Muhammad Mustofa I. Pendahuluan Pemikiran-pemikiran kriminologi dalam bentuk teori akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan sosial, dan dengan cara bagaimana manusia memaknai dunia (sosial) tempat ia hidup. Ketika manusia dalam kehidupannya telah mencapai tahapan modern, yang awalnya ditandai oleh pemikiran-pemikiran ilmiah paduan antara rasio dengan realitas empiris, sikap ilmiah tersebut menjadikan ilmuwan bersikap kritis dan skeptis terhadap pengetahuan (teori) yang sudah ada dan berusaha memperoleh pemahaman lebih lengkap tentang dunia sosial tempat ia hidup. Ternyata modernitas yang berkembang sejak abad 17 sampai dengan abad 20 tidak membuat manusia hidup lebih bahagia dan sejahtera. Masyarakat modern ditandai oleh adanya ketertiban, keseragaman, rutinitas, efisiensi, rasionalitas, terrencana, dapat diramalkan, yang berdampak pada kehidupan sosial yang monoton. Dalam keadaan seperti itu, manusia modern mempertanyakan makna kehidupan setelah mencapai tahap modern, mengalami kekosongan makna hidup, karena ternyata modernitas menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan. Pengaruh perkembangan teknologi informasi hasil kecerdasan manusia mempengaruhi interkasi sosial yang merupakan ciri dari manusia.Interaksi sosial tidak lagi dilakukan secara tatap muka tetapi secara elektronik. Dunia nyata berubah menjadi dunia maya (virtual). Kekosongan nilai hidup inilah yang antara lain mendorong munculnya pertanyaan, setelah kita menjadi modern (posmodern), kita mau menjadi seperti apa? Konsep posmodern pertamakali digunakan dalam dunia arsitektur. Para arsitek muda merasa kreatifitasnya dibatasi oleh pakem-pakem geometri Pitagoras yang serba teratur dalam wujud garis lurus dan garis lengkung yang merupakan bagian dari lingkaran. Karya arsitektur yang pada dasarnya merupakan karya seni dibatasi oleh pakem-pakem geometri konvensional tersebut. Banyak arsitek muda yang memberontak dengan pakem-pakem konvesnional tersebut dan merancang bangunan tidak lagi terikat dengan pakem-pakem lama. Mereka membuat disain bangunan yang "semau gue" sesuai dengan dorongan kesenimanan mereka. Mereka tidak lagi terikat dengan struktur geometeris konvensional, garis lurus dan lengkung beraturan tetapi disain garis sesuai dengan jiwa keseniannya. Ditinggalkannya pola-pola konvensional dalam menjalankan ilmu tersebut mempengaruhi pola berfikir bidang-bidang ilmu lain termasuk ilmu sosial dan kriminologi di dalamnya. Pemikiran posmodern memikirkan ulang hakikat ilmu dan mengevaluasi seberapa jauh ilmu pengetahuan ilmiah (teori) memberi manfaat bagi kehidupan manusia (abad ke 21). Kriminologi posmodern yang pada hakikatnya merupakan perkembangan pemikiran kritis, melakukan otokritik terhadap pemikiran kriminologi kritis yang mempolitisasi kejahatan dan tidak memberi manfaat bagi kebaikan struktur sosial. Pemikiran posmodern, sebagaimana lajimnya setiap pemikiran ilmiah, dipengaruhi oleh pemikiran- pemikiran sebelumnya. Dalam hal ini pemikiran posmodern dipengaruhi oleh pemikiran Perancis akhir 1960-an dan awal 1970-an, yang kecewa terhadap pemikiran kritis konvensional, bertransisi dari Hegelian ke Nitzshenean. Selain itu juga melandaskan diri pada pemikiran Deleuze, Guattari, Derrida, Lyotard, Baudrillard, Foucault, Kristeva dll. Pemikir utama posmodern adalah para pemikir feminisme seperti Irigaray, Moi, dan Cious. Yang merupakan tokoh utama alternatif pemikiran tentang subyek, dampak menentukan dari wacana, hakikat keteraturan simbolik adalah Jacques Lacan. Gelombang pemikiran yang baru cenderung merumuskan pemikirannya berdasarkan teori chaos, teorem Godel, teori katastrof, mekanisme kuantum, dan teori topologi. Dirumuskan dan dikembangkan terus-menerus konsep-konsep baru tentang ruang, waktu, subyektivitas, peran wacana, kehendak (desire), struktur 2
sosial, peran, perubahan sosial, pengetahuan, dan hakikat kerusakan (harm), keadilan, dan hukum. Menganjurkan untuk meninggalkan suatu pusat, hak-hak khusus titik referensi, subyek yang tetap, asas- asas pertama, dan asal usul (Sarup, 1989:59 sebagaimana dikutip Milovanovic, 1997:hlm 2). Lihat juga uraian populer oleh Glenn Ward (2003) "postmodernism" dalam serial buku "teach yourself". Kriminologi posmodern secara epistemologis mempertanyakan ulang tentang hakikat manusia, masyarakat dan struktur sosial, peran-peran, subyektivitas/agensi-agensi, wacana, pengetahuan, ruang/waktu, kausalitas, dan perubahan sosial. Terkait dengan itu, semua teori kriminologi yang ada harus ditulis ulang disesuaikan dengan pemaknaan baru hakikat yang dipertanyakan secara epistemologis oleh pemikiran posmodern. Dalam aplikasinya, para pemikir posmodern kriminologi melakukan: 1. pendefinisian ulang konsep kejahatan dan memperluas tema-tema penelitian kriminologi; 2. menyusun teori; 3. merekomendasikan langkah-langkah konkrit dalam pengendalian kejahatan.
Bahan ajar ini akan membahas krimnologi posmodern dalam tiga langkah konkrit yang dilakukan tersebut di atas.
II. Pendefinisian Ulang Konsep Kejahatan. Dalam bagian ini akan dibahas: 1. Kriminologi realis. 2. Kriminologi feminisme 3. Piramida dan prisma kejahatan sebagai alat ukur. 4. Hate crime. 5. Chatastropic criminology. 6. Topological representation of criminal event.
II.1. Kriminologi realis. Kriminologi realis muncul sebagai reaksi terhadap kriminologi kritis yang mendahuluinya khususnya terhadap gagasan filosofis dan politiknya yang mengabaikan dampak dari kejahatan jalanan terhadap korbannya, serta mengusulkan alternatif-alternatif dalam kebijakan pengendalian kejahatan. Kriminologi realis mempunyai perhatian khusus pada realitas akibat dari tindakan kejahatan konvensional yaitu timbulnya korban kejahatan yang bersifat khusus, dan timbulnya rasa takut terhadap kejahatan. Berdasarkan pemahaman terhadap survai korban kejahatan, diketahui bahwa yang paling menderita sebagai akibat dari kejahatan konvensional adalah perempuan. Oleh karena itu kriminologi feminis memprotes bahwa kejahatan kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan adalah sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi secara siginifikan dan tidak ada hubungannya dengan definisi kejahatan oleh penguasa. Sedangkan penjelasan tentang rasa takut terhadap kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak rasional dan keta-khayulan, dan penelitian ilmiah tentang viktimisasi dan penyimpangan perempuan tidak merupakan ancaman politik. Selain perempuan, kelompok-kelompok yang cenderung men-jadi korban kejahatan adalah orang berkulit berwarna, maupun kelas pekerja (Rock, 1992). Kriminologi realis inilah yang mendorong pemikiran kriminologi feminis yang memperjuangkan perlindungan perempuan dalam masyarakat maupun dalam sistem peradilan pidana. Hal ini didorong oleh data survai korban 3
bahwa kaum perempuan merupakan mayoritas dari korban kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus yang menyangkut perempuan tersebut dalam proses peradilan pidana diperlakukan sebagai kasus rata- rata seperti kejahatan yang lain, dan mengabaikan realitas bahwa korbannya adalah perem-puan yang secara struktural diposisikan sebagai pihak yang lemah. Perkembangan pemikiran kriminologi realis (kiri) dipicu oleh pemikiran Young pada tahun 1979, tokoh kriminologi kritis, yang mengemukakan konsep idealisme kiri yang melihat masalah kejahatan sebagai memerlukan ideologi penafsiran ulang terhadap sejarah dan pembentukan masyarakat yang baru. Secara umum dapat dikatakan bahwa ciri realisme bukan pada dekonstruksi maupun rekonstruksi konsep hukum dan ketertiban, tetapi mempersoalkan masalah kejahatan sekarang dalam konteks tempat yang bersifal lokal. Karena perhatian utama kriminologi adalah kejahatan, maka secara progresif memerlukan pengalaman, pencegahan, dan pengen-dalian kejahatan untuk kepentingan kelompok berdasarkan kelas, gender, ras, etnisitas, seksualitas, ideologi dan sebagai-nya yang merupakan korban- korban ketertiban kapitalis. Terkait dengan hal itu maka menurut Lea dan Young (1984:359-363), terdapat enam pokok manifesto dari kriminologi realisme yaitu: 1. Kejahatan sungguh-sungguh merupakan masalah. 2. Kita harus melihat pada realitas di balik kemunculannya. 3. Kita harus mengendalikan kejahatan secara serius. 4. Kita harus melihat secara realistis keadaan-keadaan yang berhubungan dengan pelanggar maupun kor-bannya. 5. Kita harus realistis dalam pemolisian. 6. Kita harus realistis tentang masalah kejahatan pada masa sekarang ini.
Pandangan kriminologi realis tentang kejahatan tersebut dan pengendaliannya didasarkan pada penelitian survai korban yang bersifat lokal. Sebagai contoh, tokoh realis Jock Young dalam Realist Research as a Basis for Local Criminal Justice Policy (Young, 1992: 33-72) berpendapat bahwa tingkat kejahatan adalah hasil dari bekerjanya empat faktor yaitu : (1) polisi dan agen-agen pengendalian sosial yang lain, (2) publik, (3) pelaku pelanggaran, (4) korban. Dalam pemikiran realis, menganalisa kejahatan harus bersifat khusus, yaitu tentang kejahatan tertentu dan tentang pemolisian yang tertentu pula, dan tidak berdasarkan gambaran rata-rata. Asas dalam analisa ini dalam pemikiran realis dijadikan aksioma yang tidak dapat ditawar-tawar. Realisme memberikan perhatikan khusus pada ketidaksetaraan distribusi kejahatan menurut usia, ras, dan gender. Young mengkritik hasil penelitian survai korban yang bersifat nasional yang cenderung mengatakan bahwa ketakutan terhadap kejahatan bersifat tidak rasional. Menurut Young ketakutan terhadap kejahatan yang dialami oleh perempuan adalah respon yang rasional tidak hanya terhadap viktimisasi kriminal, tetapi juga terhadap berbagai bentuk pelecehan dan tindakan yang tidak-beradab yang tidak akan dialami oleh laki-laki.
Meskipun realisme melandaskan diri pada empirisme namun realisme lebih merupakan bentuk integrasi antara observasi dengan teori, dan mengedepankan etiologi daripada kesempatan. Oleh karena itu realisme mempertimbangkan kembali pemahaman sebab-musabab kejahatan yang merupa-kan ciri kriminologi modern (positivis), namun tanpa ambisi generalisasi dan hubungan sebab-akibat tidak dipandang sebagai hubungan linear tetapi hubungan trajektori. Dalam kaitan ini, Young berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi di pusat kota dapat dijelaskan sebagai tingkah laku rasional yang berakar pada masalah materi.
Dalam rangka pengendalian kejahatan, survai korban di lokasi yang tertentu dapat dijadikan masukan dalam merancang kebijakan pengendalian kejahatan dan pemolisian yang sesuai dengan kebutuhan 4
korban. Proses mengolah masukan menjadi kebijakan, menurut Young meliputi empat tahapan, yaitu : (1) identifikasi permasalahan, (2) penilaian prioritas, (3) aplikasi dari asas-asas, dan (4) pertimbangan kemungkinan-kemung-kinan. Dalam tataran praktis, dengan demikian realisme mempromosikan agar supaya masyarakat dapat meng-artikulasikan permasalahannya sendiri dan bukan menurut pandangan orang lain. Melalui cara ini akan dapat ditengarai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan pengendalian sosial kejahatan.
II.2. Kriminologi Feminisme Kriminologi feminisme berkembang sebagai kritik atas kecenderungan tahun 1970-an (lihat Muncie, McLughlin, Langan, 1997:xxii) yang banyak menghasilkan penelitian tentang kejahatan yang dilakukan oleh perempuan, yang dikritik sebagai bias gender, karena memandang perempuan yang melanggar hukum sebagai penyimpang ganda, pertama karena ia perempuan secara sosial tidak diharapkan melakukan pelanggaran dan yang kedua karena pelanggarannya itu sendiri. Kriminologi yang ada saat itu adalah kriminologi laki-laki yang melihat masalah kejahatan dan pengendaliannya dalam pers-pektif berfikir laki-laki (Segal, 1990) Oleh karena itu dipertanyakan kelayakan penelitian-penelitian tentang perempuan pelanggar hukum dalam kriminologi feminisme, dan apakah teori kriminologi feminisme merupakan keniscayaan (Smart, 1990). Dalam konsep dekonstruksi kejahatan yang merupakan salah satu ciri aliran posmodern, kriminologi feminisme memperoleh pijakannya yaitu agar supaya krimi- nologi melakukan dekonstruksi dalam dirinya sendiri dengan meninggalkan keberpihakan (bias) gender dalam merumuskan kejahatan dan penyimpangan (Cain, 1990). Sesungguhnya perspektif feminis kriminologi tidak hanya tunggal tetapi bhineka. Terdapat paling tidak lima perspektif yang mempunyai landasan asumsi teoretis yang berbeda-beda, yaitu: 1. Feminisme Liberal 2. Feminisme Radikal 3. Feminisme Marxis 4. Feminisme Sosialis 5. Feminisme Posmodern
2.1. Feminisme Liberal Feminisme liberal berpendapat bahwa penindasan terhadap perempuan berasal dari sosialisasi peran berdasar gender. Peran sosial laki-laki (misal kompetitif dan agresif) menerima status sosial dan kekuatan yang lebih dibandingkan perempuan. Konsekuensinya feminisme liberal lebih memberi tekanan kepada kesetaraan politik, sosial, hukum, dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Dalam kriminologi, feminis liberal memandang pelanggaran oleh perempuan sebagai fungsi sosialisasi peren berdasarkan gender. Tingkat pelanggaran oleh perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki, karena sosialisasi memberikan kemungkinan kecil untuk melakukan pelanggaran 2.2. Feminisme Radikal Feminisme radikal memandang patriarkhi (dominasi laki-laki), merupakan akar masalah dari penindasan terhadap perempuan. Perempuan mengalami diskrimisasi karena relasi sosial dan interaksi sosial dibentuk oleh kekuasaan laki-laki dan hak-hak khusus laki-laki. Dalam kriminologi, memfokuskan pada manifestasi patriarkhi kejahatan terhadap perempuan, seperti KDRT, perkosaan, pelecehan seksual, dan pornografi, dan mengakui bahwa pelanggaran oleh perempuan akan diikuti dengan viktimisasi, oleh laki-laki.
5
2.3. Feminisme Marxis Penindasan terhadap perempuan karena kedudukan subordinatnya dalam status kelas masyarakat kapitalis. Cara produksi kapitalis membentuk hubungan kelas dan gender yang terutama merugikan perempuan, karena perempuan menduduki kelas pekerja bukan kelas penguasa. Dalam kriminologi, menjelaskan secara teoretis bahwa kedudukan subordinat dari perempuan akan memaksa mereka melakukan kejahatan sebagai cara untuk membantu dirinya sendiri secara ekonomi. 2.3. Feminisme Sosialis Feminisme sosialis menggabungkan pespektif radikal dengan perspektif Marxis. Penindasan terhadap perempuan merupakan hasil dari kecocokannya dengan jenis kelamin dan ketidakadilan sosial berbasis jenis kelamin. Kelas dan jenis kelamin bekerja secara tandem dalam struktur sosial, dan feminis sosialis mengundang penelitian tentang dengan cara-cara bagaimana hubungan gender dibentuk oleh kelas dan gender dan sebaliknya. Dalam kriminologi, penyebab kejahatan adalah konteks hubungan berbasis gender dan kelas dalam sistem kekuasaan. 2.4. Feminisme Posmodern Feminis Posmodern melandaskan diri pada perspektif yang lainnya dengan mempertanyakan keberadaan setiap kebenaran, termasuk penindasan terhadap perempuan. Feminisme Posmodern, menolak kategori yang tetap dan universal, dan mendukung kategori kebenaran jamak. Kemudian mempelajari dampak dari wacana dan representasi simbolik terhadap klaim kebenaran. Dalam kriminologi, feminisme menelaah secara tajam konsep kejahatan, keadilan, dan penyimpangan, serta menantang kebenaran-kebenaran yang diterima dalam kriminologi. Selain kelima perspektif umum di atas, terdapat pengkhususan perspektif seperti perspektif perempuan kulit hitam dan perspektif kritis ras feminisme. Perspektif ini memberi perhatian bagaimana bangsa-bangsa kulit putih melakukan disrkiminasi terhadap keturunan kulit hitam dan minoritas ras lainnya. Ada juga perspektif feminisme lesbian yang mengaitkan penindasan perempuan dengan heteroseksisme dan pengendalian perempuan oleh laki-laki, yang memandang secara pesimistis terhadap laki-laki. Feminisme dunia ketiga memandang penindasan perempuan merupakan fungsi eklpoitasi ekonomi terhdap perempuan di negara-negara sedang berkembang.
II. 3. Pengukuran kejahatan Secara umum kriminologi posmodern berpendapat bahwa mendefinisikan kejahatan bukanlah hal yang mudah karena akan selalu ada sisi bias dari pembuat definisi. Namun demikian untuk membuat agar supaya kejahatan dapat dipahami secara komprehensif, perlu dilakukan pengukuran gejala kejahatan sebagai gejala sosial secara lebih baik. Dalam usaha mendefinisikan kejahatan, Hagan membuat alat ukur kejahatan yang disebutnya sebagai piramida kejahatan. Melalui piramida tersebut akan dapat dipahami kejahatan yang dilihat melalui alat tersebut. Bagi Hagan, kejahatan bukan merupakan variabel yang tetap (konstata), tetapi merupakan variabel tidak tetap (continues). Kejahatan bervariasi bentuknya, ada yang berbentuk pelanggaran ringan seperti pelanggaran ketertiban umum dalam bentuk mabok di depan publik sampai dengan pelanggaran berat seperti terorisme dan pembunuhan masal. Hagan mendefinisikan kejahatan sebagai suatu jenis penyimpangan dari berbagai bentuk norma sosial yang pada akhirnya akan dirumuskan dalam 6
hukum pidana (Hagan, 1985: 49). Dalam definisi tersebut perbedaan keseriusan kejahatan tergantung pada tiga dimensi yang masing-masing mempunyai rentang dari peringkat rendah/ringan hingga peringkat tinggi/berat. Yang pertama adalah agreement about the norm atau derajat konsensus atau persetujuan, yaitu derajat tindakan yang oleh masyarakat akan diterima sebagai benar atau salah. Hagan membuat kategori peringkat konsensus atau persetujuan tersebut mulai dari yang terrendah tidak jelas atau tidak peduli, tidak sepakat, hingga sangat setuju sebagai salah (Lanier, Henry, 2004: 28-29). Dimensi kedua adalah severity of societal response yaitu keseriusan respon masyarakat yang tercantum dalam hukum. Respon sosial ini mulai dari pengabaian, pemberian peringatan, hingga denda, penghukuman penjara, bahkan hukuman mati. Menurut Hagan, semakin serius ancaman hukuman yang dirumuskan, semakin luas dukungan terhadap sanksi tersebut, dan semakin serius penilaian masyarakat terhadap tindakan tersebut (Lanier, Henry, 2004: 29). Dimensi ketiga adalah evaluation of social harm yang dirumuskan Hagan sebagai keseriusan relatif dari kejahatan berdasarkan akibat yang dihasilkannya. Ada pelanggaran hukum yang dampaknya hanya diderita pelanggar, seperti penyalahgunaan narokita, berjudi, pelacuran dan lain-lain perilaku menyimpang. Ada pula pelanggaran hukum yang merugikan orang lain baik dalam jumlah sedikit atau hanya satu dua orang, hingga pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang seperti kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi yang menjual produk yang membahayakan kesehatan orang atau bahkan mematikan orang. Hagan kemudian meragakan tiga dimensi tersebut menjadi piramida kejahatan (Lanier, Henry, 2004: 32). Lenier dan Henry mengkritik bahwa piramida Hagan mempunyai beberapa kelemahan yaitu menganggap tiga dimensi pengukuran kejahatan yang dibuat Hagan belum memadai atau tidak lengkap. Kelemahan piramida Hagan menurut Lanier dan Henry karena mengabaikan kesadaran publik tentang masalah realisasi kejahatan, yaitu adanya korban. Untuk menambal kelemahan piramida Hagan, maka Lanier dan Henry mendisain ulang piramida tersebut menjadi piramida ganda, yang kemudian disebut sebagai prisma. Lanier dan Henry menambahkan piramida terbalik di bawah piramida Hagan. Puncak piramida mencerminkan kejahatan yang sangat tampak yang biasanya dilakukan oleh kelompok yang lemah di muka publik. Misalnya perampokan, pencurian, pencurian ranmor, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, pembakaran. Pada bagian bawah, pada piramida yang ditambahkan, mencerminkan kejahatan yang relatif tersembunyi. Ini meliputi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kelompok yang punya kuasa, misal pelanggaran yang dilakukan oleh birokrat, korporasi, dan organisasi, maupun kejahatan-kejahatan dalam rangka pekerjaannya, seperti penipuan, penggelapan, date rape, pelecehan seksual, KDRT, seksisme, rasisme, ageisme, kejahatan kebencian. Kejahatan yang dilakukan oleh kelompok yang lemah maupun yang kuasa hanya tampak setengah melalui prisma kejahatan. Disebut prisma bukan hanya karena bentuknya tetapi juga dapat dipergunakan untuk menganalisa spektrum dimensi yang membentuk kejahatan. Penjelasan prisma tersebut meliputi kesepakatan sosial, rentang kesepakatan sosial dimulai dari puncak prisma. Posisi a, mencerminkan kesepakatan umum; c. sedang; e. apatis atau tidak peduli pada bagian prisma yang terlebar. Separoh prisma bagian bawah mencerminkan rentang ketidaksepakatan sedang (i) hingga sangat tidak sepakat atau konflik ekstrim (l) pada dasar prisma. 7
II.4. Hate Crime. Hate Crime adalah salah satu bentuk perluasan jangkauan definisi kejahatan. Secara definisi ia merupakan bentuk penyerangan secara fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang karena rasa kebencian terhadap pihak yang diserang. Pihak yang diserang atau korban tidak melakukan tindakan apapun yang dapat membuat siapapun akan melakukan pembalasan. Hanya karena ia dibenci oleh pihak lain, yang biasanya adalah pihak yang fanatik dengan identitas diri kelompoknya, maka korban akan diserang. Contoh klasik hate crime adalah pemusnahan terhadap bangsa Yahudi yang dilakukan oleh Nazi, penyerangan terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat oleh kelompok Klu Klux Klan.
II. 5. Chatastropic Criminology Tema chatastropic criminology juga merupakan usaha untuk memperluas jangkauan penelitian kriminologi malalui perluasan terhadap pengertian kejahatan. Secara umum chatastropic criminology prihatin terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang menghasilkan bencana kemanusiaan, yaitu terorisme dan genosida. Dalam review terhadap jurnal-jurnal penelitian kriminologi, perhatian terhadap masalah terorisme dan genosida agak terlambat karena para ahli kriminologi posmodern lebih memperhatikan persoalan perubahan struktur sosial daripada membahas bentuk-bentuk kejahatan. Oleh karena itu, Yacoubian (2006) yang memperkenalkan konsep chatastropic criminology menghimbau agar para kriminolog banyak melakukan penelitian terhadap masalah bencana kemanusiaan tersebut.
II. 6. Topological representation of criminal event Tema ini merupakan usaha untuk memvisualisasi peristiwa kejahatan berdasarkan lima dimensi sehingga diharapkan dapat dirumuskan teori yang lebih komprehensif selaras dengan kompleksitas masalah kejahatan. Menurut Verma dan Lodha (2002), dengan mempergunakan pendekatan matematikal menganalisa lima dimensi kejahatan secara terpisah maupun gabungan sekaligus yang meliputi peristiwa kejahatan yang meliputi hukum, pelaku, target dan/atau korban, tempat dan waktu kejadian. Kelima komponen tersebut merupakan keadaan yang harus ada. Tanpa salah satu komponen, tidak akan diperhitungkan sebagai peristiwa kejahatan. Melalui visualisasi tersebut diharapkan dapat diperoleh pemahaman distribusi kejahatan dan cara pengendaliannya.
III. Teori-teori kriminologi Posmodern Teori-teori yang dihasilkan oleh posmodern antara lain adalah: 1. Teori integratif 2. Teori chaos 3. Teori konstitutif 4. Power control theory
8
III. 1. Teori integratif Teori Integrasi berarti menggabungkan dua atau lebih teori yang sudah ada, diseleksi berdasarkan persamaannya, menjadi satu model teori yang dirumuskan ulang dan mempunyai nilai keunggulan penjelasan yang lebih komprehensif dibandingkan masing-masing unsur teori asalnya (Farnworth 1989: 95) [Lenier, Henry, 2004: hlm. 342]. Kecenderungan mengintegrasikan beberapa teori dalam kriminologi dimulai pada tahun 1979 berdasarkan unsur-unsur terbaik dari teori-teori yang digabung (Johnson, 1979; Elliot et.al. 1985)[Lenier, Henry, 2004: hlm. 342]. Setiap teori hanya benar menurut perspektifnya. Untuk memahami kejahatan memerlukan penjelasan komprehensif. Teori-teori kriminologi yang amat banyak dan bervariasi sudut pandang dan pendekatannya, dapat digabungkan satu sama lain untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif (Barak, 2002). Kecenderungan penggabungan teori- teori kriminologi juga didorong oleh keterbatasan sifat aplikatif dari masing-masing teori. Penggabungan teori yang dilakukan dalam kriminologi tidak hanya terbatas di dalam satu perspektif, satu disiplin (ilmu sosial), tetapi juga menjadi lintas disiplin bahkan multi disiplin. Daya tarik dalam teori gabungan adalah membebaskan orang dari jerat perspektif, dan membuat teori gabungan sebagai bingkai kreatif pluralitas pengetahuan (Barak 2002). esungguhnya teori integratif tidak hanya dilakukan oleh pemikiran posmodern tetapi juga oleh pemikiran modern. Menurut Barak ciri dari teori integratif posmodern tidak terletak pada teorinya sendiri tetapi pada pengetahuan yang diperoleh. Posmodern tidak mencari hubungan sebab-akibat dalam satu disipli atau antar disiplin, posmodern menghasilkan model-model penjelasan kejahatan dan pengendaliannya yang menunjukkan hubungan sepanjang atau lintas pengetahuan interdisiplin yang luas (Barak, 1998a). Sebagai contoh, Vila (1994) dalam teori evolusi ekologi dalam karyanya "A General Paradigm for Understanding Criminal Behavior: Extending Evolutionary Ecological Theory", konsisten dengan semangat posmodern dalam menggabungkan teori sebab-musabab secara multidisiplin berdasarkan pengetahuan. Vila melakukan integrasi berbagai teori menurut tingkat annalisanya seperti teori anonie, teori pengendalian sosial, teori labeling dan teori belajar sosial yang berasal dari psikologi sosial, dan pada tingkat yang lain ia menelaah menurut kurun waktu lintas disiplin, perubahan-perubahan yang berasal dari perilaku "akusisi sumber daya" dan "retensi sumberdaya" dari para aktor sosial semenjak masa anak-anak hingga dewasa.Dengan kata lain, model sintesa ini tidak hanya mempunyai akar pada evolusi ekologi interdisiplin, tetapi mempergunakan pendekatan orientasi-masalah daripada orientasi- disiplin dalam mempelajari tingkah aku kejahatan (VIla, 1994:315). Richard Hervey Brown (1989:1) berpendapat bahwa: "konflik-konflik yang terjadi di dalam kebudayaan kita, yaitu antara perbendaharaan kata-kata dalam wacana ilmiah dengan wacana naratif, antara positivisme dengan romantisisme, antara objektivisme dengan subyektivisme, dan antara sistem dengan kehidupan-dunia, dapat disentasakan melalui kebenaran yang puitis yang memandang ilmu-ilmu sosial dan masyarakat sebagai teks". Berdasarkan pandangan ini, bahasa bukanlah refleksi dunia maupun pikiran. Sebaliknya, praktik sejarah sosial ketika makna dari kata-kata tidak diambil dari benda-benda atau maksud-maksud, tetapi berasal dari tindakan orang yang secara sosial terkordinasi. 9
Sampson dan Laub (1993:18) dalam Crime in the Making: Pathways and Turning Points Through Life, dalam pengembangannya tentang pendekatan "batu pijakan" terhadap delinkuensi dan kejahatan dapat ditemukan pada data naratif sejarah hidup dan di dalam rekonstruksi sosial kejahatan. Dalam penjelasannya tentang kejahatan, mereka menekankan pada "peran pengendalian sosial informal yang muncul dari peran timbal-balik dan struktur ikatan antar pribadi yang menghubungkan anggota-anggota masyarkat satu sama lain dan dengan pranata-pranata sosial yang lebih luas seperti pekerjaan, keluarga dan sekolah. Arrigo (1995) berpendapat bahwa kunci dari integrasi posmodern adalah dalam produksi analisa yang tidak bersifat total dan penilaian yang tidak bersifat global. Bentuk integrasi yang dihasilkan Arrigo tidak "didasarkan pada asumsi untuk mengetahui kondisi-kondisi atau penyebab-penyebab kejahatan atau kontroversi legal dengan menawarkan baik integrasi yang berdasarkan model homeostatisatau teori khusus yang kaku (Arrigo, 1995:465). Sebaliknya, menurut Arrigo posmodern lebih memilih untuk memikirkan sintesa untuk merujuk pada "fungsi-fungsi ralasional, posisional, provisional dalam menafsirkan dan menafsirkan ulang, memvalidasi, dan mengakui wacana-wacana jamak dan ekspresinya tentang konstruksi realitas dalam susunan-susunan sosial yang berbeda-beda." Oleh karena itu, ia dapat membuat sintesa narasi yang secara konseptual kaya yang menggabungkan berbagai pengetahuan yang berbeda-beda seperti psikoanalisa, semiotika, pos-strukturalis, dekonstruksionisme, agen manusia, pembentukan peran, perubahan sosial, dan lain-lain. Messerscmidt (1997) dalam Crime as Structured Action: Gender, Race, Class, and Crime in the Making terlibat dalam konstruksionisme dasar yang meliputi tidak hanya melalui wacana, tetapi juga lebih penting lagi, melalui cara-cara ketika orang-orang secara aktif mengkonstruksi identitas mereka sendiri, maskulin feminin, dalam hubungannya dengan kejahatan dan ko nteks sosial yang khusus karena mereka berbeda-beda menurut waktu dan situasi dan juga melalui kelas, ras, gender dsb. Menurut Henry dan Milovanovic (1996:x), tipe-tipe analisa integratif tersebut melampaui argumen posmodern tentang kejahatan dan merupakan produksi rekursif (berulang), aktivitas-aktivitas rutin yang merupakan bagian atau paket wacana dan struktur khusus sejarah dan budaya yang telah mencapai stabilitas relatif menurut waktu dan tempat. Analisa tersebut berakar secara material, dan wacanatentang ketidaksetaraan struktural tersebut, sebagai contoh, "menjadi kordinasi tindakan sosial dan "pelaku kejahatan" tidak lebih merupakan "inveaistor yang berlebihan" dalam akumulasi dan ekspresi kekuasaan dan pengendalian." Sebagai contoh, Barak dan Henry (1999) dalam "An Integrative- Constitutive Theory of Crime, Law, and Social Justice," melakukan pengujian terhadap ko-produksi kejahatan dan konsumsi kejahatan serta ko-produksi kejahatan dan keasilan (baik pelau maupun masyarakat). Teori tersebut "menghubungkan kajian kebudayaan dengan kajian kejahatan. Ini merupakan teori yang memelihara pluralitas perbendaharaan kata yang melaluinya orang yang berbeda- beda mengalami kekerasan maupun bekerjanya kekuasaan sistem peradilan pidana. Menurut Arrigo (1999: 151) ini merupakan teori yang mengintegrasikan berbagai sudut pandang menjadi sudut pandang yang lebih lengkap, lebih kuat tentang hukum, kejahatan dan penyimpangan. Pada akhirnya, kata Barak, Flavin, and Leighton (2001), bentuk-bentuk sintesa tersebut merupakan usaha untuk membawa interseksi kelas, ras, dan gender bersama-sama dengan dinamika pembentukan identitas sosial dan komunikasi massa. 10
III.2. Teori chaos Teori tentang ketidakteraturan (chaos) berasal dari bidang metereologi dan dikembangkan dalam bidang matematika dan fisika dipergunakan oleh T.R. Young (1991) untuk menjelaskan gejala kejahatan. Berbeda dari makna harafiah kata chaos yaitu ketidak-teraturan, teori ini bicara tentang keteraturan dari sesuatu yang tampak seperti ketidakteraturan. Atau dengan kata lain, berbagai hal yang selama ini dipandang sebagai ketidak-teraturan sesungguhnya mempunyai ciri keteraturan. Namun keteraturan dalam ketidakteraturan tersebut tidak bersifat linear dalam arti tidak pernah terjadi pengulangan yang persis sama dan tidak bersifat periodik. Menurut penemu dari teori chaos yaitu Edward Lorenz (1960) perubahan kecil pada kondisi awal akan dapat mengubah tingkah laku secara drastis dalam jangka panjang, seperti misalnya kepakan sayap kupu-kupu akan dapat mengakibatkan terjadinya tornado. Dampak dari kepakan sayap kupu-kupu tersebut mengakibatkan percabangan dua (bifurcation) yang menghasilkan gambar yang mirip dengan sayap kupu-kupu yang disebut sebagai dimensi fraktal atau merupakan atraktor. Dalam teori ketidakaturan kejahatan, Young mengasumsikan bahwa ilmuwan pos-modern tidak mempunyai definisi yang ditawarkan untuk menjelaskan ketertiban dan ketidaktertiban. Bila pos- modern merujuk pada ketertiban yang dipergunakan dalam hukum dasar, praktik pemolisian dan penghukuman, pos-modern menuntut syarat kepekaan terhadap kepentingan manusia dan proses politik ketika dirumuskannya dan ditegakkannya pengertian ketertiban tersebut. Ketertiban memang perlu ditegakkan, demikian juga bentuk lain (bifurcation) dari ketertiban juga perlu dimasyarakatkan. Proses kemanusiannya memerlukan campuran antara ketertiban dan ketidaktertiban, karena terdapat kecondongan yang kuat untuk mengutamakan ketertiban ketika terjadi kericuhan. Anarki harus dilihat sebagai hal yang biasa saja bila terjadi di antara kelompok yang sebanding dengan sumber daya yang sebanding pula, tetapi kenyataannya kekuasaan dan hak-hak khusus telah meracuni proses sosial tersebut (Young, 1998:1). Konsep chaos adalah ketidakteraturan yang luar biasa, dan reaksi terhadapnya untuk melakukan lebih banyak usaha untuk memulihkan keadaan, mengendalikannya, dan menghasilkan konformitas terhadap struktur norma yang ada adalah pandangan konservatif. Chaos adalah kajian tentang ketertiban dan ketidaktertiban. Ketidaktertiban adalah hal yang penting bagi berbagai bentuk kehidupan. Ketertiban dapat menghasilkan kematian; dan ketertiban yang diutamakan dalam ilmu-ilmu modern adalah impian kaum tiran. Oleh karena itu konsep chaos sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan perlunya ketertiban, yang diperlukan adalah adanya percampuran yang serasi antara ketertiban dengan keadaan manusia dan terhadap suasana kehidupan tempat kehidupan ini bergantung (Young, Ibid). Teori chaos tentang kejahatan adalah teori radikal yang memusatkan perhatian pada hal-hal kecil (perubahan kecil pada kondisi awal) yang merupakan parameter kunci tentang masyarakat apa adanya yang diperhitungkan bagi timbulnya kejahatan. Setiap bentuk kejahatan dan setiap kejahatan mempunyai sejumlah faktor yang menyebabkannya mempunyai daya tarik (attractive) atas hasilnya. Sejumlah faktor tersebut antara lain adalah ketidaksetaraan kelas, gender, rasial, dan etnisitas. Namun demikian ketidaksetaraan tersebut merupakan ketidaksetaraan non-linear. Dalam pandangan teori chaos, ada ditemukan ketidaksetaraan yang tidak mempunyai dampak terhadap kejahatan. Penerapan 11
pertanyaan kriminologi non-linear adalah bagaimana rasio yang ada antara mereka yang berada di bawah dengan mereka yang ada di atas dalam piramida kekuasaan, kesejahteraan, dan kehormatan sosial. Terkait dengan angka-angka Feigenbaum (bahwa percabangan dua terjadi dalam rate yang konstan), non-linear ini bertanya tentang berapa banyak ketidaksetaraan bermanfaat dan berapa banyak pula ia menghasilkan ketidakstabilan. Di samping ketidaksetaraan dan pemeliharaan ketidaksetaraan terdapat interaksi yang halus yang mungkin melandasi dinamika kejahatan, yaitu parameter-parameter psikologis seperti ke-inginan (desire), ketidaknyamanan (insecurity), status, dan tuntutan palsu atas barang-barang baru yang didorong oleh iklan yang akan membuat orang-orang berubah menjadi daya tarik (attractor) satu sama lain. Dan nilai-nilai keagamaan menghasilkan lebih banyak kejahatan; kejahatan terhadap perempuan, kejahatan terhadap suku terasing, dan terhadap anak-anak. Kejahatan white-collar misalnya, besaran perbedaan antara keinginan dan kesejahteraan, status dan kekuasaan di satu pihak dan perubahan dalam kesempatan memperoleh penghasilan, penghargaan/pengakuan, dan pemenuhannya di lain pihak, merupakan faktor yang melatarbelakangi kejahatan tersebut. Faktor penyebab bagi timbulnya kejahatan, dengan demikian, akan memberikan pemahaman baru tentang kesalahan pidana. Bagi teori chaos, faktor penyebab merupakan hal yang relatif tergantung pada skala analisa dan wilayah diagram percabangan dua (bifurcation), dan kesalahan dapat bersifat fraktional / kecil saja (Young, 1998: 2). III. 3. Teori Konstitutif Pemikiran constitutive criminology yang mencoba meng-gabungkan pemikiran empirisme modern dengan tetap mem-berikan kritik terhadapnya serta mengembangkan pemikiran pos-modern dengan meninggalkan konsep dekonstruksionisme yang merupakan ciri pos-modern. Henry dan Milovanovic mengemukakan teori constitutive criminology yang diakuinya sebagai pemikiran kriminologi kritis yang matang. Pemikiran kriminologi konstitutif dipengaruhi oleh berbagai teori sosial kritis seperti interaksi- simbolik, konstruksionisme sosial, fenomenologi, etnometodologi, struktural Marxisme, pos- strukturalisme, teori strukturasi, dan semiotik (Henry dan Milovanovic, 2000:268). Menurut mereka, dalam perkembangan pemikiran kriminologi konflik pendekatan yang dipergunakan adalah menolak teori kriminologi yang mereduksi kejahatan sebagai semata-mata sebagai hasil dari konteks mikro dan makro. Memahami kejahatan harus mempertimbangkannya sebagai hasil akhir dari wacana (discourse) yang dilakukan oleh manusia dalam mempertahankan ideologi bahwa kejahatan adalah realitas yang konkrit. Berbeda dengan pemikiran pos-modern yang bersikap skeptis terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kriminologi konstitutif justru menyetujui penggunaan ilmu sosial dan humaniora dalam analisanya. Pemikiran pos-modern dalam hal ini berpendapat bahwa tidak ada hak khusus dalam ilmu pengetahuan. Setiap orang adalah pakar (Henry, Milovanovic, 1996:3). Meskipun demikian kriminologi konstitutif sependapat dengan pemikiran pos-modern yang mengkritik empirisme ilmu sosial dalam pemikiran modern, tetapi tidak menafikannya. Apabila pemikiran pos-modern mengedepankan de- konstruksi, maka kriminologi konstitutif lebih mengedepankan rekonstruksi dan redireksi. Bagi kriminologi konstitutif, dekonstruksi dan rekonstruksi adalah komponen pendamping yang penting bagi pembentukan suatu dunia yang kurang bersifat merugikan, yaitu dunia yang dapat diperbaiki, terbuka 12
bagi perubahan, mengakomodasi munculkan bentuk-bentuk sosial yang memiliki raga dan inti (Henry, Milovanovic, 1996: ix). Kriminologi konstitutif mempromosikan bahwa mahluk manusia bertanggung jawab secara aktif bagi pembentukan dunia bersama-sama dengan yang lain. Pembentukan tersebut dilakukan dengan menstransformasi keadaan sekitarnya melalui interaksi dengan yang lain, paling tidak melalui wacana Melalui bahasa dan representasi simbolik mereka menengarai perbedaan-perbedaan, mengkonstruksi kategori-kategori, dan memiliki andil bersama suatu kepercayaan terhadap realitas yang dikonstruksi sebagai ketertiban, bila tidak akan terjadi kekacauan. Konstruksi realitas sosial inilah yang harus dituju oleh makhluk manusia (Ibid). Dalam proses konstruksi sosial tentang kategori-kategori ketertiban dan realitas yang tidak saling berhubungan, mahluk manusia tidak hanya sebagai pembentuk tetapi juga dibentuk olehnya. Mereka adalah pembentuk pendamping dan hasil samping dari mereka sendiri bersama-sama dengan lain-lain agen sosial. Makhluk manusia diberi saluran dan berubah, mempunyai kemampuan dan dibatasi sepanjang masa dan proses pembentukan yang terus-menerus (Ibid). Mengenai kejahatan, kriminologi konstitutif mengar-tikannya sebagai suatu ekspresi energi untuk membuat suatu perbedaan dari yang lain, dikeluarkan oleh yang lain yang secara seketika membuat pihak yang lemah membuat dirinya menjadi berbeda. Kejahatan adalah kekuasaan untuk meng-abaikan yang lain, dan ini merupakan produksi yang berulang-ulang, secara historis, merupakan wacana budaya yang khusus yang sudah mencapai tingkat kestabilan relatif. Karena kejahatan berakar secara materialistik, wacana tentang keja-hatan menjadi koordinat tindakan sosial yang merupakan titik tempat pelaku-pelaku kejahatan tidak lebih sekedar merupakan investor yang berlebihan dalam akumulasi ekspresi kekuasaan dan pengendalian (Henry, Milovanovic, 1996: x). Henry dan Milovanovic sebagai pelopor kriminologi konstitutif berpendapat bahwa kejahatan yang merupakan hasil bersama tersebut muncul bila para agen (manusia) bertindak di luar pola kejahatan, apabila yang satu ingin mengendalikan tingkah laku jahat, dan apabila yang lain lagi mencoba untuk menelitinya, melakukan telaah filosofis, dan menjelaskanya. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa mengurangi kejahatan akan menghasilkan pengurangan investasi manusia dalam ideologi produksi kejahatan. Refleksi rekonseptualisasi kejahat-an tersebut membutuhkan pengembangan wacana peng- gantinya, daripada menentangnya, yaitu suatu wacana peacemaking dan bukan wacana konflik (Henry, Milovanovic, 1991: 293-316). Konsep-konsep constitutive criminology, post-structuralis criminology, dan integrative criminology tampaknya oleh Milovanovic dipergunakan sebagai istilah yang bergantian. Bahkan salah satu tokoh kriminologi pos-modern juga menawarkan model analisa kejahatan yang tidak membatasi diri pada salah satu aliran pemikiran maupun cabang ilmu, yang ia sebut sebagai integrative criminology (Lihat Barak, 2002). Milovanovic (1997) dalam usahanya menjelaskan kriminologi pos-modern yang bukan barang lama tapi dengan baju baru, memberikan uraian perbedaan antara kriminologi modern dengan kriminologi pos- modern. Kriminologi modern yang dimaksud oleh Milovanovic adalah teori-teori kriminologi aliran pemikiran positivis dan interaksionis. Menurut pendapat Milovanovic, adalah tidak benar bahwa orang 13
berpendapat kriminologi pos-modern adalah kriminologi modern yang diberi baju baru. Kriminologi pos- modern sungguh-sungguh merupakan pemikiran yang secara radikal mempergunakan konsep-konsep baru. Apabila pemikiran kriminologi modern berasal dari era pencerahan, yaitu era pembebasan ilmu sosial sebagai akibat kemakmuran kapitalis yang bertujuan untuk melindungi hak-hak yang asbstrak dari setiap orang, pemikiran pos-modern berdasarkan pamahaman sensitif terhadap karya-kraya klasik mulai dari Marx, Weber, Durkheim, Freud hingga pemikiran kritis aliran Frankfurt, dan asal muasal pemikiran itu berasal dari Prancis (Milovanovic, 1995:2). Selanjutnya ia mengatakan bahwa teori-teori pos-modern membahas tentang teori chaos, teori Godel, teori katastrof (bencana alam), mekanika quantum, dan teori topologi (Ibid). Tampak bahwa teori-teori pos-modern banyak menyerap teori ilmu alam, dan bahkan dalam penelitiannya juga mempromosikan penggunaan metode penelitian alam. Menurut Pettit (2002) kriminologi konstitutif merupakan usaha untuk membangun perspektif yang baru dalam teori kriminologi. Perspektif ini berlandaskan pada analisa pos-modern. Kriminologi konstitutif sebagai pencarian ilmiah merupakan sintesa dari berbagai macam sintesa radikalisme yang meliputi: interaksionisme simbolik, dekonstruksifisme, sosiologi penomenologi, dan filsafat bahasa. Lebih jauh perspektif ini terutama memberi perhatian pada penafsiran dan penafsiran ulang terhadap realitas. Dengan berlandaskan pada pandangan pos-modern, kriminologi konstitutif berpendapat bahwa melalui pandangan ini dimungkinkan untuk merekon-struksi kebenaran (truth). Terkait dengan kejahatan, menurut kriminologi konstitutif, kejahatan dan pengendaliannya harus ditelaah dalam rangka totalitas konteks semua kebudayaan yang ada. Melalui pandangan ini perlu memperluas konsep kerugian termasuk semua kekuasaan yang bersifat menyerang mahluk manusia, tidak semata-mata dibatasi oleh pandangan sempit tentang sifat memaksa dari kejahatan jalanan. Berdasarkan teori ini, tindakan kaum bisnis dan politisi bila mereka merecoki otonomi yang lain akan dapat dikategorikan dalam isu tindakan yang merugikan. Dengan demikian kejahatan dibentuk melalui serangkaian proses interaksi sosial (Pettit, 2002: 84). Teori kriminologi konstitutif, menurut Pettit selanjutnya, memberikan landasan untuk melakukan evaluasi ulang terhadap kepercayaan umum yang ada sekarang ini tentang pelaku pelangaran seksual, tuna wisma, kasus-kasus yang serius, agen-agen hukum, dan persepsi tentang keburukan. Tipe-tipe pelanggaran tersebut merupakan hasil dari proses interaksi sosial yang kompleks, dan pandangan tradisional yang tertuang dalam penafsiran hukum tidak sesuai dengan realitas sosial. Dalam hal ini hukum lebih bertindak mengkolonisasi warganya daripada meniadakan kerugian (Pettit, 2002: 84-85). III.4. Power Control Theory Teori ini merupakan teori yang mencerminkan perspektif gender tentang perbedaan kenakalan yang dilakukan oleh anaka-anak laki-laki dibandingkan anak-anak perempuan. Teori yang dirumuskan oleh Hagan ini bersamsumsi bahwa perbedaan gender dalam kejahatan adalah fungsi kekuasaan ekonomi dan pengendalian oleh orang-tua terhadap anak. Dalam penjelasan teoretisnya dikatakan bahwa anak- anak perempuan lebih ketat dikendalikan dibandingkan anak laki-laki dalam keluarga yang didominasi oleh tradisi dominasi laki-laki, sedangkanpada keluarga yang egaliter anak-anak perempuan dikendalikan secara sama dengan anak-anak laki-laki. Menurut Hagan, kenakalan dan kejahatan merupakan fungsi dari dua faktor: 1) Posisi kelas (power); dan fungsi-fungsi keluarga (control). 14
Hubungan antara dua variabel tersebut adalah bahwa dalm keluarga, orang-tua mereproduksi hubungan kekuasaan yang diperoleh di tempat kerja. Suatu posisi yang dominan di tempat kerja akan diwujudkan dalam bentuk pengendalian di keluarga. Sebagai akibatnya, pengalaman pekerjaan orang-tua dan posisi kelas mempengaruhi kriminalitas pada anak-anaknya. Pada keluarga paternalistik, ayah dianggap mempunyai peran tradisional sebagai pencari nafkah, sedangkan ibunya cenderung mempunyai peran yang tidak penting dalam mencari nafkah atau tetap di rumah untuk mengawasi urusan-urusan rumah tangga. Ibu-ibu mengendalikan tingkah laku anak-anak perempuannya dan memberikan kebebd=asan kepada anak laki-lakinya. Ibu-ibu menyiapkan anak-anak perempuannya untuk menjaga tradisi mengurus rumah tangga. Anak-anak laki-laki bebas untuk menyimpang karena bebas dari pengendalian ibunya dan juga mempunyai akses yang lebih besar untuk melakukan tingkah laku orang dewasa yang sah (kerja paroh waktu atau bepergian). Sebaliknya, tanpa pelepasan tingkah laku sah ini, anak-anak perempuan yang tidak bahagia atau tidak merasa puas dengan statusnya didorong untuk melakukan tingkah laku pelarian yang berresiko, termasuk tingkah laku keputusasaan seperti lari dari rumah dan berusaha bunuh diri. Pada keluarga egaliter, yaitu ketika suami dan isteri mempunyai posisi yang serupa, mereka berbagi posisi kekuasaan di rumah dan di termpat kerja, anak-anak perempuan memperoleh kebebasan yang mencerminkan berkurangnya pengendalian keluarga. IV. Pengendalian kejahatan. Salah satu ciri utama dari kriminologi posmodern adalah berambisi menyelesaikan masalah kejahatan yang tidak menimbulkan masalah yang lain. Selain itu, kriminologi posmodern juga berusaha agar supaya kriminologi mempunyai manfaat praktis bagi masyarakat, yang dalam hal ini menyelesaikan masalah kejahatan tanpa menimbulkan masalah baru. Dalam konteks pengendalian kejahatan di samping secara konsekuen dilakukan oleh kriminologi realis berupa rekomendasi terhadap polisi lokal untuk melakan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang rentan menjadi korban kejahatan di wilayah itu, juga dihasilkan rekomendasi yangdikenal sebagai peacemaking criminology dan restorative justice. IV. 1. Peacemaking criminology Dasar pemikiran dari kriminologi perdamaian adalah bahwa kekerasan dan ketakutan terhadapnya dan derita darinya adalah berbahaya. Ia berasal dari orang-orang yang berdasarkan agenda kebebasannya dan tujuannya, mengejar sesuatu dengan tanpa memperhitungkan dampaknya bagi orang-orang lain. Sebaliknya, responsiveness adalah interaksi ketika agenda pribadi diubah secara terus-menerus dengan mengakomodasi perasaan dan kebutuhan orang lain. Pepinsky (2000) mengatakan bahwa: Perdamaian menggantikan kekerasan bilamana interaksi menjadi responsif (Pepinsky, 1988, 1991). Ketika kekerasan dan ketakutan serta penderitaan darinya membahayakan orang dalam usahanya untuk mencapai tujuan-tujuan dan agenda-agenda kebebasan dirinya tanpa memandang apakah akan berdampak pada orang lain, responsiveness merupakan 15
interaksi ketika agenda-agenda pribadi para aktor berubah secara konstan, mengakomodasi perasaan- perasaan dan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak lain. Responsiveness adalah bagaimana orang bertindak dalam demokrasi partisipatoris, . . . yaitu cara membuat orang bertingkah laku beradab daripada menghukum kriminalitas (Pepinsky dan Jesillow 1992 [1984]: 127-38). Berbagai urusan akan menjadi lebih aman dan lebih jujur, apabila insentif pajak dan berbagai subsidi diberikan untuk membantu bisnis yang dilakukan oleh pekerja/klien dan dioperasikan dan dimiliki secara demokratis. Penjara menjadi tempat yang aman apabila dikelola secara demokratis. Merespon kejahatan dan kekerasan dilakukan dengan membangun keamanan, dengan menghimbau para korban dan para pelaku memperoleh dukungan komunitas dalam menemukan cara mereka sendiri ke arah komunitas yang aman, seperti VORPS (Victim Offender Reconciliation Programs). Demokratisasi (partisipatoris) adalah jalan setapak menuju perdamaian. VORPS membangun keamanan dengan cara menghimbau korban dan pelaku melalui bantuan komunitas menghasilkan cara sendiri untuk menjamin kehidupan komunitas yang aman. Menurut Christie (1977) VORPS merupakan cara menyelesaikan masalah oleh mereka sendiri. Usulan yang seirama misalnya abolisi, restorative justice. Nama peacemaking criminology diberikan oleh Pepinsky bersama-sama dengan Quinney (1991) yang berusaha mencari dasar-dasar yang mendorong orang untuk menghasilkan perdamaian sebagai pengganti kekerasan. IV. 2. Restorative Justice. Secara definisi, restorative justice adalah usaha untuk menyelesaikan konflik, termasuk konflik kejahatan secara informal yang dilakukan secara non formal oleh warga masyarakat sendiri. Tujuan utama dari cara ini adalah memulihkan hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik agar supaya kembali seperti keadaan seperti sebelum konflik. Cara penyelesaian konflik ini harus merupakan kesepakatan tulus dari pihak-pihak yang berkonflik dan direstui oleh masyarakat. Sesungguhnya restorative justice diadopsi dari cara bangsa-bangsa Timur di dalam menyelesaikan konflik secara adat dengan menerapkan hukum adat yang ciri utamanya adalah mengupayakan perdamaian yang menghasilkan keadilan substantive. Dengan demikian perlu disadari bahwa konsep restorative justice sesungguhnya adalah praktik hukum adat dari bangsa-bangsa Timur. Dalam perkembangan hukum di Barat, bangsa Barat tidak puas dengan hasil bekerjanya sistem hukum mereka sendiri. Konflik perdata yang yang diselesaikan di pengadilan akan bermuara pada keputusan kalah-menang, sedangkan konflik pidana bermuara pada keputusan benar-salah. Keputusan pengadilan yang oleh Weber disebut sebagai keadilan prosedural telah kehilangan kemampuannya menghasilkan keadilan subtantiv. Bahkan konflik antara para pihak kendatipun sudah ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap, masih berjalan terus sebab keadilan substantiv tidak dapat dipenuhi melalui sistem hukum formal. Dalam upaya mencari solusi hukum yang lebih baik, secara pelahan bangsa Barat meninggalkan doktrin hukum yang kaku. Dimulai dari bidang perdata yang memperkenalkan penyelesaian yang menguntungkan para pihak melalui arbitrase. Di bidang pidana pencarian keadilan substantiv dipicu antara lain oleh cara bangsa Afrika Selatan yang ketika membebaskan diri dari politik apartheid, tidak 16
melakukan pembalsan dendam terhadap minoritas kulit putih. Alih-alih melakukan balas dendam kebijakan otoritas baru warga asli Afrika berkulit hitam membuat kebijakan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ruh dari KKR ini adalah pengakuan bersalah dan perdamaian bukan dendam serta mengesampingkan unsur pidana dari para penguasa kulit putih sebelumnya. KKR pernah juga diundangkan di Indonesia dalam rangka merspon pelanggaran berat HAM. Namun sayangnya melalkui judicial review di Mahkamah Konstitusi undang-undang KKR tersebut dibatalkan. Pembatalan tersebut lebih diwarnai oleh pemahaman hukum yang bersifat legalistik yang jauh dari realitas bekerjanya masyarakat Timur. Salah satu temuan penting bangsa Barat dalam menyelesaikan konflik pidana yang diharapkan menghasilkan keadilan substantiv adalah restorative justice yaitu penyelesaian konflik pidana secara non formal diserahkan kepada komunitas yang bersangkutan yang bertujuan untuk memulihkan kerugian korban dan juga memulihkan hubungan para pihak dan direstui oleh masyarakat. Sesungguhnya restorative justice adalah praktik hukum adat yang banyak dilakukan oleh suku-suku bangsa pada masyarakat bangsa-bangsa Timur termasuk Indonesia. Oleh karena itu karena restorative justice sesungguhnya merupakan filsafat hukum bangsa Timur (Oriental) maka kebijakan hukum penerapan restorative justice seyogyanya sebagian besar diartikan sebagai revitalisasi hukum adat, bila konflik terjadi di antara sesama pendudkung hukum adat yang sama. Revitaisasi ini memperoleh pijakan yang kokoh yaitu UUD 1945 Amandemen ke empat, secara tegas mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. V. Perkembangan mutakhir. Pemikiran-pemikiran kriminologi terus berkembang, tidak hanya berakhir dengan pemikiran posmodern. Termasuk dalam pemikiran mutakhir adalah perhatian dari para ahli kriminologi yang mengamati adanya kriminalisasi terhadap budaya pop yang diwujudkan dalam seni pop seperti grafiti, budaya punk yang mendorong dihasilkannya pemikiran kriminologi budaya. Dalam perkembangannya kriminologi budaya menjadi suatu analisa yang terintegrasi antara analisa budaya dengan analisa kriminologi terhadap cara-cara hidup yang merugikan. Bahkan dalam pemikiran ini, kejahatan dipandang sebagai budaya (cara hidup). Namun tidak berarti bahwa kriminologi budaya membenarkan kejahatan. Yang berbeda adalah dalam rekomendasi penyelesaian masalah, diwarnai oleh pemikiran posmodern yaitu menyelesaikan masalah tanpa masalah yang dilakukan dengan cara menawarkan wacana pengganti yaitu cara hidup yang tidak merugikan pihak lain. Sementara itu cara hidup yang "normal" bila ternyata merugikan budaya lain, maka budaya tersebut juga dikategorikan sebagai kejahatan. Budaya "toko swalayan" adalah budaya yang "normal". Namun dalam kenormalannya itu ternyata telah mematikan warung-warung tradisional, dan itu adalah kejahatan. Secara lebih khusus kriminologi budaya, menyoroti peran media massa yang seringkali membesar- besarkan masalah kejahatan dan menjadikan kejahatan sebagai komoditas. Perhatian khusus terhadap konstruksi kejahatan oleh media ini menghasilkan pemikiran newsmaking kriminology.
17
Referensi Amanda Burgess-Proctor. Intersection of Race, Class, Gender, and Crime: Future Directions for Feminist Criminology. Feminist Criminology 2006, 1: pp.27-47 http://fcx.sagepub.com/content/1/1/27 Dragan Milovanovic (1997), Dueling paradigms: Modernist v. Postmodernist thought. Revised version from Humanity and Society, 19(1): 1-22, 1995; and revised in Dragan Milovanovic, Postmodern Criminology. New York: Garland Publishing. Hal Pepinsky, A Criminologist's Quest For Peace, Criminal Justice Policy Review, 11, 2 (December 2000) Jeff Ferrell, Crime And Culture, Dalam C. Hale, K. Hayward, A. Wahidin, E. Wincup. Criminology. Oxford: Oxford Univ. Press, 2005 John Hagan, John Simpson, A.R. Gillis (1987), "Class in the Household: A Power-Control Theory of Gener and the Delinquency." American Journal of Sociology. Vol . 92, No. 4, hlm. 788-816. John Hagan. The Disreputable Pleasures. Toronto: McGraw-Hill Ryerson, 1977. Lea, J., dan J. Young (1984), What is to be Done about Law and Order? Harmoundsworth: Penguin. Mark M. Lanier & Stuart Henry. Essential Criminology, 2 nd Edition. Oxford: Westview Press, 2004 Rock, P. (1992), The Criminology that Came in Out of the Cold, dalam J. Lowman, and B.D. MacLean. Realist Criminology. Crime Control and Policing in the 1990s. Toronto: University of Toronto, hlm. 139-156. hal. ix-xii. Verma, Arvin & S.K. Lodha (2002), "A Topological Representation of the Criminal Event." Western Criminology Review 3 (2) [Online]. Available at http://wwcr. sonoma.edu/v3n2/verma.html. Yacoubian, G.S. (2006), "Genocide, Terrorism and Conceptualization of Catastrophic Criminology", War Crime, Genocide & Crime Against Humanity , Volume 2, pp. 65-85. Young, J. (1992), Realist Research as a Basis for Local Criminal Justice Policy, dalam J. Lowman, and B.D. MacLean. Realist Criminology. Crime Control and Policing in the 1990s. Toronto: University of Toronto, hlm. 32-72.