You are on page 1of 36

1

PERAN KATEKESE UMAT


dan
PERAN PELAJARAN AGAMA

(Rm. Yosef Lalu, Pr)

PENDAHULUAN

Sebuah kendaraan truck yang diberi muatan terlalu banyak, akan
sangat lamban perjalanannya, bahkan bisa mengalami bencana.
Mobil itu bisa tergelincir keluar dari jalur perjalanannya kalau
jalannya sangat licin, atau bahkan bergerak mundur kalau
jalannya menanjak tajam.

Dalam kehidupan bergereja dan karya pastoral, kita memiliki
rupa-rupa corak perwataan yang dapat membuat Gereja kita
bergerak maju dengan cepat. Kita memiliki rupa-rupa corak
pewartaaan seperti: katekese, kotbah, homili, pendalaman dan
sharing Kitab Suci, sampai kepada berteologi dan sebagainya.

Dalam berkatekese saja, kita memiliki rupa-rupa pola, antara lain
pola katekese pelajaran iman

atau pelajaran agama, yang
umumnya dijalankan di sekolah-sekolah atau diparoki-paroki,
misalnya dalam rangka persiapan penerimaan sakramen-
sakramen. Sementara itu kita memiliki pula pola katekese
2

sebagai komunikasi iman, yang di kembangkan sejak PKKI
pertama (1977) di Sandanglaya.

Kedua pola Katekese itu memiliki kekhasan dan peran serta
kekuatannya masing-masing. Jangan diminta dan dituntut
sesuatu yang bukan merupakan perannya, sebab hal itu dapat
melemahkan kekhasan dan kekuatannya. Ia diberi beban
berlebihan yang bukan khas muatannya, sehingga ia tak dapat
bergerak maju, bahkan bergerak mundur.

Katekese-Umat sebagai komunikasi-iman mempunyai kekhasan
peran dan kekuatannya sendiri. Demikian juga dengan Pelajaran
Agama, jangan diminta dan dituntut terlalu banyak dari padanya.

Dalam Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese pada
butir 4.2. berbunyi:

Isi Katekese seringkali dirasakan kurang memadai. Di satu pihak,
katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup
sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek
doktrinal, sehingga umat sering kali canggung dan takut ketika
berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman
mereka. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian
pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu
sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup
sehari-hari. Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi
harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang
3

mendorong sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak dan
orang muda yang pindah dan lebih tertarik kepada cara doa dan
pembinaan Gereja-Gereja lain yang dirasakan lebih menarik.
Kenyataan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh
menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu
dan menanggapi harapan.

Pesan pastoral itu menunjukkan keprihatinan para Wali Gereja
tentang kurangnya pengetahuan tentang doktrin ajaran iman
dan tanggapan iman atas hidup sehari-hari dari umat kita.
Keluhan itu sangat berdasar dan sangat benar. Namun untuk
mengatasi persoalan itu, janganlah kita membebani persoalan itu
hanya kepada satu pola katekese saja atau membebani kedua-
duanya, yang bukan menjadi perannya. Hal itu bisa membuat
kedua-duanya tidak dapat mencapai tujuannya.

Kita tahu bahwa dengan berkatekese, kita mau supaya umat
(anggota Gereja) semakin beriman. Iman itu paling kurang
memiliki tiga dimensi, yaitu: pengetahuan tentang ajaran
imannya (dimensi teologis), perwujudan imannya dalam
hidup sehari-hari (dimensi moral) dan ungkapan imannya
dalam ibadah (dimensi liturgis). Jadi kita berharap bahwa
dengan katekese kita dapat membantu umat untuk lebih
mengenal ajaran imannya, lalu dapat mewujudkan imannya
dalam konteks hidup sehari-hari dan dipuncaki dengan
ungkapan imannya dalam doa dan ibadah.

4

Tiap-tiap dimensi iman itu dapat dibantu perwujudan dan
perkembangannya oleh pola-pola katekese tertentu sesuai
perannya, walaupun tidak dapat terlalu dipilah-pilah dan di
kotak-kotakan, sebab semuanya saling terkait dan menyatu satu
sama lain.

Kita tahu dengan katekese berpola pengajaran, yang terutama
mau dicapai ialah pengetahuan iman. Memang pengetahuan
iman tidak serta merta membuat seseorang untuk beriman,
tetapi kalau ia beriman ia dapat mempertanggungjawabkan
imannya itu.

Dengan katekese berpola komunikasi iman, yang terutama
mau dicapai ialah supaya umat terbantu untuk memberikan
tanggapan iman atas hidupnya sehari-hari. Tanggapan iman atas
hidup sehari-hari dapat diperkaya dan diperteguh dalam suatu
komunitas kalau mereka saling mengisahkan pengalaman
imannya.

Jadi yang mau dicapai dengan katekese berpola pengajaran
ialah supaya umat memahami ajaran imannya dan
mempertanggung jawabkannya, sedangkan dengan katekese
berpola komunikasi iman, yang terutama mau dicapai ialah
supaya umat semakin mampu memberikan tanggapan

imannya atas peristiwa hidupnya sehari-hari. Dalam proses
komunikasi iman itu dapat saja orang akan memperoleh
5

pemahaman dan pengetahuan tentang ajaran imannya, tetapi
bukan itu tujuan utamanya.

Untuk pembahasan berikut ini kita akan mengfokuskannya pada
katekese dengan pola komunikasi iman atau Katekese-Umat itu
(KU), sebab pola ini dianggap baru dan khas Gereja lokal
Indonesia. Pelajaran-Agama adalah pola yang sudah lama dikenal
dan dipraktekkan dalam Gereja. Menyangkut katekese dengan
pola pengajaran ini kiranya sudah dibicarakan dalam banyak
dokumen resmi Gereja.

Jadi kita fokuskan pada Katekese Umat saja. Pembahasan ini
mungkin berguna supaya kita tidak memberi beban muatan yang
terlalu besar kepada Katekese-Umat, yang mungkin bukan
perannya. Keluhan kita tentang kurangnya pengetahuan ajaran
iman pada umat, jangan kita bebankan pada Katekese Umat,
sebab itu merupakan peran dari katekese-pengajaran atau
Pelajaran Agama.

Kesan saya, kalau ada kegagalan KU disejumlah tempat, hal itu
disebabkan a.l karena yang terjadi dalam proses yang dianggap
KU itu, sebenarnya terjadi proses pengalihan pengetahuan
doktrin/ ajaran iman satu arah dan bukan proses komunikasi
iman. Dan karena yang dikomunikasikan adalah doktrin, maka
orang yang diharapkan menjadi fasilitator berubah peran
menjadi pengajar dan umat yang diharapkan menjadi partisipan
KU menjadi yang diajarkan atau pendengar.
6


A. SEPINTAS RIWAYAT AWAL KATEKESE UMAT,
ARTI DAN MAKNANYA


1. Riwayat awal itu
Tahun 1977 terjadi riwayat awal Katekese Umat itu. Waktu
itu terjadi Pertemuan Panitia Kateketik (Pankat) antar
Keuskupan se Indonesia (PKKI yang pertama) di
Sindanglaya, Jawa Barat. Berdua-dua utusan dari hampir
semua Keuskupan (30 dari 33 Keuskupan) se Indonesia
berdatangan ke Wisma Samadhi Syalom, Sindanglaya.
Hari-hari pertama pertemuan itu diisi dengan acara tukar
menukar pengalaman di bidang katekese, dibawakan oleh
utusan dari tiap-tiap keuskupan. Mendengar ceritera-
ceritera itu ada beberapaa kesan yang kuat sekali segera
terasa, antara lain:
a. Betapa beraneka ragamnya corak kegiatan katekese di
Tanah Air kita yang luas ini. Memang utusan-utusan itu
datang dari latar belakang budaya sampai kepada
lingkungan alam yang berbeda. Tetapi ada dua aksen
yang selalu terasa sama dari ceritera dan laporan-
laporan itu yaitu:

Peranan yang menonjol dari hierarki dan petugas-
petugas pastoral lainnya dalam menangani masalah
7

katekese. Hampir tidak terdengar peranan umat,
selain bahwa mereka dijadikan obyek katekese.
Memang terdengar juga adanya peranan umat, tetapi
itu terjadi pada umat yang sangat berkekurangan
imam dan tenaga-tenaga pastoral lainnya, seperti di
pendalaman Kalimantan dan Irian Jaya.
Katekese sekolah mendapat porsi yang lumayan
besar sehingga bentuk-bentuk katekese lain disebut
saja katekese luar sekolah. Memang katekese
sekolah menjadi titik sorotan yang utama.

b. Dari laporan-laporan di atas sangat jelas tergambar
wajah Gereja-Gereja lokal yang masih sangat
institutional dan hierarkis. Tetapi sejak PKKI pertama
itu Gereja lokal Kalimantan dan Irian Jaya sudah mulai
memberi wajah yang agak lain, yaitu Gereja yang sejak
awal bertumbuh sebagai Gereja Umat Allah. Dan itu bisa
dirasakan dari laporan, pergaulan, sampai kepada corak
perayaan liturgi yang mereka bawakan selama PKKI.
Sejak itu selalu menggelitik pertanyaan dalam hati
sementara peserta PKKI, apakah ini disebabkan karena
Kalimantan dan Irian Jaya kekurangan imam-imam?

Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, para peserta PKKI
mulai menyadari bahwa katekese yang selalu berpola
hierarkis hendaknya mulai direlativir.

8

Sesudah dirangsang oleh sekretaris Komkat KWI saat itu,
yaitu Rm. Setyakarjana, dengan ceramahnya berjudul
Mencari arah katekese dalam Gereja yang berkembang
di Indonesia, para peserta PKKI mulai yakin bahwa suatu
arah dan pola baru dalam katekese harus dicari. Masukan
dari Rm. Hardawiryana dengan ceramahnya yang berjudul
Katekese dan Teologi, yang disusul dengan diskusi-
diskusi yang hangat, akhirnya mulai muncul suatu gagasan
tentang suatu bentuk katekese yang melibatkan seluruh
umat, katekese oleh umat, dari umat, dan untuk umat.
Katekese yang mengumat. Bagaimana itu bisa terjadi ??
Dengan berkomunikasi iman! Dan bukankah itu
sebenarnya hakekat dari suatu Gereja.

Sejak saat itulah mulai didengungkan suatu katekese dari
umat, oleh umat dan untuk umat dalam bentuk komunikasi
iman, yang melibatkan seluruh umat. Bagaimanapun juga
katekese umat harus menjadi arah dan pola dari katekese
kita di Indonesia ini. Bentuk-bentuk katekese lainnya,
termasuk katekese sekolah, katekese katekumenat, harus
dilihat dalam kesatuan dengan Katekese Umat ini.

Akhirnya perlu dikatakan bahwa pertemuan selama
seminggu antara Panitia-Panitia Kateketik Keuskupan se
Indonesia ini merupakan juga suatu komunikasi pengalaman
iman peserta yang menggairahkan, di mana pertemuan demi
pertemuan dirasakan sangat akrab dan komunikatif,
9

sehingga semua peserta merasa diperkaya oleh pengalaman
iman dari sesama saudara yang datang dari seluruh pelosok
Tanah Air. Sangat dirasakan bahwa Pertemuan Panitia
Kateketik antar Keuskupan se Indonesia yang pertama ini
merupakan peristiwa nasional Gerejani, merupakan tanda
zaman di mana Tuhan sendirilah yang berbicara di balik
persitiwa yang berlangusng dengan santai dan kaya ini.

2. Merumuskan arti dan makna Katekese Umat

Katekese Umat memang sudah dicanangkan dalam PKKI
pertama itu. Belum terlalu jelas, tetapi mulai dicoba sana-
sini. Banyak ide dan praktek dialamatkan saja pada
Katekese Umat. Tidak heran kalau terjadi kesimpangsiuran
mengenai Katekese Umat itu. Oleh sebab itu sekretaris
Komisi Kateketik yang baru, rama Thom Huber SJ atas restu
MAWI dan Komisi Kateketik saat itu mengundang lagi
utusan-utusan dari Pankat Keuskupan se Indonesia untuk
mengadakan PKKI II. Kali ini terjadi di Klender pada tahun
1980. Tiga tahun sesudah PKKI I !! Muncul lagi wajah-wajah
lama, tetapi juga wajah-wajah baru. Bukan berdua-dua tetapi
bertiga-tiga.

a. Pengalaman Berkatekese Umat di Lapangan
Sama seperti pada PKKI I pertemuan ini diawali dengan
tukar menukar pengalaman antar Pankat Keuskupan se
10

Indonesia. Seperti telah diduga, dari ceritera dan
laporan-laporan Pankat keuskupan se Indonesia itu,
muncul beberapa kesan yang kuat, antara lain:
Katekese Umat mulai dijalankan, tetapi mengalami
banyak kesulitan, antara lain karena kekaburan
Katekese Umat itu sendiri, selain kesulitan-kesulitan
lainnya yang tidak lagi baru, seperti: kekurangan
tenaga, dana, sarana, organisasi, dsbnya.
Wajah Gereja lokal tentu saja belum berubah dengan
gerakan KU yang belum mantap dan merata dalam
tenggang waktu yang singkat itu, tetapi geliat mulai
terjadi dalam tubuh Gereja. Terasa Katekese Umat
mulai sedikit merubah wajah Gereja institusional.

b. Merumuskan Arti dan Makna Katekese Umat
(KU)
Hari-hari berikutnya para peserta didampingi oleh Rm.
Hardawiryana mulai bergulat untuk memantapkan
Katekese Umat itu. Pada akhir PKKI ini akhirnya suatu
rumusan mengenai Katekese Umat itu dapat disepakati,
di sini disajikan selengkapnya:
KATEKESE UMAT diartikan sebagai komunikasi
iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan
iman) antara anggota jemaat/kelompok. Melalui
kesaksian para peserta saling membantu sedemikian
rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan
11

dihayati secara makin sempurna. Dalam Katekese
Umat tekanan terutama diletakkan pada
penghayatan iman, meskipun pengetahuan tidak
dilupakan. Katekese Umat mengandaikan ada
perencanaan.
Dalam Katekese Umat itu kita bersaksi tentang iman
kita akan Yesus Kristus, Pengantara Allah yang
bersabda kepada kita dan Pengantara kita
menanggapi Sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai
pola hidup kita dalam Kitab Suci, khususnya dalam
Perjanjian Baru, yang mendasari penghayatan iman
Gereja sepanjang tradisinya.
Yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang
beriman, yang secara pribadi memilih Kristus dan
secara bebas berkumpul untuk lebih memahami
Kristus. Kristus menjadi pola hidup pribadi, pun pula
pola kehidupan kelompok. Jadi seluruh umat baik
yang berkumpul dalam kelompok-kelompok basis
maupun di sekolah atau perguruan tinggi. Penekanan
pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu
unsur yang memberi arah pada Katekese sekarang.
Penekanan peranan umat pada katekese ini sesuai
dengan peranan umat pada pengertian Gereja itu
sendiri.
Dalam katekese yang menjemaat ini pemimpin
katekese bertindak terutama sebagai pengarah dan
pemudah (fasilitator). Ia adalah pelayan yang siap
12

menciptakan suasana yang komunikatif. Ia
membangkitkan gairah supaya para peserta berani
berbicara secara terbuka. Katekese Umat menerima
banyak jalur komunikasi dalam berkatekese. Tugas
mengajar yang dipercayakan kepada hierarki
menjamin agar seluruh kekayaan iman berkembang
dengan lurus.
Katekese Umat merupakan komunikasi iman dari
peserta sebagai sesama dalam iman yang sederajat,
yang saling bersaksi tentang iman mereka. Peserta
berdialog dalam suasana terbuka, ditandai sikap
saling menghargai dan saling mendengarkan. Proses
terencana ini berjalan terus menerus.
Tujuan komunikasi iman itu ialah:
supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi
arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari;
dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan
semakin menyadari kehadiran-Nya dalam
kenyataan hidup sehari-hari;
dengan demikian kita semakin sempurna
beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan
makin dikukuhkan hidup kristiani kita;
pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin
menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas
Gereja setempat dan mengokohkan Gereja
semesta;
13

sehingga kita sanggup memberi kesaksian
tentang Kristus dalam hidup kita di tengah
masyarakat.

Nah, melihat sepintas riwayat awal, arti dan makna dari KU
diatas, kiranya menjadi jelas bahwa lahirnya KU adalah
merupakan tuntutan zaman post Konsilier, sesuai dengan Gereja
yang mulai bergerak dari Gereja Institusional kearah Gereja
Umat Allah, dimana semua umat Allah diharapkan berperan aktif
dalam kehidupan bergereja. Selanjutnya musti dikatakan bahwa
KU yang sangat menekankan partisipasi aktif semua peserta
dalam berkomunikasi iman sangat sesuai dengan budaya bangsa
Indonesia yang biasa berkisah dan bermusyawarah untuk
menemukan mufakat, apalagi dalam konteks hidup bangsa yang
semakin demokratis saat ini.

Katekese Umat adalah suatu cara hidup Gereja yang baru, bukan
sekedar suatu metode baru dalam berkatekese. Namun harus
dikatakan bahwa Katekese-Umat tidak menggantikan pola-pola
katekese yang lain seperti pola katekese pengajaran (pelajaran-
agama) di sekolah-sekolah atau pola katekese katekument,
katekese persiapan penerimaan sakramen-sakramen dan
sebagainya, dimana peserta harus dibekali pengetahuan yang
memadai tentang ajaran imannya dan mampu mempertanggung-
jawabkannya.

14


B. KATEKESE UMAT DAN PELAJARAN AGAMA ADALAH
KHAS, TETAPI SALING MELENGKAPI.

Kita coba lebih mendalami apa saja yang khas dari Katekese-Umat
dan Pelajaran Agama, lalu kita coba melihat keterkaitannya satu
sama lain yang bersifat saling melengkapi.

1. Kekhasan dari Katekese-Umat dan Pelajaran-Agama
Untuk melihat kekhasan dari Katekese-Umat (KU) dan Pelajaran
Agama Katolik (PAK), kita akan menelaahnya dari aspek-aspek
berikut ini.

a. Aspek Materi
Materi atau tema yang diangkat untuk diproses dalam
KU umumnya adalah hal ikhwal kemasyarakatan.
Mengapa? Kita sudah melihat bahwa KU adalah peristiwa
komunikasi iman dalam suatu kelompok. Iman tidak hidup
dan berkembang dalam ruang hampa. Iman secara konkrit
selalu hidup dalam konteks masyarakat tertentu. Iman hidup
dan bekembang pada saat saya berusaha untuk menanggapi
peristiwa dan konteks masyarakat itu dengan mata iman
saya. Pergumulan untuk beriman akan berbeda kalau saya
hidup di Ende atau Jakarta, sebab konteksnya lain. Dan iman
itu akan dapat semakin bekembang kalau dalam suatu
komunitas orang saling mengkomunikasikan pengalaman
15

imannya. Dengan saling mendengar dan mengisahkan
pengalaman iman, iman kita diperkaya dan diperteguh.
Tadi sudah dikatan bahwa materi atau tema yang diangkat
dalam KU adalah hal ikhwal kemasyarakatan. Dapat saja
dalam KU orang-orang berkomunikasi tentang pokok-pokok
yang berhubungan dengan doktrin dan ajaran iman kita atau
perikope-perikope Kitab Suci, tetapi sejauh pokok-pokok itu
digumuli sebagai pengalaman iman, bukan terutama
sebagai hal-hal teoretis yang perlu dipahami, yang menjadi
peran dari PAK dan diproses dalam suatu proses
pembelajaran.

Materi dalam Pelajaran-Agama umumnya diambil dari
doktrin dan ajaran Gereja atau perikope-perikope Kitab
Suci. Doktrin-doktrin dan perikope-perikope itu diproses
dalam proses pembelajaran yang sedapat mungkin
partisipatif dan eksploratif, supaya peserta didik dapat
mengatahui dan memahaminya. Pengetahuan yang dicapai
bukan saja bersifat reproduktif (mengulang apa dikatakan
guru atau buku), tetapi juga produktif sebagai hasil
eksplorasi peserta didik sendiri. Dalam PAK dibutuhkan
ketajaman penalaran.
Tadi dikatakan bahwa tema-tema PAK umumnya diangkat
dari doktrin-doktrin Gereja dan perikope-perikope Kitab
Suci. Dapat saja PAK mengangkat tema-tema yang bersifat
kemasyarakatan, seperti masalah-masalah ketidakadilan,
namun tema-tema itu diproses dalam proses pembelajaran
16

seperti yang telah dikatakan diatas, sehingga peserta didik
dapat memahami dan mempertanggung jawabkannya. Yang
ditekankan disini adalah pemahaman dan pertanggung-
jawabanya!!

b. Aspek-tujuan
Tujuan Katekese-Umat, seperti sudah dirumuskan oleh
PKKI II diatas ialah:
- Pertama-tama supaya kita semakin meresapi arti
pengalaman-pengalamaan kita sehari-hari dalam terang
Kitab Suci dan terang ajaran Gereja;
- lalu mungkin saja kita akan merobah hidup kita kearah
yang lebih baik, yang berarti kita mengalami metanoia
dan bertobat.
- Dengan demikian kita semakin sempurna beriman,
berharap dan mengamalkan cinta kasih, dan semakin
dikukuhkan hidup kristiani kita.
- Selanjutnya kita semakin bersatu dalam Kristus, makin
menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja
setempat dan mengkokohkan Gereja semesta;
- Dan terakhir sekali kita semakin sanggup memberi
kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita ditengah
masyarakat, sehingga masyarakat semakin menjadi
tempat terwujudnya Kerajaan Allah.

Singkat kata, dengan berkomunikasi iman kita semakin
beriman dalam hidup ini, bersatu dengan Kristus dan
17

menjadi anggota Gereja yang bertanggung jawab
membangun Karajaan Allah di bumi ini.
Tujuan Pelajaran-Agama adalah supaya kita semakin
mampu merefleksikan dan memahami ajaran iman kita dan
kalau kita sudah percaya dan mengimani ajaran iman itu
dalam hidup nyata, kita dapat mempertanggung-
jawabkannya. Beriman adalah sikap yang rasional,
walalupun tidak selalu dapat dipahami.

c. Aspek-Proses

Proses Katekese-Umat selalu bertolak dari peristiwa atau
hal menyangkut hidup nyata. Supaya peserta KU dapat
terajak untuk mulai melihat dan membicarakan hal
menyangkut hidup nyata itu, dapat diawali dengan suatu
ceritera yang inspiratif. Kalau ceritera itu dapat mengantar
peserta KU untuk melihat dan membicarakan hal
menyangkut hidup nyata peserta (misalnya tentang peristiwa
kelaparan), selanjutnya peserta diajak untuk bersama-sama
menganalisa, mencari tahu sebab akibat dari peristiwa itu,
supaya peristiwa itu menjadi sungguh-sungguh jelas dan
nyata. Yang dianalisis bukan peristiwa dalam ceritera tadi,
tetapi peristiwa atau hal yang dialami peserta KU.

Langkah berikutnya adalah usaha supaya peristiwa atau hal
dari hidup nyata itu dilihat dalam terang Kitab Suci atau
ajaran Gereja. Peristiwa itu dilihat oleh peserta dengan mata
18

iman kristiani mereka. Dengan demikian diharapkan peserta
KU terinspirasi dan tergerak hatinya untuk menangani
peristiwa dan hal menyangkut hidup nyata mereka itu.
Langkah terakhir diharapkan peserta KU dapat
merencanakan aksi untuk menangani peristiwa atau hal
menyangkut hidup nyata itu, sehingga bisa terjadi
transformasi sosial kearah yang lebih baik dalam
masyarakat mereka.
Proses Pelajaran-Agama, dapat bertolak dari doktrin atau
ajaran Gereja, tetapi dapat pula berotolak dari pengalaman
peserta didik sehubungan dengan tema atau pokok yang
diangkat.

- Kalau bertolak dari doktrin atau perikope Kitab Suci,
maka untuk doktrin atau perikope itu dibuat skema dan
sistematikanya dengan menguraikannya dalam sub-sub
judul, lalu dibahas secara logis supaya dapat gampang
dipahami. Prosesnya hendaknya berlangsung secara
partisipatif dan ekploratif, sehingga pemahaman dan
kompetensi peserta didik sungguh tercapai secara efektif.

Langkah berikutnya ialah usaha untuk membuat supaya
doktrin dan perikope yang sudah dipahami itu menjadi
relevan untuk hidup peserta didik. Disini harus terjadi
proses internalisasi ajaran tadi.

19

Langkah yang terakhir kiranya berusaha untuk
membangkitkan niat dan menemukan cara bagaimana
ajaran/doktrin dan perikope Kitab Suci tadi dapat
diwujudnyatakan dalam hidup peserta didik.

- Kalau bertolak dari pengalaman peserta didik sehubungan
dengan tema doktrin dan perikope yang diangkat, maka pertama-
tama pengalaman siswa sehubungan dengan doktrin atau perikope
itu dikisahkan dan dianalisis, supaya peserta didik sungguh
menyadari pengalamannya sehubungan dengan semua itu. Akan
terungkap pengalaman itu bersifat positif membangun atau negatif
merusak.
Langkah berikut, pengalaman siswa itu disorot dalam terang
ajaran/doktrin atau perikope yang menjadi tema pembelajaran.
Pengalaman positif tentu akan diteguhkan dan pengalaman negatif
akan dikritisi dan ditegur.

Langkah terakhir, seperti diatas, supaya diusahakan munculnya niat
dan menemukan cara bagaimana ajaran/doktrin serta perikope
Kitab Suci yang sudah dibahas dapat diwujud-nyatakan dalam
hidup peserta didik.

Akhirnya harus dikatakan bahwa dalam proses KU sangat
dibutuhkan kecerdasan emosional dan sosial, selain kecerdasan
spiritual. Peserta berproses dengan menggunakan hati. Dalam
proses PAK sangat dibutuhkan kecerdasan intelektual dan
kinestetik, selain kecerdasan sosial dan spiritual. Peserta
20

berproses dengan terutama menggunakan otak, pikiran dan daya
nalar.

d. Aspek-guru
Dalam KU guru/pemimpin berperan sebagai fasilitator.
PKKI III (1984) di Pacet, Mojokerto, menegaskan bahwa
seorang fasilitator selain memiliki kepribadian dan
spiritualitas serta pengetahuan yang dituntut oleh tugasnya,
dia perlu memiliki ketrampilan. Ketrampilan disini tidak
dipahami hanya secara teknis, tetapi harus dipahami sebagai
kepekaan dari seluruh pribadi seseorang terhadap apa saja,
termasuk peka terhadap keadaan peserta KU, konteks
masyarakatnya, visi Injili dan kristianinya...dsbnya.
Ketrampilan yang sangat dibutuhkan seorang fasilitator
ialah ketrampilan untuk berefleksi supaya dirinya terbekali
dan ketrampilan untuk berkomunikasi, supaya kelompok
KUnya semakin menjadi suatu komunitas yang saling
mengenal dan penuh semangat persaudaraan.
Dalam hubungan dengan proses KU, seorang fasilitator harus
mampu menciptakan situasi yang memungkin semua
peserta bisa mengungkapkan pengalaman imannya dengan
bebas dan jujur. Selanjutnya seorang fasilitor harus trampil
untuk mengajak peserta untuk mengikuti proses KU, mulai
dari trampil mengamati fenomen dalam masyarakat, trampil
memilih perikope Kitab Suci atau ajaran Gereja untuk
menerangi fenomena dalam masyarakat itu dan trampil
membuat niat dan rencana untuk menciptakan keadaan yang
21

lebih baik. Semua proses itu harus dilalui bersama-sama dan
fasilitator sungguh menjadi fasilitator dan tidak merekayasa
atau memaksakan kehendaknya. Seorang fasilitor yang baik
adalah seorang fasilitator yang paling kurang berbicara.
Berbicara hanya kalau sangat diperlukan. Seorang fasilitator
yang baik memiliki telinga yang lebar untuk mendengar,
mata yang besar untuk mengamati, tetapi mulut yang kecil
untuk bicara seperlunya saja.
Dalam PAK seorang guru trampil sebagai pengajar dan
pelatih. Dia perlu memiliki kepribadian, spiritualitas dan
pengetahuan serta ketrampilan didaktis dan kateketis yang
dibutuhkan seorang Guru-Agama. Ia harus mampu
membimbing peserta didik untuk belajar dalam suatu proses
aktif-partisipatif dan eksploratif. Seperti kata UNESCO, seorang
guru harus mengajar dan melatih peserta didik untuk : learning
to know, learning to do, learning to be, dan learning to live
togther.

e. Aspek-murid/peserta
Dalam KU, peserta KU bukan obyek KU, tetapi subyek yang
berkatekese umat. Menyangkut hal ini PKKI II mengatakan a.l:
Yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman,
yang secara pribadi memiliki Kristus dan secara bebas
bekumpul untuk lebih memahami Kristus. Kristus yang
menjadi pola hidup pribadi, pun pula kehidupan kelompok.
Jadi seluruh umat yang berkumpul dalam kelompok-
kelompok basis maupun disekolah ataupun di Perguruan
22

Tinggi. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan
salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang.
Penekanan peranan umat pada katekese ini sesuai dengan
peranan umat pada pengertian Gereja itu sendiri.
Katekese-Umat merupakan komunikasi iman dari peserta
sebagai sesama dalam iman yang sederajat, yang saling
bersaksi tentang iman mereka. Peserta berdialog dalam
suasana terbuka, ditandai sikap saling menghargai dan saling
mendengarkan.
Dalam PAK, peserta didik adalah murid yang perlu diajarkan
dan dilatih, walau mereka dituntut pula untuk bersikap
partisipatatif. Guru adalah pengajar dan peserta didik adalah
murid. Jelas mereka tidak sama derajadnya dalam proses
pembelajaran ini.

f. Aspek-suasana
Dalam KU diharapkan suasana agak tenang, supaya peserta
bisa berefleksi dan bekomunikasi. Suasana persaudaraan dan
terbuka perlu diciptakan. Namun elakkan suasana bernuansa
ibadah (liturgis), sebab bisa menciptakan keadaan yang kaku,
yang membuat peserta terdiam, enggan mengungkapkan
pengalaman imannya.
Dalam PAK dibutuhkan suasana yang penuh aktivitas,
karena peserta didik diminta untuk ikut dalam proses
pembelajaran yang aktif-partisipatif. Semakin peserta terlibat
dalam aksi semakin tinggi daya serapnya. Penyelidikan
mengungkapkan bahwa kalau peserta hanya mendengar
23

dalam proses pembelajaran, daya serapnya hanya mencapai
sekitar 20%. Kalau peserta didik terlibat dan bermain
peran daya serap bisa mencapai 90%.




Perhatikan bagan berikut ini:


Katekese-Umat
(KU)
Pelajaran-Agama
(PAK)
Materi,
tema, pokok
yang
diangkat
Umumnya: fenomena,
hal ikhwal dan
peristiwa
kemasyarakatan
Umumnya: doktrin, ajaran
iman Kristiani dan
perikope Kitab Suci. Juga
fenomena kemasyarakatan.
Tujuan Supaya peserta
sanggup menanggapi
fenomena dalam
masyarakat dengan
mata imannya
Supaya peserta sanggup
memahami ajaran iman
dan Kitab Suci dan kalau
beriman dapat
mempertanggungjawabkan
nya.
Proses Selalu bertolak dari
fenomena dalam
masyarakat, melihatnya
dalam terang ajaran
iman dan Kitab suci,
lalu merencanakan aksi
nyata.
Dapat bertolak dari doktrin
atau perikope Kitab Suci,
lalu melihat relevansinya
untuk hidup nyata dan
terakhir diharapkan aksi.
Dapat pula bertolak dari
fenomena masyarakat,
melihatnya dalam terang
ajaran iman atau Kitab Suci,
24

dan merencanakan aksi
nyata.
Guru Penempatan diri
sebagai fasilitator
Tampil sebagai pengajar
dan pelatih
Peserta Anggota umat yang
sederajad dalam
berkomunikasi iman
Murid yang perlu diajar
dan dilatih
Suasana Tenang, penuh rasa
persaudaraan,
komunikatif
Penuh aktivitas, yang
partisipatif dan eksploratif.

2. KU dan PAK adalah khas dan saling melengkapi,
namun kekhasan perannya patut dihargai.

Bahwa Katekese Umat dan Pelajaran Agama mempunyai
peran yang khas dan bahwa keduanya saling melengkapi
dalam pewartaan kita, kiranya sudah jelas dipaparkan dalam
uraian yang sederhana diatas.
Selanjutnya kita akan coba menyadari bahwa perannya yang
khas itu patut dihargai, dalam arti kita tidak boleh memberi
peran lain yang bisa melemahkan peran utamanya, bahkan
mengaburkan hakekatnya.
Kita akan coba membicarakan soal ini terutama dalam
hubungannya dengan Katekese Umat.
Dari pengalaman dan pengamatan saya, Katekese Umat
kadangkala dituntut dan diberi muatan peran terlalu banyak,
yang sebenarnya bukan perannya. Saya akan menyebut dua
hal saja.
25


Pertama: Katekese-Umat kadangkala dituntut untuk
mengedepankan ajaran/doktrin Iman Katolik, yang
sebenarnya menjadi peran dari Pelajaran-Agama.

Kita perlu memiliki seni membatasi diri. Kita mungkin setuju
bahwa homili itu lain dari Pelajaran Agama, lain dari kuliah
teologi, walaupun semuanya itu adalah karya pewartaan
kita. Semuanya khas, mempunyai kekuatan masing-masing,
walaupun mempunyai tujuan yang sama: supaya umat kita
semakin beriman dalam hidup ini. Mencampur adukkan
semuanya, bisa membuat pewartaan kita tidak efektif.
Jadi Katekese Umat itu khas peran pewartaannya, tidak
boleh dijadikan Pelajaran-Agama, yang perannya memang
membahas doktrin.
Saya memiliki ketakutan (semoga ketakutan ini tidak
berdasar) bahwa ungkapan keprihatinan dalam Pesan
pastoral KWI tentang kurangnya pemahaman umat kita
tentang doktrin iman katolik diatas memicu kita untuk
memberi warna doktriner pada KU. Saya musti mengatakan
bahwa kemandegan KU disejumlah tempat, a.l disebabkan
oleh karena yang dianggap KU adalah sebenarnya pelajaran
agama. Kerancuan ini membuat proses yang tambal sulam
itu tidak efektif.
Pewartaan dengan pola mengajar rupanya sudah sangat
berakar dalam Gereja dan masyarakat kita. Saya sering
mengalami bahwa sesudah berpayah-payah membuat
26

penataran dan pelatihan menyangkut KU, dan ketika peserta
penataran diminta untuk menjadi fasilitator proses KU, yang
terjadi pemimpin KU itu akan senantiasa tampil sebagai
pengajar, bukan sebagai fasilitator. Dan peserta KU
mengamininya.
Banyak model-model KU telah diterbitkan. Tetapi ada saja
model KU yang bersifat pelajaran, sehingga ketika model KU
itu jatuh ketangan ketua Kelompok Basis misalnya, ia akan
membacakannya saja, sebab KU yang berwarna doktriner itu
diatas kemampuan nalarnya. Dan umat terpaksa menjadi
pendengar, sebab mereka juga tidak mampu
mendialogkannya. Bisa jadi ada satu dua orang dalam
kelompok yang sedikit tahu tentang tema yang diangkat dan
mereka akan memborong seluruh percakapan, tetapi
mayoritas anggota kelompok akan menjadi pendengar bisu.
Disini yang terjadi adalah komunikasi pengetahuan iman,
bukan komunikasi pengalaman iman.
Kalau komunikasi pengalaman iman semua orang bisa
berkisah dan berbicara, entah dia petani atau dosen, umat
biasa atau teolog ternama. Kalau yang dibicarakan dan
dikomunikasikan adalah pengetahuan/doktrin iman, hanya
orang cerdik pandai yang akan berbicara, berdiskusi,
sedangkan kaum anawim akan diam seribu basa. Lalu
kelompok Umat Basis dan Gereja macam mana yang mau
dibangun??

27

Kedua: Sering Katekese-Umat diberi warna dan beban
dengan hal-hal yang bernuansa ritual kultis sakral.

Tentu saja doa-doa dan nyanyian rohani tidak dilarang
dalam proses KU, tetapi kalau terlalu dipaksakan sehingga
hampir menyerupai Upacara-Sabda, maka akan menghambat
proses KU, yang diharapkan berlangsung secara bebas dan
spontan dalam berkisah tentang pengalaman iman peserta.
Doa dan nyanyian yang terlalu panjang, lebih-lebih pada
awal proses KU, membuat orang segan dan kaku untuk
berbicara karena sudah dihantar dalam suasana sakral
kultis.
Doa yang menyentuh akan sungguh dirasakan kalau
diucapkan pada akhir proses KU, sesudah peserta tergugah
oleh proses komunikasi iman yang mengharukan. Doa dan
nyanyian akan menjadi puncak dari proses KU, menjadi satu
perayaan iman yang sangat bermakna, tidak bersifat kultis
formal saja. Doa-doa dan nyanyian yang dirasakan hanya
karena secara formal harus demikian tentu kurang
bermanfaat.
Demikianlah hal-hal yang dapat membebani KU, sehingga KU
tidak dapat berperan dengan baik untuk mencapai
tujuannya.

Akhirnya perlu digarisbawahi kembali bahwa dengan pelbagai pola
Katekese itu, diharapkan umat kita akan semakin beriman. Tiap-
tiap pola katekese itu mempunyai perannya yang khas untuk
28

menumbuhkan dan mengembangkan dimensi-dimensi tertentu dari
kehidupan beriman umat kita. Peranaannya yang khas itu jangan
dikaburkan oleh pelbagai tuntutan yang bukan merupakan
perannya. Biarlah setiap pola Katekese menyumbangkan kekhasan
perannya yang autentik, dan dengan demikian saling melengkapi
dan memperkaya kegiatan pewartaan kita.

C. DIMANA PERSOALANNYA??

Keprihatinan yang diungkapkan dalam Pesan pastoral KWI diatas
merupakan kenyataan, yang harus ditanggapi dan dicari solusinya.
Mengapa pengetahuan ajaran iman (doktrin) umat kita sangat kurang
dan tanggapan iman umat kita terhadap kehidupan sehari-hari tidak
terasa dan tidak nyata??
Berikut ini saya akan memajukan hanya satu dua alasan untuk
direflekasikan.

1. Apakah kita kurang gencar dan serius dengan tugas
pewartaan kita??
Dari Kitab Suci dan ajaran Gereja yang terungkap dalam banyak
dokumen resminya, jelas mengatakan bahwa tugas pewartaan
adalah tugas pokok Gereja yang paling penting.
Namun dalam kenyataan tugas nabiah ini rupanya digencet oleh
tugas imamiah (pelayanan sakramen-sakramen) dan tugas
diakonia pelayanan ekonomis umat yang memang juga penting.
Dalam sidang-sidang KWI tahun-tahun belakangan sering diangkat
persoalan-persoalan menyangkut politik dan ekonomi di Tanah Air.
29

Syukur tahun terakhir ini akhirnya diangkat juga tema tentang
pewartaan, mungkin terinspirasi oleh kongres Misi Asia di Chiang
Mai, dengan tema Telling the Story of Yesus in Asia dimana
dibicarakan tentang pewartaan dengan pola narasi.
Kita rupanya kurang gencar dalam pewartaan kita.
Selama bulan Ramadhan kita bisa menyaksikaan bagaimana para
Dhai dan Ustad gencar berdhakwa dengan pelbagai cara menarik di
semua saluran TV dan Radio hampir sepanjang waktu.
Kita juga menyaksikan bagaimana para pendeta tanpa lelah
menjumpai jemaatnya di sekolah-sekolah dan kantor-kantor untuk
menginjili umatnya.
Dan kita? Kita kadangkala mempercayakan tugas yang maha
penting ini, dizaman yang penuh tantangan ini, kepada katekis
sukarelawan, yang mungkin hanya berbekalkan semangat dan niat
baik.
Apakah itu cukup??

2. Apakah ada yang salah dengan Kurikulum PAK dan buku-buku
PAK serta buku-buku KU kita??
Mengenai kurikulum PAK, musti dikatakan bahwa sejak tahun
tujuh puluhan sudah dibuat macam-macam kurikulum PAK. Ada
kurikulum PAK berbasis pengetahuan, ada kurikulum PAK
berbasis kompetensi, atau kurikulum PAK berbasis kedua-
duanya. Kurikulum-kurikulum itu tidaklah amat sempurna
namun cukup memadai karena dipikirkan dan disusun oleh
orang-orang dari pelbagai disiplin ilmu yang ada sangkut
pautnya dengan pendidkan agama.
30

Mengenai buku-buku PAK dan KU kiranya sudah banyak
diterbitkan, walaupun tidak amat sempurna.
Kalau ada masyalah, itu lebih pada soal penyebarannya. Syukur
ada Direktorat Jenderal Bimas Katolik yang menjadikan buku-
buku itu sebagai buku paket, walaupun tidak dapat memenuhi
kebutuhan semua siswa dan umat.
Ada Gereja-Gereja lokal yang belum memiliki Kurikulum PAK
dan buku-buku yang sekarang dipromosikan, masih
menggunakan kurikulum dan buku-buku yang lama, entah
karena kurang minat atau karena ketiadaan dana,
Singkatnya: kita juga kurang gencar dalam hal ini!

Satu hal yang kiranya perlu diperhatikan, yaitu akhir-akhir ini
banyak diterbitkan dan diedarkan buku-buku teks untuk
menunjang pendidikan agama. Buku-buku teks ini tidak disusun
dengan proses dan langkah-langkah kateketis. Diharapkan para guru
agama akan melakukan hal itu dalam persiapannya. Saya takut
karena buku-buku itu diberi label buku Pelajaran-Agama, maka
guru-guru akan menggunakannya dalam Pelajaran-Agama dengan
pendekatan dan metode ceramah. Kompetensi siswa terabaikan. Kita
musti hati-hati dengan buku-buku teks ini, sebab sekarang
sepertinya sedang terjadi konkurensi bisnis antara penerbitan untuk
mempromosikan buku-buku terbitannya. Mutu buku-buku teks ini
harus menjadi perhatian kita.

3. Apakah ada soal dengan Guru-guru Agama dan fasilitator KU
kita??
31

Seorang pakar pastoral kateketis (P.F. Heselaars, SJ) pernah
mengatakan: Buku PAK yang baik, kalau jatuh ke tangan katekis
yang jelek, hasilnya akan jelek. Tetapi buku yang jelek, kalau jatuh ke
tangan katekis yang baik, hasilnya akan baik.
Jadi rupanya peran guru sangat penting dalam PAK dan KU.

Guru PAK dan Fasilitator KU macam mana yang kita miliki?

a. Menyangkut Guru-guru Agama
Ada macam-macam Guru Agama yang kita miliki.
- Ada Guru Agama akademis, tamatan Sekolah Tinggi Pastoral
Kateketik.
- Ada Guru-Agama mantan seminaris yang pernah belajar di
Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi dan pernah mendengar
sedikit tentang ilmu kateketik.
- Ada Guru-Agama yang ikut kuliah persamaan, jarak jauh....
- Ada Guru-Agama yang memiliki semacam sertifikat untuk
dapat mengajar agama.
- Dan ada Guru-guru Agama sukarela yang mungkin hanya
memiliki semangat dan niat yang baik saja.
Apakah mutu Guru-guru Agama kita ini cukup terjamin??

b. Menyangkut Fasilitor KU
Diharapkan Guru-Agama yang mengajar di sekolah
meluangkan waktunya untuk mendampingi proses KU di
kelompok-kelompok Umat Basis.
32

Banyak kali terjadi ketua kelompok Umat-Basis atau
sukarelawan lainnya akan terpaksa menjadi Fasilitor KU
dikelompoknya. Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi
dengan KU dikelompok-kelompok itu.

Pada zaman globalisasi ini, dimana trend-trend yang tidak
selalu sesuai dengan semangat ajaran iman kristiani menjadi
semakin kuat, kita tidak bisa lagi mengandalkan Guru-Agama
dan Fasilitor KU karbitan. Rama Von Magnis menyebutkan
beberapa trend yang semakin kuat, a.l:
- Semangat materialistik, konsumeristik dan hedonistik.
- Semangat individualistik, dimana orang semakin terpisah-
pisah oleh perbedaan lapangan kerja.
- Situasi yang semakin pluralistik dimana daya kontrol
semakin melemah.
- Semangat fundamentalistik yang berpotensi melahirkan
pelbagai kekerasan.
- Masyarakat yang semakin dikuasai oleh media
audiovisual.
- Krisis generasi muda yang semakin merebak ...dsbya.
Dalam masyarakat yang semakin menggila seperti itu kita
sebenarnya membutuhkan Guru Agama dan Fasilitator KU
yang semakin profesional, yang memiliki:
- Kepribadian dan spiritualitas yang mantap.
- Pengetahuan bidang tugasnya yang memadai.
- Ketrampilan didaktis dan kateketis yang dapat diandalkan.

33

D. SARAN UNTUK MENJAWAB PERSOALAN

Kiranya sudah bisa dilihat bahwa salah satu persoalan pokok
mengapa umat kita kurang memiliki pengetahuan ajaran/doktrin
agamanya dan mengapa umat kita kurang mampu untuk
menanggapi peristiwa hidup sehari-hari dengan mata imannya, itu
terletak pada mutu guru-guru agama dan fasilitator KU yang kita
miliki.

Kita akan membatasi diri untuk hanya membicara persoalan ini,
yaitu bagaimana mutu Guru-guru Agama dan fasilitator KU dapat
terjamin. Kita akan mulai dari hulu.

1. Menjamin mutu Lembaga Pendidikan Kateketis.
Kita sudah memiliki lembaga-lembaga Pendidikan Pastoral
Kateketis yang sudah teruji mutunya seperti di Malang, Madiun,
Jogjakarta, Jakarta dan Ruteng. Akhir-akhir ini bermunculan
Sekolah Tinggi Pastoral Kateketis dibeberapa keuskupan yang
diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Bimas Katolik dan direstui
oleh Keuskupan yang bersangkutan. Kita berharap Sekolah-
sekolah Tinggi Kateketis milik Keuskupan-keuskupan ini dapat
menghasilkan katekis-katekis yang profesional seperti yang
sudah dilukiskan diatas. Untuk itu harus dijamin, a.l:
a. Visi dam misi sekolah jelas.
b. Struktur organisasi lembaga serta manajemen dan
mekanisme kerja antara komponen lembaga yang rapi.
34

c. Program kerja yang jelas dan terarah.
d. Kurikulum pendidikan yang ortodoksi sekaligus ortopraksis.
e. Fungsionaris sekolah, terutama tenaga dosennya yang
profesional, khususnya dibidang katekese pengajaran
(PAK) dan katekese komunikasi iman (KU) dan sebagainya.
Tidak asal taruh!!

Sekolah-sekolah itu harus menjamin mutu tamatannya.

Perlu diingat bahwa mahasiswa/i yang memilih sekolah-sekolah
pendidikan Guru Agama adalah pada umumnya bukanlah
mahasiswa/i yang terbaik. Sebab mahasiswa/i yang terbaik
pada umumnya memilih Perguruan Tinggi Umum, dimana ada
pelbagai fakultas yang lebih menjamin lapangan kerja masa
depannya. Jadi sekolah-sekolah kateketis umumnya memiliki
mahasiswa/i yang mempunyai bakat dan kemampuan yang
sederhana. Ini berarti tugaas Perguruan Tinggi Kateketis
menjadi lebih berat.
Perlu di sadari bahwa Guru-guru Agama tamatan sekolah
kateketis yang tak bermutu akan lebih merusak dari pada
membangun. Lebih baik tidak ada Guru Agama sama sekali,
daripada ada tetapi merusak. Lebih sulit memperbaiki dari pada
membangun baru.
Menangani pendidikan-agama dimasa yang penuh kejutan
sekarang ini merupakan pekerjaan yang maha sulit. Lebih
daripada bidang-bidang pendidikan yang lain, bidang pendidikan
agama membutuhkan guru yang memiliki rupa-rupa kecerdasan
35

yang tinggi, baik kecerdasan intelektual, emosional, sosial,
maupun kecerdasan spiritual. Menangani pendidikan agama
merupakan karya seni, sebab ia harus menyapa manusia secara
lahir-bathin.
Mengajar-Agama tidak sama dengan mengajar matematika.

2. Merangkul dan mendampingi Guru-Guru Agama.
a. Merangkul
Keuskupan-keuskupan sekarang tidak mengangkat katekis dan
-Guru Agama lagi. Guru-Guru Agama sekarang diangkat oleh
Ditjen Bimas Katolik atau Diknas. Makanya perlu dirangkul oleh
keuskupan atau paroki.
Musti dikatakan bahwa saat ini dibanyak tempat terasa ada
jarak antara Guru-Agama dan instansi Gerejani. Karena tidak
dirangkul, Guru-Guru Agama itu tidak merasa risih, bahkan
merasa tidak dibebani, karena yang menjamin hidup meraka
secara ekonomis adalah instansi-instansi pemerintah itu.
b. Mendampingi.
Pembekalan bagi Guru-guru Agama gencar dilakukan oleh
Bimas Katolik disemua jenjang. Dari instansi Gerejani hanya
kadangkala dilakukan kegiatan seperti rekoleksi, retret, ..., yang
dulu sering dilakukan.
Penataran dan pelatihan sehubungan KU menyongsong Natal
atau Aski Puasa mungkin masih dilakukan.
Selebihnya walahualam!!

36

Demikianlah beberapa hal yang dapat dilakukan sehubungan
dengan peningkatan mutu Guru-Agama dan Fasilitator KU.
Kalau mutu Guru Agama baik, diharapkan mereka dapat
mengajar agama dan mendampingi KU dengan lebih baik. Kalau
proses PAK dan proses KU bisa berjalan lebih baik, diharapkan
pengetahuan agama umat akan meningkat, kemampuan umat
untuk menanggapi hidup nyata dengan mata iman akan lebih
terwujud. Mudah-mudahan.

Akhirnya perlu disadari bahwa persoalan kita pada saat ini
adalah MUTU GURU AGAMA.

You might also like