Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Di seluruh kunjungan emergensi 1% diantaranya adalah kasus kejang. sekitar 150.000 anak mendapatkan kejang dan 30.000 diantaranya berkembang menjadi status epilepsi. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA mengakibatkan kematian. Sedangkan data secara global sendiri menunjukan bahwa SE terjadi pada 10-41 kasus per 100.00 orang per tahun dan paling sering pada anak-anak. 2,3,4
Di Negara berkembang, insiden pada anak lebih tinggi daripada di Negara maju, berkisar anatara 25-840/100.000 penduduk pertahun . 2
Kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia, hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis permanen. 5
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana cara penatalaksanaan agar dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas.
BAB 2 ISI A. Definisi Kejang adalah lepasnya aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dari jaringan neuroglia. Berbagai gangguan fungsi otak atau hemostatis dapat menyebabkan kejang. Epilepsy didefenisikan sebagai kejang berulang tanpa provokasi. Sindrom epilepsy adalah kumpulan klinis dengan usia awitan, pola klinis serangan, abnormalitas EEG yang khas, perjalanan alamiah dan prognosis yang khas. Kejang demam adalah B. Klasifikasi Kejang KLASIFIKASI ILAE 1981 Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005). Serangan parsial sederhana (kesadaran baik). - Motorik - Sensorik - Otonom - Psikis
Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu) - Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran. - Gangguan kesadaran saat awal serangan Serangan umum sekunder - Parsial sederhana menjadi tonik klonik. - Parsial kompleks menjadi tonik klonik - Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
Serangan umum. - Absans (lena) - Mioklonik - Klonik - Tonik - Atonik. Tak tergolongkan.
KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003) Berkaitan dengan letak fokus 1. Fokal/partial Idiopatik (primer) - Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna) - Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital - Primary reading epilepsy. Simptomatik (sekunder) - Lobus temporalis - Lobus frontalis - Lobus parietalis - Lobus oksipitalis - Kronik progesif parsialis kontinua Kriptogenik 2. Umum Idiopatik (primer) - Kejang neonatus familial benigna - Kejang neonatus benigna - Kejang epilepsi mioklonik pada bayi - Epilepsi absans pada anak - Epilepsi absans pada remaja - Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga. - Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak. Kriptogenik atau simptomatik. - Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia). - Sindroma Lennox Gastaut. - Epilepsi mioklonik astatik - Epilepsi absans mioklonik Simptomatik - Etiologi non spesifik - Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom Ohtahara - Etiologi / sindrom spesifik. - Malformasi serebral. - Gangguan Metabolisme. 3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum. Serangan umum dan fokal - Serangan neonatal - Epilepsi mioklonik berat pada bayi - Sindroma Taissinare - Sindroma Landau Kleffner Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Epilepsi berkaitan dengan situasi - Kejang demam - Berkaitan dengan alkohol - Berkaitan dengan obat-obatan - Eklampsi. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
I. Kejang parsial Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada 30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan pada anak berusia 3 hingga 13 tahun. Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi : 1. Kejang parsial simpleks Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang terjadi. Kesadaran tetap terjaga. 2. Kejang parsial kompleks Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti mengecap ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali disertai mual dan muntah. 3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik klonik.
II. Kejang Umum Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang umum dapat dikelompokkan menjadi : 1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure) Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba tiba, namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot otot yang disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada anak selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang berhenti. 2. Kejang tonik Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Anak tiba tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot yang progresif. 3. Kejang mioklonik Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat terjadi hingga ratusan kali per hari. 4. Kejang atonik Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba tiba. 5. Kejang absens Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara tiba tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini jarang dijumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absens atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan perubahan kesadaran 7 . III. Kejang tak terklasifikasi Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial. Kejang ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1 tahun.
C. Etiologi Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan ekstrakranial. Etiologi epilepsy dapat dibagi ke dalam 3 kategori: 1. Idiopatik Tidak terdapat lesi structural diotak atau deficit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia. 2. Kriptogenit: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum dikeahui. Termasuk disini adalah sindrom West, Sindrom Lennox Gastaut dan epilepsy mioklonik. 3. Simtomatik: bangkitan epilepsy disebabkan oleh kelainan/ lesi structural pada otak. Misalnya cidera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang. Gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol, obat), metabolic, kelainan neurogeneratif.
Tabel 1 Penyebab kejang
PATOFISIOLOGI Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolism seluler serta produksi ATP .Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen.Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia.21Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel.Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.23,24 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibatkerusakan neuron GABA-nergik.23,25 Pada penelitian kami, kelompok kasus diketahui sebagian besar anak dengan bangkitan kejang demam didahului lamademam kurang dua jam. Setiap kenaikan suhu 0,3C secara cepat akan menimbulkan discharge di daerahoksipital, discharge di daerah oksipital dapat dilihat dan hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhutubuh menyebabkan kenaikan kadar asam glutamatdan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkankenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikansuhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator,sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.Usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian besar adalah kurang dari dua tahun.Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat baik ionotropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi 26,27 Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.24 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum matang neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+, K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Oleh karena itu, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Diagnosis i. Anamnesa 1. Kejadian Pre-Iktal Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian sebelum episode kejang terjadi : Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya? Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara suara, mual, merasa ketakutan dan sebagainya? Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak sedang demam sebelum kejang terjadi? Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya? Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi? Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur? Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala, beberapa jam atau hari sebelum kejang? 2. Kejadian saat kejang Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian saat episode kejang terjadi : Berapa lama kejang berlangsung? Seperti apa bentuk kejang yang terjadi? Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang? Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang terjadi? Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi? 3. Kejadian post iktal Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti? Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau anak tampak seperti tidak terjadi apa apa?
ii. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda tanda vital meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak anak. Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk, tanda tanda trauma kepala, serta tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan. Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis
D. Penatalaksanaan Tatalaksana kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah status epileptikus
Berikan diazepam rectal 0,5mg/kgBB ( bila BB<10= 5 mg, bila BB>10=10mg). Dapat diulang 2 kali Bila kejang masih ada, berikan 0,25-0,5 mg/kgBB secara IV ( kecepatan 2mg/menit), dosis diazepam IV atau rectal dapat diulang 2 kali setelah 5-10 menit Berikan fenitoin 20 mg/kgBB IV diencerkan dengan NaCL 0,9% ( 10 mg Fenitoin / 1 ml Nacl 0,9%) Fenobarbital 20 mgkg IV bolus pelan-pelan dengan kecepatn 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10-15 menit.
i. Penilaian Awal Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia.
Penilaian awal terdiri dari : 1. Airway Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag- valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu dibersihkan dari sekret oleh suction.
2. Breathing Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit. Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask. 3. Circulation Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi. Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu periksa tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang hipoglikemi tersebut. 4. Disability Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain, Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik atau peningkatan tekanan intrakranial. 2,4 Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasi sikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan tanda tanda meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau berulang-ulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran. 5. Exposure Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.
ii. Menilai kembali ABC Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti epilepsi. Jika memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri.
iii. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant) Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi. Dahulu di tahun 1960an obat antiepilepsi yang digunakan dalam pengelolaan kejang telah berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena. Sekarang obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah benzodiazepin. Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat dengan cepat mengkontrol kejang dengan efek samping yang minimal. Selain itu benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa rute dan dapat diberikan kembali dalam waktu singkat.
Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter harus kompatibel dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara sinergis tanpa efek samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah berkelanjutan kejang. Pilihan obat lini kedua tersebut adalah fenitoin dan fenobarbital.
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus pula meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran. Pengobatan dini sangat penting,karena setelah kejangditetapkan selama lebih dari 15 menit, penangannanya akan lebih sulit. Protokol penanganan kejang berbasis lini ini digunakan di tiga rumah sakit anak-anakdi New South Wales. Protokol inipun telah di akui oleh Advance Paediatric Life Support (APLS) di Inggris pada tahun 2000. 1. Terapi lini pertama: 1. Diazepam Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian intravena menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar 80% pasien. Setelah pemberian rektal, kadar serum terapeutik terlihat dalam lima menit dan kontrol kejang yang cepat terjadi pada hingga 80%. Sementara mungkin ada manfaat dari diazepam intravena berikutnya di pasien yang tidak responsif terhadap terapi, kejang menetap terhadapdosis rektal tunggal (kejang resisten) maka pasien tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua
2. Midazolam
Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat pilihan pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute pemberian yang lebih disukai yaitu melalui bukal tidak seperti diazepam yang melalui rektal. Midazolam sangat efektif sebagai lini pertama antikonvulsan karena menghentikan sebagian besar kejang dalam satu menit setelah injeksi intravena dari 0,1-0,3 mg/kg dan secara intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis tunggal midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir risiko depresi pernapasan. 2 3. Paraldehyde
Paraldehyde
telah digunakan sebagai supposituria untuk pengobatan kejang sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang diberikan secara rektal Administrasi dubur dapat ditoleransi dengan baik dan menghasilkan onset kontrol kejang yang cepat dan efek depresi pernafasan yang kurang minimal.
2. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) : 1. Fenitoin Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama. Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang terkontrol dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil daripada fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama anti konvulsan lini kedua oleh British Working Party.
2. Fenobarbital Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun 1912 dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan anti konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah dan sangat efektif. Setelah pemberian intravena terdapat distribusi bifasik dan sangat menyebar melalui seluruh pembuluh darah termasuk pembuluih darah otak. Meskipun penetrasi ke otak telah dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian, penetrasi ini terjadi lebih cepat dalam status epileptikus karenapeningkatan aliran darah otak. Fenibarbital digunakan sebagai anti konvulsan lini kedua pada periode neonatal. Dosis pemberian adalah 5-10 mg/kg.
Anitkonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya untuk mencegah berulangnya kejang demam berat.
iv. Tatalaksana Intractable Seizures Pada penanganan intractable seizure, terdapat beberapa obat yang masih digunakan. Penggunaan obat obatan tersebut hanya dipakai pada beberapa kasus penyakit dengan kondisi intactable seizure, obat obatan tersebut adalah : 1. Valproate (Depacote) Asam valproat dapat digunakan pada penanganan kasus kejang Lennox Gustaut Syndrome. Dosis maintenance yang dipakai sekitar 10-60 mg/kg/hari, diberikan sebanyak 2 hingga 4 kali sehari. Dosis harian harus dimulai pada dosis 10 mg/kg/hari dan ditingkatkan sebanyak 10 mg/kg/hari setiap minggunya sampai level serum terapeutik tercapai yaitu 50-100 g/ml. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan traktus gastrointestinal, kenaikan berat badan, mengantuk, dan alopesia. Tremor dan trombositopenia merupakan dose related effect. Untuk anak dibawah usia 2 tahun dapat meningkatkan resiko toksisitas hepar dan pankreatik. Asam valproat juga mengganggu metabolisme dari obat antikonvulsan lain yaitu meningkatkan jumlah obat fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, diazepam, clonazepam, dan ethosuksamid di dalam darah. 2. Lamotrigine (Lamictal) Obat ini juga dapat digunakan untuk pengobatan kejang pada Lennox Gustaut syndrome. Dosis maintenance yang digunakan sekitar 5-15 mg/kg/hari, tetapi dikarenakan obat ini mengganggu kerja antikonvulsan lainnya, penetapan dosis harus dilakukan ketika diberikan bersamaan dengan antikonvulsan lainnya. Lamictal harus diberikan dosis rendah pada awal pemberian jika diberikan pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat dan pada dosis tinggi jika diberikan pada pasien yang juga meminum fenitoin, karbamezepin, fenobarbital, atau pirimidon. Efek samping dari obat ini adalah gangguan traktus gastrointestinal, somnolen, pusing, sakit kepala, dan diplopia. Efek yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya ruam kemerahan di kulit yang dapat merupakan tanda tanda dari Stevens Johnson syndrome 7 . Pada studi yang dilakukan pada Shahid Sadoughi Hospital di Iran yang dilakukan oleh Fallah R, et al, meneliti 22 anak laki laki dan 18 anak perempuan yang mengalami intractable epilepsy dengan Lennox Gastaut syndrome didapatkan hasil nilai rata rata angka kejadian kejang selama penelitian yang dihitung setiap minggu dan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian lamotrigin mengindikasikan bahwa penggunaan lamotrigin efektif dalam mengurangi kejang dan disarankan menjadi terapi tambahan pada penanganan intractable epilepsi pada kasus Lennox Gastaut syndrome. 3. Felbamate (Felbatole) Obat ini dipakai untuk refractory seizure yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan lain. Penggunaan obat ini sebagian besar dipakai untuk Lennox Gustaut syndrome. Dosis yang diberikan sekitar 15-45 mg/kg, diberikan 3 sampai 4 kali sehari. Pemberian harus dimulai dengan dosis yang paling rendah berdasarkan kisaran dosis terapeutik dan harus digunakan sebagai terapi tunggal dikarenakan resiko terjadinya efek samping lebih tinggi jika diberikan bersamaan dengan antikonvulsan lain. Pada interaksi obat, felbamat meningkatkan kadar serum fenobarbital, fenitoin, asam valproat, dan menurunkan kadar karbamazepin. Efek samping yang dapat disebabkan obat ini adalah anoreksia, nausea, vomiting, insomnia, dan letargi dengan efek samping yang dikhawatirkan yaitu anemia aplastik dan hepatotoksisitas berat. Semua anak yang mendapatkan obat ini disarankan untuk selalu dipantau dengan pemeriksaan laboratorium darah rutin dan fungsi hati. 4. Vigabatrin (Sabril) Obat ini efektif digunakan pada kasus refractory partial seizure. Dosis maintenance yang dipakai adalah 30-150 mg/kg/hari dan diberikan sehari atau dua hari sekali. Jika setelah pemberian, kondisi kejang pasien tidak terdapat kemajuan, hal tersebut berarti obat tersebut resisten. 5. Topiramate (Topamax) Obat ini efektif digunakan pada pengobatan Lennox Gustaut syndrome dan refractory complex partial seizure. Dosis yang diberikan pertama kali yaitu 1 mg/kg/hari dengan dosis target maintenance sebesar 3-9 mg/kg/hari. Interaksi dengan obat antikonvulsan lainnya sangat sedikit. Topiramat memiliki beberapa efek samping yang sangat mengkhawatirkan yaitu masalah kepribadian yang paling umum terjadi pada anak anak. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah anoreksia, penurunan berat badan, masalah dalam tidur, kelelahan, sakit kepala, diplopia, gangguan bicara. Efek samping yang serius dari topiramat adalah nefrolitiasis dan harus hati hati pada pemberian topiramat kepada pasien yang memiliki riwayat batu ginjal atau sedang dalam ketogenic diet. 6. Tiagabine (Gabitril) Obat ini dipakai untuk terapi tambahan pada kasus refractory partial seizure. Dosis pemberian diawali dengan 0,1 mg/kg/hari dan dinaikkan hingga mencapai dosis target yaitu 0,5-1 mg/kg/hari sampai dapat mengontrol kejang secara adekuat. Efek samping yang disebabkan oleh obat ini adalah kelelahan, pusing, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, dan mood depresi. 7. Levetiracetam (Keppra) Obat ini efektif sebagai terapi tambahan pada refractory partial seizures pada anak anak usia 6 sampai 12 tahun. Dosis maintenance sekitar 10 sampai 60 mg/kg/hari. Efek samping pada anak anak adalah sakit kepala, anoreksia, kelelahan, dan infeksi termasuk rinitis, otitis media, gastroenteritis, dan faringitis. Pemakaian pada orang dewasa dilaporkan dapat mengakibatkan leukopenia tetapi tidak pernah didapatkan pada pasien anak. 8. Oxcarbazepine (Trileptal) Pada suatu studi yang dilakukan di Iran University of Medical Science dan Shahid Beheshti of Medical Science di Iran yang dilakukan oleh Azita Tavassoli, et al, menyimpulkan oxcarbazepin efektif untuk mengontrol intractable seizure pada anak anak. Respon yang paling baik ditunjukkan oleh pasien dengan partial epilepsy dan pasien dengan mixed type seizure memberikan respon yang paling sedikit. Dosis rata rata untuk mengontrol kejang adalah 45 mg/kg/hari. Pada studi ini didapatkan efek samping kemerahan pada kulit dan didapatkan riwayat reaksi kulit terhadap karbamazepin pada pasien tersebut sehingga harus dikeluarkan dari studi. Dan efek samping lain yang ditunjukkan adalah pada pemberian dosis yang tinggi menyebabkan diplopia dan pusing kepala yang langsung menghilang jika dosis obatnya diturunkan. Efek samping lain yang terlihat yaitu asimptomatik transient hyponatremia, mengantuk, sakit kepala, nausea dan muntah, ataksia dan agitasi. Semua efek samping tersebut terlihat pada pemberian awal dan menghilang setelah beberapa hari. Pada studi ini, komplikasi serius seperti depresi sumsum tulang dan gangguan pada hepar maupun ginjal ntidak ditemukan. Jika pada pemakaian obat obatan tersebut tidak terdapat adanya kemajuan berarti penanganan dengan menggunakan obat sudah gagal dalam mengendalikan kejang dan harus disarankan untuk dilakukan penanganan dengan cara lain. Salah satunya adalah dengan cara diet ketogenik.
Diet ini juga efektif sebagai penanganan infantile spasm dan Lennox Gastaut syndrome. Hasil studi yang dilakukan menyatakan terjadi pengurangan sekitar 50% sampai 70% kejang pada anak anak dengan penanganan diet ketogenik ini. Inti dari terapi ini adalah puasa. Dimana kondisi puasa dalam jangka waktu panjang akan menciptakan kondisi ketosis yang mengurangi kejang pada anak. Terapi dengan cara ini dilakukan sekitar 5 hingga 7 hari dengan dirawat di rumah sakit hingga kondisi ketosis dicapai. Terapi ini dapat menyebabkan hipoglikemia selama fase puasa dan kadar gula darah pasien harus selalu dipantau selama dilakukannya terapi ini. Muntah dan dehidrasi terkadang juga terjadi selama fase terapi ini. Lalu diet dengan 3 atau 4 porsi lemak dan 1 porsi karbohidrat dalam sehari diberikan dan pemberian suplemen diberikan untuk menghindari defisiensi vitamin. Pada terapi ini, abnormalitas metabolik dapat terjadi yaitu renal tubular asidosis, hypoproteinemia, dan elevasi kadar enzim hati dan pankreas. Efek lain yang dapat terjadi yaitu infeksi dan QT interval yang memanjang. Oleh karena itu, pemeriksaan EKG dan evaluasi kondisi metabolik pasien harus diperhatikan sebelum diet ini dimulai. Evaluasi laboratorium harus dilakukan sepanjang diet ini dilakukan.
Selain penanganan dengan diet ketogenik ini dapat juga dilakukan penanganan lain. Ketika seseorang mengalami kondisi intractable seizure dan tidak memberi respon terhadap pemberian obat terdapat pendekatan lain yang harus dilakukan untuk menangani kejang tersebut. Salah satu caranya dengan stimulasi nervus vagus.
Nervus vagus berjalan mulai dari leher ke dada hingga ke abdomen dan serat tambahan menghubungkan nervus vagus ke otak. Stimulasi nervus vagus mengganggu kerentangan otak untuk mengalami serangan kejang. Beberapa studi ilmiah, yang hasilnya disetujui oleh US Food and Drug Administration, menunjukkan penurunan kejang ketika nervus vagus di stimulasi oleh listrik. Stimulasi listrik dilakukan melalui battery powered metal stimulator yang ditanam di bawah kulit dada pasien lalu dihubungkan dengan kabel yang menghubungkan kabel ke nervus vagus sinistra dan lalu dialiri listrik sebagai stimulasi pada siklus yang diprogram. Biasanya stimulasi dilakukan selama 30 detik dan diistirahatkan selama 5 menit. Beberapa orang terkadang mendapatkan hasil yang memuaskan tetapi terkadang terdapat beberapa orang yang tidak merasakan perubahan apapun. Hasil terapi stimulasi nervus vagus tidak dapat diprediksi. Kejang yang dialami pasien bisa berkurang secara drastis tetapi tidak dapat menghilangkan kejang tersebut secara total. Efek samping penggunaan cara ini adalah batuk dan suara nafas deperti mendengkur dan terjadi biasanya pada saat stimulasi dilakukan.
Selain penanganan dengan stimulasi nervus vagus, yang dapat dilakukan pada intractable seizure yaitu operasi pada area otak yang mencetuskan terjadinya kejang.
Operasi biasanya menjadi pilihan terakhir dalam penanganan kejang. Rasio kesuksesan unruk menghentikan kejang sekitar 50 90% tergantung penyebab dari kejang tersebut dan lokasi dari kelainan yang terdapat di otak.
E. Edukasi keluarga perjalanan penyakit dan rekurensi Edukasi pasien dan pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari pengelolaan kejang demam. Langkah langkah yang perlu dilakukan antara lain: 1. Membantu keluarga untuk mengatasi pengalaman yang menakutkan dan menyingkirkan asumsi bahwa anak mereka akan meninggal saat kejang demam pertama dengan kesepakatan keluarga untuk memahami prognosis dari kejang. 2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan risiko keterlambatan intelektual jika kejang kurang dari 30 menit. 3. Memberikan keluarga informasi tentang risiko kekambuhan kejang berikutnya.
F. Rekurensi Risiko untuk terjadinya kekambuhan setelah kejang pertama adalah sekitar 33%. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan kekambuhan meliputi kejang demam pertama pada usia muda, riwayat keluarga kejang demam, durasi pendek demam sebelum kejang atau demam yang relatif rendah pada saat kejang awal. Terdapat faktor genetik yang mempengaruhi terjadinya kejang. Hal ini terlihat dari risiko saudara kandung untuk menderita kejang adalah sekitar 10-20% dan dapat lebih tinggi jika orang tua juga memiliki riwayat kejang. Profilaksis terus menerus dengan obat antiepilepsi tidak dianjurkan.
G. Penanganan pertama saat di rumah Hal yang harus dilakukan pertama saat dirumah dan berhadapan dengan anak yang sedang kejang adalah tetap tenang dan jangan panik, jangan memaksa atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Pastikan pasien aman dengan menempatkan mereka pada lantai dan menyingkirkan benda-benda yang bisa melukai mereka. Perhatikan waktu saat mulai dan berhentinya kejang, karena hal ini penting untuk diketahui dokter. Setelah kejang berhenti, tempatkan pasien dalam posisi tidur pada salah satu sisinya dan membuat mereka nyaman. Jangan mengguncang pasien untuk membangunkan mereka atau menahan pasien saat pasien mengalami kejang aktif. Bawalah pasien ke dokter atau instansi kesehatan setempat sesegera mungkin.
KESIMPULAN Penanganan kejang pada anak dimulai dengan memastikan adanya kejang. Kejang dapat berhenti sendiri, atau memerlukan pengobatan saat kejang. Tatalaksana kejang yang adekuat dibutuhkan untuk mencegah kejang menjadi status konvulsivus. Setelah kejang teratasi dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis, dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang
DAFTAR PUSTAKA
1. Marcdante K, Kliegman R, Jenson Hal B,dkk.2011. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. edisi 6.Indonesia : Nelson 2. Manno,Edward M. April 2003. Mayo Clin Proc. Symposium On Seizures New Management Strategies in the Treatment of status epilepticus. Vol 78 508-518 3. Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2011. Pedoman dan Tatalaksana Epilepsi edisi 4. Jakarta : PERDOSSI 4. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia Medical Association. 2010. 5. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW Department of Health. 2009. 6. Convulsions in Children. Pediatric Guidelines. 2006. October;1-3 7. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am. 2006;53:257-277 8. Deliana M. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002:2(4);59-62. 9. Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershon A. Rudolphs Pediatrics 22nd Edition. San Fransisco:McGraw-Hill. 2012. 10. Pusponegoro hardiono, Widodo dwi putro, Ismael sofyan, 2006. Konsensus penatalaksanaan kejang demam; unit kerja koordinasi Neurologi, Jakarta