You are on page 1of 15

A.

TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Fraktur dapat terjadi pada semua tingkat umur, yang beresiko tinggi untuk
terjadinya fraktur adalah orang yang lanjut usia, orang yang bekerja yang
membutuhkan kesimbangan, masalah gerakan, pekerjaan-pekerjaan yang beresiko
tinggi (tukang besi, supir, pembalap mobil, orang dengan penyakit degeneratif
atau neoplasma)

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi Salter-Harris
Tipe I a. Fraktur melewati lempeng pertumbuhan tanpa termasuk metafisis
atau epifisis
b. Terjadi dengan cedera traumatik ringan
c. Paling sering terlihat pada fibula distal
Tipe
II
a. Fraktur meluas melalui lempeng pertumbuhan, termasuk metafisis
b. Terjadi sebagai akibat dari trauma berat seperti kecelakaan mobil,
jatuh dari papan luncur
c. Paling sering terlihat pada radius distal dan humerus proksimal
Tipe
III
a. Fraktur meluas melalui lempeng pertumbuhan, termasuk epifisis
dan sendi
b. Terjadi selama trauma berat secara moderat
c. Paling sering terlihat pada humerus
d. Dapat mengakibatkan kerusakan serius
Tipe
IV
a. Fraktur termasuk metafisis, meluas melalui lempeng pertumbuhan
ke epifisis
b. Terjadi sebagai akibat dari jatuh, kecelakaan papan peluncur atau
sepeda
c. Paling sering terlihat pada humerus
d. Dapat mengakibatkan kerusakan serius
Tipe a. Lempeng pertumbuhan mengeras
V b. Fraktur kompresi, yang diakibatkan dari jatuh atau dampak
proyektil.
(Betz, Cecili L. and Sowden, L.A.. 2009)

1. Fraktur komplet: patah pada seluruh garis tulang dan biasanya mengalami
pergeseran (dari yang normal)
2. Fraktur tidak komplet: patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang
3. Fraktur tertutup (fraktur simpel): patah tulang, tidak menyebabkan robeknya
kulit
4. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks): patah yang menembus kulit dan
tulang berhubungan dengan dunia luar.
5. Fraktur kominitif: fraktur ddengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
6. Fraktur green stick: fraktur yang salah satu sisi tulang patah sedang satu sisi
lainnya membengkok
7. Fraktur kompresi: fraktur dengan tulang mengalami kompresi (tulang belakang)
8. Fraktur depresi: fraktur yang fragmen tulangnya terdorong ke dalam (tulang
tengkorak dan wajah)

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
(Suratun, 2008)




3. ETIOLOGI
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung
Yaitu terjadinya pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
yang biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
2) Cedera tidak langsung
Yaitu pukulan tidak langsung berada jauh dari lokasi benturan, yang patah
biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas)
Pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis
Dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah
satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis
Suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur menurut Brunner dan Suddarth (2001):
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai frogmen tulang
diimobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap menjadi
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai
menyebabkan defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
e. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Menurut Betz and Sowden (2009) tanda gejala fraktur adalah:
1. Nyeri, yang hilang dengan beristirahat
2. Nyeri tekan
3. Bengkak
4. Kerusakan fungsi, pincang
5. Gerakan terbatas
6. Ekimosis disekitar lokasi
7. Krepitasi di sisi fraktur
8. Status neurovaskular pada daerah distal dari tempat fraktur mengalami
penurunan
9. Atrofi distal



5. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.




















Resiko disfungsi
neurovaskuler Luas permukaan
paru menurun
Penurunan laju
difusi
Gangguan pertukaran
gas
Medulla
spinali
Nyeri
Edema
Penekanan pada
jaringan vaskuler
Port de entri
kuman
Gg. Integritas
kulit
Resiko Infeksi
Lepasnya lipid
pada sum-sum
tulang
Terapi restrictif
Terabsorbsi
masuk kealiran
darah
Gg. Mobilitas
fisik
Degranulasi sel
mast
Pelepasan
mediator
kimia
Kurang
informasi
Kurang
pengeta
hunan
Perubahan status
kesehatan
Cedera sel Reaksi peradangan Luka terbuka Diskontuinitas
fragmen tulang
Trauma
Fraktur
Penurunan aliran
darah
Emboli
Oklusi arteri
paru
Nekrosis
Jaringan paru
Nociceptor
Korteks
serebri

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan fraktur adalah :
1. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi, luasnya fraktur, trauma.
2. Scan tulang (tomogram, scan CT/MRI) : memperlihatkan fraktur dan juga
dapat mengindentifikasi kerusakan jaringan lunak., dilakukan jika hasil
radiografi negatif.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler di curigai.
4. Hitung darah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (pendarahan bermakna pada sisi frktur organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma
5. Kreatinin : trauma pada otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati
(Doengoes, 2000., Betz and Sowden, 2009)

7. PENATALAKSANAAN
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
Prinsip-prinsip tindakan terhadap fraktur
1) Recognisi/pengenalan
Pengenalan mengenai diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian di RS Riwayat kecelakaan, parah tidaknya, jenis kekuatan yang
berperan, menentukan kemungkinan tulang yang patah dan pemeriksaan
yang spesifik untuk fraktur.


2) Reduksi (Setting Tulang)
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis.
Dapat dibedakan menjadi :
a) Reduksi tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi traksi manual (ex:
gibs).
b) Traksi
Digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi beratnya
traksi idisesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
c) Reduksi terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi.
Alat fikasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku atau batangan
logam digunakan sampai penyembuhan tulang terjadi.
3) Imobilisasi Fraktur
Sebuah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi (dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran dapat dilakukan dengan metode fiksasi eksterna dan
interna.
a) Metode fixasu eksterna : pembalutan, gibs, bidai, traksi, kontinu (dengan
plester felt pada kulit), pin fiksator eksterna.
b) Metode fikasi interna : inplant logam
4) Restorasi (Pemulihan Fungsi) dan Rehabilitasi
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan otot. Dapat
dilakukan dengan:
a) Latihan isometrik dan setting otot : untuk meminimalkan atropi disease
dan meningkatkan peredaran darah.
b) Fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.
c) Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.




8. TAHAP PENYEMBUHAN TULANG
a. Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.
Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.
Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
b. Proliferasi Seluler
Terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum, endosteum dan bone marrow yang telah
mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan
yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi
proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah.
Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
c. Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
Dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi
dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati.
Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal.
Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
d. Konsolidasi
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan
tulang yang baru.
Proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang
kuat untuk membawa beban yang normal.

e. Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang
oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus.
Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya
lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian primer
1) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk
2) Breathing
Kelemahan menelan, batuk, melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi ata
aspirasi
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut

b. Pengkajian sekunder
1) Data demografi : identitas klien
2) Riwayat kesehatan sekarang : kejadian yang mengalami cedera.
3) Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat penyakit DM, TB, arthritis,
osteomielitis, dan lain-lain.
4) Riwayat imunisasi : Polio, Tetanus.
5) Aktivitas/istirahat: kehilangan kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
Keterbatasan mobilitas
6) Sirkulasi
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
Tachikardi
Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
Cailary refil melambat
Pucat pada bagian yang terkena
Masa hematoma pada sisi cedera
7) Neurosensori: Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan
8) Kenyamanan: nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kram otot
9) Integumen, laserasi, perdarahan edema, perubahan warna kulit.

2. DIAGNOSA
a. Nyeri akut bd spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer bd fraktur
c. Gangguan mobilitas fisik bd Intoleransi aktivitas

3. INTERVENSI
a. Nyeri akut bd spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang, mampu berpartisipasi
dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individual
Kriteria hasil: Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang
TTV : TD : 120/80 mmHg , RR : 20x/mnt , N : 80 x/mnt,
S : 36
5 o
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASI ONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian
yang sakit dengan tirah baring,
gips, bebat dan atau traksi

2. Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.

Mengurangi nyeri dan mencegah
malformasi.


Meningkatkan aliran balik vena,
mengurangi edema/nyeri.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak
pasif/aktif.

4. Lakukan tindakan untuk
meningkatkan kenyamanan
(masase, perubahan posisi)

5. Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas
dalam, imajinasi visual, aktivitas
dipersional)

6. Lakukan kompres dingin selama
fase akut (24-48 jam pertama)
sesuai keperluan.

7. Kolaborasi pemberian analgetik
sesuai indikasi.



Evaluasi keluhan nyeri (skala,
petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)

Mempertahankan kekuatan otot dan
meningkatkan sirkulasi vaskuler.

Meningkatkan sirkulasi umum,
menurunakan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian terhadap
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
nyeri yang mungkin berlangsung
lama.

Menurunkan edema dan mengurangi
rasa nyeri.


Menurunkan nyeri melalui
mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.

Menilai perkembangan masalah
klien.

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer bd fraktur
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria `akral
hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
Kriteria hasil:
-Nadi teraba
-Kulit hangat/kering
-Haluaran urin adekuat
-TTV : TD : 120/80 mmHg , RR : 20x/mnt , N : 80 x/mnt, S : 36
5 o
C
INTERVENSI KEPERAWATAN RASI ONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin
melakukan latihan
menggerakkan jari/sendi distal
cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi
akibat tekanan bebat/spalk yang
terlalu ketat.


3. Pertahankan letak tinggi
ekstremitas yang cedera kecuali
ada kontraindikasi adanya
sindroma kompartemen.

4. Berikan obat antikoagulan
(warfarin) bila diperlukan.


5. Pantau kualitas nadi perifer,
aliran kapiler, warna kulit dan
kehangatan kulit distal cedera,
bandingkan dengan sisi yang
normal.


Meningkatkan sirkulasi darah dan
mencegah kekakuan sendi.



Mencegah stasis vena dan sebagai
petunjuk perlunya penyesuaian
keketatan bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena dan
menurunkan edema kecuali pada
adanya keadaan hambatan aliran
arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.

Mungkin diberikan sebagai upaya
profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan
masalah klien dan perlunya
intervensi sesuai keadaan klien.



c. Gangguan mobilitas fisik bd Intoleransi aktivitas
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling
tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian
tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
INTERVENSI KEPERAWATAN RASI ONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas
rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai
keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif
aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai
keadaan klien.



3. Berikan papan penyangga kaki,
gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri
(kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien.

5. Ubah posisi secara periodik sesuai
keadaan klien.



6. Dorong/pertahankan asupan
cairan 2000-3000 ml/hari.



7. Berikan diet TKTP.

Memfokuskan perhatian,
meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu
menurunkan isolasi sosial.

Meningkatkan sirkulasi darah
muskuloskeletal, mempertahankan
tonus otot, mempertahakan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.

Mempertahankan posis fungsional
ekstremitas.


Meningkatkan kemandirian klien
dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.

Menurunkan insiden komplikasi
kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)


Mempertahankan hidrasi adekuat,
men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.


Kalori dan protein yang cukup




8. Kolaborasi pelaksanaan
fisioterapi sesuai indikasi.


9. Evaluasi kemampuan mobilisasi
klien dan program imobilisasi.

diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-pertahankan
fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis perlu
untuk menyusun program aktivitas
fisik secara individual.

Menilai perkembangan masalah
klien.



DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecili L. and Sowden, L.A.. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 5. EGC:
Jakarta.
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3. EGC: Jakarta.
Doenges, Marilynn E.. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning, Individualizing, and
Documenting Client Care, 3rd ed. Davis Company: United States of America.
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II. Medika Aesculapius FKUI:
Jakarta.
Suratun, Heriyati, Manurung S., Raenah E.. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
EGC: Jakarta.

You might also like