,A, et al., 2007; Khalaf,
H, et al., 1996; Kahr, G., F.T. Madsen. 1994; dan Zhu,Runliang, et al., 2009)
dengan beberapa modifikasi.

3.3.1 Preparasi Montmorilonit
3.3.1.1 Preparasi Bentonit Alam

Bentonit alam yang telah digerus, dipanaskan di dalam oven pada suhu 110
0
C selama 2 jam. Bentonit yang telah kering, lalu disaring menggunakan ayakan
berukuran 200 mesh dan dikarakterisasi menggunakan XRD.

3.3.1.2 Fraksinasi Sedimentasi Bentonit
Sebanyak 200 gram bentonit dimasukkan ke dalam beaker glass dan
ditambahkan 2 liter aquades. Campuran tersebut diaduk dengan stirrer selama 30
menit, kemudian didiamkan selama 5 menit. Endapan yang terbentuk dipisahkan
dengan cara dekantasi. Endapan ini disebut sebagai fraksi satu (F1). Suspensi sisa
fraksi satu didiamkan kembali selama 2 jam. Endapan yang didapat disebut
sebagai fraksi dua (F2). Endapan dari fraksi dua lalu dikeringkan dalam oven pada
suhu 110
0
C sampai kering.



Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
3.3.1.3. Penjenuhan dengan NaCl
Bentonit fraksi dua disuspensikan ke dalam 1000 mL larutan NaCl 1 M,
kemudian distirrer selama 24 jam pada suhu 70
o
C. Endapan hasil dekantasi dicuci
dengan akuades hingga bebas Cl
-
yang dibuktikan dengan penambahan 2 tetes
AgNO
3
1 M pada 10 mL filtrat sampai tidak terbentuk endapan putih AgCl.
Selanjutnya endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 110
0
C. Endapan digerus
dan diayak hingga berukuran 200 mesh. Na-MMT yang diperoleh di karakterisasi
dengan XRD, BET dan FTIR.

3.3.2. Penentuan Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Sebanyak 0,5 gr Na-MMT disuspensikan ke dalam 15 mL aquades dan
diaduk selama 1 jam. Ditambahkan 20 mL larutan metilen biru 0,005 M setetes
demi setetes dan disertai pengadukan dengan menggunakan pengaduk magnetic
selama 1 jam. Setelah dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring
kasar, dilakukan pengukuran absorbansi pada filtrat menggunakan UV-Vis
Spectrofotometer dengan = 667 nm. Selisih konsentrasi metilen biru sebelum
dan sesudah dicampurkan dengan Na-MMT digunakan untuk menghitung nilai
KTK. Dibuat deret standar dari metilen biru dengan konsentrasi 3x10
-8
, 5x10
-8
,
8x10
-8
, 1x10
-7
, 3x10
-7
, 5x10
-7
, 8x10
-7
, 1x10
-6
, dan 5x10
-6
M.

3.3.3. Proses Pilarisasi Montmorilonit
Membuat larutan polikation Al dengan cara menambahkan secara perlahan
660 mL NaOH 0,2 M ke dalam 300 ml AlCl
3
.6H
2
O 0,1 M (rasio OH/Al 2,2)
sambil dilakukan pengadukan, lalu larutan di aging selama 2 hari. Di tempat
terpisah, dibuat larutan CTAB 2% (20 gr dalam 1000 ml). Selanjutnya dilakukan
penimbangan sebanyak 3,333 gr Na-MMT (agar proporsi Al/MMT yang didapat
sebanyak 9 mmol/gr), untuk selanjutnya dibuat 2% suspensi Na-MMT dengan
melarutkannya pada 166,665 ml aquades dan diaduk menggunakan stirrer
magnetik. Proses pilarisasi kemudian dilakukan dengan mencampurkan larutan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
CTAB dan polikation Al secara perlahan-lahan ke dalam suspensi Na-MMT,
kemudian diaduk selama 24 jam. Sebagai pembanding, dibuat juga campuran
polikation Al dan Na-MMT tanpa penambahan CTAB. Endapan disaring dan
dicuci sampai sisa Cl
-
hilang (negatif terhadap uji AgNO
3
), lalu endapan
dikeringkan pada suhu 40 C selama 3 hari dan dikalsinasi secara bertahap sampai
600 C selama 3 jam. Padatan yang didapat dari pilarisasi menggunakan CTAB
dan polikation Al kemudian dinamakan Al-Montmorilonit (Al(CTAB)-MMT) dan
yang hanya dipilarisasi oleh polikation Al, dinamakan Al-MMT. Selanjutnya
Al(CTAB)-MMT dan Al-MMT dikarakterisasi dengan FTIR, XRD dan BET.

3.3.4. Pembuatan PMAM (Polymer Modified Al(CTAB)-MMT)
Dibuat larutan PDDACl; 0,04M NaCl dengan cara menambahkan 0,117 gr
NaCl pada masing-masing larutan PDDACl yang kemudian diencerkan
bersamaan pada labu 50 ml untuk mencapai konsentrasi PDDACl yang
diinginkan, yaitu PDDACl 1x10
-5
, 1x10
-4
, 5x10
-4
, dan 1x10
-3
M. Mencampurkan
masing-masing 12,5 ml larutan PDDACl;0,04M NaCl ke dalam 0,5 gr Al(CTAB)-
MMT, dan di tempat terpisah juga dilakukan pencampuran antara
PDDACl;0,04M NaCl dengan Na-MMT dan Al-MMT (sebagai pembanding).
Campuran kemudian diaduk selama 8 jam dan diendapkan semalaman. Endapan
didekantasi dan dipisahkan dari filtratnya melalui proses penyaringan dengan
menggunakan kertas saring kasar dan dicuci dengan 10 ml aquabides untuk
selanjutnya dikeringkan pada suhu ruang dan ditimbang hingga bobotnya tetap.
Hasil endapan dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, dan konsentrasi
PDDACl optimum dapat ditentukan dengan melihat luas puncak serapan N-R
yang paling besar pada karakterisasi dengan FTIR dan dengan melalui
perbandingan intensitas puncak serapan N-R dengan puncak serapan pembanding.

3.3.5 Aplikasi PMAM Sebagai Adsorben Surfaktan SDBS
Pada 50 mg PMAM dengan konsentrasi PDDACl optimum, ditambahkan 10
ml larutan surfaktan SDBS dengan variasi konsentrasi 5x10
-5
, 1x10
-4
, 5x10
-4
,
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
1x10
-3
, 5x10
-3
,dan 1x10
-2
M. Campuran diaduk selama 120 menit, dan diendapkan
semalaman. Endapan didekantasi lalu disaring, dan filtrat disentrifugasi selama 1
jam. Konsentrasi optimum ditentukan dengan menentukan absorbansi pada filtrat
(konsentrasi yang tidak terserap) dengan menggunakan metode MBAS (Lampiran
2), kemudian konsentrasi SDBS yang tidak terserap dapat diketahui melalui
persamaan yang didapat dari kurva standar SDBS yang juga dibuat melalui
metode MBAS. Pada konsentrasi optimum SDBS, dilakukan pencampuran lagi
dengan PMAM dan digunakan variasi waktu pengadukan. Range waktu
pengadukan yang digunakan yaitu 15, 45, 75, 120, dan 180 menit. Campuran
diendapkan semalaman, lalu disaring dan filtrat disentrifugasi selama 1 jam.
Konsentrasi SDBS yang tidak terserap ditentukan dengan mengukur absorbansi
filtrat menggunakan metode MBAS. Untuk perbandingan, dilakukan juga
pencampuran PMNM dan PMAMt (dari hasil pilarisasi Al-MMT) pada SDBS
dengan kondisi optimum. Endapan hasil kemudian dikarakterisasi dengan FTIR,
dan adsorpsi SDBS dianalisa menggunakan isoterm adsorpsi Langmuir dan
Freundlich.

3.3.6 Pengujian Kekuatan Ikatan antara PDDA (dalam PMAM) dengan
SDBS
Pada endapan PMAM yang telah mengadsorp SDBS dalam kondisi
optimum, dilakukan penambahan HCl 1x10
-3
M hingga terbentuk larutan dengan
pH 3,06; 4,37; dan 4,86. Untuk setiap variasi pH, ditambahkan 2 ml HCl ke dalam
10 mg endapan, kemudian diaduk selama 45 menit dan disentrifugasi. Pencucian
dengan HCl dilakukan 2x untuk masing-masing kondisi pH. Filtrat dipisahkan dan
konsentrasi SDBS yang mampu ditarik oleh HCl ditentukan dengan mengukur
absorbansi filtrat melalui metode MBAS dan memasukkan nilai absorbansi
tersebut ke dalam kurva standar SDBS.



Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Preparasi Montmorilonit
Sebelum bentonit digunakan lebih lanjut, dilakukan terlebih dahulu
perlakuan terhadap bentonit melalui 3 tahap preparasi yaitu preparasi bentonit,
fraksinasi, dan penjenuhan dengan NaCl yang kemudian ditentukan nilai kapasitas
tukar kationnya. Tahapan preparasi montmorilonit bertujuan untuk memperoleh
Na-MMT (Na-exchange Montmorilonit) yang kemudian akan digunakan pada
tahapan-tahapan selanjutnya.

4.1.1 Preparasi bentonit alam
Tahapan pertama pada proses preparasi montmorilonit adalah preparasi
bentonit alam yang bertujuan untuk mempersiapkan bentonit alam yang masih
banyak mengandung pengotor di dalamnya agar siap digunakan untuk proses
selanjutnya. Pada tahap preparasi, bentonit digerus dan dipanaskan pada suhu 110
o
C selama 2 jam guna menghilangkan air dan pengotor organik yang mudah
menguap. Bentonit yang telah kering, diayak menggunakan ayakan 200 mesh agar
ukuran bentonit menjadi kecil dan seragam. Ukuran yang semakin kecil akan
membuat luas permukaan bentonit menjadi lebih besar dan semakin banyak zat
yang mampu diserap, sedangkan penyeragaman ukuran bertujuan untuk membuat
proses penyerapan yang terjadi juga seragam.

4.1.2 Fraksinasi
Setelah tahapan preparasi, pada bentonit dilakukan fraksinasi agar
didapatkan fraksi yang kaya akan montmorilonit. Fraksi yang kaya akan
montmorilonit akan membuat proses adorpsi lebih optimal, karena montmorilonit
adalah mineral utama dalam bentonit yang berperan dalam proses adsorpsi dan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
menentukan sifat serta kualitas dari bentonit itu sendiri. Oleh karena itu,
pengotor-pengotor lain seperti kalsit, kuarsa, klinoptilolit, besi oksida, feldspars
dan asam humat yang masih terdapat dalam bentonit alam harus dihilangkan
terlebih dahulu melalui pemurnian baik secara fisika maupun kimia (Adel Fisli, et
al., 2008). Proses fraksinasi termasuk ke dalam proses pemurnian secara fisika,
dimana mineral-mineral yang memiliki massa jenis lebih besar akan mengendap
terlebih dahulu dan selanjutnya dipisahkan dari fraksi yang kaya akan
montmorilonit yang masih membentuk suspensi di atas permukaan endapan.
Montmorilonit akan mengendap lebih lama karena adanya ikatan yang lebih kuat
antara lapisan silikat di dalam montmorilonit dengan air (Oktaviani, 2011). Pada
penelitian ini tidak dilakukan pemurnian secara kimia seperti purifikasi karbonat
karena berdasarkan hasil penelitian Irwansyah pada tahun 2007, diketahui bahwa
perlakuan kimia pada bentonit dapat merusak struktur bentonit dan mengurangi
kandungan montmorilonit. Proses fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 4.1.


Gambar 4.1. Fraksi 2 (F2) setelah diendapkan selama 2 jam

4.1.3 Penjenuhan dengan NaCl
Di dalam interlayer montmorilonit yang berasal dari bentonit alam, masih
terdapat beraneka ragam kation seperti Li
+
, Mn
2+
, Pb
2+
, dan Ca
2+
yang berfungsi
sebagai penyeimbang muatan untuk montmorilonit yang bersifat negatif, ukuran
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
kation-kation yang berbeda tersebut mengakibatkan ukuran interlayer tidak
seragam, sehingga diperlukan penyeragaman kation melalui proses tukar kation
yang semula beragam menjadi Na
+
. Proses tukar kation dengan Na
+
dapat dilihat
pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Proses tukar kation dengan Na
+

(Sumber: Oktaviani, 2011, dengan modifikasi)

Proses penyeragaman kation pada penelitian ini dilakukan melalui
penjenuhan dengan NaCl 1M pada fraksi 2 (F2) dengan suhu 70
o
C selama 24
jam. NaCl ditambahkan dengan perbandingan (F2:NaCl) 1:20 untuk memberi
kesempatan Na-MMT mengembang/swelling secara maksimal. Proses
penjenuhan dengan NaCl dapat dilihat pada Gambar 4.3

Gambar 4.3 Proses penjenuhan dengan NaCl
Na
+

Kation keluar
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Penyeragaman dengan kation Na sangat penting untuk membuat
montmorilonit bersifat swelling, sehingga memudahkan masuknya polikation Al
dalam proses pilarisasi. Sifat swelling yang dihasilkan oleh Na-MMT diakibatkan
karena ion Na
+
yang berada di permukaan bentonit akan berasosiasi dengan
daerah yang mengalami defisiensi muatan positif pada salah satu lembar saja,
sehingga di antara lembaran akan terpisah cukup jauh dan memungkinkan
interaksi dengan air lebih banyak dan meningkatkan kestabilan (Irwansyah, 2007).
Proses swelling Na-MMT dapat dilihat pada Gambar 4.4.


Gambar 4.4 Proses swelling Na-MMT (Sumber: Nelson, 2011)

Hasil endapan disaring dan dicuci menggunakan aquades hingga tidak
lagi mengandung ion Cl
-
yang dibuktikan dengan hasil negatif terhadap pengujian
dengan AgNO
3
1 M. Hasil pengujian dengan AgNO
3
pada filtrat yang masih
mengandung Cl
-
dan pada filtrat yang telah bebas dari Cl
-
dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
Ion Cl
-
harus dipastikan tidak ada lagi di dalam montmorilonit karena
keberadaannya dapat mengganggu proses selanjutnya. Polikation Al dan CTAB
yang akan digunakan pada proses selanjutnya memiliki muatan positif dan
diharapkan mengalami proses tukar kation untuk berikatan dengan montmorilonit
yang bermuatan negatif. Adanya ion Cl
-
menyebabkan polikation Al dan CTAB
akan berikatan dengan ion Cl
-
dan bukan langsung berikatan dengan
montmorilonit. Oleh karena itu, ion Cl
-
harus dipastikan benar-benar hilang dari
Na-MMT.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012


Gambar 4.5. Hasil uji dengan AgNO
3
1 M pada filtrat yang masih mengandung
Cl
-
(kiri) dan yang sudah bebas Cl
-
(kanan)
Endapan selanjutnya dikeringkan pada suhu 110
o
C untuk menghilangkan
air dan diayak kembali dengan ayakan 200 mesh agar ukurannya kembali
seragam, lalu dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR. Hasil penjenuhan
dengan NaCl dinamakan Na-MMT. Perbedaan secara fisik antara bentonit alam
dan Na-MMT tidak terlalu terlihat jelas, dimana Na-MMT terlihat sedikit lebih
pucat dibandingkan dengan bentonit alam. Hal ini disebabkan karena pengotor-
pengotor yang semula terdapat dalam bentonit alam sudah dibersihkan. Tampilan
fisik bentonit alam dan Na-MMT dapat dilihat pada Gambar 4.6.


Gambar 4.6. Tampilan fisik bentonit alam (kiri) dan Na-MMT (kanan)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.1.4 Karakterisasi bentonit alam dan Na-MMT
Karakterisasi dilakukan menggunakan XRD dan FTIR untuk mengetahui
morfologi bentonit alam dan Na-MMT yang kemudian akan berguna sebagai
karakterisasi awal atau pembanding dari produk-produk yang akan dihasilkan
pada tahapan selanjutnya.
4.1.4.1 Karakterisasi dengan XRD
Gambar 4.7 menggambarkan pola difraksi bentonit alam dan Na-MMT.
Pada difraktogram tersebut terlihat bahwa tidak terdapat perubahan signifikan
antara bentonit alam dengan Na-MMT yang diperjelas dengan rangkuman pada
Tabel 4.1 yang menunjukkan sudut 2 dari bentonit alam dan Na-MMT.

Gambar 4.7. Difraktogram XRD bentonit alam dan Na-MMT
Database montmorilonit pada Tabel 4.1 diperoleh dari Batan dengan melihat
database montmorilonit yang digunakan pada instrumen XRD yang digunakan
yaitu Philip PW 1710, sehingga dengan mencocokkan nilai 2 pada difraktogram
bentonit alam dan Na-MMT dengan 2 pada database montmorilonit, dapat
diketahui puncak mana saja yang menunjukkan puncak khas dari montmorilonit
10 20 30 40 50 60
0
100
200
300
Na-MMT
Bentonit alam
2 theta
i
n
t
e
n
s
i
t
a
s

(
a
.
u
)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
pada difraktogram tersebut, sedangkan untuk penentuan karakteristik puncak khas
dari SiO
2
, kuarsa dan analcime, digunakan database dari penelitian yang
dilakukan oleh Adel Fisli, et al. yang juga melakukan pengukuran XRD di Batan.

Tabel 4.1. Tabel puncak difraktogram XRD pada bentonit alam dan Na-MMT
2
Karakteristik Database
Montmorilonit
Bentonit
alam
Na-MMT
6,494 5,7951 6,239 Montmorilonit
17,17 17,3741 - Montmorilonit
19,891 19,903 19,6195 Montmorilonit
22,0816 21,7187 SiO
2

26,72 26,4125 Kuarsa
28,5701 - Analcime
35,022 35,0301 35,9802 Montmorilonit
36,2531 - Montmorilonit
54,231 54,5346 54,0836 Montmorilonit

Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa pembuatan Na-MMT tidak menyebabkan
perubahan struktur pada montmorilonit yang ditandai dengan puncak 2 yang
masih menunjukkan puncak khas montmorilonit dan SiO
2
yang merupakan
penyusun kerangka dasar dari montmorilonit. Selain itu pembuatan Na-MMT juga
berhasil menghilangkan sebagian pengotor seperti analcime sehingga tidak terlihat
adanya puncak khas analcime pada Na-MMT. Namun ternyata masih terdapat
pengotor berupa kuarsa yang belum dapat dihilangkan dari Na-MMT,
kemungkinan hal ini disebabkan karena kerangka dasar kuarsa yang juga terdiri
dari SiO
2
sehingga membuatnya agak sulit dipisahkan dari montmorilonit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adel Fisli, et al. keberadaan kuarsa
akan secara signifikan berkurang dari bentonit pada saat isolasi fraksi 3 yang
didapatkan dengan cara mengendapkan kembali sisa supensi yang belum
mengendap pada fraksi 2.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Puncak spektrum pada daerah sudut kecil (biasanya antara 2: 3-9),
merupakan ciri khas montmorilonit yang berasal dari difraksi bidang d
001
atau
yang dikenal dengan bidang ruang basal/basal spacing (Adel Fisli, et al., 2007).
Puncak pada daerah tersebut akan menentukan besarnya basal spacing atau ruang
antar lapis, dan perhitungannya dikenal sebagai hukum Bragg dengan persamaan:
n = 2dsin
Dengan nilai = 1,5406 yang dihasilkan dari sumber sinar Cu yang
digunakan , nilai orde difraksi n = 1, dan puncak 2 dari bentonit alam dan Na-
MMT yaitu 5,7951 dan 6,239, maka berdasarkan perhitungan pada Lampiran 3b
dan 4b dapat diketahui nilai basal spacing pada bentonit alam adalah 15,2383
atau 1,52383 nm dan untuk Na-MMT adalah 14,15507 atau 1,415507 nm.
Terjadi pergeseran nilai basal spacing menjadi nilai yang lebih kecil kemungkinan
disebabkan karena sebagian besar ruang antar lapis (interlayer) pada bentonit
alam diisi oleh kation Ca
2+


yang dibuktikan dengan pengukuran menggunakan
XRF (Lampiran 3) . Ukuran ion Ca
2+
lebih besar dari Na
+
, dengan jari-jari ion
0,099 nm untuk Ca
2+
dan 0,095 nm untuk Na
+
, sehingga ruang antar lapis pada
bentonit alam yang sebagian besar masih mengandung Ca
2+
lebih besar
dibandingkan dengan Na-MMT yang sebagian besar kation pada ruang antar
lapisnya telah digantikan dengan Na
+
. Perbandingan nilai jari-jari ion dan atom
pada tabel periodik dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Ion Na
+
mampu menggantikan Ca
2+
yang bermuatan dan berukuran lebih
besar karena pada pembuatan Na-MMT, dilakukan penambahan NaCl dalam
konsentrasi besar. Konsentrasi Na
+
yang besar sangat diperlukan karena tiap 1 ion
Ca
2+
akan digantikan oleh 2 ion Na
+
.
Ion Na
+
mampu menggantikan Ca
2+
yang bermuatan dan berukuran lebih
besar karena pada pembuatan Na-MMT, dilakukan penambahan NaCl dalam
konsentrasi besar. Konsentrasi Na
+
yang besar sangat diperlukan karena tiap 1 ion
Ca
2+
akan digantikan oleh 2 ion Na
+
.

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012

Gambar 4.8. Ukuran ion dan atom dalam tabel periodik
(sumber: http://boomeria.org/chemlectures/textass2/firstsemass.html)

4.1.4.2 Karakterisasi dengan FTIR
Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT diperlihatkan pada Gambar 4.9.
Dari Gambar 4.9 terlihat bahwa pada Na-MMT tidak muncul puncak baru bila
dibandingkan dengan bentonit alam. Hal ini menjadi dasar yang menguatkan
kesimpulan sebelumnya dari data XRD yang menunjukkan struktur montmorilonit
tidak rusak selama pembentukan Na-MMT. Spektrum FTIR bentonit alam dan
Na-MMT masih menunjukkan puncak serapan pada 3635,82 cm
-1
yang
menunjukkan vibrasi regang dari Al(Mg)-O-H, lalu pada 1635 cm
-1
untuk vibrasi
Si-O, 1041 cm
-1
untuk vibrasi regang Si-O-Si, 918 cm
-1
untuk vibrasi tekuk O-H
(yang berikatan dengan Al
3+
), 796 cm
-1
untuk vibrasi tekuk O-H (yang berikatan
dengan Mg
2+
dan Al
3+
), dan 523,3 cm
-1
untuk vibrasi tekuk Al-Si-O. Puncak
serapan tersebut berasal dari beberapa komponen dasar penyusun bentonit alam
yaitu SiO
2
, Al
2
O
3
, Fe
2
O
3
, dan MgO. Akan tetapi bila dibandingkan intensitas dari
puncak-puncak spektra tersebut, terlihat adanya penurunan intensitas pada 1041
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
cm
-1
dan 918 cm
-1
yang menunjukkan gugus OH. Hal ini disebabkan karena Na-
MMT telah mengalami proses preparasi sehingga kadar air di dalamnya
berkurang. Selain itu puncak Si-O-Si dan Al-Si-O yang ditunjukkan pada 796 cm
-
1
dan 523,3 cm
-1
juga mengalami penurunan intensitas, yang kemungkinan
disebabkan oleh berkurangnya pengotor-pengotor berupa kuarsa dan analcime
yang juga memiliki kerangka dasar Al dan Si.

Gambar 4.9. Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT

4.1.5 Penentuan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Setelah dilakukan sintesis Na-MMT, selanjutnya dilakukan penentuan nilai
KTK dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan Na-MMT
untuk mengadsorpsi kation yang menggantikan Na
+
. Pada penelitian ini
digunakan larutan metilen biru (MB) 0,005 M yang dicampurkan ke dalam Na-
MMT dan disaring, kemudian pada filtratnya dapat ditentukan konsentrasi MB
yang tidak terserap, lalu dengan menghitung selisih antara konsentrasi MB awal
dengan MB yang tidak terserap, maka dapat diketahui konsentrasi MB yang
terserap. Proses penentuan nilai KTK dapat dilihat pada Gambar 4.10.
1000 2000 3000 4000
20
40
60
80
100
Na-MMT
Bentonit alam
3635, 82 cm
-1
Al(Mg)-O-H Stretching
1635 cm
-1
Vibrasi Si-O
1041 cm
-1
Si-O-Si
Stretching
918 cm
-1
OH
bending
(berikatan
dengan 2Al
3+
)
796 cm
-1
OH bending
(berikatan dengan
Mg
2+
dan Al
3+
)
523,3
cm
-1
Al-Si-O
bending
Bilangan gelombang (cm
-1
)
%

T
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 4.10 memperlihatkan bahwa intensitas warna MB dalam filtrat
telah berkurang akibat terserap oleh Na-MMT. Hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi MB pada filtrat telah berkurang. Konsentrasi metilen biru dapat
ditentukan dari kurva standar metilen biru yang diperoleh dari pengukuran
menggunakan spektrofotometer Uv-Vis. Pada pengukuran deret standar metilen
biru (MB), didapatkan persamaan garis yaitu y = 50093x + 0,002 dengan nilai R
2
= 0,991 (Lampiran 6a), dan nilai absorbansi dari filtrat adalah 0,05605, sehingga
konsentrasi MB terserap adalah 4,998x10
-3
M. Tabel perhitungan nilai KTK dapat
dilihat pada Tabel 4.2.


Gambar 4.10. Endapan Na-MMT yang diberi MB (kiri) dan filtratnya (kanan)

Tabel 4.2. Tabel penentuan nilai KTK Na-MMT
Konsentrasi
MB awal
(mol/L)
Konsentrasi
MB pada
filtrat
(mol/L)
Konsentrasi
MB terserap
(mol/L)
% MB
terserap
(%)
Konsentrasi
MB terserap
(mmol/gr)
Nilai
KTK
(meq/100
gr)
0,005 1,079x10
-6
4,998x10
-3
99,96 0,349 34,9

=663 nm, Massa Na-MMT: 0,5 gr, Volume total: 35 ml
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Terlihat pada Tabel 4.2, nilai KTK Na-MMT adalah 34,9 meq/100 gr
dengan jumlah MB terserap telah mencapai 99,96%. Akan tetapi, nilai KTK yang
dihasilkan tidak sebesar nilai KTK bentonit pada umumnya yang berkisar antara
50-100 meq/100 gr. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penggunaan larutan
MB dengan konsentrasi yang tidak cukup besar, sehingga masih banyak Na
+

dalam Na-MMT yang belum mengalami proses tukar kation dengan MB. Selain
itu kemungkinan lain adalah karena masih banyaknya pengotor pada Na-MMT
seperti kuarsa, sedangkan MB memiliki keselektifitasan yang tinggi pada mineral
jenis smektit saja, sehingga jika ada pengotor lainnya seperti kuarsa, kristobalit,
kaolinit, dll, metilen biru tidak akan terserap ke dalamnya.


Gambar 4.11. Struktur metilen biru (sumber: www.chemfamily.com)

Selain bersifat selektif, penggunaan metilen biru dikarenakan dapat
menghasilkan hasil yang reprodusibel apabila dilakukan pada Na-MMT dan
dalam kondisi pH netral. Saat ditambahkan ke dalam Na-MMT, metilen biru akan
terserap ke dalam Na-MMT melalui proses tukar kation (G. Kahr, F.T. Madsen,
1994). Proses tukar kation terjadi karena MB memiliki gugus
+
N-(CH
3
)
2
yang
dapat mengalami proses tukar kation dengan ion Na
+
yang terdapat dalam Na-
MMT. Struktur MB dapat dilihat pada Gambar 4.11. Walaupun sama-sama
bervalensi 1, MB
+
dapat menggantikan Na
+
karena memiliki koefisien ikatan
dengan montmorilonit yang lebih tinggi dibandingkan Na
+
. Nilai koefisien ikatan
antara beberapa ion dengan montmorilonit dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
MB: Metilen Biru, TFT: Thioflavin
Tabel 4.3. Nilai koefisien ikatan antara beberapa ion dengan montmorilonit
(sumber: Bergaya, et al., 2006)
Kation Koefisien Ikatan (M
-1
)
Li
+
0,6
Na
+
1
K
+
2
Cs
+
200
Mg
2+
2
Ca
2+
4-40
Sr
2+
5
Cd
2+
10
MB
+
10
8

TFT
+
10
9



Nilai koefisien ikatan akan meningkat seiring dengan bertambahnya
ukuran serta muatan ion, karena semakin besar ukuran ion maka daya tarik intinya
semakin kecil sehingga semakin memudahkan elektron terluar dari ion tersebut
untuk berikatan dengan montmorilonit. Sedangkan muatan ion yang semakin
besar akan membuat ion tersebut memiliki kekuatan yang lebih besar untuk
berikatan dengan montmorilonit.

4.2 Pilarisasi Montmorilonit
Proses selanjutnya adalah pilarisasi motmoriillonite dengan menggunakan
polikation Al dan CTAB. Pilarisasi dilakukan dengan 2 variasi yaitu dengan
penambahan polikation Al saja, dan penambahan polikation Al dan CTAB secara
bersamaan. Variasi dilakukan bertujuan untuk membandingkan pengaruh
penambahan CTAB terhadap proses pembentukan pilar dan bagaimana pengaruh
bentuk pilar yang dihasilkan dengan adsorpsi yang terjadi. Pada dasarnya,
penggunaan CTAB pada proses pemilaran ditujukan sebagai template untuk
memudahkan masuknya polikation Al, menyeragamkan basal spacing atau ruang
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
antar lapis dan membuat pilar menjadi tidak terlalu rigid sehingga memudahkan
masuknya PDDA pada proses selanjutnya. Pilarisasi montmorilonit didahului
dengan pembuatan polikation Al dan larutan CTAB.
4.2.1 Pembuatan polikation Al
Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuat larutan polikation Al
terlebih dahulu dengan cara menambahkan setetes demi setetes larutan NaOH ke
dalam larutan AlCl
3
yang selanjutnya dilakukan aging selama 2 hari guna
menyempurnakan pembentukan polikation Al (A. Tabak, et al., 2007). Proses
pembuatan polikation Al dapat dilihat pada Gambar 4.12.


Gambar 4.12. Proses pembuatan polikation Al

Penambahan NaOH setetes demi setetes ke dalam larutan AlCl
3
ditujukan
agar terjadi reaksi yang optimal antara ion-ion Al
3+
dengan OH
-
yang pada
akhirnya akan membentuk kompleks polikation alumunium dengan rumus
molekul [Al
13
O
4
(OH)
24
]
7+
. Penambahan NaOH secara setetes demi setetes juga
ditujukan untuk menjaga homogenitas dari polikation spesi Al
13
7+
, sehingga dapat
diperoleh polikation Al dalam jumlah besar, serta untuk mencegah terbentuknya
endapan putih Al(OH)
3
, karena di dalam larutan, Al akan terhidrasi dan mengikat
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
molekul air di sekelilingnya. OH akan membentuk ikatan hidrogen dengan atom
H dari air yang menghidrasi Al. Proton dari air akan lepas sehingga gugus
hidroksilnya akan berikatan dengan Al membentuk endapan putih Al(OH)
3
(Dion
Jamal, 2005) dengan reaksi:

Reaksi hidrolisis pembentukan spesi-spesi Al pada preparasi polikation Al:
K
1,1
= 10
-5,2

+ K
1,2
= 10
-8,71

K
2,2
= 10
-6,27

K
13,24
= 10
-97,6

Proses pembuatan larutan polikation Al dan larutan CTAB berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh A. Tabak, B. Afsin, B. Caglar,
dan E. Koksal pada tahun 2007, pada pembuatan polikation Al, rasio volume
OH/Al optimum yang mampu meningkatkan basal spacing paling besar, adalah
rasio 2,2 dengan penambahan Na-MMT optimum pada konsentrasi 9 mmol Al
/gram Na-MMT, serta CTAB dengan konsentrasi 2%.
4.2.2 Pilarisasi MMT dengan polikation Al
Proses pilarisasi MMT dengan polikation Al dilakukan dengan tujuan
untuk membentuk pilar permanen pada interlayer MMT dengan cara
menambahkan polikation Al ke dalam Na-MMT dan kemudian dikeringkan pada
suhu 40
o
C untuk selanjutnya dikalsinasi hingga suhu 600
o
C. Pada awal
penambahan polikation Al ke dalam Na-MMT (sebelum dikalsinasi), polikation
Al masih bersifat labil dan mudah lepas (pilar belum terbentuk). Namun setelah
proses kalsinasi, akan terjadi dehidroksilasi dan penataan ulang pada polikation Al
yang semula masih berbentuk ion Keggin menjadi bentuk oksida logam (Al
2
O
3
).
Ikatan antara polikation Al dan montmorilonit dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Ion Keggin adalah model bentuk polikation Al yang pertama kali ditemukan oleh
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Keggin pada tahun 1934. Ion Keggin tersusun atas 1 Al tetrahedral sebagai atom
pusat yang dikelilingi oleh 12 Al oktahedral (F. Bergaya, A. Aouad dan T.
Mandalia. 2006). Reaksi yang terjadi saat proses kalsinasi adalah sebagai berikut:
13/2 + 41/2 +

Gambar 4.13. Ikatan antara pilar Al
2
O
3
dengan Si tetrahedral
(Sumber: Sterte, J., Shabtai, J. 1987)
Seperti yang terlihat pada Gambar 4.13, Al
2
O
3
akan berikatan dengan Si
tetrahedral dari bentonit membentuk Al-O-Si (Dion Jamal, 2005). Setelah proses
kalsinasi, terbentuk pilar Al
2
O
3
yang terletak di bagian interlayer sehingga antar
layer menjadi lebih terbuka.
4.2.3 Pilarisasi MMT dengan polikation Al dan templateCTAB
Proses pilarisasi menggunakan polikation Al dan template CTAB
dilakukan dengan cara menambahkan larutan polikation Al dengan rasio volume
OH/Al 2,2 dan larutan CTAB 2 % secara bersamaan ke dalam Na-MMT yang
sebelumnya telah ditimbang agar diperoleh konsentrasi 9 mmol Al/gram Na-
MMT dan selanjutnya dilakukan proses yang sama seperti halnya pilarisasi
dengan menggunakan polikation Al saja, yaitu dilakukan pemanasan dan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
kalsinasi. Larutan CTAB yang digunakan memiliki konsentrasi di atas nilai CMC
(Critical Micelle Concentration)-nya agar terbentuk micel-micel CTAB yang
memiliki ukuran seragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan ukuran basal
spacing yang seragam saat digunakan sebagai template dalam proses pilarisasi.
Pada pilarisasi dengan polikation Al, kalsinasi hanya ditujukan untuk
membentuk pilar Al
2
O
3
, sedangkan pada pilarisasi dengan polikation Al yang
disertai template CTAB, proses kalsinasi juga bertujuan untuk mendegradasi
CTAB menjadi uap air, N
2
, dan CO
2
. Pada suhu di atas 500 C, surfaktan akan
terdegradasi secara total, baik surfaktan yang terdapat di interlayer, maupun
surfaktan yang terserap pada pilar Al-MMT (Khalaf, et al., 1996), sehingga dapat
dipastikan setelah proses kalsinasi pada 600
o
C, CTAB telah hilang dari
montmorilonit, dan pilar Al telah terbentuk.
Pada pilarisasi dengan polikation Al dan template CTAB, diharapkan
polikation Al dan CTAB akan memasuki ruang antar lapis (interlayer) secara
teratur dan berselang seling, sehingga setelah dikalsinasi CTAB akan hilang dan
akan terbentuk ruang-ruang kosong di antara pilar Al
2
O
3
pada posisi yang
sebelumnya ditempati CTAB. Ruang kosong tersebut diharapkan akan
memudahkan PDDA masuk dalam interlayer pada proses selanjutnya. Gambaran
posisi polikation Al dan CTAB yang diharapkan, ditunjukkan pada Gambar 4.14.





Gambar 4.14. Posisi polikation Al dan CTAB yang diharapkan
(Sumber: Zhu, Runliang, et al., 2009, dengan modifikasi)

Polikation Al
CTAB
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.2.4 Karakterisasi MMT terpilar
Untuk membuktikan apakah CTAB telah berhasil dihilangkan dari
Al(CTAB)-MMT, dan untuk melihat apakah ada perubahan struktur
montmorilonit setelah terbentuk Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT, maka dilakukan
karakterisasi menggunakan XRD dan FTIR. Selain itu juga dilakukan
karakterisasi menggunakan BET untuk mengetahui luas area dari Al-MMT baik
yang dibuat dengan/tanpa template CTAB, sehingga dapat diperkirakan apakah
terbentuk pilar/tidak.
4.2.4.1 Karakterisasi MMT terpilar dengan FTIR
Karakterisasi dengan FTIR untuk Al-MMT (tanpa CTAB) yang
dibandingkan dengan Na-MMT diperlihatkan pada Gambar 4.15, menunjukkan
puncak serapan yang tidak jauh berbeda. Perbedaan hanya terlihat dari
menurunnya intensitas serapan Al(Mg)OH dan Si-O pada 3635,82 cm
-1
dan 1635
cm
-1
yang menunjukkan adanya ikatan antara Si-O dengan Al dari pilar, selain itu
muncul puncak yang lebih tajam pada 496 cm
-1
untuk vibrasi tekuk Al-Si-O yang
menunjukkan jumlah ikatan antara Al-Si-O semakin banyak sebagai akibat
ditambahkannya agen pemilar Al
2
O
3
.

1000 2000 3000 4000
40
60
80
100
120
Al-MMT (tanpa CTAB)
Na-MMT
3635,82 cm
-1
Al(Mg)-O-H
Stretching
1635 cm
-1
Vibrasi Si-O
1041 cm
-1
Si-O-Si
Stretching
796 cm
-1
OH bending
(berikatan dengan
Mg
2+
dan Al
3+
)
496-
523,3 cm
-1
Al-Si-O
bending
Bilangan Gelombang (cm
-1
)
%

T
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 4.15. Spektra FTIR untuk Al-MMT tanpa CTAB dan Na-MMT

Gambar 4.16. Spektra FTIR untuk Na-MMT, dan Al(CTAB)-MMT sebelum dan
setelah kalsinasi

Karakterisasi dengan FTIR juga digunakan untuk melihat apakah CTAB
yang digunakan sebagai template pada pembuatan Al(CTAB)-MMT telah berhasil
dihilangkan (Gambar 4.16). Karakterisasi dilakukan terhadap Al(CTAB)-MMT
sebelum dan setelah kalsinasi, untuk melihat keberadaan CTAB.
Seperti yang terlihat pada Gambar 4.16, spektrum FTIR pada Al(CTAB)-
MMT sebelum kalsinasi masih menunjukkan adanya puncak serapan pada 2926
dan 2850 cm
-1
yang merupakan serapan dari vibrasi ulur C-H, serta serapan dari
vibrasi tekuk N-R pada 1445 cm
-1
yang menandakan masih terdapat CTAB dalam
sampel tersebut. Setelah dilakukan kalsinasi sampai suhu 600
o
C, dilakukan
kembali karakterisasi dengan FTIR. Terlihat serapan dari gugus C-H dan N-R
yang bersumber dari CTAB telah hilang. Hal ini membuktikan bahwa Al-MMT
telah bersih dari CTAB. Kalsinasi hingga suhu 600
o
C juga tidak merusak struktur
1000 2000 3000 4000
20
40
60
80
100
120
Na-MMT
Al-MMT sebelum kalsinasi
Al-MMT setelah kalsinasi
Bilangan Gelombang (cm
-1
)
%

T
2926-2850 cm
-1
C-H stretching
1445 cm
-1
N-R bendiing
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
montmorilonit, yang terbukti dengan spektrum IR yang dihasilkan oleh Al-MMT
setelah kalsinasi tidak menunjukkan perbedaan bila dibandingkan dengan Na-
MMT.
4.2.4.2 Karakterisasi MMT terpilar dengan XRD
Selain melihat keberhasilan pilarisasi, karakterisasi XRD juga bertujuan
untuk membuktikan apakah pemanasan hingga suhu 600 C tidak merusak
struktur montmorilonit terpilar (Gambar 4.17 dan Tabel 4.4). Terlihat pada Tabel
4.3, baik pada Al-MMT maupun Al(CTAB)-MMT, masih menunjukkan puncak
khas montmorilonit pada 2: 8,4359; 9,0941; 19,5767; 19,6063; dan 35,71
o
.
Selain itu juga masih muncul puncak khas SiO
2
pada 2: 21,5883; 20,8501; dan
21,812. Hal ini menunjukkan bahwa, struktur montmorilonit tidak rusak akibat
kalsinasi hingga suhu 600 C. Berbeda dengan montmorilonit terpilar, kalsinasi
hingga suhu 600 C akan merusak struktur montmorilonit alami (tidak terpilar).
Kekuatan hingga dapat bertahan pada suhu tinggi disebabkan pilar Al
2
O
3
yang
menyangga, sehingga MMT memiliki ketahanan suhu hingga 950C (F. Bergaya,
A. Aouad dan T. Mandalia. 2006).

Gambar 4.17. Difraktogram XRD bentonit alam, Na-MMT, Al-MMT, dan
Al(CTAB)-MMT
10 20 30 40 50 60
0
100
200
300
400
500
600
Al(CTAB)-MMT
Al-MMT
Na-MMT
Bentonit Alam
2 theta
I
n
t
e
n
s
i
t
a
s

(
a
.
u
)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Dengan melihat difraktogram XRD pada Gambar 4.17, dapat diketahui
pula proses pilarisasi telah terjadi. Hal ini ditandai dengan menurunnya intensitas
pada puncak khas montmorilonit. Selain itu berdasarkan data XRD pada Tabel
4.4, dapat pula diketahui nilai pergeseran basal spacing atau ruang antar lapis dari
MMT setelah mengalami proses pemilaran. Berdasarkan tabel data pada Lampiran
7 dan 8, Al-MMT yang menunjukkan puncak 2: 8,4359
o
memiliki nilai basal
spacing sebesar 10,4817 atau 1,04817 nm, dan Al(CTAB)-MMT yang
menunjukkan puncak 2: 9,0941
o
memiliki nilai basal spacing sebesar 9,72449
atau 0,972449 nm. Pergeseran nilai basal spacing pada Al-MMT dan Al(CTAB)-
MMT menjadi lebih kecil dari nilai sebelumnya yaitu 14,15507 (Na-MMT)
disebabkan karena kemungkinan pilar Al
2
O
3
yang terbentuk lebih cenderung
untuk mengikat kedua lapisan T-O-T pada MMT secara kuat, sehingga semakin
dekat jarak antar lapisnya atau basal spacingnya semakin kecil. Hasil ini tidak
sesuai dengan harapan sebelumnya yang mengharapkan pilar Al
2
O
3
akan
meningkatkan basal spacing akibat keberadaannya yang menyangga interlayer.
Ikatan yang kuat ini kemungkinan disebabkan karena penambahan polikation Al
yang terlalu banyak dan tidak memperhatikan nilai KTK dari bentonit alam yang
digunakan, sehingga semakin banyak spesi Al berlebih di dalam interlayer MMT
dan meningkatkan kecenderungan Al untuk semakin kuat berikatan dengan kedua
lembar MMT yang memiliki muatan total negatif.

Tabel 4.4. Tabel puncak difraktogram XRD pada Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT
2
Karakteristik Database
Montmorilonit
Al-MMT tanpa
CTAB
Al-MMT dengan
CTAB
8,334 8,4359 9,0941 Montmorilonit
19,936 19,5767 19,6063 Montmorilonit
- 20,8501 SiO
2

21,5883 21,812 SiO
2

26,3585 26,5609 Kuarsa
35,022 35,71 - Montmorilonit
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.2.4.3 Karakterisasi Na-MMT, Al-MMT, dan Al(CTAB)-MMT dengan BET
Untuk meramalkan pola pemilaran yang dihasilkan dari proses pilarisasi
pada Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT, maka dilakukan juga karakterisasi dengan
menggunakan BET. Hasil karakterisasi menggunakan BET dapat dilihat pada
Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Hasil karakterisasi menggunakan BET
Material Surface Area (m
2
/gr)
Na-MMT 45,253
Al-MMT 83,91974
Al(CTAB)-MMT 42,1811

Seperti yang terlihat pada Tabel 4.5, luas permukaan terbesar didapatkan
dari Al-MMT yang dibuat tanpa CTAB, sehingga dapat disimpulkan bahwa, pilar
terbentuk paling baik pada Al-MMT tanpa penambahan CTAB. Pada Al(CTAB)-
MMT terbentuk pilar yang tidak sempurna akibat adanya distribusi yang tidak
merata antara polikation Al dengan CTAB, dimana akan terdapat daerah yang
dominan polikation Al, dan ada daerah lain yang dominan CTAB. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Runliang Zhu, Tong Wang, et al. pada
tahun 2009, dimana penambahan polikation Al dan CTAB ke dalam Na-MMT
akan mengakibatkan terjadinya 2 kemungkinan, yaitu polikation Al dan CTAB
terdistribusi secara merata seperti yang diharapkan, atau dapat juga terjadi
distribusi yang tidak merata, sehingga saat dikalsinasi, akan terbentuk ruang antar
lapis (basal spacing) yang tidak seragam. Pada daerah yang dominan CTAB,
setelah dikalsinasi akan menghasilkan ruang antar lapis dan pori yang lebih kecil
dari sebelumnya karena tidak ada agen pemilar (polikation Al) di dalamnya,
sedangkan pada daerah yang dominan polikation Al, akan memiliki ruang antar
lapis yang lebih besar. Hal ini yang membuat luas.permukaan pada Al-MMT
dengan penambahan CTAB memiliki luas permukaan yang lebih kecil
dibandingkan Na-MMT yang tidak mengalami proses pemilaran dan Al-MMT
tanpa CTAB yang mengalami proses pemilaran dengan baik . Dikarenakan belum
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
adanya alat yang mampu melihat secara jelas pola distribusi ini, maka sulit untuk
menentukan secara pasti letak dari CTAB dan polikation Al ini, akan tetapi pola
nya dapat diperkirakan dengan melihat pola serapan, luas area, diameter pori, dan
nilai basal spacing. Gambaran pola distribusi polikation Al dan CTAB dapat
dilihat pada Gambar 4.18.







Gambar 4.18. Gambaran pola distribusi yang terjadi antara polikation Al dan
CTAB (Sumber: Zhu, Runliang, et al., 2009)

4.3 Modifikasi MMT dengan Polimer
Proses selanjutnya yang dilakukan adalah memodifikasi Na-MMT, Al-
MMT, dan Al(CTAB)-MMT dengan polikation PDDA membentuk PMNM
(Polymer Modified Na-MMT), PMAMt (Polymer Modified Al-MMT), dan
PMAM (Polymer Modified Al(CTAB)-MMT), kemudian dicari konsentrasi
PDDA optimum yang digunakan sebagai modifier Al-MMT. Modifikasi
menggunakan PDDA bertujuan untuk membuat montmorilonit yang bermuatan
negatif terlapisi oleh PDDA yang bermuatan positif, sehingga dapat digunakan
sebagai adsorben SDBS yang bersifat anionik atau bermuatan negatif.
PDDA akan berikatan dengan MMT melalui 2 cara, yaitu menyisip pada
interlayer dan melilit permukaan MMT. PDDA memiliki struktur coil, dan untuk
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
memaksimalkan penggunaannya sebagai modifier MMT, pada penelitian ini
digunakan larutan PDDACl yang ditambahkan dengan NaCl 0,04 M. Penambahan
NaCl bertujuan untuk menjaga kuat ion dan membuat kerangka polielektrolit
membentuk pearl necklace model (Haramus, V, 2004). Bentuk kerangka seperti
ini menciptakan interaksi yang sangat kuat antara polielektrolit dengan surfaktan.
Bentuk pearl necklace model dapat dilihat pada Gambar 4.19.

Digunakan beragam konsentrasi PDDACl yang digunakan untuk
4.3.1 Karakterisasi PMAM
Beragam konsentrasi PDDACl digunakan untuk memodifikasi Al(CTAB)-
MMT untuk mendapatkan konsentrasi optimum PDDA yang akan digunakan
sebagai modifier MMT. Hanya digunakan variasi konsentrasi pada Al-MMT
dengan CTAB karena sebelumnya diharapkan penyerapan akan terjadi lebih baik
bila menggunakan Al-MMT yang dibuat dengan CTAB, mengingat banyak ruang
kosong yang sebelumnya diisi CTAB akan diisi oleh PDDA, sehingga diharapkan
PDDA selain melilit MMT, juga dapat menyisip ke ruang antar lapis (interlayer).
Untuk mengetahui apakah PDDACl telah terserap ke dalam Al-MMT, dilakukan
pengukuran dengan FTIR dan membandingkannya dengan spektrum FTIR pada
Al-MMT yang tidak dimodifikasi dengan PDDACl yang ditunjukkan pada
Gambar 4.20.
Seperti yang terlihat pada Gambar 4.20, spektrum Al(CTAB)-MMT dan
PMAM memiliki perbedaan pada bilangan gelombang 2945,3 cm
-1
dan 1479,4
cm
-1
. Bilangan gelombang 2945,3 cm
-1
menunjukkan adanya vibrasi regang gugus
C-H dan 1479,4 cm
-1
menunjukkan adanya vibrasi tekuk dari gugus N-R yang
berasal dari PDDACl. Analisa ini bersumber dari literatur (N.B. Colthup, et al.,
1990) yang menunjukkan bahwa puncak serapan vibrasi regang gugus C-H akan
Gambar 4.19. Pearl Necklace Model (Sumber: http://pslc.ws/macrog/electro.htm)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
muncul pada bilangan gelombang 3000-2850 cm
-1
dan vibrasi tekuk gugus N-R
akan ditunjukkan pada bilangan gelombang 1470-1480 cm
-1
. PDDA berikatan
dengan Al(CTAB)-MMT dengan cara menyelimuti permukaan Al(CTAB)-MMT
dan juga terserap dalam ruang kosong yang sebelumnya ditempati oleh CTAB.

Gambar 4.20. Spektra FTIR Al(CTAB)-MMT dan PMAM
4.3.2 Penentuan adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT
Proses pembuatan PMAM diawali dengan mencampurkan PDDACl dengan
konsentrasi yang divariasikan antara 1x10
-5
1x10
-3
M ke dalam Al(CTAB)-
MMT, kemudian mengujinya dengan FTIR dan membandingkan luas puncak
serapan vibrasi tekuk N-R yang dihasilkan oleh masing-masing konsentrasi
PDDACl (Lampiran 12a dan 12b). Dikarenakan ingin dilakukan pengujian secara
semi kuantitatif, maka jumlah PMAM:KBr (1:10) yang digunakan pada
pengukuran dengan FTIR dibuat pasti dengan cara ditimbang terlebih dahulu.
Perbandingan 1:10 ini berdasarkan pada prosedur penggunaan instrumen FTIR,
perbandingannya dibuat pasti agar didapatkan hasil yang representatif untuk
pengukuran semi kuantitatif. Data luas puncak serapan vibrasi tekuk N-R dapat
dilihat pada Tabel 4.6.
1000 2000 3000 4000
20
40
60
80
100
PMAM
Al(CTAB)-MMT
Bilangan gelombang (cm
-1
)
%

T
3000-2850 cm
-1
C-H stretching
1470-1480 cm
-1
N-R bending
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Tabel 4.6. Luas puncak serapan N-R dengan variasi konsentrasi PDDA
Konsentrasi PDDA (mol/L) Luas Peak (cm
2
)
1x10
-5
0,208
1x10
-4
0,745
5x10
-4
0,398
1x10
-3
0,159

Dari data luas puncak pada Tabel 4.6, dapat dibuat kurva antara
konsentrasi PDDA yang digunakan terhadap luas puncak vibrasi tekuk N-R
(Gambar 4.21),. Terlihat pada konsentrasi PDDA 5x10
-4
M, dihasilkan luas
puncak yang paling besar bila dibandingkan dengan konsentrasi yang lainnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa konsentrasi 5x10
-4
M adalah
konsentrasi PDDA teradsorpsi secara optimal ke dalam Al-MMT. Pada
konsentrasi PDDA yang semakin tinggi, mula-mula luas puncak akan meningkat
sampai mencapai titik optimum karena jumlah PDDA yang teradsorpsi semakin
banyak, kemudian turun kembali karena terjadi tolak menolak antara muatan
positif dari PDDA.


Gambar 4.21. Kurva adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Untuk lebih meyakinkan perbandingan nilai luas kurva yang didapat, maka
dilakukan juga perbandingan intensitas puncak N-R dengan intensitas pada
puncak di sekitar bilangan gelombang 781,7 cm
-1
, dipilih puncak pembanding ini
dikarenakan puncak tersebut memiliki intensitas yang sama pada tiap variasi
konsentrasi PDDA. Tabel perbandingan intensitas puncak N-R dapat dilihat pada
Tabel 4.7. Dari Tabel 4.7, terlihat bahwa perbandingan intensitas terbesar terjadi
pada saat konsentrasi PDDA 5x10
-4
M, sehingga semakin meyakinkan kesimpulan
konsentrasi optimum terjadi pada konsentrasi PDDA 5x10
-4
M.

Tabel 4.7. Tabel perbandingan intensitas puncak N-R
Konsentrasi
PDDA (mol/L)
Intensitas puncak
N-R (I)
Intensitas puncak
pembanding (Io)
I/Io
1x10
-5
3,9 3,893 1,002
1x10
-4
10,56 3,893 2,712
5x10
-4
11,68 3,893 3,000
1x10
-3
9,69 3,893 2,489

4.4 Aplikasi PMAM Sebagai Adsorben SDBS
Pada adsorpsi SDBS oleh PMAM, dilakukan variasi konsentrasi SDBS dan
waktu pengadukan, selanjutnya dibandingkan adsorpsi SDBS pada MMT yang
telah dipilar dengan polikation Al dan CTAB (PMAM), MMT yang dipilar
polikation Al saja (PMAMt) dan MMT yang tidak dipilar (PMNM).
4.4.1 Penentuan kondisi optimum aplikasi
Kondisi optimum pada aplikasi PMAM sebagai adsorben SDBS perlu
dilakukan agar didapatkan adsorpsi SDBS secara optimum. Optimasi kondisi pada
aplikasi dilakukan dengan mengamati pengaruh variasi konsentrasi SDBS dan
waktu pengadukan terhadap banyaknya SDBS terserap.

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.4.1.1 Pengaruh konsentrasi awal SDBS
Al-MMT yang telah dimodifikasi oleh PDDA 5x10
-4
M selanjutnya
diaplikasikan sebagai adsorben surfaktan SDBS dengan cara mencampurkan
PMAM ke dalam larutan SDBS dengan konsentrasi yang divariasikan antara
5x10
-5
5x10
-3
M. Setelah dilakukan penyaringan, diukur absorbansi filtrat pada
=652 nm, sehingga dapat diketahui konsentrasi SDBS yang terserap dengan
menghitung selisih konsentrasi awal SDBS dengan konsentrasi SDBS dalam
filtrat. Konsentrasi SDBS dapat ditentukan dari kurva standar SDBS (Lampiran
13a), yang memiliki persamaan garis y = 33.488,770x + 0,115.
Dari tabel perhitungan pada Lampiran 14a, selanjutnya dapat dibuat kuva
pengaruh konsentrasi awal SDBS terhadap % konsentrasi SDBS yang terserap
(Gambar 4.22). Dari kurva tersebut terlihat, bahwa pada konsentrasi 1x10
-3
M
terjadi penyerapan yang paling besar dan selanjutnya konstan. Dapat disimpulkan
pada konsentrasi 1x10
-3
M, SDBS terserap paling optimum dengan % SDBS
terserap sebesar 97,91%. SDBS dapat teradsorpsi ke dalam PMAM karena gugus
SO
3
-
pada SDBS dapat berikatan dengan gugus (CH
3
)
2
N
+
pada PMAM.
Peningkatan % SDBS terserap disebabkan karena masih banyak terdapat pusat
aktif pada PDDA yang belum berikatan dengan SDBS, sehingga adsorpsi masih
terus meningkat. Setelah mencapai optimum tidak terjadi penambahan % SDBS
yang terserap karena pusat-pusat aktif telah jenuh dengan SDBS.

60
65
70
75
80
85
90
95
100
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006
%

S
D
B
S

t
e
r
s
e
r
a
p
Konsentrasi awal SDBS (mol/L)
Gambar 4.22. Kurva pengaruh konsentrasi awal SDBS terhadap % SDBS terserap
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.4.1.2 Pengaruh waktu pengadukan
Setelah diketahui konsentrasi optimum untuk penyerapan SDBS,
selanjutnya dilakukan variasi waktu kontak guna mengetahui berapa lama waktu
yang dibutuhkan agar didapatkan penyerapan SDBS yang optimal. Dari hasil
perhitungan yang ditampilkan pada Lampiran 15a, dapat dibuat kurva hubungan
antara konsentrasi SDBS terserap dengan variasi waktu pengadukan (Gambar
4.23). Dari Gambar 4.23 terlihat, bahwa penyerapan optimum terjadi pada saat
pengadukan selama 45 menit, dengan konsentrasi SDBS yang terserap adalah
9,93x10
-4
M dengan % SDBS terserap adalah sebesar 99,30%. Pada waktu
kontak di atas 45 menit, adsorpsi SDBS mengalami penurunan namun tidak
signifikan karena kemungkinan terjadi desorpsi dari SDBS pada PMAM.
Untuk memastikan bahwa proses pengendapan tidak memberikan pengaruh
yang terlalu signifikan, dilakukan juga variasi waktu pengadukan dengan cara
langsung disentrifugasi, tidak diendapkan secara alami semalaman. Dari hasil
pengujian tersebut didapatkan hasil yang tidak terlalu signifikan, sehingga data
pengaruh waktu pengadukan dengan metode sebelumnya (dengan pengendapan)
cukup valid. Hasil adsorpsi variasi waktu pengadukan tanpa pengendapan alami,
dapat dilihat pada Tabel 4.8.


Gambar 4.23 Kurva penentuan waktu pengadukan optimum untuk adsorpsi SDBS
9.87E-04
9.88E-04
9.89E-04
9.90E-04
9.91E-04
9.92E-04
9.93E-04
9.94E-04
0 50 100 150 200
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

S
D
B
S

t
e
r
s
e
r
a
p

(
m
o
l
/
L
)
Waktu Pengadukan (menit)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Tabel 4.8. Tabel hasil adsorpsi dengan variasi waktu pengadukan tanpa
pengendapan secara alami
Variasi waktu
pengadukan (menit)
Konsentrasi SDBS
tidak terserap (mol/L)
Konsentrasi SDBS
terserap (mol/L)
15 8,17x10
-5
9,18x10
-4

45 9,33x10
-5
9,06 x 10
-4

75 7,43x10
-5
9,25 x 10
-4

120 9,26x10
-5
9,07 x 10
-4

480 7,94x10
-5
9,20 x 10
-4



4.4.2 Perbandingan kemampuan adsorpsi adsorben
Setelah diperoleh kondisi optimum adsorpsi SDBS pada PMAM,
selanjutnya dilakukan perbandingan kemampuan adsorpsi SDBS pada PMAMt
dan juga PMNM. Percobaan dilakukan pada kondisi optimum dengan konsentrasi
SDBS 1x10
-3
M dan waktu pengadukan 45 menit. Data hasil adsorpsi terlihat pada
Tabel 4.9. Pada data tersebut terlihat bahwa, adsorpsi terbesar dihasilkan oleh
PMAM, walaupun tidak jauh berbeda dibandingkan PMNM., sedangkan PMAMt
menghasilkan penyerapan yang paling jelek. Hal ini disebabkan karena PDDA
lebih cenderung untuk melilit MMT, hanya sedikit yang mampu menyisip ke
interlayer, dikarenakan pola distribusi polikation Al dan CTAB yang tidak merata
di dalam interlayer PMAM, sehingga setelah mengalami kalsinasi mengakibatkan
ruang kosong yang dapat diisi oleh PDDA menjadi tidak terlalu banyak seperti
yang diharapkan bila terjadi pola distribusi yang merata. Dengan adanya ruang
yang tidak terlalu banyak mengakibatkan PDDA yang mampu menyisip ke
interlayer menjadi tidak signifikan jumlahnya. Sedangkan PMAMt mengalami
adsorpsi yang tidak terlalu baik karena pembentukan pilar yang terlalu rigid di
dalam interlayer Al-MMT, sehingga PDDA tidak lagi mampu menyisip ke
dalamnya dan hanya melilit pada permukaannya saja.

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
900-700 cm
-1

S-O Stretching
Tabel 4.9. Perbandingan kemampuan adsorpsi berbagai adsorben
Jenis
adsorben
Absorbansi
Konsentrasi
SDBS tidak
terserap (mol/L)
Konsentrasi
SDBS
terserap
(mol/L)
%
Teradsorpsi
PMNM 1,04099 2,76x10
-5
0,000972 97,23%
PMAMt 3,60219 0,00010413 0,000896 89,58%
PMAM 0,349 6,98x10
-6
0,000993 99,30%


4.4.3 Karakterisasi PMAM-SDBS
4.4.3.1 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan FTIR
Adsorben PMAM yang telah mengadsorp SDBS selanjutnya
dikarakterisasi menggunakan FTIR yang ditunjukkan pada Gambar 4.24.

1000 2000 3000 4000
20
40
60
80
100 PMAM
PMAM+SDBS
Bilangan gelombang (cm
-1
)
%

T
Gambar 4.24. Spektra FTIR PMAM dan PMAM yang telah jenuh dengan SDBS
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Pada Gambar 4.24 terlihat spektrum FTIR dari PMAM yang telah
mengadsorpsi SDBS menunjukkan puncak terjadi penurunan puncak serapan
vibrasi tekuk N-R yang menandakan bahwa gugus sulfonat dari SDBS telah
berikatan dengan gugus ammonium pada PMAM. Hal ini juga diperkuat dengan
menguatnya serapan pada 816 cm
-1
yang merupakan serapan dari vibrasi regang
gugus S-O yang berasal dari gugus sulfonat pada SDBS.

4.4.3.2 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan TEM
Untuk lebih meyakinkan lagi apakah PDDA dan SDBS telah teradsorpsi
pada Al(CTAB)-MMT dan untuk mengetahui morfologi dari PMAM, maka
dilakukan karakterisasi menggunakan TEM. Hasil pencitraan dengan
menggunakan TEM terlihat pada Gambar 4.25.
Warna bening pada TEM menunjukkan PDDA dan SDBS yang melapisi Al-
MMT. Warna hitam menunjukkan Al(CTAB)-MMT. Perbedaan warna tersebut
terjadi akibat adanya perbedaan densitas antara Al(CTAB)-MMT dengan PDDA
dan SDBS, sehingga PDDA dan SDBS yang memiliki densitas lebih rendah akan
menghasilkan warna transparan pada TEM, sedangkan Al-MMT menghasilkan
warna yang lebih gelap.
Hasil karakterisasi dengan TEM. (Gambar 4.25 (a) dan (b))
memperlihatkan SDBS yang terikat di bagian yang sudah terlapisi oleh PDDA
membentuk rantai yang memanjang keluar di sekitar PMAM. Selanjutnya Gambar
4.25 (c) dan (d) menunjukkan bahwa PDDA telah menyelimuti permukaan Al-
MMT. Hal ini menguatkan pernyataan sebelumnya yang menyimpulkan proses
adsorpsi PDDA terjadi sebagian besar di permukaan Al(CTAB)-MMT. Selain itu,
terlihat juga adanya rongga-rongga kosong, dimana rongga-rongga tersebut
menggambarkan interlayer pada MMT, dan dari hasil pencitraan TEM juga dapat
diperkirakan ukuran kristal Al(CTAB)-MMT dan PDDA yang menyelimutinya,
yaitu sekitar 20 nm untuk kristal Al(CTAB)-MMT dan 30 nm untuk PDDA.

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4.25. Hasil karakterisasi menggunakan TEM dengan perbesaran 20.00x
(a), 50.000x (b), 200.000x (c), dan 500.000x (d)

4.4.4 Isoterm Adsorpsi SDBS pada PMAM
4.4.4.1 Isoterm Adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM
Isoterm adsorpsi Langmuir mengasumsikan, bahwa pusat-pusat adsorpsi
pada permukaan adsorben bersifat homogen dan adsorbat teradsorpsi dengan
membentuk lapisan tunggal (monolayer). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir
dinyatakan dengan:

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Keterangan:
q
e
: Jumlah adsorbat terserap (mg/g)
C
e
: Konsentrasi saat kesetimbangan dalam fasa cair (mg/L)
K
L
dan q
m
: Konstanta Langmuir
Plot 1/C
e
sebagai sumbu X dan 1/q
e
sebagai sumbu y akan menghasilkan
kurva seperti pada Gambar 4.26:


Dari kurva isoterm adsorpsi Langmuir, didapat kelinieran yang tidak
terlalu baik dimana hanya didapat nilai R
2
= 0,559.

4.4.4.2 Isoterm Adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM
Isoterm adsorpsi Freundlich mengasumsikan bahwa pusat-pusat aktif
permukaan adsorben bersifat heterogen.
Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dinyatakan dalam:

Ket:
qe : Jumlah adsorbat terserap (mg/g)
y = 3E-06x - 0.094
R = 0.559
-0.1
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0 20000 40000 60000 80000 100000
1
/
q
e
1/C
e
Gambar 4.26. Kurva Isoterm adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Ce : Konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (mg/L)
K : Kapasitas adsorpsi
1/n : Derajat keheterogenan permukaan adsorben

Dengan mengalurkan Log Ce dengan Log qe, maka akan didapatkan kurva
isoterm adsorpsi Freundlich seperti pada Gambar 4.27.


Gambar 4.27 Kuva isoterm adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM

Dari kurva isoterm adsorpsi Freundlich, didapat kelinieran yang tidak
terlalu baik dimana hanya didapat nilai R
2
= 0,772. Walaupun nilai ini masih lebih
baik apabila dibandingkan dengan kurva isoterm adsorpsi Langmuir. Namun tidak
dapat disimpulkan bahwa, adsorpsi mengikuti isoterm Freundlich. Kemungkinan
besar adsorpsi yang terjadi tidak mengikuti keduanya, karena struktur coil di
permukaan Al-MMT yang membuat adsorpsi tidak terjadi secara monolayer, dan
selain pada permukaan, adsorpsi juga terjadi pada ruang antar lapis, hal ini yang
y = 1.782x - 0.112
R = 0.772
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 0.5 1 1.5 2
L
o
g


q
e
Log Ce
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
mengakibatkan adsorpsi terjadi secara acak dan tidak mengikuti kedua jenis
isoterm adsorpsi.

4.4.5 Pengujian kestabilan interaksi antara PDDA (dalam PMAM) dengan
SDBS
Kestabilan interaksi antara PDDA dalam PMAM dengan SDBS diuji
dengan menggunakan HCl 10
-3
M yang selanjutnya dilakukan variasi pH. Variasi
pH dilakukan atas dasar pengukuran pH larutan awal PMAM-SDBS yaitu sekitar
6,37, sehingga dipilih variasi pH di bawah nilai tersebut dengan tetap menjaga pH
tetap di atas 3, karena pada pH=3, dikhawatirkan struktur MMT akan rusak.
Kestabilan antara PDDA dalam PMAM dan SDBS dapat diganggu oleh HCl
dengan cara memprotonasi SDBS sehingga muatannya menjadi positif dan
mengalami interaksi tolak menolak dengan PDDA yang juga bermuatan positif.
Hasil uji kestabilan interaksi ditampilkan pada Tabel 4.10.
Pada Tabel 4.10 terlihat bahwa hingga pH 3,06 PDDA masih cukup stabil
berikatan dengan SDBS, dimana hanya 6,63% SDBS yang mampu dilepaskan
dalam 2x pencucian dengan HCl. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat
antara PDDA dan SDBS, sehingga dengan perubahan pH yang cukup signifikan
dan dengan perlakuan pencucian sebanyak 2x, hanya sedikit jumlah SDBS yang
mampu diprotonasi dan sebagian besar masih cenderung berikatan dengan PDDA
dalam PMAM.
Tabel 4.10. Tabel hasil uji kestabilan interaksi PDDA dan SDBS
pH
Konsentrasi awal
SDBS dalam PMAM
Total SDBS
terlepas (mol/L)
Total
SDBS sisa
(mol/L)
%SDBS
terlepas
3,06 9,93x10
-4
6,58x10
-5
9,27x10
-4
6,63
4,37 9,93x10
-4
2,742x10
-5
9,66x10
-4
2,76
4,86 9,93x10
-4
2,75x10
-5
9,65x10
-4
2,77

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN



5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
a. Pilarisasi bentonit menggunakan Al dan template CTAB serta
modifikasinya dengan PDDA berhasil dilakukan, dibuktikan
melalui karakterisasi dengan XRD, BET, dan FTIR.
b. MMT terpilar berhasil diaplikasikan sebagai adsorben SDBS
dengan % penyerapan sebesar 89,58% untu PMAMt dan 99,3%
untuk PMAM. Sedangkan untuk MMT tidak terpilar (PMNM)
didapatkan % penyerapan sebesar 97,23%.
c. Konsentrasi optimum modifikasi Al(CTAB)-MMT dengan
PDDA diperoleh pada 5x10
-4
M.
d. Kondisi optimum aplikasi PMAM diperoleh pada konsentrasi
SDBS 1x10
-3
M dan waktu pengadukan 45 menit.
e. Adsorpsi SDBS oleh PMAM tidak mengikuti isoterm adsorpsi
Langmuir maupun Freundlich
f. PDDA dalam PMAM memiliki kestabilan ikatan yang tinggi
dengan SDBS, terbukti dengan perlakuan pH hingga 3,06 dan
pencucian sebanyak 2x dengan HCl, hanya didapatkan 6,63 %
SDBS terlepas.

Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
5.2 Saran
Perlu dilakukan variasi konsentrasi CTAB dan rasio volume OH/Al yang
digunakan sebagai agen pemilar, selain itu perlu dipelajari lagi bagaimana
cara penambahan agen pemilar ke dalam Na-MMT agar diperoleh pola
distribusi polikation Al dan CTAB yang merata.



















Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA

A.M. Nielsen, L. N. Britton, C. E. Beall, T. P. McCormick and G. L. Russell.
1997. Biodegradation of Coproducts of Commercial Linear Alkylbenzene
Sulfonate. Environ. Sci. Technol. 31, 3397-3404
A.Tabak, B. Afsin, B. Caglar, E. Koksal, 2007.Characterization and Pillaring
of Turkish Bentonite (Resadiye). Microporous Materials
Adel Fisli,et al. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Montmorillonite dari Bentonit
Sukabumi (Indonesia). Jurnal Sains Materi Indonesia
Agung K. Putra. 2010. Sintesis CuO-Bentonit Melalui Prekursor Kompleks
[Cu(NH
3
)
4
]
2+
untuk Fotodegradasi Zat Warna Rhodamin B. Skripsi
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
Agung Rulianto, dkk. 2001. Air PDAM Diduga Mengandung Karsinogenik.
www.fujiro.com (Diakses 3 Oktober 2011. Pukul 17.00)
Alexander B. Artyukhin, Kevin J. Bumham, Andrei A. Leychenko, Raisa V.
Talroze, dan Pieter Stroeve. 2002. Polyelectrolyte Adsorption onto a Surface-
Confined Surfactant. American Chemical Society. Langmuir, 19, 2243-2248
Anonim. 2005. Informasi Mineral dan Batu Bara, Bentonit.
http://www.tekmira.esdm.go.id/ (Diakses Senin, 18 Juli 2011. Pukul 18.00
WIB)
Atkins, P.W., 1997, Kimia Fisika Jilid 2, Erlangga, Jakarta
Brady, James, 1999, Kimia Untuk Universitas, Erlangga, Jakarta
Carolyn J. Kruger, Karen M. Radakovich, et al.1998. Biodegradation of the
Surfactant Linear Alkylbenzenesulfonate in Sewage-Contaminated
Groundwater: A Comparison of Coloumn Experiment and Field Tracer Tests.
Environ. Sci. Technol. 32, 3954-3961
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Chaiko, D. 2002. Preparation of Organoclays with Improved Dispersibility
from Smectites and Kaolin Clays by Coating Clays with Water- Soluble
Polymer. (University of Chicago, USA). Pat. Appl.WOWO
Chih-Huang Weng, Cha-Zen Tsai, Sue-Hua Chua, Yogesh C. Sharma. 2006.
Adsorption Characteristics of Copper (II) onto Spent Activated Clay.
Separation and Purification Technology 54. 187-197
D. Pentari, V. Perdikatsis, D. Katsimicha, A. Kanaki. 2009. Sorption
Properties of Low Calorific Value Greek Lignites: Removal of Lead,
Cadmium, Zinc, and Copper Ions from Aqueous Solutions. Journal Hazardous
Material. 168. 1017-1021
D.M. MAnohar, B.F. Noeline, dan T.S. Anirudhan. 2005. Removal of
Vanadium (IV) from Aqueous Solutions by Adsorption Process with
Aluminum-Pillared Bentonite. American Chemical Society. Ind. Eng. Chem.
Res, 44, 6676-6684
D.W Oxtoby. 2002. Principles of Modern Chemistry,Fifth Edition. NewYork:
Brooks/Cole
Darder M., Colilla M., Ruiz-Hitzky E. 2005. Chitosan-clay Nanocomposites:
Application as Electrochemical Sensor. Appl Clay Sci. 28: 199-208
Dion Jamal. 2005. Bentonit Terpilar Al dan Daya Adsorpsinya Terhadap Ion
Co
2+
, Ni
2+
, dan Cd
2+
. Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas
Indonesia
Evi Oktaviani. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Organoclay Terinterkalasi
Surfaktan Kationik ODTMABr dan Aplikasinya sebagai Adsorben Fenol.
Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
F. Ayari, E. Srasra, M.Trabelsi-Ayadi. 2005. Characterization of Bentonitic
Clays and Their Use as Adsorbent. Desalination 185. 391-397
F. Bergaya, A. Aouad, dan T. Mandalia. 2006. Pillared Clays And Clay
Minerals. Handbook of Clay Science. Developments in Clay Science, Vol.1
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
F. Bergaya, et al. 1995. The Meaning Surface Area and Porosity
Measurements of Clays and Pillared Clays. Journal of Porous Materials 2, 91-
96
F. Bergaya, G. Lagaly, M. Vayer. 2006. Cation and Anion Exchange.
Handbook of Clay Science. Developments in Clay Science, Vol.1
G Kahr, F.T. Madsen. 1994. Determination of the Cation Exchange Capacity
and the Surface Area of Bentonite, Illite, and Kaolinite by Methylene Blue
Adsorption. Applied Clay Science
G. Furrer, Ludwig C., Schindler, P.W. 1992. On The Chemistry of the Keggin
Al13 Polymer I-Acid-base Properties. Journal of Colloid and Interface Science
149, 56-67
Goo Soo Lee, Yun-Jo Lee, dan Kyung Byung Yoon. 2001. Layer-by-Layer
Assembly of Zeolite Crystals on Glass with Polyelectrolytes as Ionic Linkers.
J.Am.Chem.Soc. 123 (40), pp 9769-9779
H. Khalaf, O Bouras, V. Perrichon, 1996. Synthesis and Characterization of
Al-pillared and cationic surfactant modified Al-pillared Algerian Bentonite.
Microporous Materials 141-150
Hadrah. 2011. Pilarisasi Montmorillonit dengan [(n-C
4
H
9
)
4
N]
2
[Mo
2
O
7
] untuk
Desulfurisasi Asam Merkaptopropanoat. Tesis Departemen Kimia FMIPA
Universitas Indonesia
Haramus, V. 2004. Polymers (polyelectrolyte)/Surfactants Interactions in
Aqueous Solution. Macromolecular Structure Research
Helen Stephanie. 2011. Adsorpsi Surfaktan Sodium Dodecyl Sulfate dan
Hexadecyltrimethylammonium-Bromide pada Zeolit Termodifikasi
Polielektrolit Ganda PDDA/PSS. Skripsi Departemen Kimia FMIPA
Universitas Indonesia
Hendrik Heinz, RA Vaia, R Krishnamoorti & B L Farmer. 2006. Self-
Assembly of Alkylammonium Chains on Montmorillonite: Effect of Chain
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Length, Head Group Structure, and Cation Exchange Capacity. American
Chemical Society.
http://boomeria.org/chemlectures/textass2/firstsemass.html (Diakses Rabu, 28
Desember 2011. Pukul 23.00)
http://bouman.chem.georgetown.edu/S00/handout/spectrometer.htm (Diakses
29 Desember 2011. Pukul 21.00)
http://mits.nims.go.jp/ (Diakses Kamis, 23 Desember 2011. Pukul 23.00)
http://pslc.ws/macrog/electro.htm (Diakses Kamis, 22 Desember 2011. Pukul
01.00)
http://www.goldtester.in/introduction-of-XRF-technology.html (Diakses 29
Desember 2011. Pukul 19.00)
http://www.imtek.de/cpi/polyelectrolyte-brushes.php (Diakses Jumat, 28
Oktober 2011. Pukul 12.00)
http://www.unl.edu/CMRAcfem/temoptic.htm (Diakses Kamis, 29 Desember
2011. Pukul 12.00)
Imam Taufik. 2005. Eutrofikasi Perairan: Penyebab, Permasalahan, dan
Penanggulangannya. Bogor: WARTA Penelitian Perikanan Indonesia
Irwansyah. 2007. Modifikasi Bentonit Menjadi Organoclay dengan Surfaktan
Heksadesil Trimetilamonium Bromida Melalui Interkalasi Metode Ultrasonik.
Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
J. H. Kim, W.S.Shin, Y. H Kim, S.J Choi, Y.W. Jeon, D.I Song. 2003.
Sequential Sorption and Desorption of Chlorinated Phenols in Organoclays.
Water Sci. Technol 47, 59-64.
J. Sterte, Shabtai, J. 1987. Cross-Linked Smectites, V.Synthesis and Properties
of Hydroxy-SilicoAluminium Montmorillonites and Fluorhectorites. Clays and
Clay Minerals. Vol.35 No.6. 429-439
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
J. Theo Kloprogge, Rhys Evans, Leisel Hickey, Ray L. Frost. 2002.
Characterisation and Al-Pillaring of Smectites from Miles, Queensland
(Australia). Applied Clay Science 20. 157-163
J.W. Tang, P.X. Wu, S.Y. Zheng, Y. Liu, F.F. Wang, X.F. Xie. 2006.
Synthesis and Photocatalytic Activity of Ti-Pillared Bentonite. Acta Geol. Sin.
Engl. 80. 273-277
J.X. Zhu, L.Z. Zhu, R.L. Zhu, B.L. Chen. 2008. Microstructure of Organo-
Bentonites in Water and The Effect of Steric Hindrance on The Uptake of
Organic Compounds. Clays and Clay Mineral. 56 (2), 144-154
Jarnuzi Gunlazuardi. 2005. Diktat Kuliah Kimia Analisis Termal. Depok:
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
Jarnuzi Gunlazuardi. 2010. Handout Kuliah Analisis Sinar X. Depok:
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
Jarnuzi Gunlazuardi. 2010. Handout Kuliah Kimia Analisis Spektrometri.
Depok: Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia
Jean Salanger, Louis Salanger. 2002. Surfactants Types and Uses. Mrida:
Teaching Aid in Surfactant Science and Engineering Universidad De Los
Andes
Jianxi Zhu, Tong Wang, et al. 2011. Expansion Characteristics of Organo
Montmorillonites During the Intercalation, Aging, Drying, and Rehydration
Processes: Effect of Surfactant/CEC Ratio. Colloids and Surfaces
A:Physicochem Eng Aspects 384. 401-407
Kus Sri Martini, Ashadi, & Sulistyo Saputro. 2009. PengembanganMetode
Regenerasi dan Kestabilan Sistem Adsorben Surfaktan Kationik
Berpenyangga Montmorilonit Lokal untukMenanggulangi Polutan Organik
dan Logam Berat. Artikel Ilmiah Universitas Sebelas Maret Surakarta
Lev Bromberg, Christine M. Straut, Andrea Centrone, Eugene Wilusz, dan T.
Alan Hatton. 2011. Montmorillonite Functionalized with Pralidoxime As a
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Material for Chemical Protection Against Organophosphorous Compounds.
ACS Appl. Mater. Interfaces, 3, 1479-1484
Li Gu, Jinli Xu, Lu Ly, Bing Liu, Huining Zhang, Xin Yu, Zhuanxi Luo.
2011. Dissolved Organic Nitrogen (DON) Adsorption by Using Al-Pillared
Bentonite. Desalination 269, 206-213
Liang-guo Yan, X.Q. Shan, B. Wen, G. Owens. 2007. Adsorption of cadmium
onto Al-13-pillared acid-activated montmorillonite. J. Hazard. Mater. 156.
499508.
Lizhong Zhu, Xiaogang Ren, dan Shaobinyu. 1998. Use of
Cetyltrimethylammonium Bromide-Bentonite To Remove Organic
Contaminants of Varying Polar Character from Water. Environ. Sci. Technol,
31, 3374-3378
Lizhong Zhu, Yimin Li & Jianying Zhang. 1997. Sorption of
Organobentonites to Some Organic Pollutants in Water. Environment Science
Technology 1997, 31, 1407-1410
M. Elimelech, M. Borkovec, dan J. Hering. 1999. Interfacial and Colloidal
Phenomena in Aquatic Environtments. American Chemical Society. Vol 39
No.1 Pages 374-376
M. Hess, R.G. Jones, J. Kahovec, T. Kitayama, P. Kratochvil,et al. 2006.
Terminology of Polymers Containing Ionizable or Ionic Groups and of
Polymer Containing Ions. Pure Applied Chemistry, Vol. 78, No.11, pp. 2067-
2074
Maged A. Osman, Michael Ploetze & Peter Skrabal. 2004. Structure and
Properties of Alkylammonium Monolayers Self-Assembled on Montmorillonite
Platelets. Journal of Physical Chemistry J Phys Chem B 2004, 108, 2580-2588
Mautidina M. 2000. Uji Toksisitas Lindi Terhadap Ikan Mas. Tugas Akhir.
Jurusan Teknik Lingkungan, ITS, Surabaya
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Mikrajuddin Abdullah dan Khairurrijal. 2009. Karakterisasi Nanomaterial.
Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. Vol. 2. No. 1
N Maes, I.Heylen, et al., 1996. The Relation Between the Synthesis of Pillares
Clays and Their Resulting Porosity. Applied Clay Science
N.B. Colthup, L.N. Daly, S.E Wilberley. 1990. Introduction to Infrared and
Raman Spectroscopy, 3
rd
edition. New York: Academic Press
N.R. Sanabria, M.A. Centeno, R. Molina, S. Moreno. 2009. Pillared clays
with AlFe and AlCeFe in concentrated medium: synthesis and catalytic
activity. Appl. Catal. A 356. 243249.
P. Senthil Kumar, K. Kirthika. 2009. Equilibrium and Kinetic Study of
Adsorption of Nickel from Aqueous Solution onto Bael Tree Leaf Powder.
Journal of Engineering Science and Technology Vol.4, No. 4, 351-363
Prawiro. 1985. Ekonomi Pembangunan dan Pencemaran. Jakarta: Djambatan
R. Podgornik, M. Lier. 2006. Polyelectrolyte bridging interactions between
charged macromolecules. Journal of colloid and interface science, Vol.11,
273-279
R.A Schoonheydt, Pinnavia T.,Lagaly G., Gangas N. 1999. Pillared Clays and
Pillared Layered Solids. Pure and Applied Chemistry 71. 2367-2371
R.A. Schoonheydt, Hugo Leeman, Anita Scorpion, Ingrid Lenotte, dan P.
Grobet. 1994. The Al-Pillaring of Clays. Part II. Pillaring With
[Al
13
O
4
(OH)
24
(H
2
O)
12
]
7+
. Clays and Clay Minerals Vol 42 No. 5, 518-525
R.A. Schoonheydt, Van Den Eynde, J.,Tubbax, et al., 1993. The Aluminium
Pillaring of Clays. Part I. Pillaring with Dilute and Concentrated Aluminium
Solutions. Clay and Clay Minerals 41, 598-607
R.B. Yu, S.D. Wang, D. Wang, J.J. Ke, X.R. Xing, N. Kumada, N. Kinomura.
2008. Removal of Cd
2+
from aqueous solution with carbon modified
aluminum-pillared montmorillonite. Catal. Today 139. 135139.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Runliang Zhu, Tong Wang, et al., 2009. Intercalation of Both CTMAB and
Al
13
into Montmorillonite. Journal of Colloid and Interface Science
Rusman Iip Izul Falah, dan RHA Sahirul Alim. 1999. Interkalasi Cu pada
Karbon Aktif dan Pemanfaatannya sebagai Katalis Dehidrasi n Amilalkohol.
Indonesian Journal of Chemistry, Vol 1, No.1, hal 23-29
S. Vercauteren, J.Luyten, et al., 1996. Synthesis and Characterization of a
Pillared Clay Membrane. Journal of Membrane Science 161-168
Stephen A. Nelson. 2011. Mineralogy. Earth & Environtmental Sciences
2110. Tulane University, Department of Earth & Environtmental Sciences
Suvasree Mukherjee, Abhijit Dan, Subhash C. Bhattacharya, Amiya K.
Panda, dan Satya P. Moulik. 2011. Physicochemistry of Interaction between
the Cationic Polymer Poly(diallyldimethylammonium chloride) and the
Anionic Surfactants Sodium Dodecyl Sulfate, Sodium
Dodecylbenzenesulfonate, and Sodium N-Dodecanoylsarcosinate in Water
and Isopropyl Alcohol-Water Media. Langmuir, 27, 52225233
Syuhada, Rachmat Wijaya, dkk. 2009. Modifikasi Bentonit (clay) menjadi
Organoclay dengan Penambahan Surfaktan. Jurnal Nano Sains dan Teknologi
T.S. Anirudhan, M. Ramachandran. 2006. Adsorptive Removal of Tannin from
Aqueous Solutions by Cationic Surfactant-Modified Bentonite Clay. Journal of
Colloid and Interface Science 299. 116-124
Tatsuya Yamazaki, Yuichiro Nakamura, dan Sentaro Ozawa. 2001.
Investigation on Pore Structure Formed in a Pillared Montmorillonite
Interlayer Using Adsorption Methods and a Carbonization Technique. Journal
of Colloid and Interface Science 239, 440-446
Ulrirch Schubert. 2002. Synthesis of Inorganic Materials. New York: Willey-
VCH, hal 45-59
Varley CH. 1987. The Environmental Fate and Effect of Detergents,
Munchen.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Wei Tan, Yihe Zhang, Yau-shan Szeto, Libing Liao. 2007. A Novel Method to
Prepare Chitosan/Montmorillonite Nanocomposites in the Presence of
Hydroxy-Aluminum Oligomeric Cations. Composites Science and Technology
68. 2917-2921
www.chemfamily.com (Diakses Jumat, 28 Oktober 2011. Pukul 14.30)
www.naturallycurly.com (Diakses Jumat, 28 Oktober 2011. Pukul 16.00)
Yateman Arryanto, Dwi Siswanto. 2006. Kajian Pengaruh Sol Logam dan
Surfaktan dalam Pembuatan Lempung Terpilar Oksida Logam dengan Metode
Templat Organik Berbahan Dasar Lempung Alam Bentonit. Indonesian
Scientific Resource, PDII LIPI
Yunfei Xi, Ray L Frost, Hongping He, Theo Kloprogge & Thor Bostrom.
(2005). Modification of Wyoming Montmorillonite Surfaces Using a Cationic
Surfactant. American Chemical Society Langmuir 2005, 2l, 8675-8680
Z.H. Shao, M.H. Zhou, S.H. Qiao, L.C. Lei. 2005. Diatomite Precoating
Filtration of Micropolluted Water by Combination With Bentonite Adsorption
Process. Environmental Science and Technology, pp. A1330-A1335
Zonghua Qin, Peng Yuan, Jianxi Zhu, Hongping He, Dong Liu, Shuqin Yang.
2010. Influences of Thermal Pretreatment Temperature and Solvent on The
Organosilane Modification of Al
13+
Intercalated/Al-Pillared Montmorillonite.
Applied Clay Science 50. 546-553







Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
LAMPIRAN

Lampiran 1: Bagan kerja penelitian























Preparasi Bentonit
Montmorilonit
(MMT)
Karakterisasi

XRF
XRD

XRD
FTIR
BET




XRD,FTIR,
BET


FTIR

Uv-Vis
Spektrofotometer



TEM, Uv-Vis
Spektrofotometer



UV-Vis
Spektrofoto
meter
Modifikasi dengan polimer
Filtrat
Aplikasi sebagai adsorben SDBS
Variasi konsentrasi
Preparasi
Fraksinasi
Penjenuhan dengan NaCl
Pilarisasi MMT Penentuan nilai KTK
Na-MMT + Metilen biru
Al-MMT (tanpa CTAB)
Al-MMT (dengan CTAB)
Penentuan kondisi optimum adsorpsi
Na-MMT
Variasi pH
Menguji kestabilan interaksi
antara PDDA dengan SDBS
Perbandingan
kemampuan
adsorpsi
Kondisi optimum
Variasi waktu kontak
Al-MMT
Isoterm adsorpsi
Freundlich Langmuir
Bentonit
alam
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 2: Bagan kerja penentuan surfaktan anionik SDBS (Metode MBAS)

























5 ml larutan standar
1x10
-7
5x10
-5
M
5 ml filtrat (sampel)
5 ml MB 1x10
-4
M
pH filtrat dinetralkan dengan
menambahkan 2 tetes indikator pp,
lalu 0,02 N NaOH hingga merah
lembayung, dan 0,02 N H
2
SO
4
hingga
larutan kembali bening
Campuran
Fasa air
5 ml Kloroform
5 ml Campuran
Fasa kloroform
Ditentukan max dan
absorbansi dengan Uv-Vis
spektrofotometer
Ekstraksi 15 menit
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012

Lampiran 3a: Tabel data difraktogram XRD untuk bentonit alam
No.
Pos.
[2Th.]
d-spacing
[]
Rel. Int.
[%]
FWHM
[2Th.]
Area
[cts*2Th.]
Backgr.[cts]
Height
[cts]
1 5,7951 15,23830 69,26 0,1968 19,24 92,74 99,09
2 17,3741 5,10427 5,76 0,7872 6,4 10 8,24
3 19,903 4,46106 51,59 0,3149 22,93 12 73,82
4 22,0816 4,02562 100 0,1574 22,22 13 143,08
5 26,72 3,33639 46,17 0,1968 12,83 15 66,06
6 28,5701 3,12441 12,75 1,8893 34,01 14 18,25
7 35,0301 2,56162 20,53 0,6298 18,24 12 29,37
8 36,2531 2,47797 25,96 0,6298 23,08 11 37,15
9 54,5346 1,68274 6,76 1,2595 12,02 8 9,67
10 56,9555 1,6155 6,31 1,152 13,87 8 9,03


Lampiran 3b: Perhitungan basal spacing bentonit alam






Lampiran 4a: Tabel data difraktogram XRD untuk Na-MMT
No.
Pos.
[2Th.]
d-spacing
[]
Rel. Int.
[%]
FWHM
[2Th.]
Area
[cts*2Th.]
Backgr.[cts]
Height
[cts]
1 6,239 14,15507 20,86 1,5744 47,84 57 30,8
2 19,6195 4,52489 52,22 0,3149 23,95 11 77,11
3 21,7187 4,09205 100 0,3936 57,34 13 147,67
4 26,4125 3,37454 54,02 0,4723 37,17 12 79,77
5 35,9802 2,49613 27,62 0,6298 25,33 9 40,78
6 54,0836 1,69571 7,88 0,9446 10,84 7 11,64
7 61,6477 1,50456 18,42 0,4723 12,68 6,11 27,21
8 67,9423 1,37969 10,74 0,3149 4,93 5 15,86
9 72,8866 1,29674 8,31 1,536 25,13 4 12,27


Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 4b: Perhitungan basal spacing Na-MMT







Lampiran 5: Data XRF pada F2 (Hadrah,Tesis 2011)


Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 6a: Kurva standar metilen biru


Lampiran 6b: Data absorbansi larutan standar MB
Konsentrasi
Absorbansi
3x10
-8
0,005
5x10
-8
0,007
8x10
-8
0,012
3x10
-7
0,01952
5x10
-7
0,0202
8x10
-7
0,03867
1x10
-6
0,04266
3x10
-6
0,169
5x10
-6
0,246


Lampiran 7: Tabel data difraktogram XRD untuk Al-MMT
No.
Pos.
[2Th.]
d-spacing
[]
Rel.
Int.
[%]
FWHM
[2Th.]
Area
[cts*2Th.]
Backgr.[cts]
Height
[cts]
1 8,4359 10,48175 11,81 1,8893 30,82 27 16,54
2 19,5767 4,53467 34,46 0,3936 18,73 21 48,23
3 21,5883 4,11647 100 0,3936 54,35 23 139,97
4 26,3585 3,38132 51,08 0,3149 22,21 21 71,49
5 35,71 2,5144 24,54 0,4723 16 15 34,35
6 61,4744 1,50714 6,72 2,304 28,9 9 9,41
y = 50093x + 0.002
R = 0.991
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.E+00 1.E-06 2.E-06 3.E-06 4.E-06 5.E-06 6.E-06
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 8: Tabel data difraktogram XRD untuk Al(CTAB)-MMT
No.
Pos.
[2Th.]
d-spacing
[]
Rel. Int.
[%]
FWHM
[2Th.]
Area
[cts*2Th.]
Backgr.[cts]
Height
[cts]
1 9,0941 9,72449 22,18 0,9446 22,93 24 24,61
2 19,6063 4,5279 77,53 0,4723 40,09 7 86,04
3 20,8501 4,26052 65,66 0,551 39,61 2 72,87
4 21,812 4,07476 100 0,4723 51,71 57 110,98
5 26,5609 3,35602 53,52 0,3149 18,45 27 59,4
6 35,8709 2,50349 32,03 0,4723 16,56 13 35,55
7 61,9396 1,49693 12,49 1,152 21,3 8 13,87


Lampiran 9: Data BET untuk Na-MMT (Hadrah, Tesis 2011)






Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 10: Data BET untuk Al(CTAB)-MMT

Sorptomatic 1800 Carlo Erba Instruments
Surface Area Analysis System Report
File Name = D2AB.dat


Analysis

Report

Operator : MUJINEM Date : 2011/12/9

Operator : MUJINEM

Date : 2011/12/9
Sample ID : B Filename : C:\data\BET\D2AB.dat


BET summary
Slope : 0,11190
C constant : -0,00106
Correlation coefficient, r : 0,93416
Vm : 9,68970
S : 22,00160
Surface Area : 42.1811 m
2
/g



Lampiran 11: Data BET untuk Al-MMT

Sorptomatic 1800 Carlo Erba Instruments
Surface Area Analysis System Report
File Name = D1AB.dat


Analysis

Report

Date :
2011/12/9 Operator : MUJINEM Date : 2011/12/9

Operator : MUJINEM
Sample
ID : B Filename : C:\data\BET\D1AB.dat



BET summary

Slope : 41,86576



C constant : 0,04740



Correlation coefficient, r : 0,99951



Vm : 893,10475



S : 26,25010



Surface Area : 83.91974 m
2
/g




Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 12a: Spektra FTIR PMAM dengan variasi konsentrasi



Lampiran 12b: Perbandingan luas puncak serapan N-R pada spektra FTIR











Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 13a: Kurva standar SDBS



Lampiran 13b: Data absorbansi larutan standar SDBS
Konsentrasi Absorbansi
0,0000001 0,108
0,0000005 0,135
0,000001 0,192
0,000005 0,314
0,00001 0,397
0,00003 1,071
0,00005 1,826


Lampiran 14a: Tabel perhitungan penyerapan SDBS ke dalam PMAM
Konsentrasi
awal SDBS
(mol/L)
Nilai
absorbansi
Konsentrasi SDBS
tidak terserap (mol/L)
Konsentrasi SDBS
terserap (mol/L)
%
Terserap
5x10
-5
0,469 1,06x10
-5
3,94x10
-5
78,86
1x10
-4
0,525 1,22x10
-5
8,78x10
-5
87,76
5x10
-4
0,576 1,38x10
-5
4,86x10
-4
97,25
1x10
-3
0,814 2,09x10
-5
9,79x10
-4
97,91
5x10
-3
0,3692* 1,07x10
-4
4,89x10
-3
97,86
*: dengan 10x pengenceran
y = 33,488.770x + 0.115
R = 0.996
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0.E+00 1.E-05 2.E-05 3.E-05 4.E-05 5.E-05 6.E-05
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 14b: Spektra UV-Vis spektrofotometer variasi konsentrasi SDBS













Lampiran 15a: Tabel perhitungan waktu pengadukan optimum untuk penyerapan
SDBS
Waktu
pengadukan
Konsentras
i awal
SDBS
(mol/L)
Nilai
absor
bansi
Konsentrasi
SDBS tidak
terserap
(mol/L)
Konsentrasi
SDBS
terserap
(mol/L)
%
Terser
ap
15 menit 1x10
-3
0,429 9,37 x 10
-6
9,9 x10
-4
99,06
45 menit 1x10
-3
0,349 6,98 x 10
-6
9,93 x 10
-4
99,30
75 menit 1x10
-3
0,375 7,76x10
-6
9,922 x 10
-4
99,22
120 menit 1x10
-3
0,365 7,46 x 10
-6
9,925 x 10
-4
99,25
180 menit 1x10
-3
0,38 7,91 x10
-6
9,921 x 10
-4
99,21





400 500 600 700 800
0
0.5
1
Filtrat1x10
-3
Filtrat 5x10
-4
Filtrat 1x10
-4
Filtrat 5x10
-5
Filtrat 5x10
-3
(dengan 10x pengenceran)
Panjang gelombang (nm)
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 15b: Spektra UV-Vis Spektrofotometer variasi waktu pengadukan
SDBS


Lampiran 16: Data isoterm adsorpsi SDBS pada PMAM
Ce (mg/L) qe (mg/g) 1/Ce 1/qe Log Ce Log qe
3,6938 2,7460 94339,62 0,3642 0,5675 0,4387
4,2514 6,1193 81967,21 0,1634 0,6285 0,7867
4,8090 33,8722 72463,77 0,0295 0,6820 1,5298
7,2832 68,2324 47846,89 0,0146 0,8623 1,8339
37,2874 340,813 9345,79 0,0029 1,5716 2,5325
Ket:
qe: jumlah adsorbat terserap dalam 50 mg adsorben dan 10 ml larutan SDBS
Ce: konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (yang tidak terserap)


300 400 500 600 700 800
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
180 menit
120 menit
75 menit
45 menit
15 menit
Panjang Gelombang (nm)
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012

You might also like