Skripsi ini membahas modifikasi bentonit terpilar Al menggunakan polydiallyl dimethyl ammonium sebagai adsorben untuk limbah surfaktan SDBS. Bentonit diaktivasi, difraksi untuk mendapatkan fraksi montmorillonite, kemudian dijenuhkan dengan NaCl. Montmorillonit dimodifikasi dengan polikation Al dan CTAB membentuk Al-MMT, lalu dimodifikasi dengan PDDA dengan variasi konsentrasi untuk mendapatkan kondisi optimum. Hasil terba
Skripsi ini membahas modifikasi bentonit terpilar Al menggunakan polydiallyl dimethyl ammonium sebagai adsorben untuk limbah surfaktan SDBS. Bentonit diaktivasi, difraksi untuk mendapatkan fraksi montmorillonite, kemudian dijenuhkan dengan NaCl. Montmorillonit dimodifikasi dengan polikation Al dan CTAB membentuk Al-MMT, lalu dimodifikasi dengan PDDA dengan variasi konsentrasi untuk mendapatkan kondisi optimum. Hasil terba
Skripsi ini membahas modifikasi bentonit terpilar Al menggunakan polydiallyl dimethyl ammonium sebagai adsorben untuk limbah surfaktan SDBS. Bentonit diaktivasi, difraksi untuk mendapatkan fraksi montmorillonite, kemudian dijenuhkan dengan NaCl. Montmorillonit dimodifikasi dengan polikation Al dan CTAB membentuk Al-MMT, lalu dimodifikasi dengan PDDA dengan variasi konsentrasi untuk mendapatkan kondisi optimum. Hasil terba
Skripsi ini diajukan oleh Nama : Deagita Yolani NPM : 0806326595 Program Studi : Departemen Kimia Judul Skripsi : Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi S1 - Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Deagita Yolani NPM : 0806326595 Program Studi : Kimia Departemen : Kimia Fakultas : MIPA Jenis karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan Polydiallyl Dimethyl Ammoniumsebagai Adsorben Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 30 Desember 2011 Yang menyatakan
( Deagita Yolani )
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 KATA PENGANTAR
Puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Jurusan Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tidaklah mungkin bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik selama masa perkuliahan sampai dengan penelitian dan penulisan skripsi ini. Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada: a. Kedua orang tua saya (Ibu dan Alm.Bapak), dan adik saya, yang selalu memberikan dukungan baik materil maupun imateril, dorongan semangat, dan doa yang tiada hentinya; b. Dra.Tresye Utari, M.Si, selaku dosen pembimbing I dan koordinator penelitian yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini; c. Dr. Yoki Yulizar, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini; d. Novena Damar Asri, S.Si yang telah banyak membimbing penulis dalam hal penulisan skripsi yang baik dan benar; e. Dr. Ridla Bakri, M.Phil selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia; f. Drs. Erzi Rizal selaku pembimbing akademis yang telah membimbing penulis dalam kegiatan akademis perkuliahan; g. Dr. rer. nat Widayanti Wibowo, Dr. Yuni K. Krisnandi, Dr. Asep Saefumillah selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan kepada penulis; Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 h. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat berguna selama perkuliahan bagi penulis; i. Ir. Hedi Surrahman, M.Si yang telah banyak memberikan bantuan dalam proses peminjaman alat dan bahan selama penelitian; j. Bapak Sutrisno Babe Perpustakaan, Mbak Ina, Mbak Cucu, Mbak Tri, Mbak Emma, Pak Mardji, Pak Hadi, Pak Kiri, Pak Amin, dan seluruh staf Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia; k. Kak Rispa, Kak Alvin, Kak Dio, Kak Daniel, Kak Rasyid, dan Pegawai Lab Afiliasi Departemen Kimia UI lainnya, serta Bapak Wisnu dan operator XRD Batan yang telah banyak membantu dalam karakterisasi sampel; l. Rekan-rekan selama penelitian: Kak Sonia, Kak Narita, Kak Rosa, Kak Reka, Kak Rohman, Kak Putri, Dinda, Bu Nurlita, dan seluruh rekan-rekan penelitian lantai 3 dan 4 yang telah menemani penulis melewati masa-masa suka dan duka penelitian dan selalu memberikan semangat kepada penulis; m. Sahabat-sahabat saya: Esti, Inna, Tata, Asef, yang telah memberikan semangat dalam perkuliahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih atas semua tawa, tangis, dan petualangan yang telah kita rasakan bersama; n. Seluruh teman-teman angkatan 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu; o. Agung Kurniawan Putra selaku pembimbing ketiga bagi penulis yang telah mencurahkan cinta kasih, waktu, tenaga, dan pikirannya kepada penulis, serta dorongan semangat dan wejangan-wejangan pembakar semangatnya yang selalu berhasil membantu penulis dalam mengatasi berbagai permasalahan; p. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu saya dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Penulis Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 ABSTRAK
Nama : Deagita Yolani Program Studi : Kimia Judul : Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate
Bentonit merupakan salah satu mineral yang kelimpahannya cukup besar di Indonesia. Kemampuan bentonit sebagai adsorben beserta modifikasi untuk meningkatkan kemampuan adsorpsinya telah banyak dilakukan sebelumnya, dan salah satunya adalah melalui metode pilarisasi. Penelitian ini dilakukan untuk membuat bentonit terpilar Al dengan template CTAB yang akan diaplikasikan untuk adsorben limbah surfaktan Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate (SDBS). Bentonit yang telah diaktivasi dan difraksinasi untuk mendapatkan fraksi montmorillonite (MMT), kemudian dijenuhkan dengan NaCl (Na-MMT). KTK (Kapasitas Tukar Kation) Na-MMT ditentukan dengan adsorpsi metilen biru, diperoleh nilai KTK sebesar 34,9 meq/100gr. Pembuatan bentonit terpilar Al dilakukan dengan penambahan polikation Al dan surfaktan N-Cetyl-N,N,N- Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB) secara bersamaan ke dalam Na-MMT membentuk Al-MM T. Al-MMT yang dibuat dengan penambahan CTAB kemudian dimodifikasi dengan Poly Dialllyl Dimethyl Ammonium Bromide (PDDA) dengan konsentrasi yang divariasikan antara 1x10 -5 1x10 -3 M, diperoleh konsentrasi optimum yang ditentukan menggunakan FTIR yaitu 5x10 -4
M. Hasil ini dinamakan PMAM yang diaplikasikan untuk adsorpsi SDBS dengan melakukan variasi konsentrasi dan waktu kontak SDBS. Kondisi optimum yang diperoleh adalah konsentrasi 1x10 -3 M dan waktu kontak 45 menit dengan %SDBS terserap 99,3%, kemudian dilakukan perbandingan kemampuan adsorpsi PMAMt (PMAM dari Al-MMT tanpa CTAB), dan PMNM (Polymer Modified Na-MMT), didapatkan %SDBS terserap sebesar 89,58% dan 97,23%.
Name : Deagita Yolani Program Study: Chemistry Title : Modification of Al-Pillared Bentonite Using Polydiallyl Dimethyl Ammonium as an Adsorben to Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate
Bentonite is one of the most abundant mineral in Indonesia. The ability of bentonite as an adsorbent and modifications to enhance the adsorption capacity has been studied before, and one of them was through a pillarization method. This research was done to prepare Al pillared bentonite with CTAB as template and will be applied for adsorbing surfactant Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate (SDBS). Bentonite that was first activated and fractionated to obtain montmorillonite (MMT), and then was saturated with NaCl, to obtain Na-MMT. Cation Exchange Capacity (CEC) of Na-MMT was determined by methylene blue adsorption, CEC values obtained for 34.9 meq/100gr. The preparation of Al- pillared bentonite performed with the addition of Al and polycationic surfactant N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB) simultaneously into the Na-MMT to form Al-MM T. Then, Al-MMT was modified with Poly Dialllyl Dimethyl Ammonium Bromide (PDDA) with concentrations that varied between 1x10 -5 - 1x10 -3 M, obtained the optimum concentration was determined using FTIR is 5x10 -4 M. This result is called PMAM that will be applied to the adsorption of SDBS by varying the concentration and contact time SDBS. Optimum conditions obtained were 1x10 -3 M of concentration and 45 minutes of contact time with% SDBS absorbed 99.3%, and then the adsorption capability of PMAMt (PMAM without CTAB) and PMNM (Polymer Modified Na-MMT) were compared in optimum condition, obtained 89,58% and 97,23% of %SDBS absorbed.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS....................................... iii LEMBAR PENGESAHAN............... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.............. v KATA PENGANTAR.............................................................................................. vi ABSTRAK........................................................................................................ viii ABSTRACT.......................................................................................................... ix DAFTAR ISI.................................................................................................... x DAFTAR TABEL............. xiii DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvi
1. PENDAHULUAN.............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang........... 1 1.2 Perumusan Masalah........................ 5 1.3 Tujuan Penelitian 5
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tabel puncak difraktogram XRD pada bentonit alam dan Na-MMT.. 36 Tabel 4.2 Tabel penentuan nilai KTK Na-MMT................................................ 40 Tabel 4.3 Nilai koefisien ikatan antara beberapa ion dengan montmorilonit..... 42 Tabel 4.4 Tabel puncak difraktogram XRD pada Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT...................................................................... 50 Tabel 4.5 Hasil karakterisasi menggunakan BET...............................................51 Tabel 4.6 Luas puncak serapan N-R dengan variasi konsentrasi PDDA............ 55 Tabel 4.7 Tabel perbandingan intensitas puncak N-R........................................ 56 Tabel 4.8 Tabel hasil adsorpsi dengan variasi waktu pengadukan tanpa pengendapan secara alami.................................................................. 59 Tabel 4.9 Perbandingan kemampuan adsorpsi berbagai adsorben..................... 60 Tabel 4.10 Tabel hasil hasil uji kestabilan interaksi PDDA dan SDBS..65
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Montmorillonite............................................................... 10 Gambar 2.2 Struktur polikation Al model Keggin............................................ 11 Gambar 2.3 Proses interkalasi dalam lempung.................................................. 13 Gambar 2.4 Mekanisme pilarisasi..................................................................... 14 Gambar 2.5 Gambaran polielektrolit yang menempel pada substrat. 16 Gambar 2.6 Struktur PDDA.............................................................................. 16 Gambar 2.7 Struktur surfaktan.. 17 Gambar 2.8 Struktur CTAB............................................................................... 18 Gambar 2.9 Ukuran CTAB................................................................................ 19 Gambar 2.10 Struktur SDBS....... 19 Gambar 2.11 Skema kerja XRF.. 20 Gambar 2.12 Skema kerja Uv-Vis Spectrofotometer......................... 22 Gambar 2.13 Komponen-komponen TEM......................................................... 24 Gambar 4.1 Fraksi 2 (F2) setelah diendapkan selama 2 jam............................. 31 Gambar 4.2 Proses tukar kation dengan Na + ..................................................... 32 Gambar 4.3 Proses penjenuhan dengan NaCl.................................................... 32 Gambar 4.4 Proses swelling Na-MMT.............................................................. 33 Gambar 4.5 Hasil uji dengan AgNO 3 1 M pada filtrat yang masih mengandung Cl - (kiri) dan yang sudah bebas Cl - (kanan)................................... 34 Gambar 4.6 Tampilan fisik bentonit alam (kiri) dan Na-MMT (kanan)............ 34 Gambar 4.7 Difraktogram XRD bentonit alam dan Na-MMT.. 35 Gambar 4.8 Ukuran ion dan atom dalam tabel periodik 38 Gambar 4.9 Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT................................... 39 Gambar 4.10 Endapan Na-MMT yang diberi MB (kiri) dan filtratnya (kanan). 40 Gambar 4.11 Struktur metilen biru..................................................................... 41 Gambar 4.12 Proses pembuatan polikation Al................................................... 43 Gambar 4.13 Ikatan pilar Al 2 O 3 dengan Si tetrahedral....................................... 45 Gambar 4.14 Posisi polikation Al dan CTAB yang diharapkan......................... 46 Gambar 4.15 Spektra FTIR untuk Al-MMT tanpa CTAB dan Na-MMT.......... 47 Gambar 4.16 Spektra FTIR untuk Na-MMT, dan Al(CTAB)-MMT sebelum dan setelah kalsinasi...................................................................... 48 Gambar 4.17 Difraktogram XRD bentonit alam, Na-MMT, Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT................................................................... 49 Gambar 4.18 Gambaran pola distribusi yang terjadi antara polikation Al dan CTAB............................................................................................. 52 Gambar 4.19 Pearl Necklace Model... 53 Gambar 4.20 Spektra FTIR Al(CTAB)-MMT dan PMAM.... 54 Gambar 4.21 Kurva adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT. 55 Gambar 4.22 Kurva pengaruh konsentrasi awal SDBS terhadap %SDBS terserap... 57 Gambar 4.23 Kurva penentuan waktu pengadukan optimum untuk adsorpsi SDBS... 58 Gambar 4.24 Spektra FTIR PMAM dan PMAM yang telah jenuh oleh SDBS..... 60 Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Gambar 4.25 Hasil karakterisasi menggunakan TEM dengan perbesaran 20.00x (a), 50.000x (b), 200.000x (c), dan 500.000x (d).. 62 Gambar 4.26 Kurva isoterm adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM63 Gambar 4.27 Kurva isoterm adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM.......64
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Bagan kerja penelitian Lampiran 2: Bagan kerja penentuan surfaktan anionik (metode MBAS) Lampiran 3a: Tabel data difraktogram XRD untuk bentonit alam Lampiran 3b: Perhitungan basal spacing bentonit alam Lampiran 4a: Tabel data difraktogram XRD untuk Na-MMT Lampiran 4b: Perhitungan basal spacing Na-MMT Lampiran 5: Data XRF pada F2 (Hadrah, Tesis 2011) Lampiran 6a: Kurva standar metilen biru Lampiran 6b: Data absorbansi larutan standar MB Lampiran 7: Tabel data difraktogram XRD untuk Al-MMT Lampiran 8:Tabel data difraktogram XRD untuk Al(CTAB)-MMT Lampiran 9: Data BET uuntuk Na-MMT (Hadrah, Tesis 2011) Lampiran 10: Data BET untuk Al(CTAB)-MMT Lampiran 11: Data BET untuk Al-MMT Lampiran 12a : Spektra FTIR PMAM dengan variasi konsentrasi Lampiran 12b: Perbandingan luas puncak serapan N-R pada spektra FTIR Lampiran 13a: Kurva standar SDBS Lampiran 13b: Data absorbansi larutan standar SDBS Lampiran 14a: Tabel perhitungan penyerapan SDBS ke dalam PMAM Lampiran 14b: Spektra Uv-Vis Spektrofotometer variasi konsentrasi SDBS Lampiran 15a: Tabel perhitungan waktu pengadukan optimum untuk penyerapan SDBS Lampiran 15b: Spektra UV-Vis Spektrofotometer variasi waktu pengadukan SDBS Lampiran 16: Data isoterm adsorpsi SDBS pada PMAM
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap makhluk hidup. Seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya kebutuhan manusia yang tidak disertai dengan kesadaran akan kelestarian lingkungan, mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan terutama air. Di antara pencemaran udara, air, dan tanah, pencemaran air merupakan salah satu bentuk pencemaran yang perlu diwaspadai, dan di antara parameter pencemar air, parameter logam berat dan polutan organik adalah yang paling berbahaya (Kus Sri Martini et al., 2009). Apabila air tercemar maka akan memberi pengaruh berupa berkurangnya kandungan oksigen yang terlarut, perubahan pH, temperatur air, dan berkurangnya nutrisi dalam air (Prawiro, 1985). Pencemaran air terjadi apabila masukan zat organik maupun anorganik ke dalam suatu perairan melampaui batas kemampuan ekosistem untuk mengasimilasi zat tersebut. Dengan terlampauinya kemampuan asimilasi ekosistem itu, maka terjadi penumpukan (akumulasi) zat organik atau zat anorganik yang terdapat di dalam air. Akumulasi ini akan mengakibatkan berkembangnya organisme tertentu secara berlebihan, sementara organisme lain terhambat dan terdesak oleh organisme yang pertama (Taufik, 2005). Senyawa deterjen bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian pada makhluk hidup, terutama makhluk hidup yang tinggal di air seperti ikan. Menurut Fujita dan Koga (1976), Lundahl, dan Cabredenc (1978) dalam Mautidina (2000) menyatakan bahwa kematian pada ikan yang disebabkan oleh limbah deterjen terjadi karena deterjen mampu menghambat kerja enzim di dalam tubuh ikan. Selain itu, senyawa deterjen mampu menghambat masuknya oksigen dari udara ke dalam air, sehingga mengakibatkan kadar oksigen dalam air berkurang dan membuat organisme di dalamnya kekurangan oksigen (Varley, 1987). Senyawa deterjen juga bersifat karsinogenik dengan tingkat keasaman (pH) rata-rata 10-12, Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 sementara pH yang dapat ditoleransi oleh lingkungan adalah 6-9 (Agung R, 2001). SDBS (Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate) merupakan salah satu jenis surfaktan yang digunakan sebagai bahan dasar deterjen, penggunaanya berkurang sampai ditemukannya jenis surfaktan baru yang dianggap lebih ramah lingkungan seperti LAS (C.J. Krueger, et al., 1998, dan A.M. Nielsen, et al., 1997) akan tetapi berdasarkan data dari US EPA (Environmental Protection Agency) registration products, diketahui bahwa SDBS masih banyak digunakan dalam produk-produk seperti pada beberapa merk deterjen, pestisida, fungisida, dan desinfektan. SDBS memiliki sifat yang sulit terdegradasi baik di air maupun di tanah (M Elimelech, et al., 1999), sehingga butuh penanganan khusus untuk menanggulangi masalah pencemaran yang disebabkan oleh surfaktan jenis ini. Studi untuk mengatasi permasalahan pencemaran perairan masih terus berkembang, salah satu metode yang sedang marak dikembangkan dan akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode adsorpsi. Selain adsorpsi, metode lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah limbah surfaktan adalah dengan fotokatalisis, akan tetapi karena harga yang relatif lebih mahal, membuat teknik adsorpsi lebih banyak digunakan. Teknik adsorpsi memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi limbah organik (Lizhong Zu, et al.,1998, Runliang Zhu, et al., 2009), dan limbah anorganik seperti logam berat Cd dan Cu (Liang-guo Yan, 2007, Chih-Huang Weng, et al., 2006). Bentonit merupakan salah satu mineral yang kelimpahannya cukup besar di alam, terutama di Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen ESDM pada tahun 2005, bentonit tersebar di pulau-pulau besar Indonesia, seperti di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Jawa, dengan cadangan diperkirakan lebih dari 380 juta ton. Namun, penggunaan bahan ini belum maksimal dan masih bernilai rendah. Bentonit memiliki konfigurasi 2:1 dimana terdiri dari 2 lapis tetrahedral (silikon-oksigen), dan 1 lapis oktahedral (alumunium-oksigen-hidroksil). Montmorilonit memiliki kandungan yang paling banyak di dalam bentonit alam. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Montmorilonit secara alami mengalami subtitusi isomorfis, dimana posisi Al 3+ digantikan oleh Mg 2+ /Fe 2+ dan Si 4+ digantikan Al 3+ sehingga memiliki muatan total negatif dan harus diseimbangkan dengan kation seperti Na + dan Ca 2+ (Yunfei Xi, et al., 2005). Bentonit alam masih bersifat hidrofilik, sehingga tidak efektif bila digunakan sebagai adsorben senyawa organik yang terlarut dalam air (Chaiko, D, 2002, dan J.H. Kim, et al., 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi terlebih dahulu terhadap bentonit alam agar dapat digunakan sebagai adsorben limbah surfaktan dalam perairan. Kemampuan adsorpsi bentonit alam dapat ditingkatkan dengan melakukan modifikasi melalui proses tukar kation dalam bentonit dengan kation amina dari surfaktan kationik [(CH 3 ) 2 NHR] + (T.S. Anirudhan, M. Ramachandran, 2006). Metode ini dikenal dengan pembuatan organoclay, dan dapat meningkatkan afinitas antara bentonit dengan limbah organik, akan tetapi ruang antar lapis yang sebagian besar diisi oleh surfaktan (Zhu, et al., 2008) mengakibatkan berkurangnya ukuran basal spacing pada bentonit dan berkurangnya tempat bagi limbah organik untuk teradsorpsi ke dalam ruang antar lapis (Zonghua Qin, et al.,2010). Selain itu walaupun modifikasi bentonit dengan surfaktan dapat meningkatkan basal spacing atau ruang antar lapis dalam bentonit, akan tetapi sifatnya yang tidak stabil terhadap suhu yang tinggi mengakibatkan basal spacing yang dihasilkan tidak permanen (J. Theo Kloprogge, et al., 2002). Hal ini mendorong berkembangnya studi menggunakan polikation anorganik sebagai agen pemilar, dimana dapat memberikan kestabilan yang tinggi terhadap panas serta area permukaan yang luas, dan bila dikalsinasi akan menghasilkan pilar oksida logam yang permanen (Kloprogge, et al., 2002, D. M. Manohar, et al., 2005, A. Tabak, et al., 2007). Selama beberapa dekade terakhir, penggunaan polikation logam seperti Al, Fe, Ti, Zn sebagai agen pemilar dalam bentonit telah marak dilakukan (Liang-guo Yan, et al., 2008, N.R. Sanabria, et al., 2009, R.B. Yu, et al., 2008, J.W. Tang, et al., 2006). Polikation Al adalah agen pemilar yang paling banyak digunakan, baik untuk selanjutnya digunakan secara langsung untuk mengadsorb logam, pewarna, dan polutan-polutan lainnya (Z.H. Shao, et al., 2005, D. Pentari, et al., 2009) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 maupun tidak langsung melalui modifikasi lanjutan dengan cara menambahkan kitosan (Wei Tan, et al., 2007), 3-aminopropyltriethoxysilane (Zonghua Qin, et al., 2010), atau 2-pralidoxime (PAM) (Lev Bromberg, et al., 2011) pada bentonit terpilar Al untuk selanjutnya digunakan sebagai adsorben, dimana proses pemilaran membuat basal spacing meningkat secara permanen dan jumlah zat yang dapat diadsorbsi semakin banyak (Tatsuya Yamazaki, et al., 2001). Polikation Al dianggap sebagai pemilar yang baik karena dapat menghasilkan volume pori dan kekuatan adsorpsi yang paling besar bila dibandingkan dengan logam-logam lainnya (N. Maes, et al., 1996) Penelitian-penelitian sebelumnya banyak menggunakan kitosan sebagai modifier pada bentonit terpilar Al, karena sifatnya yang ramah lingkungan dan mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi bentonit (Wei Tan, et al., 2007) akan tetapi pada penelitian ini tidak tepat bila digunakan kitosan, karena kitosan dapat berikatan dengan montmorilonit pada pH asam dengan terbentuknya gugus NH 3 +
yang selanjutnya dapat mengalami proses tukar kation dengan montmorilonit (Darder, et al., 2005), sedangkan pada penelitian ini ditujukan sebagai adsorben surfaktan yang memiliki pH basa. Selain itu penggunaan kitosan akan menghasilkan hasil yang baik apabila digunakan untuk adsorben ion logam, karena akan terjadi ikatan koordinasi antara gugus -NH 2 dan -OH pada kitosan dengan ion logam (Wei Tan, et al., 2007), sedangkan pada penelitian ini surfaktan yang akan diadsorpsi memiliki muatan negatif/kelebihan elektron, sehingga kitosan tidak mampu berikatan dengan surfaktan anionik. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan montmorilonit terpilar Al, untuk selanjutnya dimodifikasi dengan polimer kationik PDDA (Poly Diallyl Dimethyl Ammonium) dan digunakan sebagai adsorben surfaktan anionik SDBS (Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate). Pada proses pemilaran montmorilonit, akan digunakan polikation Al dan CTAB (N- Cetyl-N,N,N-Trimethyl Ammonium Bromide) yang ditambahkan secara bersamaan, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Runliang Zhu, Tong Wang, Fei Ge, Wangxiang Chen, dan Zhimin You pada tahun 2009 membuktikan bahwa pembuatan montmorilonit terpilar Al akan menghasilkan Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 pilar yang tidak terlalu rigid dan pori seragam apabila digunakan CTAB sebagai agen yang ikut membantu proses pilarisasi. Hal ini diharapkan akan memudahkan PDDA masuk sebagai modifier pada montmorilonit dan meningkatkan kemampuan adsorbsi. Walau penggunaannya pada bentonit belum pernah dilakukan, PDDA terbukti mempunyai kemampuan adsorbsi yang baik untuk surfaktan pada media emas (Alexander B, 2002), selain itu PDDA juga telah digunakan sebagai modifier zeolit dan terbukti mampu mengadsorp surfaktan dengan baik (Helen Stephanie, 2011).
1.2 Perumusan Masalah a. Apakah pilarisasi bentonit alam dapat dilakukan dengan menggunakan polikation Al dan surfaktan CTAB? b. Apakah polikation PDDA dapat disisipkan pada pori-pori bentonit alam yang telah terpilar? c. Apakah organoclay bentonit-PDDA dapat mengabsorbsi surfaktan anionik SDBS? d. Apakah ikatan antara PDDA (dalam PMAM) dengan SDBS dapat dipengaruhi oleh pH?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. Melakukan pilarisasi pada bentonit alam dengan menggunakan polikation Al dan surfaktan CTAB sebagai template. b. Memodifikasi bentonit terpilar Al dengan PDDA dan mencari konsentrasi adsorpsi PDDA optimum. c. Mengaplikasikan bentonit terpilar Al yang telah dimodifikasi dengan PDDA sebagai adsorben surfaktan SDBS dan mencari kondisi optimumnya. d. Menguji kekuatan ikatan antara PMAM dan SDBS dengan melakukan variasi pH.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I. Kajian Pustaka dari Penelitian yang Telah Dilakukan Penelitian yang telah dilakukan pada tahun 1996 oleh H.Khalaf, et al. menunjukkan bahwa bentonit dapat dipilarisasi dengan Al melalui pembuatan polikation Al. Pada penelitian tersebut, kondisi optimum polikation Al dibuat dengan mencampurkan NaOH ke dalam larutan AlCl 3 sampai terbentuk rasio volume OH/Al sebesar 1,8. Setelah itu, bentonit ditambahkan pada larutan polikation Al dengan rasio Al/bentonit 4 mmol/gram, untuk selanjutnya ditambahkan CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) selaku modifier. Terlihat penambahan CTAB dapat meningkatkan basal spacing dari sekitar 1,8 nm untuk Al-bentonit menjadi 2,1 nm. Akan tetapi kalsinasi hingga lebih dari 500 0 C menyebabkan basal spacing kembali ke kondisi normal dan area permukaan bentonit menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan Al-bentonit. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka proses pemilaran pada penelitian kali ini tidak dilakukan dengan penambahan polikation Al terlebih dahulu sebelum CTAB, dan didapatkan informasi bahwa CTAB dapat dihilangkan dari bentonit pada suhu diatas 500 o C. Kloprogge, et al. pada tahun 2002 melakukan penelitian dengan menggunakan 10 jenis montmorilonit dari Miles, Queensland, Australia. Mereka membuat montmorilonit terpilar Al dengan rasio volume OH/Al 2,2 dan mengkarakterisasinya dengan XRD, ICP-AES, dan FTIR. Penelitian tersebut membuktikan montmorilonit mampu bertahan hingga suhu 600 o C. Penelitian tersebut memberikan informasi akan karakteristik bentonit terpilar Al. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh A. Tabak, et al. pada tahun 2007, dilakukan sintesis dan karakterisasi bentonit terpilar Al menggunakan bentonit turki. Penelitian tersebut menghasilkan komposisi optimum dalam pembuatan polikation Al dan bentonit terpilar Al, yaitu dengan rasio volume OH/Al 2,2 dan Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 penambahan Na-MMT hingga rasio 9 mmol Al/gr Na-MMT. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa bentonit terpilar Al dapat bertahan hingga suhu 600 o C. Sebagian besar prosedur pemilaran dilakukan berdasarkan penelitian tersebut, Namun pada penelitian kali ini tidak digunakan polikation Al saja sebagai agen pemilar, tetapi digunakan pula template CTAB. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Runliang Zhu, et al. pada tahun 2009 adalah melakukan interkalasi pada bentonit menggunakan CTAB dan polikation Al dengan variasi urutan penambahan keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur dan ukuran basal spacing Al-bentonit ditentukan oleh urutan penambahan CTAB dan polikation Al ke dalam bentonit. Apabila keduanya ditambahkan secara bersamaan/simultan ke dalam bentonit dan atau CTAB ditambahkan terlebih dahulu sebelum penambahan polikation Al, maka terbentuk basal spacing yang lebih besar dan ukuran pori yang seragam. Penambahan CTAB setelah penambahan polikation Al tidak menunjukkan perubahan basal spacing yang besar karena Al menghambat masuknya CTAB ke dalam ruang antar lapis dan membuat proses pembentukan pilar tidak sempurna, mengakibatkan ukuran pori menjadi tidak seragam. Pada penelitian kali ini, dilakukan pemilaran dengan tahapan seperti penelitian tersebut, dimana CTAB dan polikation Al ditambahkan secara bersamaan ke dalam bentonit. Akan tetapi penelitian kali ini tidak berhenti pada proses pemilaran saja, melainkan dilanjutkan dengan memodifikasi bentonit menggunakan polikation kemudian mengaplikasikannya sebagai adsorben. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Runliang Zhu, et al. pada tahun 2009 membuktikan sekali lagi, bahwa polikation Al dan CTAB mampu menginterkalasi bentonit secara bersamaan. Namun penelitian tersebut tidak ditujukan untuk membuat pilar, melainkan membuat bentonit anorganik-organik, untuk selanjutnya digunakan sebagai adsorben naftalen dan pospat. Penelitian tersebut digunakan sebagai dasar yang memperkuat proses pembuatan bentonit terpilar Al dengan template CTAB melalui penambahan CTAB terlebih dahulu sebelum Al atau keduanya dimasukkan secara bersamaan, serta memberikan informasi bahwa bentonit terinterkalasi Al dan suatu molekul bermuatan positif Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 (CTAB) masih memiliki kemampuan adsorpsi terhadap polutan organik yang bermuatan negatif. Penelitian kali ini ditujuan untuk membuat pilar, sehingga dilakukan proses kalsinasi lalu dimodifikasi dengan polikation, tidak dengan CTAB seperti yang dilakukan pada penelitian sebelumnya. CTAB hanya berfungsi sebagai template. Pada proses akhir, bentonit termodifikasi akan diaplikasikan untuk polutan organik, yaitu surfaktan. Penelitian yang dilakukan oleh Alexander B. pada tahun 2003 mempelajari interaksi antara PDDA dengan surfaktan anionik yaitu SDS dengan menggunakan media emas. Pada penelitian tersebut dihasilkan kompleks SDS-PDDA dengan cepat. Akan tetapi karena penggunaan media emas yang mahal, maka pada penelitian kali ini, digunakan bentonit dan surfaktan sebagai adsorben SDBS, dimana SDBS masih cukup banyak digunakan dalam berbegai produk pembersih rumah tangga dan industri. Interaksi antara PDDA dan SDBS dipelajari juga oleh Suvasree Mukherjee, et al. pada tahun 2011. Penelitian ini mempelajari interaksi fisika dan kimia yang terjadi antara PDDA dengan berbagai surfaktan anionik. Penelitian tersebut memberikan informasi bahwa PDDA mampu berikatan dengan baik pada SDBS. Oleh karena itu pada penelitian kali ini dilakukan modifikasi menggunakan medium zat padat yaitu bentonit sebagai tempat PDDA yang selanjutnya diaplikasikan sebagai adsorben surfaktan SDBS. II. Studi Literatur 2.1 Bentonit Bentonit adalah istilah pada lempung yang mengandung monmorillonit dalam dunia perdagangan dan termasuk kelompok dioktahedral. Nama bentonit pertama kali digunakan tahun 1896 oleh Knight untuk menamai suatu jenis lempung yang sangat plastis yang terdapat pada formasi Benton, Rock, Creek, di negara bagian Wyoming, Amerika Serikat. Bentonit dapat dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan kandungan alumunium silikat hydrous, yaitu activated clay dan fuller's Earth. Activated clay Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 adalah lempung yang kurang memiliki daya pemucat, tetapi daya pemucatnya dapat ditingkatkan melalui pengolahan tertentu. Sementara itu, fuller's earth digunakan dalam fulling atau pembersih bahan wool dari lemak. Berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua, yaitu : a. Tipe Wyoming (Na-bentonit Swelling bentonite) Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih atau krim, pada keadaan basah dan terkena sinar matahari berwarna mengkilap. Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi koloidal mempunyai pH: 8,5-9,8, tidak dapat diaktivasi, posisi pertukaran diduduki oleh ion-ion sodium (Na + ). b. Mg, (Ca-bentonit non swelling bentonite) Tipe bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi di dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik. Perbandingan kandungan Na dan Ca rendah, suspensi koloidal memiliki pH 4-7. Posisi pertukaran ion lebih banyak diduduki oleh ion-ion kalsium dan magnesium. Dalam keadaan kering bersifat rapid slaking, berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan coklat. Penggunaan bentonit dalam proses pemurnian minyak goreng perlu aktivasi terlebih dahulu. Endapan bentonit Indonesia tersebar di P. Jawa, P. Sumatera, sebagian P. Kalimantan dan P. Sulawesi, dengan cadangan diperkirakan lebih dari 380 juta ton, serta pada umumnya terdiri dari jenis kalsium (Ca-bentonit). Beberapa lokasi yang sudah dan sedang dieksploitasi, yaitu di Tasikmalaya, Leuwiliang, Nanggulan, dan lain-lain. Indikasi endapan Na-bentonit terdapat di Pangkalan Brandan; Sorolangun-Bangko; Boyolali (www.tekmira.esdm.go.id). 2.1.1.Montmorilonit (MMT) Montmorilonit merupakan anggota kelompok mineral clay. Umumnya montmorilonit membentuk kirstal mikroskopik atau setidaknya kristal micaceous Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 berlapis sangat kecil. Kandungan air sangat bervariasi dan apabila air diabsorbsi, montmorilonit cenderung mengembang sampai beberapa kali volume awal. Sifat struktur unit tetrahedral dan oktahedral ini membuat montmorilonit menjadi mineral yang bermanfaat untuk berbagai tujuan, seperti untuk dijadikan katalis dan adsorben. (www.tekmira.esdm.go.id) Struktur montmorilonit seperti halnya pilosilikat 2:1 yang lain tersusun dari lapisan tetrahedral yang mengapit lapisan oktahedral (lihat Gambar 2.1). Secara alami struktur montmorilonit mengalami proses substitusi isomorfis, dimana posisi Al 3+ digantikan oleh Mg 2+ /Fe 3+ /Fe 2+ dan Si 4+ digantikan Al 3+ . Sebagai konsekuensinya terdapat netto muatan negatif pada permukaan dan harus dinetralkan oleh kation lain, kation ini disebut kation interlayer (exchangeable cations). (Yunfei Xi, et al., 2005)
Gambar 2.1 Struktur montmorilonit (Sumber: Syuhada et al., 2009)
2.2. Polikation Al Polikation Al dengan rumus molekul [Al 13 O 4 (OH) 24 (H 2 O) 12 ] 7+ merupakan agen pemilar yang paling banyak digunakan karena mampu meningkatkan basal spacing yang paling besar dan seragam bila dibandingkan dengan menggunakan logam Ti, Zr, Fe, sebagai agen pemilar (Maes,N. et al., 1996). Struktur polikation Al dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur polikation Al model Keggin (sumber: Furrer et al., 1992)
2.3. Adsorpsi Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat pada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut. Adsorpsi secara umum adalah proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara substansi dengan penyerapnya. Definisi lain menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan pada lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu materi terkumpul pada bahan pengadsorpsi atau adsorben. Adsorpsi adalah pengumpulan dari adsorbat diatas permukaan adsorben, sedang absorpsi adalah penyerapan dari adsorbat kedalam adsorben dimana disebut dengan fenomena sorption. Materi atau partikel yang diadsorpsi disebut adsorbat, sedang bahan yang berfungsi sebagai pengadsorpsi disebut adsorben. Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi fisika (disebabkan oleh gaya Van Der Waals (penyebab terjadinya kondensasi gas untuk membentuk cairan) yang ada pada permukaan adsorben) dan adsorpsi kimia (terjadi reaksi antara zat yang diserap dengan adsorben, banyaknya zat yang teradsorbsi Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 tergantung pada sifat khas zat padatnya yang merupakan fungsi tekanan dan suhu) (Brady, 1999) 2.3.1 Isoterm Adsorpsi Isoterm adsorpsi adalah suatu model matematika yang menggambarkan distribusi dari adsorbat diantara cairan dan adsorben, berdasarkan asumsi bahwa sebagian besar berhubungan dengan heterogenitas/homogenitas dari adsorbat. Ada beberapa jenis isoterm adsorpsi yaitu isoterm adsorpsi Langmuir, Freundlich, dan Temkin (Kumar, et al., 2009). 2.4 Interkalasi Interkalasi adalah suatu penyisipan spesies tamu (ion, atom, atau molekul) ke dalam antarlapis senyawa berstruktur lapis. Schubert, et al., 2002 mendefinisikan interkalasi adalah suatu penyisipan suatu spesies pada ruang antar lapis dari padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya.Atom-atom atau molekul-molekul yang akan disisipkan disebut sebagai interkalan, sedangkan yang merupakan tempat yang akan dimasuki atom-atom atau molekul-molekul disebut sebagai interkalat. Metode ini akan memperbesar pori material, karena interkalan akan mendorong lapisan atau membuka antar lapisan untuk mengembang Menurut Ogawa dalam Rusman (1999), mekanisme pembentukan interkalasi dapat dikelompokan menjadi lima golongan, yaitu : 1. Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran kation. Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk dari pertukaran kation tamu dengan kation yang menyetimbangkan muatan lapis. Jumlah kation tamu yang dapat terinterkalasi tergantung pada jumlah muatan yang terkandung pada lapisan bahan inang. Lempung terpilar adalah salah satu contoh senyawa terinterkalasi yang diperoleh dari pertukaran kation. Spesies tamu dalam hal ini berperan sebagai pilar yang akan membuka lapisan-lapisan lempung. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 2. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol dan pembentukan ikatan hydrogen Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk jika spesies inang (host) bersifat isolator dan tidak memiliki muatan permukaan. Interaksi antaraspesies tamu dan lapisan spesies inang hanya berupa interaksi dipol dan ikatan hidrogen, oleh karena itu jenis interkalasi ini tidak stabil dan senyawa yang terinterkalasi ini dengan mudah dapat digantikan. 3. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol antara spesies tamu dan ion-ion di dalam antar lapis. Senyawa interkalasi jenis ini dapat terjadi melalui pertukaran molekul-molekul solven. Pertukaran tersebut terjadi antara molekul- molekul solven yang mensolvasi ion-ion dalam antarlapis dengan molekul- molekul tamu. Hal tersebut terjadi, jika molekul tamu mempunyai polaritas yang tinggi. Pada material lempung, molekul monomer dapat terinterkalasi melalui penggantian dengan molekul air. 4. Senyawa interkalasi yang dibentuk dengan ikatan hidrogen Bila dibandingkan dengan senyawa interkalasi yang lain, maka spesies tamu akan terikat lebih kuat di dalam spesies induk, sehingga deinterkalasi lebih sulit terjadi. 5. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari transfer muatan. Senyawa interkalasi yang terbentuk jika lapisan bahan induk bersifat konduktif.
Proses interkalasi dalam lempung dijelaskan pada Gambar 2.3. Lempung yang semula berbentuk lapisan alumino silikat, dengan masuknya interkalan Gambar 2.3. Proses Interkalasi dalam Lempung (Sumber: Yateman, 2006) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 diantara lapisan mengakibatkan lapisan terdekatnya akan terpisah menjadi lapisan alumino silikat interkalan-alumino silikat.
2.4.1 Pilarisasi Pilarisasi adalah proses dimana senyawa berlapis baik material mikro dan/atau mesopori dirubah menjadi bersifat stabil terhadap panas, dengan cara tetap mempertahankan struktur berlapisnya (Schoonheydt et al., 1999). Terdapat 3 kriteria dalam pemilaran, yaitu (i) terjadi melalui proses interkalasi, umumnya dengan proses tukar kation pada interlayer anorganik dengan kationik agen pemilar, serta mengakibatkan peningkatan d 001 spacing sekurang-kurangnya 0,7 nm, (ii) material yang terpilar harus mampu mengembang (swelling), dan (iii) basal spacing tidak berubah walaupun materi dipanaskan sekurang-kurangnya 200 o C (pada beberapa kasus hingga 700-800 o C), dalam kondisi hidrat atau anhidrat dan ketika pH divariasikan (Bergaya et al,. 1995). Mekanisme pilarisasi dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Mekanisme pilarisasi (Sumber: Vercauteren, S. et al., 1996)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 2.5 Polielektrolit Polielektrolit adalah polimer yang merupakan pengulangan dari beberapa grup elektrolit. Grup ini akan terdisosiasi dalam air, dan mengakibatkan polimer bermuatan. Polielektrolit mempunyai sifat yang mirip dengan elektrolit (garam) dan polimer (molekul berbobot besar), oleh karena itu polielektrolit juga sering disebut polysalts.(M. Hess, et al., 2006) 2.5.1 Muatan polielektrolit Asam dapat diklasifikasikan sebagai asam lemah atau kuat (begitu juga dengan basa). Demikian juga terjadi untuk polielektrolit dapat dibedakan menjadi lemah dan kuat. Polielektrolit kuat adalah yang terdisosiasi sempurna dalam larutan yang mempunyai range pH luas. Polielektrolit lemah jauh berbeda sifatnya dengan yang kuat, ia mempunyai konstanta disosiasi (pKa atau pKb) dalam daerah 2 sampai 10, ini berarti akan terjadi disosiasi parsial dalam pH intermediate. Jadi polielektrolit lemah tidak akan bermuatan sepenuhnya dalam larutan dan fraksi muatan mereka dapat dimodifikasi dengan merubah pH larutan, counter ion atau kuatnya ionik dalam larutan. 2.5.2 Konformasi polielektrolit Konformasi polimer dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu arsitektur polimer, afinitasnya terhadap pelarut, dan muatan polielektrolit. Rantai polimer linear yang tak bermuatan selalu ditemukan dalam bentuk konformasi acak dalam larutan, sedangkan dalam rantai linier polielektrolit yang bermuatan akan menolak satu sama lain (gaya Coulomb). Hal ini mengakibatkan rantai menjadi lebih terekspansi, konformasi menjadi seperti batang yang rigid. Jika larutan mengandung sejumlah garam dalam jumlah tepat, muatan polielektrolit akan ternetralkan dan akibatnya rantai polielektrolit akan kollaps menjadi konformasi yang biasa. Konformasi polimer tentu mempengaruhi banyak hal pada sistem bulk (seperti viskositas, turbiditas, dll). (R. Podgornik, M. Lier. 2006) Gambaran polielektrolit yang menempel pada substrat dapat dilihat pada Gambar 2.5. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.5.3 Poly Diallyl Dimethyl Ammonium (PDDA) Poly [diallyl(dimethyl)ammonium chloride] merupakan jenis polielektrolit bermuatan positif, atau sering disebut polikation. Formula kimia monomer diallyl dimethyl ammonium ini adalah C 8 H 16 N. Struktur PDDA dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Struktur PDDA (sumber: http://mits.nims.go.jp)
PDDA merupakan polimer kationik yang larut dalam air. Di dalam air, molekulnya berbentuk coil. Material ini mempunyai bentuk amina siklik dan terdapat amina kuarterner sebagai amina kuarterner klorida. Kemampuan untuk memodifikasi permukaan dan menyediakan karakter kationik memungkinkan peneliti menggunakan PDDA untuk menarik muatan negatif secara selektif sehingga terikat pada permukaan yang terlapisi PDDA. Ikatan antara molekul n Gambar 2.5. Gambaran polielektrolit yang menempel pada substrat (http://www.imtek.de/cpi/polyelectrolyte-brushes.php) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 negatif dengan PDDA akan mengurangi kelarutan dari polimer kationik ini (Goo Soo Lee, et al., 2001).
2.6 Surfaktan Surfaktan atau dalam bahasa Inggris disebut Surfactant (surface active agent) adalah zat yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan sistem tersebut jika diberikan dalam konsentrasi rendah. Struktur surfactant terdiri dari dua bagian, yaitu bagian ekor dan kepala. Bagian ekornya ialah bagian hidrofobik atau tidak suka air, yang artinya dibutuhkan energi yang besar untuk melakukan kontak dengan air. Bagian ekor ini terbentuk dari rantai karbon, yang sifatnya jika makin panjang makin baik untuk menangkap kotoran non polar. Bagian kepala merupakan bagian yang hirofilik atau menyukai air, yang artinya tidak diperlukan energi yang besar untuk melakukan kontak dengan air (Salanger, 2002).Struktur surfactant diperlihatkan pada Gambar 2.7.
Muatan yang terkandung pada kepala surfactant menentukan jenis surfactant itu sendiri. Jenis-jenis surfactant: a. Anionik membawa muatan negatif, contoh: Sodium Dodesyl Sulfate (SDS) CH 3 (CH 2 ) 11 OSO 3 - Na + , Natrium Stearat CH 3 (CH 2 ) 16 COO - Na + , dan Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate C 12 H 25 C 6 H 4 SO 3 - Na +
Gambar 2.7 Struktur surfactant (www.naturallycurly.com)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 b. Kationik membawa muatan positif, contoh: Dodesilamin Hidroklorida, [CH 3 (CH 2 ) 11 NH 3 ] + Cl - , Dodesiltrimetil Amonium Bromida [CH 3 (CH 2 ) 15 N(CH 3 ) 3 ] + Br - , Heksadesil Trimetilamonium Bromida (HDTMA-Br) [C 16 H 33 N(CH 3 ) 3 ] + Br - , dan Oktadesil Trimetilamonium Bromida (ODTMA-Br) [C 18 H 37 N(CH 3 ) 3 ] + Br - . c. Zwitterionik membawa muatan positif dan negatif, contoh: Dodesil Betain, CH 3 (CH 2 ) 11 NHCH 2 CH 2 COOH. d. Nonionik tidak bermuatan, contoh: Tergitol, C 9 H 19 C 6 H 4 O(CH 2 - CH 2 O) 40 H, Poliostilen laurel eter, dan C 12 H 25 O(C 2 H 4 O) 8 H.
2.6.1 N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB) Memiliki nama lain N,N,N-Trimethyltetradecylammonium Bromide; N- Hexadecyl-N,N,N-Trimethylammonium Bromide; N-Hexadecyl Trimethyl Ammonium Bromide; Palmityl Trimethyl Ammonium Bromide; Trimethyl Hexadecyl-Ammonium Bromide; 1-Hexadecanaminium, N,N,N-Trimethyl- ,Bromide. CTAB merupakan surfaktan kationik dengan rumus molekul C 19 H 42 BrN. Penggunaannya sebagai materi yang membantu proses pilarisasi bentonit dengan Al telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai basal spacing (Zhu, Runliang et al., 2009). Struktur dan ukuran CTAB dapat dilihat pada Gambar 2.8 dan 2.9.
Gambar 2.8 Struktur CTAB (Sumber: Zhu, Jianxi, et al., 2011) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 2.9 Ukuran CTAB ( Sumber: Runliang Zhu, et al., 2009)
2.6.2 Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate (SDBS) SDBS (Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate) merupakan salah satu jenis surfaktan yang digunakan sebagai bahan dasar deterjen, penggunaanya berkurang sampai ditemukannya jenis surfaktan baru yang dianggap lebih ramah lingkungan seperti LAS (Krueger, C.J, et al., 1998, dan Nielsen, et al., 1997). Akan tetapi berdasarkan data dari US EPA (Environmental Protection Agency) registration products, diketahui bahwa SDBS masih banyak digunakan dalam produk-produk seperti beberapa merk deterjen, pestisida, fungisida, dan desinfektan. SDBS selaku salah satu jenis surfaktan, memilik sifat layaknya deterjen karena bahan dasar deterjen yang memang sebagian besar terdiri dari surfaktan. Keberadaan limbah ini dalam air dapat membahayakan lingkungan dan membunuh makhluk hidup air yang ada di dalamnya karena dapat mengurangi kadar oksigen dalam air dan mengganggu kerja enzim organisme di dalamnya, contohnya ikan (Mautidina, 2000 dan Varley, 1987). SDBS memiliki rumus molekul C 18 H 29 NaO 3 S dan berbentuk garam tidak berwarna. Struktur SDBS dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Struktur SDBS(sumber: Salanger, 2002) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 2.7 Instrumen Karakterisasi 2.7.1 XRF (X-Ray Flourescence) XRF merupakan instrumen yang dapat menganalisa unsur-unsur dalam suatu senyawa. Instrumen terdiri dari sumber radiasi, tempat sampel, dan detektor. Prinsip kerja XRF dapat dilihat pada Gambar 2.11. Elektron pada kulit dalam dieksitasi oleh foton dalam wilayah sinar X. Saat terjadi proses deeksitasi, elektron berpindah dari tingkat energi tinggi untuk mengisi kekosongan pada kulit dalam. Perbedaan energi diantara kedua kulit atom tersebut muncul sebagai suatu sinar X yang diemisikan atom. Spektrum sinar X yang berasal dari proses tersebut muncul sebagai peak yang khas. Energi tiap peak dapat digunakan untuk identifikasi unsur yang ada dalam sampel (analisa kualitatif) sedangkan intensitas peak memberikan informasi kadar unsur (analisa kuantitatif) (Gunlazuardi, 2010).
Gambar 2.11. Skema kerja XRF (Sumber: http://www.goldtester.in/introduction- of-XRF-technology.html)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 2.7.2 Spektrofotometri Infra Merah (FTIR) Instrumen FTIR menggunakan sumber radiasi dalam kisaran inframerah (bilangan gelombang = 4000-400 cm -1 ). Radiasi dalam kisaran energi ini sesuai dengan kisaran frekuensi vibrasi rentangan (stretching) dan vibrasi bengkokan (bending) ikatan kovalen dalam kebanyakan molekul. Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan amplitudo vibrasi atom-atom yang saling berikatan. Panjang gelombang eksak absorbsi oleh suatu tipe tertentu ikatan, bergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu tipe ikatan yang berbeda (C-H, C-C, C-O dll) menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang berbeda. Instrument FTIR terdiri sumber cahaya (Nerst glower atau Globar), monokromator, detektor, dan sistem pengolah data (komputer). Spektum yang dihasilkan merekam panjang gelombang atau frekuensi versus % T. (Oxtoby, 2002). 2.7.3 Difraksi Sinar-X (XRD) Max von Laude menyatakan bahwa kristal dapat digunakan sebagai kisi tiga dimensi untuk difraksi radiasi elektromagnetik. Ketika radiasi elektromagnetik melewati suatu materi, terjadi interaksi dengan elektron dalam atom dan sebagian dihamburkan ke segala arah. Dalam beberapa arah, gelombang berada dalam satu fasa dan saling memperkuat satu sama lain sehingga terjadi interferensi konstruktif sedangkan sebagian tidak satu fase dan saling meniadakan sehingga terjadi interferensi destruktif (Gunlazuardi, 2005). Interferensi konstruktif tergantung pada jarak antar bidang (d), besar sudut difraksi () dan berlangsung hanya apabila memenuhi hukum Bragg : n = 2d sin n= 1, 2, 3, 2.7.4 UV-Vis Spektrofotometer Molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mengandung elektron yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Spektrofotometer UV-Vis dapat membaca transisi pada panjang gelombang antara 190-1000 nm. Berdasarkan hukum lambert-Beer, absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi, sesuai persamaan : A = . b. C A = a. b. C
Radiasi yang ditembakkan pada suatu sampel ada yang diserap dan ada yang diteruskan. Logaritma daya radiasi yang diserap per daya radiasi yang diteruskan merupakan nilai absorbansi (Gunlazuardi, 2010). Skema alat UV-Vis spektrofotometer dapat dilihat pada Gambar 2.12
Gambar 2.12 Skema kerja UV-Vis spectrofotometer (Sumber: http://bouman.chem.georgetown.edu/S00/handout/spectrometer.htm)
Cara kerja instrumentasi ini relatif sederhana. Berkas sinar dari sumber radiasi UV dan/ atau Visible dipisahkan menjadi komponen panjang gelombangnya dengan prisma ataupun diffraction grating. Setiap berkas sinar monokromatis kemudian akan dipilah menjadi dua bagian dengan intensitas yang sebanding oleh peralatan half mirror. Satu berkas sinar, berkas sampel, dilewatkan melalui wadah yang A = absorbansi = absorptivitas molar a = absorptivitas C = konsentrasi b = tebal kuvet
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 transparan (kuvet) yang berisi larutan senyawa yang dipelajari dalam pelarut yang transparan. Berkas sinar lainnya, pembanding, dilewatkan melalui kuvet yang identik dengan kuvet sampel tetapi hanya mengandung pelarutnya saja. Intensitas berkas sinar kemudian diukur dengan detektor dan keduanya dibandingkan. Intensitas dari berkas pembanding, dimana tentunya tidak mengalami proses serapan (kalaupun ada cukup kecil) ditentukan sebagai berkas dengan intensitas Io. Intensitas dari berkas sampel ditentukan sebagai I. Dalam periode waktu yang singkat, spektrometer menscan secara otomatis seluruh komponen panjang gelombang dalam daerah tertentu. Scan daerah UV umumnya dilakukan dari 200 s/d 400 nm, dan scan daerah Visible dilakukan dari 400 s/d 800 nm (Gunlazuardi, 2010).
2.7.5 Brunauer-Emmet-Teller (BET) Teori BET diperkenalkan tahun 1938 oleh Stephen Brunauer, Paul Hugh Emmett, dan Edward Teller. BET adalah singkatan dari nama ketiga ilmuwan tersebut. Teori ini menjelaskan fenomena adsorpsi molekul gas di permukaan zat padat. Kuantitas molekul gas yang diadsorpsi sangat bergantung pada luas permukaan yang dimiliki zat padat tersebut. Dengan demikian, secara tidak langsung teori ini dapat dipergunakan untuk menentukan luas permukaan zat padat (Mikrajuddin Abdullah dan Khairurrijal. 2009). BET menerangkan keadaan molekul yang teradsorpsi pada permukaan zat padat melalui persamaan berikut:
dengan P adalah tekanan kesetimbangan, Po adalah tekanan saturasi, v adalah jumlah gas yang teradsorpsi, vm adalah jumlah gas yang teradsorpsi pada satu lapis, dan c adalah konstanta BET yang memenuhi:
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 2.7.6 Transmission Electron Microscopy (TEM) TEM digunakan dalam analisis mikrostruktur, idnetifikasi defect, analisis interfasa, struktur kristal, tatanan atom pada kristal serta analisa elemental pada skala nanometer. TEM bekerja dengan prinsip menembakkan elektron ke lapisan tipis sampel, selanjutnya informasi tentang komposisi struktur dalam sampel tersebut dapat terdeteksi dari analisis sifat tumbukan, pantulan maupun fase sinar elektron yang menembus lapisan tipis tersebut. Dari sifat pantulan sinar elektron tersebut juga bisa diketahui struktur kristal maupun arah dari struktur kristal tersebut. Bahkan dari analisa lebih detail, dapat diketahui deretan struktur atom dan ada tidaknya cacat (defect) pada struktur tersebut. Hanya perlu diketahui, untuk observasi TEM ini, sampel perlu ditipiskan sampai ketebalan lebih tipis dari 100 nanometer. Dan penipisan tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, karena memerlukan keahlian dan alat khusus. Obyek yang tidak bisa ditipiskan sampai order tersebut sulit diproses. TEM mampu menghasilkan resolusi hingga 0,1 nm (1 Angstrom) atau sama dengan pembesaran hingga satu juta kali.(Mikrajuddin Abdullah dan Khairurrijal. 2009). Komponen-komponen pada TEM dapat dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Komponen-komponen TEM (Sumber: http://www.unl.edu/CMRAcfem/temoptic.htm) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 BAB III METODE PERCOBAAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia pada bulan Agustus sampai November 2011
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Proses Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain gelas piala 100 mL, 250 mL, 500 mL, dan 1000mL, labu ukur 10mL, 250 mL, 500mL, dan 1000 mL, pipet volumetri, pipet tetes, gelas beker, batang pengaduk, botol semprot, bulb, tabung reaksi, mortar, neraca analitik, oven, termometer, sentrifuge, sonikator, ayakan mesh, dan magnetic stirrer, labu ukur, corong pisah.
3.2.2 Alat Uji Alat uji yang digunakan untuk analisa dan karakterisasi adalah spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2450, FTIR Shimadzu IR Prestige-21, Difraksi sinar-X (XRD) Philip PW 1710, XRF dan BET.
3.2.3 Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bentonit alam (dari Tapanuli, Sumatera Utara), aquades, dan aquabides. Digunakan pula bahan- bahan kimia yang berkualitas pro analis dari Merck, yaitu AgNO 3 , NaCl, HCl, NaOH, metilen biru, N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl Ammonium Bromide, indikator Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 PP, H 2 SO 4 , dan kloroform. Sedangkan PDDACl dan SDBS diperoleh dari Aldrich dengan kualitas pro analis.
3.3 Prosedur kerja Prosedur kerja pada penelitian ini mengacu pada prosedur yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Irwansyah, 2007; Putra, Agung. K, 2010 dan Stephanie, Helen, 2011) dan jurnal internasional (Tabak,A, et al., 2007; Khalaf, H, et al., 1996; Kahr, G., F.T. Madsen. 1994; dan Zhu,Runliang, et al., 2009) dengan beberapa modifikasi.
3.3.1 Preparasi Montmorilonit 3.3.1.1 Preparasi Bentonit Alam
Bentonit alam yang telah digerus, dipanaskan di dalam oven pada suhu 110 0 C selama 2 jam. Bentonit yang telah kering, lalu disaring menggunakan ayakan berukuran 200 mesh dan dikarakterisasi menggunakan XRD.
3.3.1.2 Fraksinasi Sedimentasi Bentonit Sebanyak 200 gram bentonit dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambahkan 2 liter aquades. Campuran tersebut diaduk dengan stirrer selama 30 menit, kemudian didiamkan selama 5 menit. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan cara dekantasi. Endapan ini disebut sebagai fraksi satu (F1). Suspensi sisa fraksi satu didiamkan kembali selama 2 jam. Endapan yang didapat disebut sebagai fraksi dua (F2). Endapan dari fraksi dua lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 110 0 C sampai kering.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 3.3.1.3. Penjenuhan dengan NaCl Bentonit fraksi dua disuspensikan ke dalam 1000 mL larutan NaCl 1 M, kemudian distirrer selama 24 jam pada suhu 70 o C. Endapan hasil dekantasi dicuci dengan akuades hingga bebas Cl - yang dibuktikan dengan penambahan 2 tetes AgNO 3 1 M pada 10 mL filtrat sampai tidak terbentuk endapan putih AgCl. Selanjutnya endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 110 0 C. Endapan digerus dan diayak hingga berukuran 200 mesh. Na-MMT yang diperoleh di karakterisasi dengan XRD, BET dan FTIR.
3.3.2. Penentuan Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) Sebanyak 0,5 gr Na-MMT disuspensikan ke dalam 15 mL aquades dan diaduk selama 1 jam. Ditambahkan 20 mL larutan metilen biru 0,005 M setetes demi setetes dan disertai pengadukan dengan menggunakan pengaduk magnetic selama 1 jam. Setelah dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring kasar, dilakukan pengukuran absorbansi pada filtrat menggunakan UV-Vis Spectrofotometer dengan = 667 nm. Selisih konsentrasi metilen biru sebelum dan sesudah dicampurkan dengan Na-MMT digunakan untuk menghitung nilai KTK. Dibuat deret standar dari metilen biru dengan konsentrasi 3x10 -8 , 5x10 -8 , 8x10 -8 , 1x10 -7 , 3x10 -7 , 5x10 -7 , 8x10 -7 , 1x10 -6 , dan 5x10 -6 M.
3.3.3. Proses Pilarisasi Montmorilonit Membuat larutan polikation Al dengan cara menambahkan secara perlahan 660 mL NaOH 0,2 M ke dalam 300 ml AlCl 3 .6H 2 O 0,1 M (rasio OH/Al 2,2) sambil dilakukan pengadukan, lalu larutan di aging selama 2 hari. Di tempat terpisah, dibuat larutan CTAB 2% (20 gr dalam 1000 ml). Selanjutnya dilakukan penimbangan sebanyak 3,333 gr Na-MMT (agar proporsi Al/MMT yang didapat sebanyak 9 mmol/gr), untuk selanjutnya dibuat 2% suspensi Na-MMT dengan melarutkannya pada 166,665 ml aquades dan diaduk menggunakan stirrer magnetik. Proses pilarisasi kemudian dilakukan dengan mencampurkan larutan Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 CTAB dan polikation Al secara perlahan-lahan ke dalam suspensi Na-MMT, kemudian diaduk selama 24 jam. Sebagai pembanding, dibuat juga campuran polikation Al dan Na-MMT tanpa penambahan CTAB. Endapan disaring dan dicuci sampai sisa Cl - hilang (negatif terhadap uji AgNO 3 ), lalu endapan dikeringkan pada suhu 40 C selama 3 hari dan dikalsinasi secara bertahap sampai 600 C selama 3 jam. Padatan yang didapat dari pilarisasi menggunakan CTAB dan polikation Al kemudian dinamakan Al-Montmorilonit (Al(CTAB)-MMT) dan yang hanya dipilarisasi oleh polikation Al, dinamakan Al-MMT. Selanjutnya Al(CTAB)-MMT dan Al-MMT dikarakterisasi dengan FTIR, XRD dan BET.
3.3.4. Pembuatan PMAM (Polymer Modified Al(CTAB)-MMT) Dibuat larutan PDDACl; 0,04M NaCl dengan cara menambahkan 0,117 gr NaCl pada masing-masing larutan PDDACl yang kemudian diencerkan bersamaan pada labu 50 ml untuk mencapai konsentrasi PDDACl yang diinginkan, yaitu PDDACl 1x10 -5 , 1x10 -4 , 5x10 -4 , dan 1x10 -3 M. Mencampurkan masing-masing 12,5 ml larutan PDDACl;0,04M NaCl ke dalam 0,5 gr Al(CTAB)- MMT, dan di tempat terpisah juga dilakukan pencampuran antara PDDACl;0,04M NaCl dengan Na-MMT dan Al-MMT (sebagai pembanding). Campuran kemudian diaduk selama 8 jam dan diendapkan semalaman. Endapan didekantasi dan dipisahkan dari filtratnya melalui proses penyaringan dengan menggunakan kertas saring kasar dan dicuci dengan 10 ml aquabides untuk selanjutnya dikeringkan pada suhu ruang dan ditimbang hingga bobotnya tetap. Hasil endapan dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, dan konsentrasi PDDACl optimum dapat ditentukan dengan melihat luas puncak serapan N-R yang paling besar pada karakterisasi dengan FTIR dan dengan melalui perbandingan intensitas puncak serapan N-R dengan puncak serapan pembanding.
3.3.5 Aplikasi PMAM Sebagai Adsorben Surfaktan SDBS Pada 50 mg PMAM dengan konsentrasi PDDACl optimum, ditambahkan 10 ml larutan surfaktan SDBS dengan variasi konsentrasi 5x10 -5 , 1x10 -4 , 5x10 -4 , Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 1x10 -3 , 5x10 -3 ,dan 1x10 -2 M. Campuran diaduk selama 120 menit, dan diendapkan semalaman. Endapan didekantasi lalu disaring, dan filtrat disentrifugasi selama 1 jam. Konsentrasi optimum ditentukan dengan menentukan absorbansi pada filtrat (konsentrasi yang tidak terserap) dengan menggunakan metode MBAS (Lampiran 2), kemudian konsentrasi SDBS yang tidak terserap dapat diketahui melalui persamaan yang didapat dari kurva standar SDBS yang juga dibuat melalui metode MBAS. Pada konsentrasi optimum SDBS, dilakukan pencampuran lagi dengan PMAM dan digunakan variasi waktu pengadukan. Range waktu pengadukan yang digunakan yaitu 15, 45, 75, 120, dan 180 menit. Campuran diendapkan semalaman, lalu disaring dan filtrat disentrifugasi selama 1 jam. Konsentrasi SDBS yang tidak terserap ditentukan dengan mengukur absorbansi filtrat menggunakan metode MBAS. Untuk perbandingan, dilakukan juga pencampuran PMNM dan PMAMt (dari hasil pilarisasi Al-MMT) pada SDBS dengan kondisi optimum. Endapan hasil kemudian dikarakterisasi dengan FTIR, dan adsorpsi SDBS dianalisa menggunakan isoterm adsorpsi Langmuir dan Freundlich.
3.3.6 Pengujian Kekuatan Ikatan antara PDDA (dalam PMAM) dengan SDBS Pada endapan PMAM yang telah mengadsorp SDBS dalam kondisi optimum, dilakukan penambahan HCl 1x10 -3 M hingga terbentuk larutan dengan pH 3,06; 4,37; dan 4,86. Untuk setiap variasi pH, ditambahkan 2 ml HCl ke dalam 10 mg endapan, kemudian diaduk selama 45 menit dan disentrifugasi. Pencucian dengan HCl dilakukan 2x untuk masing-masing kondisi pH. Filtrat dipisahkan dan konsentrasi SDBS yang mampu ditarik oleh HCl ditentukan dengan mengukur absorbansi filtrat melalui metode MBAS dan memasukkan nilai absorbansi tersebut ke dalam kurva standar SDBS.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi Montmorilonit Sebelum bentonit digunakan lebih lanjut, dilakukan terlebih dahulu perlakuan terhadap bentonit melalui 3 tahap preparasi yaitu preparasi bentonit, fraksinasi, dan penjenuhan dengan NaCl yang kemudian ditentukan nilai kapasitas tukar kationnya. Tahapan preparasi montmorilonit bertujuan untuk memperoleh Na-MMT (Na-exchange Montmorilonit) yang kemudian akan digunakan pada tahapan-tahapan selanjutnya.
4.1.1 Preparasi bentonit alam Tahapan pertama pada proses preparasi montmorilonit adalah preparasi bentonit alam yang bertujuan untuk mempersiapkan bentonit alam yang masih banyak mengandung pengotor di dalamnya agar siap digunakan untuk proses selanjutnya. Pada tahap preparasi, bentonit digerus dan dipanaskan pada suhu 110 o C selama 2 jam guna menghilangkan air dan pengotor organik yang mudah menguap. Bentonit yang telah kering, diayak menggunakan ayakan 200 mesh agar ukuran bentonit menjadi kecil dan seragam. Ukuran yang semakin kecil akan membuat luas permukaan bentonit menjadi lebih besar dan semakin banyak zat yang mampu diserap, sedangkan penyeragaman ukuran bertujuan untuk membuat proses penyerapan yang terjadi juga seragam.
4.1.2 Fraksinasi Setelah tahapan preparasi, pada bentonit dilakukan fraksinasi agar didapatkan fraksi yang kaya akan montmorilonit. Fraksi yang kaya akan montmorilonit akan membuat proses adorpsi lebih optimal, karena montmorilonit adalah mineral utama dalam bentonit yang berperan dalam proses adsorpsi dan Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 menentukan sifat serta kualitas dari bentonit itu sendiri. Oleh karena itu, pengotor-pengotor lain seperti kalsit, kuarsa, klinoptilolit, besi oksida, feldspars dan asam humat yang masih terdapat dalam bentonit alam harus dihilangkan terlebih dahulu melalui pemurnian baik secara fisika maupun kimia (Adel Fisli, et al., 2008). Proses fraksinasi termasuk ke dalam proses pemurnian secara fisika, dimana mineral-mineral yang memiliki massa jenis lebih besar akan mengendap terlebih dahulu dan selanjutnya dipisahkan dari fraksi yang kaya akan montmorilonit yang masih membentuk suspensi di atas permukaan endapan. Montmorilonit akan mengendap lebih lama karena adanya ikatan yang lebih kuat antara lapisan silikat di dalam montmorilonit dengan air (Oktaviani, 2011). Pada penelitian ini tidak dilakukan pemurnian secara kimia seperti purifikasi karbonat karena berdasarkan hasil penelitian Irwansyah pada tahun 2007, diketahui bahwa perlakuan kimia pada bentonit dapat merusak struktur bentonit dan mengurangi kandungan montmorilonit. Proses fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Fraksi 2 (F2) setelah diendapkan selama 2 jam
4.1.3 Penjenuhan dengan NaCl Di dalam interlayer montmorilonit yang berasal dari bentonit alam, masih terdapat beraneka ragam kation seperti Li + , Mn 2+ , Pb 2+ , dan Ca 2+ yang berfungsi sebagai penyeimbang muatan untuk montmorilonit yang bersifat negatif, ukuran Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 kation-kation yang berbeda tersebut mengakibatkan ukuran interlayer tidak seragam, sehingga diperlukan penyeragaman kation melalui proses tukar kation yang semula beragam menjadi Na + . Proses tukar kation dengan Na + dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Proses tukar kation dengan Na +
(Sumber: Oktaviani, 2011, dengan modifikasi)
Proses penyeragaman kation pada penelitian ini dilakukan melalui penjenuhan dengan NaCl 1M pada fraksi 2 (F2) dengan suhu 70 o C selama 24 jam. NaCl ditambahkan dengan perbandingan (F2:NaCl) 1:20 untuk memberi kesempatan Na-MMT mengembang/swelling secara maksimal. Proses penjenuhan dengan NaCl dapat dilihat pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Proses penjenuhan dengan NaCl Na +
Kation keluar Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Penyeragaman dengan kation Na sangat penting untuk membuat montmorilonit bersifat swelling, sehingga memudahkan masuknya polikation Al dalam proses pilarisasi. Sifat swelling yang dihasilkan oleh Na-MMT diakibatkan karena ion Na + yang berada di permukaan bentonit akan berasosiasi dengan daerah yang mengalami defisiensi muatan positif pada salah satu lembar saja, sehingga di antara lembaran akan terpisah cukup jauh dan memungkinkan interaksi dengan air lebih banyak dan meningkatkan kestabilan (Irwansyah, 2007). Proses swelling Na-MMT dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Proses swelling Na-MMT (Sumber: Nelson, 2011)
Hasil endapan disaring dan dicuci menggunakan aquades hingga tidak lagi mengandung ion Cl - yang dibuktikan dengan hasil negatif terhadap pengujian dengan AgNO 3 1 M. Hasil pengujian dengan AgNO 3 pada filtrat yang masih mengandung Cl - dan pada filtrat yang telah bebas dari Cl - dapat dilihat pada Gambar 4.5. Ion Cl - harus dipastikan tidak ada lagi di dalam montmorilonit karena keberadaannya dapat mengganggu proses selanjutnya. Polikation Al dan CTAB yang akan digunakan pada proses selanjutnya memiliki muatan positif dan diharapkan mengalami proses tukar kation untuk berikatan dengan montmorilonit yang bermuatan negatif. Adanya ion Cl - menyebabkan polikation Al dan CTAB akan berikatan dengan ion Cl - dan bukan langsung berikatan dengan montmorilonit. Oleh karena itu, ion Cl - harus dipastikan benar-benar hilang dari Na-MMT. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 4.5. Hasil uji dengan AgNO 3 1 M pada filtrat yang masih mengandung Cl - (kiri) dan yang sudah bebas Cl - (kanan) Endapan selanjutnya dikeringkan pada suhu 110 o C untuk menghilangkan air dan diayak kembali dengan ayakan 200 mesh agar ukurannya kembali seragam, lalu dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR. Hasil penjenuhan dengan NaCl dinamakan Na-MMT. Perbedaan secara fisik antara bentonit alam dan Na-MMT tidak terlalu terlihat jelas, dimana Na-MMT terlihat sedikit lebih pucat dibandingkan dengan bentonit alam. Hal ini disebabkan karena pengotor- pengotor yang semula terdapat dalam bentonit alam sudah dibersihkan. Tampilan fisik bentonit alam dan Na-MMT dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6. Tampilan fisik bentonit alam (kiri) dan Na-MMT (kanan) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 4.1.4 Karakterisasi bentonit alam dan Na-MMT Karakterisasi dilakukan menggunakan XRD dan FTIR untuk mengetahui morfologi bentonit alam dan Na-MMT yang kemudian akan berguna sebagai karakterisasi awal atau pembanding dari produk-produk yang akan dihasilkan pada tahapan selanjutnya. 4.1.4.1 Karakterisasi dengan XRD Gambar 4.7 menggambarkan pola difraksi bentonit alam dan Na-MMT. Pada difraktogram tersebut terlihat bahwa tidak terdapat perubahan signifikan antara bentonit alam dengan Na-MMT yang diperjelas dengan rangkuman pada Tabel 4.1 yang menunjukkan sudut 2 dari bentonit alam dan Na-MMT.
Gambar 4.7. Difraktogram XRD bentonit alam dan Na-MMT Database montmorilonit pada Tabel 4.1 diperoleh dari Batan dengan melihat database montmorilonit yang digunakan pada instrumen XRD yang digunakan yaitu Philip PW 1710, sehingga dengan mencocokkan nilai 2 pada difraktogram bentonit alam dan Na-MMT dengan 2 pada database montmorilonit, dapat diketahui puncak mana saja yang menunjukkan puncak khas dari montmorilonit 10 20 30 40 50 60 0 100 200 300 Na-MMT Bentonit alam 2 theta i n t e n s i t a s
( a . u ) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 pada difraktogram tersebut, sedangkan untuk penentuan karakteristik puncak khas dari SiO 2 , kuarsa dan analcime, digunakan database dari penelitian yang dilakukan oleh Adel Fisli, et al. yang juga melakukan pengukuran XRD di Batan.
Tabel 4.1. Tabel puncak difraktogram XRD pada bentonit alam dan Na-MMT 2 Karakteristik Database Montmorilonit Bentonit alam Na-MMT 6,494 5,7951 6,239 Montmorilonit 17,17 17,3741 - Montmorilonit 19,891 19,903 19,6195 Montmorilonit 22,0816 21,7187 SiO 2
Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa pembuatan Na-MMT tidak menyebabkan perubahan struktur pada montmorilonit yang ditandai dengan puncak 2 yang masih menunjukkan puncak khas montmorilonit dan SiO 2 yang merupakan penyusun kerangka dasar dari montmorilonit. Selain itu pembuatan Na-MMT juga berhasil menghilangkan sebagian pengotor seperti analcime sehingga tidak terlihat adanya puncak khas analcime pada Na-MMT. Namun ternyata masih terdapat pengotor berupa kuarsa yang belum dapat dihilangkan dari Na-MMT, kemungkinan hal ini disebabkan karena kerangka dasar kuarsa yang juga terdiri dari SiO 2 sehingga membuatnya agak sulit dipisahkan dari montmorilonit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adel Fisli, et al. keberadaan kuarsa akan secara signifikan berkurang dari bentonit pada saat isolasi fraksi 3 yang didapatkan dengan cara mengendapkan kembali sisa supensi yang belum mengendap pada fraksi 2. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Puncak spektrum pada daerah sudut kecil (biasanya antara 2: 3-9), merupakan ciri khas montmorilonit yang berasal dari difraksi bidang d 001 atau yang dikenal dengan bidang ruang basal/basal spacing (Adel Fisli, et al., 2007). Puncak pada daerah tersebut akan menentukan besarnya basal spacing atau ruang antar lapis, dan perhitungannya dikenal sebagai hukum Bragg dengan persamaan: n = 2dsin Dengan nilai = 1,5406 yang dihasilkan dari sumber sinar Cu yang digunakan , nilai orde difraksi n = 1, dan puncak 2 dari bentonit alam dan Na- MMT yaitu 5,7951 dan 6,239, maka berdasarkan perhitungan pada Lampiran 3b dan 4b dapat diketahui nilai basal spacing pada bentonit alam adalah 15,2383 atau 1,52383 nm dan untuk Na-MMT adalah 14,15507 atau 1,415507 nm. Terjadi pergeseran nilai basal spacing menjadi nilai yang lebih kecil kemungkinan disebabkan karena sebagian besar ruang antar lapis (interlayer) pada bentonit alam diisi oleh kation Ca 2+
yang dibuktikan dengan pengukuran menggunakan XRF (Lampiran 3) . Ukuran ion Ca 2+ lebih besar dari Na + , dengan jari-jari ion 0,099 nm untuk Ca 2+ dan 0,095 nm untuk Na + , sehingga ruang antar lapis pada bentonit alam yang sebagian besar masih mengandung Ca 2+ lebih besar dibandingkan dengan Na-MMT yang sebagian besar kation pada ruang antar lapisnya telah digantikan dengan Na + . Perbandingan nilai jari-jari ion dan atom pada tabel periodik dapat dilihat pada Gambar 4.8. Ion Na + mampu menggantikan Ca 2+ yang bermuatan dan berukuran lebih besar karena pada pembuatan Na-MMT, dilakukan penambahan NaCl dalam konsentrasi besar. Konsentrasi Na + yang besar sangat diperlukan karena tiap 1 ion Ca 2+ akan digantikan oleh 2 ion Na + . Ion Na + mampu menggantikan Ca 2+ yang bermuatan dan berukuran lebih besar karena pada pembuatan Na-MMT, dilakukan penambahan NaCl dalam konsentrasi besar. Konsentrasi Na + yang besar sangat diperlukan karena tiap 1 ion Ca 2+ akan digantikan oleh 2 ion Na + .
Gambar 4.8. Ukuran ion dan atom dalam tabel periodik (sumber: http://boomeria.org/chemlectures/textass2/firstsemass.html)
4.1.4.2 Karakterisasi dengan FTIR Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT diperlihatkan pada Gambar 4.9. Dari Gambar 4.9 terlihat bahwa pada Na-MMT tidak muncul puncak baru bila dibandingkan dengan bentonit alam. Hal ini menjadi dasar yang menguatkan kesimpulan sebelumnya dari data XRD yang menunjukkan struktur montmorilonit tidak rusak selama pembentukan Na-MMT. Spektrum FTIR bentonit alam dan Na-MMT masih menunjukkan puncak serapan pada 3635,82 cm -1 yang menunjukkan vibrasi regang dari Al(Mg)-O-H, lalu pada 1635 cm -1 untuk vibrasi Si-O, 1041 cm -1 untuk vibrasi regang Si-O-Si, 918 cm -1 untuk vibrasi tekuk O-H (yang berikatan dengan Al 3+ ), 796 cm -1 untuk vibrasi tekuk O-H (yang berikatan dengan Mg 2+ dan Al 3+ ), dan 523,3 cm -1 untuk vibrasi tekuk Al-Si-O. Puncak serapan tersebut berasal dari beberapa komponen dasar penyusun bentonit alam yaitu SiO 2 , Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 , dan MgO. Akan tetapi bila dibandingkan intensitas dari puncak-puncak spektra tersebut, terlihat adanya penurunan intensitas pada 1041 Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 cm -1 dan 918 cm -1 yang menunjukkan gugus OH. Hal ini disebabkan karena Na- MMT telah mengalami proses preparasi sehingga kadar air di dalamnya berkurang. Selain itu puncak Si-O-Si dan Al-Si-O yang ditunjukkan pada 796 cm - 1 dan 523,3 cm -1 juga mengalami penurunan intensitas, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya pengotor-pengotor berupa kuarsa dan analcime yang juga memiliki kerangka dasar Al dan Si.
Gambar 4.9. Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT
4.1.5 Penentuan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) Setelah dilakukan sintesis Na-MMT, selanjutnya dilakukan penentuan nilai KTK dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan Na-MMT untuk mengadsorpsi kation yang menggantikan Na + . Pada penelitian ini digunakan larutan metilen biru (MB) 0,005 M yang dicampurkan ke dalam Na- MMT dan disaring, kemudian pada filtratnya dapat ditentukan konsentrasi MB yang tidak terserap, lalu dengan menghitung selisih antara konsentrasi MB awal dengan MB yang tidak terserap, maka dapat diketahui konsentrasi MB yang terserap. Proses penentuan nilai KTK dapat dilihat pada Gambar 4.10. 1000 2000 3000 4000 20 40 60 80 100 Na-MMT Bentonit alam 3635, 82 cm -1 Al(Mg)-O-H Stretching 1635 cm -1 Vibrasi Si-O 1041 cm -1 Si-O-Si Stretching 918 cm -1 OH bending (berikatan dengan 2Al 3+ ) 796 cm -1 OH bending (berikatan dengan Mg 2+ dan Al 3+ ) 523,3 cm -1 Al-Si-O bending Bilangan gelombang (cm -1 ) %
T Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Gambar 4.10 memperlihatkan bahwa intensitas warna MB dalam filtrat telah berkurang akibat terserap oleh Na-MMT. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi MB pada filtrat telah berkurang. Konsentrasi metilen biru dapat ditentukan dari kurva standar metilen biru yang diperoleh dari pengukuran menggunakan spektrofotometer Uv-Vis. Pada pengukuran deret standar metilen biru (MB), didapatkan persamaan garis yaitu y = 50093x + 0,002 dengan nilai R 2 = 0,991 (Lampiran 6a), dan nilai absorbansi dari filtrat adalah 0,05605, sehingga konsentrasi MB terserap adalah 4,998x10 -3 M. Tabel perhitungan nilai KTK dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Gambar 4.10. Endapan Na-MMT yang diberi MB (kiri) dan filtratnya (kanan)
Tabel 4.2. Tabel penentuan nilai KTK Na-MMT Konsentrasi MB awal (mol/L) Konsentrasi MB pada filtrat (mol/L) Konsentrasi MB terserap (mol/L) % MB terserap (%) Konsentrasi MB terserap (mmol/gr) Nilai KTK (meq/100 gr) 0,005 1,079x10 -6 4,998x10 -3 99,96 0,349 34,9
=663 nm, Massa Na-MMT: 0,5 gr, Volume total: 35 ml Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Terlihat pada Tabel 4.2, nilai KTK Na-MMT adalah 34,9 meq/100 gr dengan jumlah MB terserap telah mencapai 99,96%. Akan tetapi, nilai KTK yang dihasilkan tidak sebesar nilai KTK bentonit pada umumnya yang berkisar antara 50-100 meq/100 gr. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penggunaan larutan MB dengan konsentrasi yang tidak cukup besar, sehingga masih banyak Na +
dalam Na-MMT yang belum mengalami proses tukar kation dengan MB. Selain itu kemungkinan lain adalah karena masih banyaknya pengotor pada Na-MMT seperti kuarsa, sedangkan MB memiliki keselektifitasan yang tinggi pada mineral jenis smektit saja, sehingga jika ada pengotor lainnya seperti kuarsa, kristobalit, kaolinit, dll, metilen biru tidak akan terserap ke dalamnya.
Gambar 4.11. Struktur metilen biru (sumber: www.chemfamily.com)
Selain bersifat selektif, penggunaan metilen biru dikarenakan dapat menghasilkan hasil yang reprodusibel apabila dilakukan pada Na-MMT dan dalam kondisi pH netral. Saat ditambahkan ke dalam Na-MMT, metilen biru akan terserap ke dalam Na-MMT melalui proses tukar kation (G. Kahr, F.T. Madsen, 1994). Proses tukar kation terjadi karena MB memiliki gugus + N-(CH 3 ) 2 yang dapat mengalami proses tukar kation dengan ion Na + yang terdapat dalam Na- MMT. Struktur MB dapat dilihat pada Gambar 4.11. Walaupun sama-sama bervalensi 1, MB + dapat menggantikan Na + karena memiliki koefisien ikatan dengan montmorilonit yang lebih tinggi dibandingkan Na + . Nilai koefisien ikatan antara beberapa ion dengan montmorilonit dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 MB: Metilen Biru, TFT: Thioflavin Tabel 4.3. Nilai koefisien ikatan antara beberapa ion dengan montmorilonit (sumber: Bergaya, et al., 2006) Kation Koefisien Ikatan (M -1 ) Li + 0,6 Na + 1 K + 2 Cs + 200 Mg 2+ 2 Ca 2+ 4-40 Sr 2+ 5 Cd 2+ 10 MB + 10 8
TFT + 10 9
Nilai koefisien ikatan akan meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran serta muatan ion, karena semakin besar ukuran ion maka daya tarik intinya semakin kecil sehingga semakin memudahkan elektron terluar dari ion tersebut untuk berikatan dengan montmorilonit. Sedangkan muatan ion yang semakin besar akan membuat ion tersebut memiliki kekuatan yang lebih besar untuk berikatan dengan montmorilonit.
4.2 Pilarisasi Montmorilonit Proses selanjutnya adalah pilarisasi motmoriillonite dengan menggunakan polikation Al dan CTAB. Pilarisasi dilakukan dengan 2 variasi yaitu dengan penambahan polikation Al saja, dan penambahan polikation Al dan CTAB secara bersamaan. Variasi dilakukan bertujuan untuk membandingkan pengaruh penambahan CTAB terhadap proses pembentukan pilar dan bagaimana pengaruh bentuk pilar yang dihasilkan dengan adsorpsi yang terjadi. Pada dasarnya, penggunaan CTAB pada proses pemilaran ditujukan sebagai template untuk memudahkan masuknya polikation Al, menyeragamkan basal spacing atau ruang Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 antar lapis dan membuat pilar menjadi tidak terlalu rigid sehingga memudahkan masuknya PDDA pada proses selanjutnya. Pilarisasi montmorilonit didahului dengan pembuatan polikation Al dan larutan CTAB. 4.2.1 Pembuatan polikation Al Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuat larutan polikation Al terlebih dahulu dengan cara menambahkan setetes demi setetes larutan NaOH ke dalam larutan AlCl 3 yang selanjutnya dilakukan aging selama 2 hari guna menyempurnakan pembentukan polikation Al (A. Tabak, et al., 2007). Proses pembuatan polikation Al dapat dilihat pada Gambar 4.12.
Gambar 4.12. Proses pembuatan polikation Al
Penambahan NaOH setetes demi setetes ke dalam larutan AlCl 3 ditujukan agar terjadi reaksi yang optimal antara ion-ion Al 3+ dengan OH - yang pada akhirnya akan membentuk kompleks polikation alumunium dengan rumus molekul [Al 13 O 4 (OH) 24 ] 7+ . Penambahan NaOH secara setetes demi setetes juga ditujukan untuk menjaga homogenitas dari polikation spesi Al 13 7+ , sehingga dapat diperoleh polikation Al dalam jumlah besar, serta untuk mencegah terbentuknya endapan putih Al(OH) 3 , karena di dalam larutan, Al akan terhidrasi dan mengikat Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 molekul air di sekelilingnya. OH akan membentuk ikatan hidrogen dengan atom H dari air yang menghidrasi Al. Proton dari air akan lepas sehingga gugus hidroksilnya akan berikatan dengan Al membentuk endapan putih Al(OH) 3 (Dion Jamal, 2005) dengan reaksi:
Reaksi hidrolisis pembentukan spesi-spesi Al pada preparasi polikation Al: K 1,1 = 10 -5,2
+ K 1,2 = 10 -8,71
K 2,2 = 10 -6,27
K 13,24 = 10 -97,6
Proses pembuatan larutan polikation Al dan larutan CTAB berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh A. Tabak, B. Afsin, B. Caglar, dan E. Koksal pada tahun 2007, pada pembuatan polikation Al, rasio volume OH/Al optimum yang mampu meningkatkan basal spacing paling besar, adalah rasio 2,2 dengan penambahan Na-MMT optimum pada konsentrasi 9 mmol Al /gram Na-MMT, serta CTAB dengan konsentrasi 2%. 4.2.2 Pilarisasi MMT dengan polikation Al Proses pilarisasi MMT dengan polikation Al dilakukan dengan tujuan untuk membentuk pilar permanen pada interlayer MMT dengan cara menambahkan polikation Al ke dalam Na-MMT dan kemudian dikeringkan pada suhu 40 o C untuk selanjutnya dikalsinasi hingga suhu 600 o C. Pada awal penambahan polikation Al ke dalam Na-MMT (sebelum dikalsinasi), polikation Al masih bersifat labil dan mudah lepas (pilar belum terbentuk). Namun setelah proses kalsinasi, akan terjadi dehidroksilasi dan penataan ulang pada polikation Al yang semula masih berbentuk ion Keggin menjadi bentuk oksida logam (Al 2 O 3 ). Ikatan antara polikation Al dan montmorilonit dapat dilihat pada Gambar 4.13. Ion Keggin adalah model bentuk polikation Al yang pertama kali ditemukan oleh Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Keggin pada tahun 1934. Ion Keggin tersusun atas 1 Al tetrahedral sebagai atom pusat yang dikelilingi oleh 12 Al oktahedral (F. Bergaya, A. Aouad dan T. Mandalia. 2006). Reaksi yang terjadi saat proses kalsinasi adalah sebagai berikut: 13/2 + 41/2 +
Gambar 4.13. Ikatan antara pilar Al 2 O 3 dengan Si tetrahedral (Sumber: Sterte, J., Shabtai, J. 1987) Seperti yang terlihat pada Gambar 4.13, Al 2 O 3 akan berikatan dengan Si tetrahedral dari bentonit membentuk Al-O-Si (Dion Jamal, 2005). Setelah proses kalsinasi, terbentuk pilar Al 2 O 3 yang terletak di bagian interlayer sehingga antar layer menjadi lebih terbuka. 4.2.3 Pilarisasi MMT dengan polikation Al dan templateCTAB Proses pilarisasi menggunakan polikation Al dan template CTAB dilakukan dengan cara menambahkan larutan polikation Al dengan rasio volume OH/Al 2,2 dan larutan CTAB 2 % secara bersamaan ke dalam Na-MMT yang sebelumnya telah ditimbang agar diperoleh konsentrasi 9 mmol Al/gram Na- MMT dan selanjutnya dilakukan proses yang sama seperti halnya pilarisasi dengan menggunakan polikation Al saja, yaitu dilakukan pemanasan dan Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 kalsinasi. Larutan CTAB yang digunakan memiliki konsentrasi di atas nilai CMC (Critical Micelle Concentration)-nya agar terbentuk micel-micel CTAB yang memiliki ukuran seragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan ukuran basal spacing yang seragam saat digunakan sebagai template dalam proses pilarisasi. Pada pilarisasi dengan polikation Al, kalsinasi hanya ditujukan untuk membentuk pilar Al 2 O 3 , sedangkan pada pilarisasi dengan polikation Al yang disertai template CTAB, proses kalsinasi juga bertujuan untuk mendegradasi CTAB menjadi uap air, N 2 , dan CO 2 . Pada suhu di atas 500 C, surfaktan akan terdegradasi secara total, baik surfaktan yang terdapat di interlayer, maupun surfaktan yang terserap pada pilar Al-MMT (Khalaf, et al., 1996), sehingga dapat dipastikan setelah proses kalsinasi pada 600 o C, CTAB telah hilang dari montmorilonit, dan pilar Al telah terbentuk. Pada pilarisasi dengan polikation Al dan template CTAB, diharapkan polikation Al dan CTAB akan memasuki ruang antar lapis (interlayer) secara teratur dan berselang seling, sehingga setelah dikalsinasi CTAB akan hilang dan akan terbentuk ruang-ruang kosong di antara pilar Al 2 O 3 pada posisi yang sebelumnya ditempati CTAB. Ruang kosong tersebut diharapkan akan memudahkan PDDA masuk dalam interlayer pada proses selanjutnya. Gambaran posisi polikation Al dan CTAB yang diharapkan, ditunjukkan pada Gambar 4.14.
Gambar 4.14. Posisi polikation Al dan CTAB yang diharapkan (Sumber: Zhu, Runliang, et al., 2009, dengan modifikasi)
Polikation Al CTAB Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 4.2.4 Karakterisasi MMT terpilar Untuk membuktikan apakah CTAB telah berhasil dihilangkan dari Al(CTAB)-MMT, dan untuk melihat apakah ada perubahan struktur montmorilonit setelah terbentuk Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT, maka dilakukan karakterisasi menggunakan XRD dan FTIR. Selain itu juga dilakukan karakterisasi menggunakan BET untuk mengetahui luas area dari Al-MMT baik yang dibuat dengan/tanpa template CTAB, sehingga dapat diperkirakan apakah terbentuk pilar/tidak. 4.2.4.1 Karakterisasi MMT terpilar dengan FTIR Karakterisasi dengan FTIR untuk Al-MMT (tanpa CTAB) yang dibandingkan dengan Na-MMT diperlihatkan pada Gambar 4.15, menunjukkan puncak serapan yang tidak jauh berbeda. Perbedaan hanya terlihat dari menurunnya intensitas serapan Al(Mg)OH dan Si-O pada 3635,82 cm -1 dan 1635 cm -1 yang menunjukkan adanya ikatan antara Si-O dengan Al dari pilar, selain itu muncul puncak yang lebih tajam pada 496 cm -1 untuk vibrasi tekuk Al-Si-O yang menunjukkan jumlah ikatan antara Al-Si-O semakin banyak sebagai akibat ditambahkannya agen pemilar Al 2 O 3 .
1000 2000 3000 4000 40 60 80 100 120 Al-MMT (tanpa CTAB) Na-MMT 3635,82 cm -1 Al(Mg)-O-H Stretching 1635 cm -1 Vibrasi Si-O 1041 cm -1 Si-O-Si Stretching 796 cm -1 OH bending (berikatan dengan Mg 2+ dan Al 3+ ) 496- 523,3 cm -1 Al-Si-O bending Bilangan Gelombang (cm -1 ) %
T Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Gambar 4.15. Spektra FTIR untuk Al-MMT tanpa CTAB dan Na-MMT
Gambar 4.16. Spektra FTIR untuk Na-MMT, dan Al(CTAB)-MMT sebelum dan setelah kalsinasi
Karakterisasi dengan FTIR juga digunakan untuk melihat apakah CTAB yang digunakan sebagai template pada pembuatan Al(CTAB)-MMT telah berhasil dihilangkan (Gambar 4.16). Karakterisasi dilakukan terhadap Al(CTAB)-MMT sebelum dan setelah kalsinasi, untuk melihat keberadaan CTAB. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.16, spektrum FTIR pada Al(CTAB)- MMT sebelum kalsinasi masih menunjukkan adanya puncak serapan pada 2926 dan 2850 cm -1 yang merupakan serapan dari vibrasi ulur C-H, serta serapan dari vibrasi tekuk N-R pada 1445 cm -1 yang menandakan masih terdapat CTAB dalam sampel tersebut. Setelah dilakukan kalsinasi sampai suhu 600 o C, dilakukan kembali karakterisasi dengan FTIR. Terlihat serapan dari gugus C-H dan N-R yang bersumber dari CTAB telah hilang. Hal ini membuktikan bahwa Al-MMT telah bersih dari CTAB. Kalsinasi hingga suhu 600 o C juga tidak merusak struktur 1000 2000 3000 4000 20 40 60 80 100 120 Na-MMT Al-MMT sebelum kalsinasi Al-MMT setelah kalsinasi Bilangan Gelombang (cm -1 ) %
T 2926-2850 cm -1 C-H stretching 1445 cm -1 N-R bendiing Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 montmorilonit, yang terbukti dengan spektrum IR yang dihasilkan oleh Al-MMT setelah kalsinasi tidak menunjukkan perbedaan bila dibandingkan dengan Na- MMT. 4.2.4.2 Karakterisasi MMT terpilar dengan XRD Selain melihat keberhasilan pilarisasi, karakterisasi XRD juga bertujuan untuk membuktikan apakah pemanasan hingga suhu 600 C tidak merusak struktur montmorilonit terpilar (Gambar 4.17 dan Tabel 4.4). Terlihat pada Tabel 4.3, baik pada Al-MMT maupun Al(CTAB)-MMT, masih menunjukkan puncak khas montmorilonit pada 2: 8,4359; 9,0941; 19,5767; 19,6063; dan 35,71 o . Selain itu juga masih muncul puncak khas SiO 2 pada 2: 21,5883; 20,8501; dan 21,812. Hal ini menunjukkan bahwa, struktur montmorilonit tidak rusak akibat kalsinasi hingga suhu 600 C. Berbeda dengan montmorilonit terpilar, kalsinasi hingga suhu 600 C akan merusak struktur montmorilonit alami (tidak terpilar). Kekuatan hingga dapat bertahan pada suhu tinggi disebabkan pilar Al 2 O 3 yang menyangga, sehingga MMT memiliki ketahanan suhu hingga 950C (F. Bergaya, A. Aouad dan T. Mandalia. 2006).
Gambar 4.17. Difraktogram XRD bentonit alam, Na-MMT, Al-MMT, dan Al(CTAB)-MMT 10 20 30 40 50 60 0 100 200 300 400 500 600 Al(CTAB)-MMT Al-MMT Na-MMT Bentonit Alam 2 theta I n t e n s i t a s
( a . u ) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Dengan melihat difraktogram XRD pada Gambar 4.17, dapat diketahui pula proses pilarisasi telah terjadi. Hal ini ditandai dengan menurunnya intensitas pada puncak khas montmorilonit. Selain itu berdasarkan data XRD pada Tabel 4.4, dapat pula diketahui nilai pergeseran basal spacing atau ruang antar lapis dari MMT setelah mengalami proses pemilaran. Berdasarkan tabel data pada Lampiran 7 dan 8, Al-MMT yang menunjukkan puncak 2: 8,4359 o memiliki nilai basal spacing sebesar 10,4817 atau 1,04817 nm, dan Al(CTAB)-MMT yang menunjukkan puncak 2: 9,0941 o memiliki nilai basal spacing sebesar 9,72449 atau 0,972449 nm. Pergeseran nilai basal spacing pada Al-MMT dan Al(CTAB)- MMT menjadi lebih kecil dari nilai sebelumnya yaitu 14,15507 (Na-MMT) disebabkan karena kemungkinan pilar Al 2 O 3 yang terbentuk lebih cenderung untuk mengikat kedua lapisan T-O-T pada MMT secara kuat, sehingga semakin dekat jarak antar lapisnya atau basal spacingnya semakin kecil. Hasil ini tidak sesuai dengan harapan sebelumnya yang mengharapkan pilar Al 2 O 3 akan meningkatkan basal spacing akibat keberadaannya yang menyangga interlayer. Ikatan yang kuat ini kemungkinan disebabkan karena penambahan polikation Al yang terlalu banyak dan tidak memperhatikan nilai KTK dari bentonit alam yang digunakan, sehingga semakin banyak spesi Al berlebih di dalam interlayer MMT dan meningkatkan kecenderungan Al untuk semakin kuat berikatan dengan kedua lembar MMT yang memiliki muatan total negatif.
Tabel 4.4. Tabel puncak difraktogram XRD pada Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT 2 Karakteristik Database Montmorilonit Al-MMT tanpa CTAB Al-MMT dengan CTAB 8,334 8,4359 9,0941 Montmorilonit 19,936 19,5767 19,6063 Montmorilonit - 20,8501 SiO 2
21,5883 21,812 SiO 2
26,3585 26,5609 Kuarsa 35,022 35,71 - Montmorilonit Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 4.2.4.3 Karakterisasi Na-MMT, Al-MMT, dan Al(CTAB)-MMT dengan BET Untuk meramalkan pola pemilaran yang dihasilkan dari proses pilarisasi pada Al-MMT dan Al(CTAB)-MMT, maka dilakukan juga karakterisasi dengan menggunakan BET. Hasil karakterisasi menggunakan BET dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Hasil karakterisasi menggunakan BET Material Surface Area (m 2 /gr) Na-MMT 45,253 Al-MMT 83,91974 Al(CTAB)-MMT 42,1811
Seperti yang terlihat pada Tabel 4.5, luas permukaan terbesar didapatkan dari Al-MMT yang dibuat tanpa CTAB, sehingga dapat disimpulkan bahwa, pilar terbentuk paling baik pada Al-MMT tanpa penambahan CTAB. Pada Al(CTAB)- MMT terbentuk pilar yang tidak sempurna akibat adanya distribusi yang tidak merata antara polikation Al dengan CTAB, dimana akan terdapat daerah yang dominan polikation Al, dan ada daerah lain yang dominan CTAB. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Runliang Zhu, Tong Wang, et al. pada tahun 2009, dimana penambahan polikation Al dan CTAB ke dalam Na-MMT akan mengakibatkan terjadinya 2 kemungkinan, yaitu polikation Al dan CTAB terdistribusi secara merata seperti yang diharapkan, atau dapat juga terjadi distribusi yang tidak merata, sehingga saat dikalsinasi, akan terbentuk ruang antar lapis (basal spacing) yang tidak seragam. Pada daerah yang dominan CTAB, setelah dikalsinasi akan menghasilkan ruang antar lapis dan pori yang lebih kecil dari sebelumnya karena tidak ada agen pemilar (polikation Al) di dalamnya, sedangkan pada daerah yang dominan polikation Al, akan memiliki ruang antar lapis yang lebih besar. Hal ini yang membuat luas.permukaan pada Al-MMT dengan penambahan CTAB memiliki luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan Na-MMT yang tidak mengalami proses pemilaran dan Al-MMT tanpa CTAB yang mengalami proses pemilaran dengan baik . Dikarenakan belum Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 adanya alat yang mampu melihat secara jelas pola distribusi ini, maka sulit untuk menentukan secara pasti letak dari CTAB dan polikation Al ini, akan tetapi pola nya dapat diperkirakan dengan melihat pola serapan, luas area, diameter pori, dan nilai basal spacing. Gambaran pola distribusi polikation Al dan CTAB dapat dilihat pada Gambar 4.18.
Gambar 4.18. Gambaran pola distribusi yang terjadi antara polikation Al dan CTAB (Sumber: Zhu, Runliang, et al., 2009)
4.3 Modifikasi MMT dengan Polimer Proses selanjutnya yang dilakukan adalah memodifikasi Na-MMT, Al- MMT, dan Al(CTAB)-MMT dengan polikation PDDA membentuk PMNM (Polymer Modified Na-MMT), PMAMt (Polymer Modified Al-MMT), dan PMAM (Polymer Modified Al(CTAB)-MMT), kemudian dicari konsentrasi PDDA optimum yang digunakan sebagai modifier Al-MMT. Modifikasi menggunakan PDDA bertujuan untuk membuat montmorilonit yang bermuatan negatif terlapisi oleh PDDA yang bermuatan positif, sehingga dapat digunakan sebagai adsorben SDBS yang bersifat anionik atau bermuatan negatif. PDDA akan berikatan dengan MMT melalui 2 cara, yaitu menyisip pada interlayer dan melilit permukaan MMT. PDDA memiliki struktur coil, dan untuk Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 memaksimalkan penggunaannya sebagai modifier MMT, pada penelitian ini digunakan larutan PDDACl yang ditambahkan dengan NaCl 0,04 M. Penambahan NaCl bertujuan untuk menjaga kuat ion dan membuat kerangka polielektrolit membentuk pearl necklace model (Haramus, V, 2004). Bentuk kerangka seperti ini menciptakan interaksi yang sangat kuat antara polielektrolit dengan surfaktan. Bentuk pearl necklace model dapat dilihat pada Gambar 4.19.
Digunakan beragam konsentrasi PDDACl yang digunakan untuk 4.3.1 Karakterisasi PMAM Beragam konsentrasi PDDACl digunakan untuk memodifikasi Al(CTAB)- MMT untuk mendapatkan konsentrasi optimum PDDA yang akan digunakan sebagai modifier MMT. Hanya digunakan variasi konsentrasi pada Al-MMT dengan CTAB karena sebelumnya diharapkan penyerapan akan terjadi lebih baik bila menggunakan Al-MMT yang dibuat dengan CTAB, mengingat banyak ruang kosong yang sebelumnya diisi CTAB akan diisi oleh PDDA, sehingga diharapkan PDDA selain melilit MMT, juga dapat menyisip ke ruang antar lapis (interlayer). Untuk mengetahui apakah PDDACl telah terserap ke dalam Al-MMT, dilakukan pengukuran dengan FTIR dan membandingkannya dengan spektrum FTIR pada Al-MMT yang tidak dimodifikasi dengan PDDACl yang ditunjukkan pada Gambar 4.20. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.20, spektrum Al(CTAB)-MMT dan PMAM memiliki perbedaan pada bilangan gelombang 2945,3 cm -1 dan 1479,4 cm -1 . Bilangan gelombang 2945,3 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi regang gugus C-H dan 1479,4 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk dari gugus N-R yang berasal dari PDDACl. Analisa ini bersumber dari literatur (N.B. Colthup, et al., 1990) yang menunjukkan bahwa puncak serapan vibrasi regang gugus C-H akan Gambar 4.19. Pearl Necklace Model (Sumber: http://pslc.ws/macrog/electro.htm) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 muncul pada bilangan gelombang 3000-2850 cm -1 dan vibrasi tekuk gugus N-R akan ditunjukkan pada bilangan gelombang 1470-1480 cm -1 . PDDA berikatan dengan Al(CTAB)-MMT dengan cara menyelimuti permukaan Al(CTAB)-MMT dan juga terserap dalam ruang kosong yang sebelumnya ditempati oleh CTAB.
Gambar 4.20. Spektra FTIR Al(CTAB)-MMT dan PMAM 4.3.2 Penentuan adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT Proses pembuatan PMAM diawali dengan mencampurkan PDDACl dengan konsentrasi yang divariasikan antara 1x10 -5 1x10 -3 M ke dalam Al(CTAB)- MMT, kemudian mengujinya dengan FTIR dan membandingkan luas puncak serapan vibrasi tekuk N-R yang dihasilkan oleh masing-masing konsentrasi PDDACl (Lampiran 12a dan 12b). Dikarenakan ingin dilakukan pengujian secara semi kuantitatif, maka jumlah PMAM:KBr (1:10) yang digunakan pada pengukuran dengan FTIR dibuat pasti dengan cara ditimbang terlebih dahulu. Perbandingan 1:10 ini berdasarkan pada prosedur penggunaan instrumen FTIR, perbandingannya dibuat pasti agar didapatkan hasil yang representatif untuk pengukuran semi kuantitatif. Data luas puncak serapan vibrasi tekuk N-R dapat dilihat pada Tabel 4.6. 1000 2000 3000 4000 20 40 60 80 100 PMAM Al(CTAB)-MMT Bilangan gelombang (cm -1 ) %
T 3000-2850 cm -1 C-H stretching 1470-1480 cm -1 N-R bending Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Tabel 4.6. Luas puncak serapan N-R dengan variasi konsentrasi PDDA Konsentrasi PDDA (mol/L) Luas Peak (cm 2 ) 1x10 -5 0,208 1x10 -4 0,745 5x10 -4 0,398 1x10 -3 0,159
Dari data luas puncak pada Tabel 4.6, dapat dibuat kurva antara konsentrasi PDDA yang digunakan terhadap luas puncak vibrasi tekuk N-R (Gambar 4.21),. Terlihat pada konsentrasi PDDA 5x10 -4 M, dihasilkan luas puncak yang paling besar bila dibandingkan dengan konsentrasi yang lainnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa konsentrasi 5x10 -4 M adalah konsentrasi PDDA teradsorpsi secara optimal ke dalam Al-MMT. Pada konsentrasi PDDA yang semakin tinggi, mula-mula luas puncak akan meningkat sampai mencapai titik optimum karena jumlah PDDA yang teradsorpsi semakin banyak, kemudian turun kembali karena terjadi tolak menolak antara muatan positif dari PDDA.
Gambar 4.21. Kurva adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Untuk lebih meyakinkan perbandingan nilai luas kurva yang didapat, maka dilakukan juga perbandingan intensitas puncak N-R dengan intensitas pada puncak di sekitar bilangan gelombang 781,7 cm -1 , dipilih puncak pembanding ini dikarenakan puncak tersebut memiliki intensitas yang sama pada tiap variasi konsentrasi PDDA. Tabel perbandingan intensitas puncak N-R dapat dilihat pada Tabel 4.7. Dari Tabel 4.7, terlihat bahwa perbandingan intensitas terbesar terjadi pada saat konsentrasi PDDA 5x10 -4 M, sehingga semakin meyakinkan kesimpulan konsentrasi optimum terjadi pada konsentrasi PDDA 5x10 -4 M.
4.4 Aplikasi PMAM Sebagai Adsorben SDBS Pada adsorpsi SDBS oleh PMAM, dilakukan variasi konsentrasi SDBS dan waktu pengadukan, selanjutnya dibandingkan adsorpsi SDBS pada MMT yang telah dipilar dengan polikation Al dan CTAB (PMAM), MMT yang dipilar polikation Al saja (PMAMt) dan MMT yang tidak dipilar (PMNM). 4.4.1 Penentuan kondisi optimum aplikasi Kondisi optimum pada aplikasi PMAM sebagai adsorben SDBS perlu dilakukan agar didapatkan adsorpsi SDBS secara optimum. Optimasi kondisi pada aplikasi dilakukan dengan mengamati pengaruh variasi konsentrasi SDBS dan waktu pengadukan terhadap banyaknya SDBS terserap.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 4.4.1.1 Pengaruh konsentrasi awal SDBS Al-MMT yang telah dimodifikasi oleh PDDA 5x10 -4 M selanjutnya diaplikasikan sebagai adsorben surfaktan SDBS dengan cara mencampurkan PMAM ke dalam larutan SDBS dengan konsentrasi yang divariasikan antara 5x10 -5 5x10 -3 M. Setelah dilakukan penyaringan, diukur absorbansi filtrat pada =652 nm, sehingga dapat diketahui konsentrasi SDBS yang terserap dengan menghitung selisih konsentrasi awal SDBS dengan konsentrasi SDBS dalam filtrat. Konsentrasi SDBS dapat ditentukan dari kurva standar SDBS (Lampiran 13a), yang memiliki persamaan garis y = 33.488,770x + 0,115. Dari tabel perhitungan pada Lampiran 14a, selanjutnya dapat dibuat kuva pengaruh konsentrasi awal SDBS terhadap % konsentrasi SDBS yang terserap (Gambar 4.22). Dari kurva tersebut terlihat, bahwa pada konsentrasi 1x10 -3 M terjadi penyerapan yang paling besar dan selanjutnya konstan. Dapat disimpulkan pada konsentrasi 1x10 -3 M, SDBS terserap paling optimum dengan % SDBS terserap sebesar 97,91%. SDBS dapat teradsorpsi ke dalam PMAM karena gugus SO 3 - pada SDBS dapat berikatan dengan gugus (CH 3 ) 2 N + pada PMAM. Peningkatan % SDBS terserap disebabkan karena masih banyak terdapat pusat aktif pada PDDA yang belum berikatan dengan SDBS, sehingga adsorpsi masih terus meningkat. Setelah mencapai optimum tidak terjadi penambahan % SDBS yang terserap karena pusat-pusat aktif telah jenuh dengan SDBS.
t e r s e r a p Konsentrasi awal SDBS (mol/L) Gambar 4.22. Kurva pengaruh konsentrasi awal SDBS terhadap % SDBS terserap Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 4.4.1.2 Pengaruh waktu pengadukan Setelah diketahui konsentrasi optimum untuk penyerapan SDBS, selanjutnya dilakukan variasi waktu kontak guna mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan agar didapatkan penyerapan SDBS yang optimal. Dari hasil perhitungan yang ditampilkan pada Lampiran 15a, dapat dibuat kurva hubungan antara konsentrasi SDBS terserap dengan variasi waktu pengadukan (Gambar 4.23). Dari Gambar 4.23 terlihat, bahwa penyerapan optimum terjadi pada saat pengadukan selama 45 menit, dengan konsentrasi SDBS yang terserap adalah 9,93x10 -4 M dengan % SDBS terserap adalah sebesar 99,30%. Pada waktu kontak di atas 45 menit, adsorpsi SDBS mengalami penurunan namun tidak signifikan karena kemungkinan terjadi desorpsi dari SDBS pada PMAM. Untuk memastikan bahwa proses pengendapan tidak memberikan pengaruh yang terlalu signifikan, dilakukan juga variasi waktu pengadukan dengan cara langsung disentrifugasi, tidak diendapkan secara alami semalaman. Dari hasil pengujian tersebut didapatkan hasil yang tidak terlalu signifikan, sehingga data pengaruh waktu pengadukan dengan metode sebelumnya (dengan pengendapan) cukup valid. Hasil adsorpsi variasi waktu pengadukan tanpa pengendapan alami, dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Gambar 4.23 Kurva penentuan waktu pengadukan optimum untuk adsorpsi SDBS 9.87E-04 9.88E-04 9.89E-04 9.90E-04 9.91E-04 9.92E-04 9.93E-04 9.94E-04 0 50 100 150 200 K o n s e n t r a s i
S D B S
t e r s e r a p
( m o l / L ) Waktu Pengadukan (menit) Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Tabel 4.8. Tabel hasil adsorpsi dengan variasi waktu pengadukan tanpa pengendapan secara alami Variasi waktu pengadukan (menit) Konsentrasi SDBS tidak terserap (mol/L) Konsentrasi SDBS terserap (mol/L) 15 8,17x10 -5 9,18x10 -4
45 9,33x10 -5 9,06 x 10 -4
75 7,43x10 -5 9,25 x 10 -4
120 9,26x10 -5 9,07 x 10 -4
480 7,94x10 -5 9,20 x 10 -4
4.4.2 Perbandingan kemampuan adsorpsi adsorben Setelah diperoleh kondisi optimum adsorpsi SDBS pada PMAM, selanjutnya dilakukan perbandingan kemampuan adsorpsi SDBS pada PMAMt dan juga PMNM. Percobaan dilakukan pada kondisi optimum dengan konsentrasi SDBS 1x10 -3 M dan waktu pengadukan 45 menit. Data hasil adsorpsi terlihat pada Tabel 4.9. Pada data tersebut terlihat bahwa, adsorpsi terbesar dihasilkan oleh PMAM, walaupun tidak jauh berbeda dibandingkan PMNM., sedangkan PMAMt menghasilkan penyerapan yang paling jelek. Hal ini disebabkan karena PDDA lebih cenderung untuk melilit MMT, hanya sedikit yang mampu menyisip ke interlayer, dikarenakan pola distribusi polikation Al dan CTAB yang tidak merata di dalam interlayer PMAM, sehingga setelah mengalami kalsinasi mengakibatkan ruang kosong yang dapat diisi oleh PDDA menjadi tidak terlalu banyak seperti yang diharapkan bila terjadi pola distribusi yang merata. Dengan adanya ruang yang tidak terlalu banyak mengakibatkan PDDA yang mampu menyisip ke interlayer menjadi tidak signifikan jumlahnya. Sedangkan PMAMt mengalami adsorpsi yang tidak terlalu baik karena pembentukan pilar yang terlalu rigid di dalam interlayer Al-MMT, sehingga PDDA tidak lagi mampu menyisip ke dalamnya dan hanya melilit pada permukaannya saja.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 900-700 cm -1
S-O Stretching Tabel 4.9. Perbandingan kemampuan adsorpsi berbagai adsorben Jenis adsorben Absorbansi Konsentrasi SDBS tidak terserap (mol/L) Konsentrasi SDBS terserap (mol/L) % Teradsorpsi PMNM 1,04099 2,76x10 -5 0,000972 97,23% PMAMt 3,60219 0,00010413 0,000896 89,58% PMAM 0,349 6,98x10 -6 0,000993 99,30%
4.4.3 Karakterisasi PMAM-SDBS 4.4.3.1 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan FTIR Adsorben PMAM yang telah mengadsorp SDBS selanjutnya dikarakterisasi menggunakan FTIR yang ditunjukkan pada Gambar 4.24.
1000 2000 3000 4000 20 40 60 80 100 PMAM PMAM+SDBS Bilangan gelombang (cm -1 ) %
T Gambar 4.24. Spektra FTIR PMAM dan PMAM yang telah jenuh dengan SDBS Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Pada Gambar 4.24 terlihat spektrum FTIR dari PMAM yang telah mengadsorpsi SDBS menunjukkan puncak terjadi penurunan puncak serapan vibrasi tekuk N-R yang menandakan bahwa gugus sulfonat dari SDBS telah berikatan dengan gugus ammonium pada PMAM. Hal ini juga diperkuat dengan menguatnya serapan pada 816 cm -1 yang merupakan serapan dari vibrasi regang gugus S-O yang berasal dari gugus sulfonat pada SDBS.
4.4.3.2 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan TEM Untuk lebih meyakinkan lagi apakah PDDA dan SDBS telah teradsorpsi pada Al(CTAB)-MMT dan untuk mengetahui morfologi dari PMAM, maka dilakukan karakterisasi menggunakan TEM. Hasil pencitraan dengan menggunakan TEM terlihat pada Gambar 4.25. Warna bening pada TEM menunjukkan PDDA dan SDBS yang melapisi Al- MMT. Warna hitam menunjukkan Al(CTAB)-MMT. Perbedaan warna tersebut terjadi akibat adanya perbedaan densitas antara Al(CTAB)-MMT dengan PDDA dan SDBS, sehingga PDDA dan SDBS yang memiliki densitas lebih rendah akan menghasilkan warna transparan pada TEM, sedangkan Al-MMT menghasilkan warna yang lebih gelap. Hasil karakterisasi dengan TEM. (Gambar 4.25 (a) dan (b)) memperlihatkan SDBS yang terikat di bagian yang sudah terlapisi oleh PDDA membentuk rantai yang memanjang keluar di sekitar PMAM. Selanjutnya Gambar 4.25 (c) dan (d) menunjukkan bahwa PDDA telah menyelimuti permukaan Al- MMT. Hal ini menguatkan pernyataan sebelumnya yang menyimpulkan proses adsorpsi PDDA terjadi sebagian besar di permukaan Al(CTAB)-MMT. Selain itu, terlihat juga adanya rongga-rongga kosong, dimana rongga-rongga tersebut menggambarkan interlayer pada MMT, dan dari hasil pencitraan TEM juga dapat diperkirakan ukuran kristal Al(CTAB)-MMT dan PDDA yang menyelimutinya, yaitu sekitar 20 nm untuk kristal Al(CTAB)-MMT dan 30 nm untuk PDDA.
(c) (d) Gambar 4.25. Hasil karakterisasi menggunakan TEM dengan perbesaran 20.00x (a), 50.000x (b), 200.000x (c), dan 500.000x (d)
4.4.4 Isoterm Adsorpsi SDBS pada PMAM 4.4.4.1 Isoterm Adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM Isoterm adsorpsi Langmuir mengasumsikan, bahwa pusat-pusat adsorpsi pada permukaan adsorben bersifat homogen dan adsorbat teradsorpsi dengan membentuk lapisan tunggal (monolayer). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dinyatakan dengan:
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Keterangan: q e : Jumlah adsorbat terserap (mg/g) C e : Konsentrasi saat kesetimbangan dalam fasa cair (mg/L) K L dan q m : Konstanta Langmuir Plot 1/C e sebagai sumbu X dan 1/q e sebagai sumbu y akan menghasilkan kurva seperti pada Gambar 4.26:
Dari kurva isoterm adsorpsi Langmuir, didapat kelinieran yang tidak terlalu baik dimana hanya didapat nilai R 2 = 0,559.
4.4.4.2 Isoterm Adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM Isoterm adsorpsi Freundlich mengasumsikan bahwa pusat-pusat aktif permukaan adsorben bersifat heterogen. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dinyatakan dalam:
Ket: qe : Jumlah adsorbat terserap (mg/g) y = 3E-06x - 0.094 R = 0.559 -0.1 -0.05 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0 20000 40000 60000 80000 100000 1 / q e 1/C e Gambar 4.26. Kurva Isoterm adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Ce : Konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (mg/L) K : Kapasitas adsorpsi 1/n : Derajat keheterogenan permukaan adsorben
Dengan mengalurkan Log Ce dengan Log qe, maka akan didapatkan kurva isoterm adsorpsi Freundlich seperti pada Gambar 4.27.
Gambar 4.27 Kuva isoterm adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM
Dari kurva isoterm adsorpsi Freundlich, didapat kelinieran yang tidak terlalu baik dimana hanya didapat nilai R 2 = 0,772. Walaupun nilai ini masih lebih baik apabila dibandingkan dengan kurva isoterm adsorpsi Langmuir. Namun tidak dapat disimpulkan bahwa, adsorpsi mengikuti isoterm Freundlich. Kemungkinan besar adsorpsi yang terjadi tidak mengikuti keduanya, karena struktur coil di permukaan Al-MMT yang membuat adsorpsi tidak terjadi secara monolayer, dan selain pada permukaan, adsorpsi juga terjadi pada ruang antar lapis, hal ini yang y = 1.782x - 0.112 R = 0.772 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 0.5 1 1.5 2 L o g
q e Log Ce Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 mengakibatkan adsorpsi terjadi secara acak dan tidak mengikuti kedua jenis isoterm adsorpsi.
4.4.5 Pengujian kestabilan interaksi antara PDDA (dalam PMAM) dengan SDBS Kestabilan interaksi antara PDDA dalam PMAM dengan SDBS diuji dengan menggunakan HCl 10 -3 M yang selanjutnya dilakukan variasi pH. Variasi pH dilakukan atas dasar pengukuran pH larutan awal PMAM-SDBS yaitu sekitar 6,37, sehingga dipilih variasi pH di bawah nilai tersebut dengan tetap menjaga pH tetap di atas 3, karena pada pH=3, dikhawatirkan struktur MMT akan rusak. Kestabilan antara PDDA dalam PMAM dan SDBS dapat diganggu oleh HCl dengan cara memprotonasi SDBS sehingga muatannya menjadi positif dan mengalami interaksi tolak menolak dengan PDDA yang juga bermuatan positif. Hasil uji kestabilan interaksi ditampilkan pada Tabel 4.10. Pada Tabel 4.10 terlihat bahwa hingga pH 3,06 PDDA masih cukup stabil berikatan dengan SDBS, dimana hanya 6,63% SDBS yang mampu dilepaskan dalam 2x pencucian dengan HCl. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara PDDA dan SDBS, sehingga dengan perubahan pH yang cukup signifikan dan dengan perlakuan pencucian sebanyak 2x, hanya sedikit jumlah SDBS yang mampu diprotonasi dan sebagian besar masih cenderung berikatan dengan PDDA dalam PMAM. Tabel 4.10. Tabel hasil uji kestabilan interaksi PDDA dan SDBS pH Konsentrasi awal SDBS dalam PMAM Total SDBS terlepas (mol/L) Total SDBS sisa (mol/L) %SDBS terlepas 3,06 9,93x10 -4 6,58x10 -5 9,27x10 -4 6,63 4,37 9,93x10 -4 2,742x10 -5 9,66x10 -4 2,76 4,86 9,93x10 -4 2,75x10 -5 9,65x10 -4 2,77
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: a. Pilarisasi bentonit menggunakan Al dan template CTAB serta modifikasinya dengan PDDA berhasil dilakukan, dibuktikan melalui karakterisasi dengan XRD, BET, dan FTIR. b. MMT terpilar berhasil diaplikasikan sebagai adsorben SDBS dengan % penyerapan sebesar 89,58% untu PMAMt dan 99,3% untuk PMAM. Sedangkan untuk MMT tidak terpilar (PMNM) didapatkan % penyerapan sebesar 97,23%. c. Konsentrasi optimum modifikasi Al(CTAB)-MMT dengan PDDA diperoleh pada 5x10 -4 M. d. Kondisi optimum aplikasi PMAM diperoleh pada konsentrasi SDBS 1x10 -3 M dan waktu pengadukan 45 menit. e. Adsorpsi SDBS oleh PMAM tidak mengikuti isoterm adsorpsi Langmuir maupun Freundlich f. PDDA dalam PMAM memiliki kestabilan ikatan yang tinggi dengan SDBS, terbukti dengan perlakuan pH hingga 3,06 dan pencucian sebanyak 2x dengan HCl, hanya didapatkan 6,63 % SDBS terlepas.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 5.2 Saran Perlu dilakukan variasi konsentrasi CTAB dan rasio volume OH/Al yang digunakan sebagai agen pemilar, selain itu perlu dipelajari lagi bagaimana cara penambahan agen pemilar ke dalam Na-MMT agar diperoleh pola distribusi polikation Al dan CTAB yang merata.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 DAFTAR PUSTAKA
A.M. Nielsen, L. N. Britton, C. E. Beall, T. P. McCormick and G. L. Russell. 1997. Biodegradation of Coproducts of Commercial Linear Alkylbenzene Sulfonate. Environ. Sci. Technol. 31, 3397-3404 A.Tabak, B. Afsin, B. Caglar, E. Koksal, 2007.Characterization and Pillaring of Turkish Bentonite (Resadiye). Microporous Materials Adel Fisli,et al. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Montmorillonite dari Bentonit Sukabumi (Indonesia). Jurnal Sains Materi Indonesia Agung K. Putra. 2010. Sintesis CuO-Bentonit Melalui Prekursor Kompleks [Cu(NH 3 ) 4 ] 2+ untuk Fotodegradasi Zat Warna Rhodamin B. Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia Agung Rulianto, dkk. 2001. Air PDAM Diduga Mengandung Karsinogenik. www.fujiro.com (Diakses 3 Oktober 2011. Pukul 17.00) Alexander B. Artyukhin, Kevin J. Bumham, Andrei A. Leychenko, Raisa V. Talroze, dan Pieter Stroeve. 2002. Polyelectrolyte Adsorption onto a Surface- Confined Surfactant. American Chemical Society. Langmuir, 19, 2243-2248 Anonim. 2005. Informasi Mineral dan Batu Bara, Bentonit. http://www.tekmira.esdm.go.id/ (Diakses Senin, 18 Juli 2011. Pukul 18.00 WIB) Atkins, P.W., 1997, Kimia Fisika Jilid 2, Erlangga, Jakarta Brady, James, 1999, Kimia Untuk Universitas, Erlangga, Jakarta Carolyn J. Kruger, Karen M. Radakovich, et al.1998. Biodegradation of the Surfactant Linear Alkylbenzenesulfonate in Sewage-Contaminated Groundwater: A Comparison of Coloumn Experiment and Field Tracer Tests. Environ. Sci. Technol. 32, 3954-3961 Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Chaiko, D. 2002. Preparation of Organoclays with Improved Dispersibility from Smectites and Kaolin Clays by Coating Clays with Water- Soluble Polymer. (University of Chicago, USA). Pat. Appl.WOWO Chih-Huang Weng, Cha-Zen Tsai, Sue-Hua Chua, Yogesh C. Sharma. 2006. Adsorption Characteristics of Copper (II) onto Spent Activated Clay. Separation and Purification Technology 54. 187-197 D. Pentari, V. Perdikatsis, D. Katsimicha, A. Kanaki. 2009. Sorption Properties of Low Calorific Value Greek Lignites: Removal of Lead, Cadmium, Zinc, and Copper Ions from Aqueous Solutions. Journal Hazardous Material. 168. 1017-1021 D.M. MAnohar, B.F. Noeline, dan T.S. Anirudhan. 2005. Removal of Vanadium (IV) from Aqueous Solutions by Adsorption Process with Aluminum-Pillared Bentonite. American Chemical Society. Ind. Eng. Chem. Res, 44, 6676-6684 D.W Oxtoby. 2002. Principles of Modern Chemistry,Fifth Edition. NewYork: Brooks/Cole Darder M., Colilla M., Ruiz-Hitzky E. 2005. Chitosan-clay Nanocomposites: Application as Electrochemical Sensor. Appl Clay Sci. 28: 199-208 Dion Jamal. 2005. Bentonit Terpilar Al dan Daya Adsorpsinya Terhadap Ion Co 2+ , Ni 2+ , dan Cd 2+ . Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia Evi Oktaviani. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Organoclay Terinterkalasi Surfaktan Kationik ODTMABr dan Aplikasinya sebagai Adsorben Fenol. Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia F. Ayari, E. Srasra, M.Trabelsi-Ayadi. 2005. Characterization of Bentonitic Clays and Their Use as Adsorbent. Desalination 185. 391-397 F. Bergaya, A. Aouad, dan T. Mandalia. 2006. Pillared Clays And Clay Minerals. Handbook of Clay Science. Developments in Clay Science, Vol.1 Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 F. Bergaya, et al. 1995. The Meaning Surface Area and Porosity Measurements of Clays and Pillared Clays. Journal of Porous Materials 2, 91- 96 F. Bergaya, G. Lagaly, M. Vayer. 2006. Cation and Anion Exchange. Handbook of Clay Science. Developments in Clay Science, Vol.1 G Kahr, F.T. Madsen. 1994. Determination of the Cation Exchange Capacity and the Surface Area of Bentonite, Illite, and Kaolinite by Methylene Blue Adsorption. Applied Clay Science G. Furrer, Ludwig C., Schindler, P.W. 1992. On The Chemistry of the Keggin Al13 Polymer I-Acid-base Properties. Journal of Colloid and Interface Science 149, 56-67 Goo Soo Lee, Yun-Jo Lee, dan Kyung Byung Yoon. 2001. Layer-by-Layer Assembly of Zeolite Crystals on Glass with Polyelectrolytes as Ionic Linkers. J.Am.Chem.Soc. 123 (40), pp 9769-9779 H. Khalaf, O Bouras, V. Perrichon, 1996. Synthesis and Characterization of Al-pillared and cationic surfactant modified Al-pillared Algerian Bentonite. Microporous Materials 141-150 Hadrah. 2011. Pilarisasi Montmorillonit dengan [(n-C 4 H 9 ) 4 N] 2 [Mo 2 O 7 ] untuk Desulfurisasi Asam Merkaptopropanoat. Tesis Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia Haramus, V. 2004. Polymers (polyelectrolyte)/Surfactants Interactions in Aqueous Solution. Macromolecular Structure Research Helen Stephanie. 2011. Adsorpsi Surfaktan Sodium Dodecyl Sulfate dan Hexadecyltrimethylammonium-Bromide pada Zeolit Termodifikasi Polielektrolit Ganda PDDA/PSS. Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia Hendrik Heinz, RA Vaia, R Krishnamoorti & B L Farmer. 2006. Self- Assembly of Alkylammonium Chains on Montmorillonite: Effect of Chain Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Length, Head Group Structure, and Cation Exchange Capacity. American Chemical Society. http://boomeria.org/chemlectures/textass2/firstsemass.html (Diakses Rabu, 28 Desember 2011. Pukul 23.00) http://bouman.chem.georgetown.edu/S00/handout/spectrometer.htm (Diakses 29 Desember 2011. Pukul 21.00) http://mits.nims.go.jp/ (Diakses Kamis, 23 Desember 2011. Pukul 23.00) http://pslc.ws/macrog/electro.htm (Diakses Kamis, 22 Desember 2011. Pukul 01.00) http://www.goldtester.in/introduction-of-XRF-technology.html (Diakses 29 Desember 2011. Pukul 19.00) http://www.imtek.de/cpi/polyelectrolyte-brushes.php (Diakses Jumat, 28 Oktober 2011. Pukul 12.00) http://www.unl.edu/CMRAcfem/temoptic.htm (Diakses Kamis, 29 Desember 2011. Pukul 12.00) Imam Taufik. 2005. Eutrofikasi Perairan: Penyebab, Permasalahan, dan Penanggulangannya. Bogor: WARTA Penelitian Perikanan Indonesia Irwansyah. 2007. Modifikasi Bentonit Menjadi Organoclay dengan Surfaktan Heksadesil Trimetilamonium Bromida Melalui Interkalasi Metode Ultrasonik. Skripsi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia J. H. Kim, W.S.Shin, Y. H Kim, S.J Choi, Y.W. Jeon, D.I Song. 2003. Sequential Sorption and Desorption of Chlorinated Phenols in Organoclays. Water Sci. Technol 47, 59-64. J. Sterte, Shabtai, J. 1987. Cross-Linked Smectites, V.Synthesis and Properties of Hydroxy-SilicoAluminium Montmorillonites and Fluorhectorites. Clays and Clay Minerals. Vol.35 No.6. 429-439 Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 J. Theo Kloprogge, Rhys Evans, Leisel Hickey, Ray L. Frost. 2002. Characterisation and Al-Pillaring of Smectites from Miles, Queensland (Australia). Applied Clay Science 20. 157-163 J.W. Tang, P.X. Wu, S.Y. Zheng, Y. Liu, F.F. Wang, X.F. Xie. 2006. Synthesis and Photocatalytic Activity of Ti-Pillared Bentonite. Acta Geol. Sin. Engl. 80. 273-277 J.X. Zhu, L.Z. Zhu, R.L. Zhu, B.L. Chen. 2008. Microstructure of Organo- Bentonites in Water and The Effect of Steric Hindrance on The Uptake of Organic Compounds. Clays and Clay Mineral. 56 (2), 144-154 Jarnuzi Gunlazuardi. 2005. Diktat Kuliah Kimia Analisis Termal. Depok: Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia Jarnuzi Gunlazuardi. 2010. Handout Kuliah Analisis Sinar X. Depok: Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia Jarnuzi Gunlazuardi. 2010. Handout Kuliah Kimia Analisis Spektrometri. Depok: Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia Jean Salanger, Louis Salanger. 2002. Surfactants Types and Uses. Mrida: Teaching Aid in Surfactant Science and Engineering Universidad De Los Andes Jianxi Zhu, Tong Wang, et al. 2011. Expansion Characteristics of Organo Montmorillonites During the Intercalation, Aging, Drying, and Rehydration Processes: Effect of Surfactant/CEC Ratio. Colloids and Surfaces A:Physicochem Eng Aspects 384. 401-407 Kus Sri Martini, Ashadi, & Sulistyo Saputro. 2009. PengembanganMetode Regenerasi dan Kestabilan Sistem Adsorben Surfaktan Kationik Berpenyangga Montmorilonit Lokal untukMenanggulangi Polutan Organik dan Logam Berat. Artikel Ilmiah Universitas Sebelas Maret Surakarta Lev Bromberg, Christine M. Straut, Andrea Centrone, Eugene Wilusz, dan T. Alan Hatton. 2011. Montmorillonite Functionalized with Pralidoxime As a Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Material for Chemical Protection Against Organophosphorous Compounds. ACS Appl. Mater. Interfaces, 3, 1479-1484 Li Gu, Jinli Xu, Lu Ly, Bing Liu, Huining Zhang, Xin Yu, Zhuanxi Luo. 2011. Dissolved Organic Nitrogen (DON) Adsorption by Using Al-Pillared Bentonite. Desalination 269, 206-213 Liang-guo Yan, X.Q. Shan, B. Wen, G. Owens. 2007. Adsorption of cadmium onto Al-13-pillared acid-activated montmorillonite. J. Hazard. Mater. 156. 499508. Lizhong Zhu, Xiaogang Ren, dan Shaobinyu. 1998. Use of Cetyltrimethylammonium Bromide-Bentonite To Remove Organic Contaminants of Varying Polar Character from Water. Environ. Sci. Technol, 31, 3374-3378 Lizhong Zhu, Yimin Li & Jianying Zhang. 1997. Sorption of Organobentonites to Some Organic Pollutants in Water. Environment Science Technology 1997, 31, 1407-1410 M. Elimelech, M. Borkovec, dan J. Hering. 1999. Interfacial and Colloidal Phenomena in Aquatic Environtments. American Chemical Society. Vol 39 No.1 Pages 374-376 M. Hess, R.G. Jones, J. Kahovec, T. Kitayama, P. Kratochvil,et al. 2006. Terminology of Polymers Containing Ionizable or Ionic Groups and of Polymer Containing Ions. Pure Applied Chemistry, Vol. 78, No.11, pp. 2067- 2074 Maged A. Osman, Michael Ploetze & Peter Skrabal. 2004. Structure and Properties of Alkylammonium Monolayers Self-Assembled on Montmorillonite Platelets. Journal of Physical Chemistry J Phys Chem B 2004, 108, 2580-2588 Mautidina M. 2000. Uji Toksisitas Lindi Terhadap Ikan Mas. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Lingkungan, ITS, Surabaya Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Mikrajuddin Abdullah dan Khairurrijal. 2009. Karakterisasi Nanomaterial. Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. Vol. 2. No. 1 N Maes, I.Heylen, et al., 1996. The Relation Between the Synthesis of Pillares Clays and Their Resulting Porosity. Applied Clay Science N.B. Colthup, L.N. Daly, S.E Wilberley. 1990. Introduction to Infrared and Raman Spectroscopy, 3 rd edition. New York: Academic Press N.R. Sanabria, M.A. Centeno, R. Molina, S. Moreno. 2009. Pillared clays with AlFe and AlCeFe in concentrated medium: synthesis and catalytic activity. Appl. Catal. A 356. 243249. P. Senthil Kumar, K. Kirthika. 2009. Equilibrium and Kinetic Study of Adsorption of Nickel from Aqueous Solution onto Bael Tree Leaf Powder. Journal of Engineering Science and Technology Vol.4, No. 4, 351-363 Prawiro. 1985. Ekonomi Pembangunan dan Pencemaran. Jakarta: Djambatan R. Podgornik, M. Lier. 2006. Polyelectrolyte bridging interactions between charged macromolecules. Journal of colloid and interface science, Vol.11, 273-279 R.A Schoonheydt, Pinnavia T.,Lagaly G., Gangas N. 1999. Pillared Clays and Pillared Layered Solids. Pure and Applied Chemistry 71. 2367-2371 R.A. Schoonheydt, Hugo Leeman, Anita Scorpion, Ingrid Lenotte, dan P. Grobet. 1994. The Al-Pillaring of Clays. Part II. Pillaring With [Al 13 O 4 (OH) 24 (H 2 O) 12 ] 7+ . Clays and Clay Minerals Vol 42 No. 5, 518-525 R.A. Schoonheydt, Van Den Eynde, J.,Tubbax, et al., 1993. The Aluminium Pillaring of Clays. Part I. Pillaring with Dilute and Concentrated Aluminium Solutions. Clay and Clay Minerals 41, 598-607 R.B. Yu, S.D. Wang, D. Wang, J.J. Ke, X.R. Xing, N. Kumada, N. Kinomura. 2008. Removal of Cd 2+ from aqueous solution with carbon modified aluminum-pillared montmorillonite. Catal. Today 139. 135139. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Runliang Zhu, Tong Wang, et al., 2009. Intercalation of Both CTMAB and Al 13 into Montmorillonite. Journal of Colloid and Interface Science Rusman Iip Izul Falah, dan RHA Sahirul Alim. 1999. Interkalasi Cu pada Karbon Aktif dan Pemanfaatannya sebagai Katalis Dehidrasi n Amilalkohol. Indonesian Journal of Chemistry, Vol 1, No.1, hal 23-29 S. Vercauteren, J.Luyten, et al., 1996. Synthesis and Characterization of a Pillared Clay Membrane. Journal of Membrane Science 161-168 Stephen A. Nelson. 2011. Mineralogy. Earth & Environtmental Sciences 2110. Tulane University, Department of Earth & Environtmental Sciences Suvasree Mukherjee, Abhijit Dan, Subhash C. Bhattacharya, Amiya K. Panda, dan Satya P. Moulik. 2011. Physicochemistry of Interaction between the Cationic Polymer Poly(diallyldimethylammonium chloride) and the Anionic Surfactants Sodium Dodecyl Sulfate, Sodium Dodecylbenzenesulfonate, and Sodium N-Dodecanoylsarcosinate in Water and Isopropyl Alcohol-Water Media. Langmuir, 27, 52225233 Syuhada, Rachmat Wijaya, dkk. 2009. Modifikasi Bentonit (clay) menjadi Organoclay dengan Penambahan Surfaktan. Jurnal Nano Sains dan Teknologi T.S. Anirudhan, M. Ramachandran. 2006. Adsorptive Removal of Tannin from Aqueous Solutions by Cationic Surfactant-Modified Bentonite Clay. Journal of Colloid and Interface Science 299. 116-124 Tatsuya Yamazaki, Yuichiro Nakamura, dan Sentaro Ozawa. 2001. Investigation on Pore Structure Formed in a Pillared Montmorillonite Interlayer Using Adsorption Methods and a Carbonization Technique. Journal of Colloid and Interface Science 239, 440-446 Ulrirch Schubert. 2002. Synthesis of Inorganic Materials. New York: Willey- VCH, hal 45-59 Varley CH. 1987. The Environmental Fate and Effect of Detergents, Munchen. Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Wei Tan, Yihe Zhang, Yau-shan Szeto, Libing Liao. 2007. A Novel Method to Prepare Chitosan/Montmorillonite Nanocomposites in the Presence of Hydroxy-Aluminum Oligomeric Cations. Composites Science and Technology 68. 2917-2921 www.chemfamily.com (Diakses Jumat, 28 Oktober 2011. Pukul 14.30) www.naturallycurly.com (Diakses Jumat, 28 Oktober 2011. Pukul 16.00) Yateman Arryanto, Dwi Siswanto. 2006. Kajian Pengaruh Sol Logam dan Surfaktan dalam Pembuatan Lempung Terpilar Oksida Logam dengan Metode Templat Organik Berbahan Dasar Lempung Alam Bentonit. Indonesian Scientific Resource, PDII LIPI Yunfei Xi, Ray L Frost, Hongping He, Theo Kloprogge & Thor Bostrom. (2005). Modification of Wyoming Montmorillonite Surfaces Using a Cationic Surfactant. American Chemical Society Langmuir 2005, 2l, 8675-8680 Z.H. Shao, M.H. Zhou, S.H. Qiao, L.C. Lei. 2005. Diatomite Precoating Filtration of Micropolluted Water by Combination With Bentonite Adsorption Process. Environmental Science and Technology, pp. A1330-A1335 Zonghua Qin, Peng Yuan, Jianxi Zhu, Hongping He, Dong Liu, Shuqin Yang. 2010. Influences of Thermal Pretreatment Temperature and Solvent on The Organosilane Modification of Al 13+ Intercalated/Al-Pillared Montmorillonite. Applied Clay Science 50. 546-553
UV-Vis Spektrofoto meter Modifikasi dengan polimer Filtrat Aplikasi sebagai adsorben SDBS Variasi konsentrasi Preparasi Fraksinasi Penjenuhan dengan NaCl Pilarisasi MMT Penentuan nilai KTK Na-MMT + Metilen biru Al-MMT (tanpa CTAB) Al-MMT (dengan CTAB) Penentuan kondisi optimum adsorpsi Na-MMT Variasi pH Menguji kestabilan interaksi antara PDDA dengan SDBS Perbandingan kemampuan adsorpsi Kondisi optimum Variasi waktu kontak Al-MMT Isoterm adsorpsi Freundlich Langmuir Bentonit alam Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Lampiran 2: Bagan kerja penentuan surfaktan anionik SDBS (Metode MBAS)
5 ml larutan standar 1x10 -7 5x10 -5 M 5 ml filtrat (sampel) 5 ml MB 1x10 -4 M pH filtrat dinetralkan dengan menambahkan 2 tetes indikator pp, lalu 0,02 N NaOH hingga merah lembayung, dan 0,02 N H 2 SO 4 hingga larutan kembali bening Campuran Fasa air 5 ml Kloroform 5 ml Campuran Fasa kloroform Ditentukan max dan absorbansi dengan Uv-Vis spektrofotometer Ekstraksi 15 menit Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Lampiran 15a: Tabel perhitungan waktu pengadukan optimum untuk penyerapan SDBS Waktu pengadukan Konsentras i awal SDBS (mol/L) Nilai absor bansi Konsentrasi SDBS tidak terserap (mol/L) Konsentrasi SDBS terserap (mol/L) % Terser ap 15 menit 1x10 -3 0,429 9,37 x 10 -6 9,9 x10 -4 99,06 45 menit 1x10 -3 0,349 6,98 x 10 -6 9,93 x 10 -4 99,30 75 menit 1x10 -3 0,375 7,76x10 -6 9,922 x 10 -4 99,22 120 menit 1x10 -3 0,365 7,46 x 10 -6 9,925 x 10 -4 99,25 180 menit 1x10 -3 0,38 7,91 x10 -6 9,921 x 10 -4 99,21
400 500 600 700 800 0 0.5 1 Filtrat1x10 -3 Filtrat 5x10 -4 Filtrat 1x10 -4 Filtrat 5x10 -5 Filtrat 5x10 -3 (dengan 10x pengenceran) Panjang gelombang (nm) A b s o r b a n s i Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012 Lampiran 15b: Spektra UV-Vis Spektrofotometer variasi waktu pengadukan SDBS
Lampiran 16: Data isoterm adsorpsi SDBS pada PMAM Ce (mg/L) qe (mg/g) 1/Ce 1/qe Log Ce Log qe 3,6938 2,7460 94339,62 0,3642 0,5675 0,4387 4,2514 6,1193 81967,21 0,1634 0,6285 0,7867 4,8090 33,8722 72463,77 0,0295 0,6820 1,5298 7,2832 68,2324 47846,89 0,0146 0,8623 1,8339 37,2874 340,813 9345,79 0,0029 1,5716 2,5325 Ket: qe: jumlah adsorbat terserap dalam 50 mg adsorben dan 10 ml larutan SDBS Ce: konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (yang tidak terserap)
300 400 500 600 700 800 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 180 menit 120 menit 75 menit 45 menit 15 menit Panjang Gelombang (nm) A b s o r b a n s i Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012