You are on page 1of 40

ANAK TUNA LARAS DAN

KARAKTERISTIKNYA
NOVEMBER 4, 2012 BY PHIERQUINN
2.1 Pengertian Anak Tunalaras
Istilah resmi tunalaras baru dikenal dalam dunia pendidikan Luar Biasa
(PLB). Istilah tunalaras berasal dari dari kata tuna yang berarti kurang dan
laras berarti sesuai. Jadi anak tunalaras berarti anak yang bertingkah laku
kurang sesuai dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan
norma-norma yang terdapat didalam masyarakat tempat ia berada.
Penggunaan istilah tunalaras sangat bervariasi berdasarkan sudut pandang
tiap-tiap ahli yang menanganinya, seperti halnya pekerja social menggunakan
istilah social maladjustment terhadap anak yang melakukan penyimpangan
tingkah laku. Para ahli hokum menyebutnya dengan juvenile delinquency.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 disebutkan bahwa tunalaras
adalah gangnguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang
dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat. Sementara itu masyarakat lebih mengenalnya dengan istilah
anak nakal. Seperti halnya istilah, definisi mengenai tunalaras juga beraneka
ragam. Berbagai definisi yang diadaptasi oleh Lynch dan Lewis (1988)
adalah sebagai berikut.
1. Menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang pokok
pendidikan nomor 12 tahun 1952, anak tunalaras adalah individu yang
mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki
sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma
sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai
toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh
oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun
orang lain.
2. Pengertian yang hampir serupa dikemukakan dalam dokumen
kurikulum SLB bagian E tahun 1977, yang disebut tunalaras adalah (1)
anak yang mengalami gangguan/hambatan emosi dan tingkah laku
sehingga tidak/kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat; (2) anak yang
mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku di
mayarakat; (3) anak yang melakukan kejahatan.
Berangkat dari pemikiran di atas, seseorang yang diidentifikasi mengalami
gangguan atau kelainan perilaku adalah individu yang; (1) tidak mampu
mendefinisikan secara tepat kesehatan mental dan perilaku yang normal, (2)
tidak mampu mengukur emosi dan
perilakunya sendiri, dan (3) mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi
sosialisasi (Hallahan & Kauffman, 1991).
1. Public Law 94-242 (Undang-undang tentang PLB di Amerika Serikat)
mengemukakan pengertian tunalaras dengan istilah gangguan emosi,
yaitu gangguan emosi adalah suatu kondisi yang menunjukkan salah
satu atau lebih gejala-gejala berikut dalam satu kurun waktu tertentu
dengan tingkat yang tinggi yang mempengaruhi prestasi belajar:
1. Ketidakmampuan belajar dan tidak dapat dikatkan dengan factor
kecerdasan, penginderaan atau kesehatan
2. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan teman
dan guru
3. Bertingkah laku yang tidak pantas pada keadaan normal
4. Perasaan tertekan atau tidak bahagia terus-menerus
5. Cenderung menunjukkan gejala-gejala fisik seperti takut pada
masalah-masalah sekolah.
2. Kauffman (1977) mengemukakan bahwa penyandang tunalaras adalah
anak yang secara kronis dan mencolok berinteraksi dengan
lingkungannya dengan cara yang secara social tidak dapat diterima
atau secara pribadi tidak menyenangkan tetapi masih dapat diajar
untuk bersikap yang secara social dapat diterima dan secara pribadi
menyenangkan.
3. Sechmid dan Mercer (1981) mengemukakan bahwa anak tunalaras
adalah anak yang secara kondisi dan terus menerus menunjukkan
penyimpangan tingkah laku tingkat berat yang mempengaruhi proses
belajar meskipun telah menerima layanan belajar serta bimbingan,
seperti anak lain. Ketidakmampuan menjalin hubungan baik dengan
orang lain dan gangguan belajarnya tidak disebabkan oleh kelainan
fisik saraf/ intelegensia.
4. Nelson (1981) mengemukakan bahwa tingkah laku seorang murid
dikatakan menyimpang jika:
5. Menyimpang dari perilaku yang oleh orang dewasa dianggap normal
menurut usia dan jenis kelaminnya.
6. Penyimpangan terjadi dengan frekuensi dan intensitas tinggi
7. Penyimpangan berlangsung dalam waktu yang relative lama.
Dari beberpa definisi di atas dapat disimpulakn bahwa membuat definisi atau
batasan mengenai tunalars sangatlah sulit karena definisi tersebut harus
menggambarkan keadaan anak tunalaras secara jelas. Beberapa komponen
yang penting diperhatkan adalah
1. adanya penyimpangan tingkah laku yang terus-menerus menurut
norma yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar
dan penyesuaian diri
2. penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan serta
bimbingan.

2.2 Klasifikasi Anak Tunalaras
Pengklasifikasian anak tunalaras banyak ragamnya di antaranya sebagai
berikut:
1. Klasifikasi yang dikemukakan oleh Rosembra dkk. (1992) adalah anak
tunalaras dapat dikelompokkan atas tingkah laku yang beresiko tinggi
dan rendah dan yang beresiko tinggi, yaitu hiperaktif, agresif,
pembangkang, delinkuensi dan anakyang menarik diri dari pergaulan
social, sedangkan yang beresikorendah yaitu autism dan skizofrenia.
Secara umum anak tunalaras menunjukkan cirri-ciri tingkah laku yang
ada persamaannya pada setiap klasifikasi, yaitu kekacauan tingkah
laku, kecemasan dan menarik diri, kurang dewasa, dan agresif. Selain
pembagian diatas, masih banyak tingkah laku anak-anak yang dapat
digolongkan tunalaras yang belum mendapat layanan khusus, misalnya
anak merasa bahagia bila melihat api karena ingin selalu membakar
saja, anak yang suka meninggalkan rumah, penyimpangan seks, dan
sebagainya.
2. System klasifikasi kelainan perilaku yang dikemukakan oleh Quay,
1979 dala Samuel A. Kirk and James J. Gallagher (1986) yang
dialihbahasakan oleh Moh. Amin, dkk (1991): 51) adalah sebagai
berikut:
3. Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct
disorder) mengacu pada tipe anak yang melawan kekuasaan, seperti
bermusuhan dengan polisi dan guru, kejam, jahat, suka menyerang,
hiperaktif.
4. Anakyang cemas-menarik diri (anxious-withdraw) adalah anak yang
pemalu, takut-takut, suka menyendiri, peka, dan penurut. Mereka
tertekan batinnya.
5. Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu kepada anak yang
tidak ada perhatian, lambat, tidak berminat sekolah, pemalas, suka
melamun dan pendiam. Mereka mirip seperti anak autistic.
6. Anak agresi sosialisasi (socialized-aggressive) mempunyai cirri atau
masalah perilaku yang sama dengan gangguan perilaku yang
bersosialisasi dengan gang: tertentu. Anak tipe ini termasuk dalam
perilaku pencurian dan pembolosan. Mereka merupakan suatu bahaya
bagi masyarakat umum.



Dalam buku Muhammad Efendi
Dilihat dari sumber pemicu tumbuhnya perilaku menyimpang pada anak
tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi: (1) penyimpangan tingkah laku
ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi, dan (2) penyimpangan tingkah laku
sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial.
Mackie (1957) mengemukakan, bahwa anak yang dikategorikan kelainan
penyesuaian perilaku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial adalah
anak yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya. Subgrup dari
bentuk kelainan penyesuaian sosial (social maladjusted) ini
adalah delinquent. Batasan tentang deliquent itu sendiri hanya diberikan jika
anak terlibat dalam konflik atau pelanggaran hukum, children who have
came in conflict with the law (Kirk, 1970).
Penyebutan anak-anak yang pelanggar hukum aau kejahatan perilaku
terutama ditujukan pada anaka yang sudah mencapai usia sekitar 11 tahun,
dan selebihnya hingga usia 18 tahun. Hal ini disebabkan jika kejahatan
perilaku atau pelanggaran hukum dilakukan oleh usia di bawah 11 tahun
dianggap anak masih belum memahami makna perilaku yang dilakukan
tersebut, apakah termasuk dikategorikan salah atau benar. Ada dua tipe
pelanggaran atau kejahatan perilaku yang dilakukan anak kelompok ini, yaitu
perilaku kriminal seperti orang dewasa dan perilaku menentang atau
membangkang otoritas orang tua atau guru. Perilaku kriminal yang dimaksud
adalah perilaku kriminal yang lazim dilakukan oleh orang dewasa seperti
membunuh, memperkosa, mencuri, merampok, serta bentuk-bentuk kriminal
lain yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Sedangkan perilaku
pembangkangan pada anak, biasanya ditandai dengan melarikan diri dari
kehidupan rumah akibat lepas kontrol orang tua (tidak terkendali), dan
membolos dari sekolah (Trojanowicz & Morash, 1983).
Anak yang dikategorikan memiliki kelainan emosi (emotional disturb) adalah
anak yang mengalami kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan
lingkungan sosial karena adanya tekanan dari dalam (inner tension), akibat
adanya hal-hal yang bersifat neurotic atau psikotic. Indikasi anak berkelainan
emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam bentuk
kecemasan yang mendalam (anxiety, neurotism) maupun perilaku psikose.
Perilaku anak penyandang kelainan emosi dalam konteks yang lebih besar
mengalami penyimpangan penyesuaian perilaku sosial (Kirk, 1970).
Beberapa bentuk kelainan perilaku atau ketunalarasan yang dikategorikan
kesulitan penyesuaian perilaku sosial (social maladjusted) dan kelainan
emosi (emotional disturb), dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Anak kesulitan penyesuaian sosial dapat dikelompokkan menjadi
sebagai berikut:
2. Anak kelainan emosi, ekspresi wujudnya ditampakkan dalam bentuk
sebagai berikut:
3. Kecemasan mendalam tetapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan
yang dituju (anxiety neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat
untuk mempertahankan diri melalui represi.
4. Kelemahan seluruh jasmani dan rohani yang disertai dengan berbagai
keluhan sakit pada beberapa bagian badannya (astenica) yang sukar
diselesaikan. Alat untuk mempertahankan diri dari kondisi ini melalui
pnarikan diri dari pergaulan.
5. Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya
perlakuan yang kasar (hysterica konversia). Kondisi ini terjadi akibat
perlakuan kasar yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar
terhadap orang lain sebagai balas dendam untuk kepuasan dirinya.
1. Anak agresif yang sukar bersosialisasi adalah anak yang benar0benar
tidak dapat menyesuaikan diri, baik di lingkungan rumah, sekolah,
maupun teman sebaya. Sikap ini dimanifestasikan dalam bentuk
memusuhi otorita (guru, orang tua, polisi), suka balas dendam,
berkelahi, senang curang, mencela, dan lain-lain.
2. Anak agresif yang mampu bersosialisasi adalah anak yang tidak dapat
menyesuaikan diri di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat,
tetapi mereka masih memiliki bentuk penyesuaian diri yang khusus,
yaitu dengan teman sebaya yang senasib (gang). Sikap anak tipe ini
dimanifestasikan dalam bentuk agresivisme, memusuhi otorita, setia
pada kelompok, ska melakukan kejahatan pengeroyokan serta
pembunuhan.
3. Anak yang menutup diri berlebihan (over inhibited children) adalah
anak yang tidak dapat menyesuaikan diri karena neurosis. Sikap anak
tipe ini dimanifestasikan dalam bentuk over sensitive, sangat pemalu,
menarik diri dari pergaulan, mudah tertekan, rendah diri, dan lain-lain.
Sebagaimana jenis ketunaan lain, anak yang dikategorikan berkelainan
perilaku (tunalaras) dapat dikelompokkan dalam jenjang, mulai jenjang
sangat ringan sampai sangat berat. Namun demikian, tidak tersusun secara
eksplisit sebab batas antara jenjang yang satu dengan yang lain sangat tipis
dan samar. Berikut ini beberapa pedoman yang dapat digunakan sebagai
pedoman untuk menentukan intensitas berat ringannya ketunalarasan (Riadi,
1978; Patton, 1991).
1. Besar kecilnya gangguan emosi. Makin dalam perasaan negatif, makin
berat penyimpangan anak.
2. Frekuensi tindakan. Frekuensi tindakan makin sering dan tidak
menunjukkan penyesalan dalam melakukan perbuatan kurang/ tidak
baik, makin dianggap berat penyimpangan atau kenakalannya.
3. Berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Dengan pertimbangan
peraturan hukum pidana dapat diketahui berat ringannya pelanggaran,
termasuk sanksi hukumnya.
4. Tempat dan situasi pelanggaran/ kenakalan dilakukan. Anak yang
berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan tingkat
keberatannya dibanding dengan apabila dilakukan di rumah atau di
sekolah.
5. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku bauk. Para
pendidik atau orang tua dapat mengetahui seberapa jauh tingkat
penyimpangan melaui cara yang digunakan untuk memperbaiki anak.
6. Tunggal atau gandanya ketunaan yang dialami. Jika anak tunalaras
mempunyai ketunaan lain, maka dia termasuk dalam kategori berat
dalam pembinaannya.
Penggunaan kriteria di atas sekaligus dapat digunakan sebagai pedoman
pelaksanaan penerapan pemisahan untuk keperluan pembinaan atau
pendidikannya.
Walaupun karakteristik anak tunalaras sosial dan tunalaras emosi ada
perbedaan jika dilihat muara tumbuh kembangnya, namun dilihat dari wujud
perilaku yang ditampakkan keduanya menunjukkan gejala perilaku yang
serupa, yaitu ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Apabila dicermati secara saksama, memang sosok pendrrita tunalaras emosi
tidak selalu menunjukkan tingkah laku seperti yang terjadi pada tunalaras
sosial. Atas dasar itulah timbul pendapat bahwa perilaku tunalaras emosi
tidak disamakan dengan perilaku tunalaras sosial, sepanjang tingkah laku
tersebut tidak menimbulkan konflik dengan kehidupan orang lain, may be
considered emotionally disturb but not necessary sosially maladjusted since
his behavior or lack of it does not confict with the live others (Kirk, 1970).
Namun demikian, apa pun kondisinya anak berkelainan perilaku sosial
karena secra fungsional kesulitan meyesuaikan diri (socially maladjusted)
maupun karena gangguan emosi serius (seriously emotionally disturbed),
yang jelas kondisi tersebut sangat merugikan, karena dapat berpengaruh pada
unjuk kerja yang bersangkutan dalam pendidikan, yaitu (1) anak tidak
mampu belajar karena tidak dapat dijelaskan melalui faktor kesehatan,
kemampuan sensoris, dan kecerdasan, (2) anak tidak mampu memelihara
hubungan timabal balik yang menyenangkan, baik denan kelompok sebaya
maupun dengan gurunya, (3) anak tidak mampu mewujudkan perilaku dan
perasaan tepat di bawah kondisi yang normal (Hallahan & Kauffman, 1991).

Dalam buku Psikologi anak luar biasa, Sutjihati Soemantri klasifikasi anak
tunalaras secara garis besar menjadi dua, yaitu:
1. Anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial dan
2. Anak yang mengalami gangguan emosi
Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan besar dan ringannya
kelainan yang dialaminya.

William M. Cruickshank (1975:567) mengemukakan bahwa mereka yang
mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan kedalam kategori berikut:

a. The semi-socialize child
Anak yang termasuk kelompok ini adalah yang dapat mengadakan hubungan
sosial tetapi terbatas dalam lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan
kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan
yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut
bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Di lingkungan
sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka
seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh
peraturan diluar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada
suatu masalah dengan lingkungan diluar kelompoknya.

b. Children arrested at a primitive level or socialization
Anak dalam kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level
atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat
bimbigan kearah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia
melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak ini
dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat
memberikan respon pada perlakuan yang ramah.


c. Children with minimum socialization capacity
Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar
sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak
pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini
bersikap apatis dan egois.
Demikian pula anak yang mengalami gangguan emosi, mereka dapat
diklasifikasikan menurut berat/ringannya masalah atau gangguan yang
dialaminya. Anak-anak ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan tingkah
laku dengan lingkungan sosialnya kaena ada tekanan-tekanan dari dalam
dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan
sebagai berikut:

a. Neurotik behavior (perilaku neurotik)
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi
mereka mempunyai permasalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya.
Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan
marah, cemas dan agresif, serta rasa bersalah disamping juga kadang-kadang
mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh
anak unsocialized (mencuri, bemusuhan). Anak pada kelompok ini dapat
dibantu dengan terapi seorang konselor.
Keadaan neurotk ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga
yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh
pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan
belajar yang berat.

b. Children with psycotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga
memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari
kehidupan yang nyata, sehingga tidak memilki kesadaran diri serta tidak
memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan
pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya: minuman keras
dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulangannya lebih sulit
karena anak tidak dapat berkomunikasi sehingga layanan pendidikan harus
disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan
yang memungkinkan.
Kiranya jelas bahwa kelompok neurotik, anak mengalami gangguan yang
sifatnya fungsional, sedangkan pada kelompok psikotis disamping
mengalami gangguan fungsional, anak juga mengalami gangguan yang
sifatnya organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk kelompok
psikotis kadang-kadang memerlukan perawatan medis.

Karakteristik Anak Tunalaras
Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1986),
berdasarkan dimensi tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai berikut.
1. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku, memperlihatkan cirri-
ciri: suka berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk membangkang,
menantang, merusak milik sendiri atau milik orang lain, kirang ajar,
lancang, melawan, tidak mau bekerja sama, tidak mau memperhatikan,
memecah belah, rebut, tidak bias diam, menolak arahan, cepat marah,
menganggab entengg, sok aksi, ingin menguasai orang lain,
mengancam, pembohong, tidak dapat dipercaya, suka berbicara kotor,
cemburu, suka bersoal jawab, tak sanggub berdikari, mencuri,
mengejek, menyangkal, berbuat salah, egois, dan mudah terpengaruh
untuk berbuat salah.
2. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan cirri-ciri
khawatir, cemas, ketakutan, kaku, pemalu, segan, menarik diri,
terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih, terganggu, rendah diri,
dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang, sering menangis,
pendiam, suka berahasia.
3. Anak yang kurang dewasa, dengan cirri-ciri, yaitu pelamun, kaku,
berangan-angan, pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk,pembosan, dan
kotor.
4. Anak yang agresif bersosialisasi, dengan cirri-ciri, yaitu mempunyai
komplotan jahat, mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap teman
nakal, berkelompok dengan geng, suka diluar rumah sampai larut
malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.

Berikut ini akan dikemukakan karakteristik yang berkaitan dengan segi
akademik, social/emosional, fisik/kesehatan anak tunalaras.
1. 1. Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku akan mengakibatkan adanya penyesuaian social dan
sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang brurk tersebut maka dalam
belajarnya memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut.
1. Pencapaian hasil belajar yang jauh dibawah rata-rata
2. Seringkali dikirim ke kepala sekolah atau ruangan bimbingan untuk
tindakan discipliner.
3. Seringkali tidak naik kelas atau bahkan ke luar sekolahnya
4. Sering kali membolos sekolah
5. Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan alasan sakit, perlu
istirahat
6. Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat panggilan
dari petugas kesehatan atau bagian absensi
7. Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi
8. Lebih sering menjalani masa percobaab dari yang berwenang
9. Lebih sering melakukan pelanggaran hokum dan pelanggaran tanda-
tanda lalu lintas
10. Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan
11. 2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik social/emosional anak tunalaras dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Karakteristik social
1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan cirri-
ciri: perilaku tidak diterima oleh masyarakat dan biasanya melnggar norma
budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga.
2) Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak
mengikuti aturan, bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang
atau menentang, dan tidak dapat bekerja sama.
1. Karakteristik emosional
1) Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti
tekanan batin dan rasa cemas.
2) Adanya rasa gelisah, seperti rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan
sangat sensitive atau perasa.
1. 3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunalaras ditandai dengan adanya
gangguan makan, gangguan tidur, dan gangguan gerakan (tik). Seringkali
anak merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada jasmaninya, ia mudah
mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap kesehatannya, merasa seolah-
olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan fisik, seperti gagap, buang
air tidak terkendali, sering mengompol dan jorok.

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Ketunalarasan
Penelitian tentang penyebab terjadinya kelainan perilaku atau ketunalarasan
telah banya dilakukan. Secara umum penyebab terjadinya ketunalarasan
dapat diklasifikasikan, yaitu: (1) faktor penyebab bersifat internal, dan (2)
faktor penyebab yang bersifat eksternal. Faktor penyebab internal
adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu
sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya. Sedangkan faktor
penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang bersifat di luar individu
terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah
(Patton, 1991).
Faktor Internal
1. Kondisi/Keadaan Fisik
Telah banyak tulisan maupun penelitian yang mengupas masalah
kondisi/keadaan fisik dalam kaitannya dengan masalah gsangguan tingkah
laku, baik yang merupakan akibat langsung maupun yang tidak langsung.
Ada sementara ahli yang meyakini bahwa disfungsi kelenjar endokrin dapat
mempengaruhi timbulnya tingkah laku, atau dengan kata lain kelenjar
endokrin berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Bahkan dari
hasil penelitiannya, Gunzburg (dalam Simanjuntak, 1947) menyimpulkan
bahwa disfungsi kelenjar endokrin merupakan salah satu penyebab timbulnya
kejahatan. Kelenjar endokrin ini mengeluarkan hormon yang mempengaruhi
tenaga seseorang. Bila terus-menerus fungsinya mengalami gangguan, maka
dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang
sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun
sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang
dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi
kebutuhan baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan
psikisnya.
Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif
dari lingkungan. Sebagai akibatnya, timbul perasan rendah diri, perasaan
tidak berdaya/tidak mampu, mudah putus asa, dan merasa tidak berguna
sehingga menimbulkan kecenderungan menarik diri dari lingkungan
pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif, atau bahkan
memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasihan lingkungan. Dengan
demikian jelaslah bahwa kondisi/keadaan fisik yang dinyatakan secara
langsung dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak langsung dalam reaksi
menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi penyesuaian diri seseorang.



2. Masalah Perkembangan
Erikson (dalam Singgih D. Gunarsa, 1985:107) menjelaskan bahwa setiap
memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai
tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini
jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses
kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi
mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi
sehingga individu dapat mnyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebaliknya
apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan
menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terutama
terjadi pada masa kanak-kanak dan pubertas.
Adapun ciri yang menonjol pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan
keras kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak yang sedang
menemukan aku-nya. Anak jadi marasa tidak puas dengan otoritas
lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak, misalnya:
marah, menentang, memberontak, dan keras kepala.

1. 3. Keturunan
Model konseptual dalam pendekatan biologi memandang bahwa apa yang
dimiliki anak berkaitan dengan faktor genetik (Hallahan & Kauffman, 1991).
Faktor genetik memberikan konstribusi terhadap
kondisiSchizophrenia (Plomin, 1989). Walaupun demikian, untuk gangguan
perilaku dalam kategori sedang dan berat secara spesifik tetap masih dalam
misteri. Contoh anak autisme adalah bentuk kekacauan neurologis, tetapi
penyebab kelainan neurologis tersebut tidak dapat diketahui (Hallahan &
Kauffman, 1991).
Salah satu hasil penelitian spektakuler di bidang biologi tentang rekayasa
genetika telah dibuat mendell. Hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa
keturunan mempunyai peranan kuat dalam meahirkan generasi
berikutnya.implementasi teori tersebut dalam identifikasi ketunalarasan
bahwa keturunan memberikan banyak bukti bayi yang dilahirkan dalam
keadaan abnormal berasal dari keturunan yang abnormal pula. Keabnormalan
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang tuanya memberikan
konstribusi ketunalarasan kepada generasi berikutnya (Patton, 1991).
Beberapa perilaku menyimpang tersebut diantaranya kawin sedarah, seks
maniak, alkoholisme, kleptomania, gangguan kepribadian, dan lain-lain.
1. 4. Faktor Psikologis
Meier dalam penelitiannya, menghubungkan antara variabel frustasi dengan
perilaku abnormal memperoleh kesimpulan bahwa seorang yang mengalami
kesulitan memecahkan persoalan akan menimbulkan perasaan frustasi. Akiat
frustasi tersebut akan timbul konflik kejiwaan. Bagi individu yang memiliki
stabilitas kepribadian yang baik, konflik psikologis tersebut dapat
diselesaikan dengan baik. Namun, bagi mereka yang memiliki kepribadian
neurotik, konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. Akibatnya,
timbul perilaku menyimpsng sebagai defence mechanism. Perilaku-perilaku
tersebut diantaranya agresivisme (suka memberontak, mencela, memukul,
merusak), regresivisme (perilaku yang kekanak-
kanakan), resignation (perilaku yang kehilangan arah karena
ketidakmampuan mewujudkan keinginannya karena tekanan otoritas).
1. 5. Faktor Biologis
Hubungan faktor biologis secara khusus dengan keadaan kelainan perilaku
dan emosi sangat jarang ditemukan, sebab kelainan perilaku dan kelainan
emosi tidak dapat dideteksi melalui kerusakan biologis. Adakalanya perilaku
anak termasuk normal, tetapi yang bersangkutan mengalami kerusakan
biologis serius; dan sebaliknya anak secara fisik normal , tetapi menunjukkan
gangguan emosi dan perilaku secara serius. Hal yang pasti adalah anak lahir
dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan styleperilaku
(temperamen). Anak yang mengalami kesulitan menempatkan
temperamennya, akan memberikan kecenderungan untuk berkembangnya
kondisi kelainan perilaku dan emosi. Faktor-faktor yang memberikan
konstribusi terhadap buruknya temperamen seseorang antara lain penyakit,
malnutrisi, trauma otak (Hallahan & Kauffman, 1991).
Dari pemeriksaan electro encephalogram (EEG) ditemukan, bahwa hasil
EEG dari anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang ada kelainan.
Pada orang dewasa kelainan EEG diketahui pada orang-orang yang telah
melakukan perbuatan kriminal. Kelainan hasil EEG tersebut merupakan
indikasi jika salah satu bagian otak mengalami kerusakan (brain damage),
secara fisiologis fungsi otak tersebut menjadi kurang/ tidak sempurna (brain
disfunction). Selain itu, kelainan pada kelenjar hyperthyroid menyebabkan
anak sukar menyesuaikan diri dan mengalami gangguan emosi, Glandular
disturbances such as hyperthyroidism may be the basis of maladjusment in
school and apparent emotional disturbance (Kirk, 1970).



Faktor eksternal
1. 1. Faktor Psikososial
Tidak semua ketunalarasan timbul dari perasaan frustasi ekibat pertentangan
antara kemauan anak dengan kepentingan lingkungan, pengalaman masa
kanak-kanak di rumah, kondisi sosial ekonomi di lingkungannya. Sigmund
Freud melaui psikoanalisisnya menjelaskan bahwa ketunalarasan disebabkan
pengalaman anak pada usia awal. Pengalaman tidak menyenangkan pada usia
awal mengakibatkan anak menjadi tertekan dan secara tidak disadari
berpengaruh pada penyimpangan perilaku. Pengalaman anak di rumah
seperti kualitas hubungan antara ayah, ibu, serta saudara sekandungnya
memberikan pengaruh yang besar pada perilaku anak. Hubungan
interaksional dan transaksional menyebabkan saling memengaruhi antara
anak dengan orang tua, sehingga jika pada anak terdeteksi mengalami
masalah kelainan perilaku dapat dialamatkan pada orang tuanya (Sameroff,
Steifer, Zax, 1982). Orang tua yang lemah dalam menegakkan disiplin anak,
yang ditandai dengan penolakan, bermusuhan, kekejaman, dapat
menumbuhkan perilaku yang menyimpang seperti agresif atau kejahatan
lainnya (Hallahan & Kauffman, 1991).

1. 2. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah peletak dasar perasaan aman (emitional security) pada anak,
dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai
perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu
memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial
dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada anak. Faktor
yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan dengan ganguan emosi dan
tingkah laku, diantaranya yaitu:

a. Kasih sayang dan perhatian
Kasih sayang dan perhatian orang tua dan anggota keluarga lain sangat
dibutuhkan oleh anak. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua
mengakibatkan anak mencarinya diluar rumah. Dia bergabung dengan
kawan-kawanya dan membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib.
Mengenai hal ini Sofyan S. Willis (1981) mengemukakan bahwa mereka
berkelompok untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain
untuk mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat.
Selain sikap diatas, tidak jarang diantara orang tua justru memberikan kasih
sayang, perhatian, dan bahkan perlindungan yang berlebihan. Sikap
memanjakan menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak
mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa
kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah
diri pada anak.

b. Keharmonisan keluarga
Berdasarkan hasil studinya, Hetherington (dalam Kirk & Gallagher, 1986)
menyimpulkan bahwa hampir semua anak yang mengalami perceraian orang
tua mengalami masa peralihan yang sangat sulit. Orang tua yang sering
berselisih paham dalam menerapkan peraturan atau disiplin dapat
menimbulkan keraguan pada diri anak akan kebenaran suatu norma, sehingga
anak akhirnya mencari jalan sendiri dan hal ini dapat saja menjadi awal dari
terjadinya gangguan tingkah laku.

c. Kondisi ekonomi
Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab
tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal seperti kita ketahui pada diri
anak timbul keinginan-keinginan untuk dapat menyamai temannya yang lain,
misalnya: dalam berpakaian, kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak
terpenuhinya kebutuhan tersebut dalam keluarga dapat mendorong anak
mencari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan
antisosial. G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi
seperti kemiskinan atau pengangguran secara relatif dapat melengkapi
rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku
menyimpang lainnya.

1. 3. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah
keluarga. Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak
didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan, tetapi sekolah juga bertanggung
jawab membina kepribadian anak didik sehingga menjadi individu dewasa
yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi sekolah tidak jarang menjadi
penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak seperti dikemukakan
Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka membina anak didik kearah
kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya
kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah
antara lain disebabkan dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan
fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter
mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak
lebih memilih membolos dan berkeluyuran pada saat ia seharusnya berada
dalam kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan
anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati
dan berani melakukan tindakan yang menentang peraturan.
Beberapa aspek berkaitan dengan sekolah yang dapat menyebabkan
terjadinya ketunalarasan antara lain hubungan sosial guru dan murid yang
krang harmonis, tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, hubungan antarteman sebaya yang kurang baik
(Moerdiani, 1987), kurang perhatian guru tentang hal-hal yang bersifat
positif dan konstruktif, kurangnya sarana dan prasarana pengembangan
kreativitas, aktivitas. Disiplin sekolah yang longgar, terlalu kaku, tidak
konsisten, pembelajaran yang mengorbankan keterampilan anak untuk
mengembangkan imajinasi benar dan salah, lingkungan sekolah yang tidak
memberikan pengalaman dan perhatian khusus pada anak, merupakan
determinan yang dapat memunculkan kelainan perilaku dan emosi pada anak
(Hallahan & Kauffman, 1991).
Selain guru, fasilitas pendidikan juga berpengaruh pula terhadap terjadinya
gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas pendidikan
berpengaruh pula terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang
kurang mempunyai fasilitas yang dibutuhkan anak didik utuk menyalurkan
bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak menyalurkan
aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik. Misalnya: karena tidak ada
tempat untuk bermain, anak berkeliaran di tempat-tempat umum sehingga
anak-anak mengabaikan waktu belajarnya.

1. 4. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan tempat anak berpijak sebagai makhluk sosial adalah masyarakat.
Menurut Bandura (dalam Kirk & Gallagher, 1986), salah satu hal yang
nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah
keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Disamping pengaruh-
pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga terdapat
banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif ditambah hiburan yang
tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya
kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana
berbagai fasilitas tontonan dan hiburan yang tak tersaring oleh budaya lokal.
Contoh hasil studi tentang ekspresi perilaku agresif orang dewasa kepada
boneka yang ditayangkan melalui dua versi film (model hidup dan kartun).
Hasilnya ternyata kedua kelompok anak yang menonton film tersebut
menunjukkan sama agresifnya terhadap boneka. Dalam penelitian lain yang
membandingkan dua versi film berbeda (film kartun bertema kekerasan dan
tanpa kekerasan), hasilnya tenyata anak yang menonton film kartun tema
kekerasan lebih agresif dalam enteraksinya dengan temannya, dan anak yang
menonton film kartun tanpa kekerasan tidak menunjukkan perubahan dalam
agresi interpersonal (Coby, 1985; Atkinson, 1999).
Ekspresi lain dari kondisi lingkungan masyarakat sekitar yang berpengaruh
terhadap kelainan perilaku (tunalaras) anak diantaranya daerah yang terlalu
padat, angka kejahatan tinggi, kurangnya fasilitas hiburan/rekreasi, tidak
adanya aktivitas yang terorganisasi (Moerdiani, 1987), kurangnya pengajaran
agama oleh masyarakat, pengaruh bacaan/film video porno atau sadisme,
pengaruh penyalahgunaan abat-obatan terlarang (nafza), dan minuman keras.
Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang sesuai dengan tradisi
yang dianut oleh masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja
dapat menimbulkan konflik yang sifatnya negatif. Di satu pihak remaja
menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, sementara di pihak lain
masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber adat istiadat dan
agama. Selanjutnya konflik juga timbul pada diri anak sendiri yang
disebabkan norma yang dianut di rumah atau di keluarga bertentangan
dengan norma dan kenyataan di dalam masyarakat. Misalnya: seorang dalam
keluarga ditekankan untuk bertingkah laku sopan dan menghargai orang lain,
akan tetapi ia menemukan kenyataan lain dalam masyarakat dimana banyak
ditemukan tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap saling menghargai.

2.4 Perkembangan Kognitif, Kepribadian, Emosi, dan Sosial Anak
Tunalaras
1. 1. Perkembangan Kognitif Anak Tunalaras
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak
pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka
kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi
yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali
menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah.
Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru karena diantara anak
yang tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental.
Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi
penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak
dengan intelegensi rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk
menyamai teman-temannya, padahal pada dasarnya seorang anak tidak ingin
berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi
belajar. Mengenai hal ini Ny. Singgih Gunarsa (1982) mengemukakan bahwa
kecemasan dirinya berbeda dengan kelompoknya menimbulkan kesulitan
pada anak dengan cara penyelesaian yang seringkali tidak sesuai dengan cara
penyesuaian yang wajar.
Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam
belajar dapat menyebabkan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada
dirinya sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif,
misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas, dan
sebagainya. Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap gangguan
tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab
akibat dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi serta mudah pula terperosok
ke dalam tingkah laku yang negatif.
Disamping anak yang berintelegensi rendah, tidak berarti anak yang memiliki
intelegensi tinggi tidak memiliki masalah. Anak berintelegensi tinggi
seringkali memiliki masalah dalam penyesuaian diri dengan teman-
temannya. Ketidaksejajaran antara pekembangan intelegensi dengan
kemampuan sosial mengakibatkan anak mengalami kesulitan penyesuaian
diri dengan kelompok anak yang lebih tua (tetapi setara dalam kemampuan
mentalnya). Anak yang pintar dengan hambatan ego emosional seringkali
mempunyai anggapan negatif terhadap sekolah. Ia menganggap sekolah
terlalu mudah dan guru menerangkan terlalu lambat.
Masalah lain yang dihadapi anak ini dalam hubungannya dengan orang lain
adalah sikap tidak mau kalah. Mereka selalu ingin berhasil dan tidak mau
ikut dalam permainan dengan kemungkinan dikalahkan orang lain. Hal ini
nampak dari sikap anak yang selalu ingin lebih unggul dari teman-temannya
sehingga apabila suatu waktu dia mengalami kekalahan, maka ia cenderung
untuk selalu merasa mudah kecewa.

1. 2. Perkembangan Kepribadian Anak Tunalaras
Kepribadian merupakan struktur yang unik, tidak ada dua individu yang
memiliki kepribadian sama. Para ahli mendefinisikan kepribadian sebagai
suatu organisasi yang dinamis pada sistem psikofisis individu yang turut
menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Kepribadian akan mewarnai peranan dan kedudukan seseorang dalam
berbagai kelompok dan akan mempengaruhi kesadaran sebagai bagian dari
kepribadian akan dirinya. Dengan demikian kepribadian akan menjadi
penyebab seseorang berperilaku menyimpang. Menifestasi kepribadian yang
teramati tampak dalam interaksi individu dengan lingkungannya, dan pada
dasarnya interaksi ini sebagai upaya bentuk pemenuhan kebutuhan.
Tingkah laku yang ditampilkan orang ini erat sekali kaitannya dengan upaya
pemenuhan kebutuhan hidup. Sejak lahir setiap individu sudah dibekali
dengan berbagai kebutuhan dasar yang menuntut pemenuhan kebutuhan, dan
untuk itu setiap individu senantiasa berusaha memenuhinya yang diwujudkan
dalam berbagai lingkungannya. Konflik psikis dapat terjadi apabila terjadi
benturan antara usaha pemenuhan kebutuhan dengan norma sosial.
Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian konflik, dapat
menjadikan stabilitas emosi terganggu. Selanjutnya mendorong terjadinya
perilaku menyimpang dan dapat menimbulkan frustasi pada diri individu.
Keadaan seperti ini yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan dapat
menimbulkan frustasi pada diri individu. Apabila keadaan ini
berkepanjangan maka dapat menimbulkan gangguan.

1. 3. Perkembangan Emosi Anak Tunalaras
Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari tingkah laku
anak tunalaras. Ciri yang menonjol pada mereka adalah kehidupan emosi
yang tidak stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat,
dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka seringkali menjadi
sangat emosional. Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi sebagai akibat
ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
Kematangan emosional seorang anak ditentukan dari hasil interaksi dengan
lingkungannya, dimana anak belajar tentang bagaimana emosi itu hadir dan
bagaimana cara untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut.
Perkembangan emosi ini berlangsung terus menerus sesuai perkembangan
usia, akan banyak pula pengalaman emosional yang diperoleh anak.ia
semakin banyak merasakan berbagai macam perasaan. Akan tetapi tidak
demikian dengan anak tunalaras. Ia tidak mampu belajar dengan baik dalam
merasakan dan menghayati berbagai macam emosi yang mungkin dapat
dirasakan, kehidupan emosinya kurang bervariasi dan ia pun kurang dapat
mengerti dan menghayati perasaan orang lain. Mereka juga kurang mampu
mengendalikan emosinya dengan baik sehingga seringkali terjadi peledakan
emosi. Ketidakstabilan emosi ini menimbulkan penyimpangan tingkah laku,
misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung, kurang mampu memahami
perasaan orang lain, berperilaku agresif, menarik diri, dan sebagainya.
Perasaan-perasaan seperti itu akan mengganggu situasi belajar dan akan
mengakibatkan prestasi belajar yang tidak sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para pengelola pendidikan
dalam usaha memunculkan motivasi belajar bagi anak tunalaras, yaitu:

1. a. Pengaturan lingkungan belajar
Lingkungan belajar hendaknya ditata atau dikelola sedemikian rupa sehingga
anak tidak merasa tertekan. Contoh: lingkungan fisik, yaitu pengaturan meja
dan kursi, termasuk ventilasi hendaknya memungkinkan anak merasa tenang
dan timbul rasa senang di dalam kelas.
Atmosfer di dalam kelas (suara guru, peraturan) hendaknya tidak terlalu ketat
sehingga anak merasa ada kelonggaran dan mereka merasa tidak tertekan.
Karena itu alangkah baiknya dalam menyusun dan menetapkan peraturan,
hendaknya guru mengajak anak dan orang tua untuk bersama-sama melihat
sehingga semua pihak merasa turut memiliki.

1. Mengadakan kerjasama dengan lembaga lain
Berhubung pendidikan anak tunalaras sifatnya temporer, maka guru harus
menyadari bahwa anak ini belajar di sekolah khusus hanya sementara.
Karena itu biasa disebut edukasi. Jika anak telah memungkinkan masuk ke
sekolah biasa atau ia kembali ke masyarakat, maka perlu kerjasama yang erat
dengan pihak terkait untuk dapat mengikuti sistem yang terpadu baik dalam
belajar, bekerja, maupun bergaulnya.
Satu hal yang kurang dilakukan oleh pengelola PLB tunalaras adalah
kurangnya usaha mengkomunikasikan bagaimana keadaan anak ini
sebenarnya. Akibatnya, apa yang dikatakan mengenai anak tunalaras sulit
untuk mengalami perubahan yang kearah kemajuan pandangan yang melihat
bahwa mereka perlu disediakan lingkungan yang baik atau mendukung
perkembangannya. Sementara ini masyarakat lebih menganggap bahwa anak
tunalaras adalah anak yang marusak masyarakat.

1. Tempat layanan pendidikan
Melihat keadaan mereka sedemikian rupa, maka tempat pendidikannya tidak
harus dipisahkan dengan anak normal, akan tetapi lebih baik bila anak ini
disatukan dengan anak biasa. Bila mereka ditempatkan pada tempat yang
dapat diterima oleh orang banyak atau yang lazim, maka anak ini hanyalah
melihat tingkah laku yang sama dengannya.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mengintegrasikan anak
tunalaras dengan anak biasa. Syarat tersebut adalah:
(1) Perbandingan jumlah anak tunalaras dengan anak biasa dalam satu kelas
haruslah diperhatikan. Tidak terlalu banyak, akan tetapi kira-kira tidaklah
terlalu merepotkan guru biasa. Karena itu di sekolah umum selalu dibutuhkan
guru pembimbing khusus dari kalangan guru PLB.
(2) Persiapan program pendidikan secara khusus. Bila anak biasa
mempelajari program sama untuk semua anak, maka bagi anak tunalaras
tentu saja harus diperhatikan, baik segi kualitas maupun kuantitasnya.
Misalnya, anak tidak perlu diberikan soal agar ia dapat diam, akan tetapi
akan lebih bermanfaat bila diberikan tugas sedikit tetapi sering diberikan.
(3) Kesiapan orang tua ataupun keluarga. Mereka harus diajak memikirkan
hal ini dan tentu saja akan siap berunding dengan pihak sekolah bila terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya anak diejek hingga orang tua merasa
tersinggung akan hal itu.
(4) Kesiapan teman sekelas atau sekolah dimana ia akan diintegrasikan.
Anak-anak biasa hendaknya dipersiapkan telebih dahulu dengan
memberitahukan kemampuan dan ketidakmampuan temannya yang akan
datang belajar bersama-sama mereka.

1. 4. Perkembangan Sosial Anak Tunalaras
Sebagaimana telah kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal
ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk
membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak kejadian
ternyata mereka dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan
teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang kompak
dan akrab serta membangun keterikatan antara yang satu dengan yang
lainnya.
Anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru, baik tehadap dirinya
sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya
tak berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu
timbullah kesulitan apabila akan menjalin hubungan dengan mereka. Apabila
berhasil sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung kepada seseorang
yang pada akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.

Dampak Ketunalarasan Bagi Individu dan Lingkungan
Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak
negatif bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak
berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan
bersalah menyebabkan mereka merasakan adanya jarak dengan
lingkungannya. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah tekanan
batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan merusak diri mereka
sendiri. Bila mereka kurang mendapatkan perhatian dan penanganan dengan
segera, maka mereka akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan
mereka dari lingkungannya.
Mengenai tekanan batin yang bekepanjangan ini menurut Schoss (Kirk &
Gallagher, 1986) disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)
Anak-anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya untuk
mencoba mengatasi keadaan yang sulit. Ketidakmampuan mereka untuk
mengatasi kesulitan tersebut menjadi tergeneralisasi sehingga ketika mereka
mempunyai perilaku yang baik sekalipun mereka tidakmau
mempergunakannya. Mereka mengarahkan kegagalannya pada faktor yang
tak terkendali, tidak dapat merespon dengan baik terhadap stimuli sosial atau
peristiwa, cenderung mengurangi usaha yang dilakukan setelah mengalami
kegagalan, dan menunjukkan rasa rendah diri.
1. Keterampilan sosial yang minim (social skill deficiency)
Perkembangan kepribadian yang tertekan akan menimbulkan
kekurangterampilan dalam memperoleh penguatan (reinforcement) perilaku
sosial yang positif. Kondisi ini akan mengurangi terjadinya interaksi sosial
yang positif.
1. Konsekuensi paksaan (coercive consequences)
Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi paksaan. Jika
anak yang sedang cemas menarik diri menerima reaksi positif dari
lingkungannya (simpati, dukungan, jaminan,dll) mereka tetap gagal
mengembangkan perilaku pribadi dan keterampilan sosial yang mengarah
kepada perilaku yang efektif.
Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat mempengaruhi lingkungan
mereka, mengajar dan menguatkan keterampilan sosial antarpribadi yang
lebih efektif, serta menghindarkan mereka dari ketergantungan dan
penguatan ketakberdayaan.
Bahwa perilaku menyimpang pada anak tunalaras merugikan lingkungannya
kiranya sudah jelas dan seringkali orang tua maupun guru merasa kehabisan
akal menghadapi anak dengan gangguan perilaku seperti ini.



2.5 Layanan Bagi Anak Tunalaras

1. 1. Jenis jenis layanan
Dalam jenis-jenis layanan dalam buku pengantar pendidikan luar biasa akan
dikemukakan beberapa hal, seperti berikut.
1. a. Mengurangi atau menghilangkan kondisi yang tidak
menguntungkan yang menimbulkan atau menambah adanya
gangguan perilaku.
Adapun kondisi yang tidak menguntungkan itu adalah sebagai berikut
1) Lingkungan fisik yang tidak memadai seperti ukuran kelas yang kecil
dan sanitasi yang bruruk. Tidak jarang hal ini akan menjadikan anak merasa
bosan dan tidak betah berada disekolah.
2) Disiplin sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan
sekolah yang member hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya
pelanggaran siswa. Keadaan ini akan membuat anak merasatidak puas
terhadap sekolah
3) Guru yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik.
Akibatnya murid sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jaman
belajar, kadang-kadang digunakan untuk merokok, tawuran, dan lain-lain.
4) Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak.
Akibatnya anak harus mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupun hal
itu tidak sesuai dengan bakatnya. Demikian pula kurikulum yang berubah-
ubah menjadikan anak merasa jenuh, dan melelahkan.
5) Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapat
mengakibatkan anak bosan dan merasa lelah.

Selanjutnya Kauffman (1985) mengemukakan ada enam kondisi yang
menyebabkan ketunalarasan dan kegagalan belajar, yaitu:
1) Guru yang tidak sensitive terhadap kepribadian anak
2) Harapan guru yang tidak wajar
3) Pengelolaan belajar yang tidak konsisten
4) Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional
5) Pola reinforcement yang keliru, misalnya diberikanpada saat anak
berperilaku tidak wajar
6) Model/contoh yang tidak baik dari guru dan dari teman sebaya.
Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan tersebut agar dihindari sehingga
tidak terjadi perkembangan anak kearah penyimpangan perilaku dan
kegagalan akademiknya. Lingkungan sekolah yang ditata dengan baik akan
menyenangkan anak belajar dan terhindar dari perasaan bosan, lelah, serta
tingkah laku yang tidak wajar.

1. b. Menentukan model-model dan teknik pendekatan
1) Model pendekatan
Sehubungan dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan
kepada anak tunalaras Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model
pendekatan sebagai berikut.
Model biogenetic
Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan
oleh kecacatan genetic atau biokimiawi sehingga penyembuhannya
ditekankan pada pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah
lingkungannya
Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai asumsibahwa gangguan emosi merupakan indikasi
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin
berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun
di rumah. Oleh karena itu, penangannya tidak hanya ditujukan kepada anak
tetapi pada lingkungan tempat anak belajar dan tinggal
Model psikodinamika
Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan
emosi disebabkan oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses
perkembangan kepribadian karena berbagai factor sehingga kemampuan
yang diharapkan sesuai dengan usianya terganggu. Ada juga yang
mengatakan adanya konflik batin yang tidak teratasi. Oelh karena itu, untuk
mengatasi gangguan perilaku itu dapat diadakan pengajaran
psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam
mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.
Model ekologis
Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena
adanya disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh kaena itu, model
ini menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar menguoayakan
interaksi yang baik antara anak tentang lingkungannya, misalnya dengan
mengubah persepsi orang dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi
anak dengan lingkungannya. Rhoden (1967) menyatakan bahwa masalah
perilaku adalah akibat interaksi destruktif antara anak dengan lingkungannya
(keluarga, teman sebaya, guru, dan sekelompok kebudayaannya)

2) Teknik pendekatan
Beberapa teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah
perilaku, di antaranya adalah sebagai berikut:
Perawatan dengan obat
Kavale dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan dapat
mengurangi atau menghilangkan gangguan perilaku, seperti adanya
perbaikan perhatian, hasil belajar dan nilai tes yang baik, serta anak
hiperaktif menuju kearah perbaikan.
Modifikasi perilaku
Salah satu teknik yang banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial
dan mengurangi perilaku antisocial adalah penyesuaian perilaku melalui
operant conditioning dan task analysis (analisis tugas). Dengan operant
conditioning kita mngendalikan stimulus yang mengikuti respons.
Pengondisian operant berdasarkan prinsip dasar bahwa perilaku adalah suatu
fungsi konsekuensi penerapan stimulus positif segera setelah suatu respons
merupakan hukuman.
Ada beberapa langkah melakukan modifikasi perilaku, yaitu:
a) Menjelaskan perilaku yang akan diubah
b) Menyediakan bahan yang mengharuskan anak untuk duduk diam
c) Mengatakan perilaku yang diterima.
Task analysis dilaksanakan dengan cara menata tujuan dan tugas dengan
lengkap, membuat tugas dengan terperinci sehingga anak dapat
melakukannya, barulah anak mengerjakan tugas itu dalam jangka waktu
tertentu, mengadakan pujian bila anak berhasil.
a) Strategi psikodinamika
Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi
sadar akan kebutuhannya, keinginan, dan kekuatannya sendiri. Penganjur
strategi ini menyarankan agar dilakukan evaluasi diagnostic, perawatan,
pengambilan keputusan, dan prosedur psikiatrik. Mereka melihat bahwa
perilaku maladaptive adalah pertanda konflik jiwa. Mereka percaya bahwa
penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan penyebabnya hanya
menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.
b) Strategi ekologi
Pendukung teknik, mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan
yang baik maka perilaku anak akan baik pula.

1. c. Tempat layanan
Tempat layanan pendidikan bagi anak yang mengalamigangguan perilaku
adalah ditempatkan disekolah khusus dan ada pula yang dimasukkan dalam
kelas-kelas biasa yaitu belajar bersama-sama dengan anak normal. Berikut ini
akan dikemukakan macam-macam tempat pendidikan anak tunalaras.
1) Tempat khusus
Tempat ini dikenal dengan Sekolah Luar Biasa Anak Tunalaras (SLB-E).
sama halnya dengan sekolah luar biasa yang lain, SLB-E memiliki kurikulum
dan struktur pelaksanaannya yang disesuaikan dengan keadaan anak
tunalaras. Anak yang diterima pada lembaga khusus ini biasanya anak yang
mengalami gangguan perilaku yang sedang dan berat. Maksudnya perilaku
anak telah mengarah pada tindakan criminal dan sangat mengganggu
lingkungannya. Pelaksanaan pendidikan anak tunalaras dapat and abaca pada
pelaksanaan pendidikan anak luar biasa jenis lain karena prinsipnya adalah
sama.

2) Tempat integrasi (terpadu)
Dari banyak jenis anak tunalaras, ada 3 jenis, yaitu hyperactive,
distraktibilitas, dan impulsitas yang kemungkinan banyak dijumpai di
sekolah biasa (umum), di mana mereka belajar bersama-sama dengan anak
normal. Oleh sebab itu, pada uraian berikut akan dikemukakan hal-hal yang
berkaitan dengan layanan terhadap anak-anak tersebut.
Hiperaktif
Berdasarkan klasifikasi dan karakteristik yang dikemukakan oleh Quay
(Hallahan & Kauffman, 1986), hiperaktif termasuk dalamdimensi anak yang
bertingkah laku kacau. Cirri-ciri anak hiperaktif adalah sebgai berikut:
a) Gerakkannya terlalu katif, tidak bertujuan, tak mau diam sepanjang
hari, bahkan waktu tidur ada yang melakukan gerakdiluar kesadaran
b) Suka mengacau teman-teman sebayanya, dalam bertindak hanya
menurutkan kata hatinya sendiri dan mudah tersinggung
c) Sulit memperhatikan dengan baik
Hiperaktif disebabkan oleh banyak factor, seperti disfungsi otak, kekurangan
oksigen, kecelakaan fisik, keracunan serbuk timah, kekurangan giizi dan
perawatan pada masa tumbuh kembang, minuman keras dan obar-obatan
terlarangselama kehamilan, kemiskinan, dan lingkungan keluarga yang tidak
sehat.
Berdasarkan factor-faktor peyebab tersebut maka dapat diasumsiskan
bebrapa cara/teknik dalammengadakan layanan, antara lain
medikasi/penggunaan obat, diet, modifikasi tingkah laku, lingkungan ynag
terstruktur, pengendalian diri, modeling.
Adapun pelaksanaan dari teknik-teknik tersebut diadaptasikan dari Kauffman
(1985), yaitu:
a) Medikasi
Bagi anak hiperaktif, medikasi sering dipakai adalah obat-obatan perangsang
saraf terutama yang ada kaitannya dengan penenangan
b) Diet
Diet yang dianjurkan adalah pantangan berbagai macam makanan termasuk
makanan yang mengandung zat pewarna atau penyedap rasa tiruan yang
dapat menyebabkan hiperaktif. Juga disarankan agar dihindari penggunaan
obat kumur yang mengandung zat pewarna.
c) Modifikasi tingkah laku
Semua perilaku merupakan hasilbelajar atau diperoleh dari interaksi individu
dengan lingkungannya. Oleh karena itu, perilaku juga dapat diubah dan
dikendalikan dengan mengukur pola interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Agar penerapan teknik modifikasi tingkah laku berhasil perlu
diperhatikan berbagai prinsip antara lain : menentukan kapan harus member
hadiah, kapan harus member hukuman, serta jenis penguat apa yang pantas
dipakai.
d) Lingkungan yang terstruktur
Pada dasarnya, pendekatan ini menekankan pengaturan lingkungan belajar
anak sehingga tidak menjadi penyebab munculnya perilaku hiperaktif,
misalnya dengan mengurangi objek/benda/warna/suara di kelas yang dapat
mengganggu perhatian anak, penjelasan secara terperinci jenis perilaku yang
dapat/tidak dapat dilakukan anak di kelas, pemberian konsekuensi(hadiah,
hukuman) yang sangat konsisten, dan system pembelajaran yang sangat
terstruktur.
e) Modeling
Perilaku yang ditunjukkan anak sering merupakan akibat meniru atau
mencontoh perilaku yang diberikan oleh teman sekelas atau orang dewasa.
Dengan asumsi ini, sistem meniru (modeling) dapat dipakai untuk
mengurangi perilaku hiperaktif. Prosedur yang dipakai adalah dengan
menyuruh anak normal di kelas untuk member contoh perilaku yang baik.
f) Biofeedback
Biofeedback merupakan teknik pengendalian perilaku atas proses biologis
internal dengan cara member informasi kepada anak mengenai kondisi
perilaku dan tubuhnya. Adapun pelaksanaannya, antara lain anak dilatih
untuk mengendalikan otot-ototnya dengan memantau sendiri tekanan
ototnya.

1. 2. Macam-macam layanan
Di dalam pelaksanaan penyelenggaraannya kita mengenal macam-macam
bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika
diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala
kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka.
Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka
mendapat perhatian dan layanan khusus.
2. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman
pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya
maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan
sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah
dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas
khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang
PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang
cakap membimbing anak.
3. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak
Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kawan yang lain
karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
4. Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat,
sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya,
maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak
secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama
adalah untuk keperluan penyuluhan.

You might also like