You are on page 1of 23

REFERAT

TATALAKSANA TERKINI KEJANG ANAK















Oleh:
Stella Wattimury
0861050082

Pembimbing :
Dr. Ida Bgus Eka.Sp.A


Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia
Jakarta 2014



BAB 1
PENDAHULUAN

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Di seluruh kunjungan
emergensi 1% diantaranya adalah kasus kejang. sekitar 150.000 anak mendapatkan kejang dan
30.000 diantaranya berkembang menjadi status epilepsi. Ini berhubungan dengan mortalitas yang
tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA mengakibatkan kematian.
Sedangkan data secara global sendiri menunjukan bahwa SE terjadi pada 10-41 kasus per 100.00
orang per tahun dan paling sering pada anak-anak.
2,3,4

Di Negara berkembang, insiden pada anak lebih tinggi daripada di Negara maju, berkisar
anatara 25-840/100.000 penduduk pertahun .
2

Kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia,
hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis
permanen.
5

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana cara penatalaksanaan agar dapat
menekan angka morbiditas dan mortalitas.












BAB 2
ISI
A. Definisi
Kejang adalah lepasnya aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dari jaringan
neuroglia. Berbagai gangguan fungsi otak atau hemostatis dapat menyebabkan kejang.
Epilepsy didefenisikan sebagai kejang berulang tanpa provokasi. Sindrom epilepsy
adalah kumpulan klinis dengan usia awitan, pola klinis serangan, abnormalitas EEG yang
khas, perjalanan alamiah dan prognosis yang khas. Kejang demam adalah
B. Klasifikasi Kejang
KLASIFIKASI ILAE 1981
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna
2005).
Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis

Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

Serangan umum.
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
Tak tergolongkan.



KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)
Berkaitan dengan letak fokus
1. Fokal/partial
Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
- Primary reading epilepsy.
Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
Kriptogenik
2. Umum
Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
Simptomatik
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

I. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu
hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada 30%
anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan pada anak berusia
3 hingga 13 tahun. Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai
dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan
aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang tetap
pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang terjadi. Kesadaran tetap
terjaga.
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari persepsi
dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat kejang,
pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti mengecap ngecap,
jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali disertai mual dan muntah.
3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan
gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan
dengan kejang tonik klonik.

II. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua hemisfer
serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang umum dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi
pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba tiba, namun pada
beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik). Pada awal
fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot
otot yang disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai dengan
inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi
gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada
ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada anak selama episode kejang
berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Anak tiba
tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot yang
progresif.
3. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba
tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat terjadi hingga ratusan
kali per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau
disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens
tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara tiba tiba,
kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai dengan tatapan
kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi. Episode
kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini jarang dijumpai pada anak berusia
kurang dari 5 tahun. Kejang absens atipikal ditandai dengan gerakan seperti
hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai
dengan perubahan kesadaran
7
.
III. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak
dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial. Kejang ini
termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1 tahun.

C. Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
ekstrakranial. Etiologi epilepsy dapat dibagi ke dalam 3 kategori:
1. Idiopatik
Tidak terdapat lesi structural diotak atau deficit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenit: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum dikeahui. Termasuk
disini adalah sindrom West, Sindrom Lennox Gastaut dan epilepsy mioklonik.
3. Simtomatik: bangkitan epilepsy disebabkan oleh kelainan/ lesi structural pada
otak. Misalnya cidera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang.
Gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol, obat), metabolic, kelainan
neurogeneratif.







Tabel 1 Penyebab kejang

PATOFISIOLOGI
Perubahan kenaikan
temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena
kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolism seluler serta produksi ATP
.Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat
10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan
peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen.Pada demam tinggi akan mengakibatkan
hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal,
satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan
metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP,
sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal
pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia.21Kedua hal tersebut mengakibatkan
masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.Timbunan
asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel
terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke
dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan
benturan ion terhadap membrane sel.Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan
potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping
itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.23,24
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat
mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga
menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan
kemampuan inhibisi akibatkerusakan neuron GABA-nergik.23,25 Pada penelitian
kami, kelompok kasus diketahui sebagian besar anak dengan bangkitan kejang demam
didahului lamademam kurang dua jam. Setiap kenaikan suhu 0,3C secara cepat akan
menimbulkan discharge di daerahoksipital, discharge di daerah oksipital dapat dilihat
dan hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhutubuh menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamatdan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan
tidak menyebabkankenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin
menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikansuhu tubuh. Asam glutamat merupakan
eksitator,sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh
mendadak.Usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian besar adalah
kurang dari dua tahun.Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat baik
ionotropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya
reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih
dominan dibanding inhibisi 26,27 Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan
neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH
di hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam.24 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah
sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum
matang neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion
Na+, K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca
depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Oleh karena itu, pada masa otak belum
matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang.
Diagnosis
i. Anamnesa
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian sebelum episode kejang terjadi :
Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan
stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau
bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara suara,
mual, merasa ketakutan dan sebagainya?
Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak sedang
demam sebelum kejang terjadi?
Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu
sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala,
beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian saat episode kejang terjadi :
Berapa lama kejang berlangsung?
Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang
terjadi?
Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar atau
tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post iktal
Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau
anak tampak seperti tidak terjadi apa apa?

ii. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda tanda
vital meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus
diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak
anak. Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk, tanda tanda trauma
kepala, serta tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher
apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh
juga penting dilakukan. Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi
kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu:
laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan neuroradiologi.
Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah
kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis






D. Penatalaksanaan
Tatalaksana kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan
mencegah status epileptikus



Berikan diazepam rectal 0,5mg/kgBB ( bila BB<10= 5 mg, bila BB>10=10mg). Dapat
diulang 2 kali
Bila kejang masih ada, berikan 0,25-0,5 mg/kgBB secara IV ( kecepatan 2mg/menit), dosis
diazepam IV atau rectal dapat diulang 2 kali setelah 5-10 menit
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB IV diencerkan dengan NaCL 0,9% ( 10 mg Fenitoin / 1 ml
Nacl 0,9%)
Fenobarbital 20 mgkg IV bolus pelan-pelan dengan kecepatn 100 mg/menit. Dapat diberikan
dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10-15 menit.


i. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah
untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan
memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah beroksigen ke
otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia.

Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian
patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas tidak
bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head tilt-
chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-
valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang,
mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol
jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu
dibersihkan dari sekret oleh suction.


2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara
napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit.
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse
oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung
dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask.
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi.
Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral
yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu,
lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat
diperoleh, pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal,
intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada
anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses intravena tidak dapat
diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk administrasi long acting
antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis benzodiazepin.
Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat normal saline untuk setiap pasien dengan
tanda-tanda syok, lalu periksa tekanan darah segera setelah pemberian
normal saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan
uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi berikan dextrose
10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang hipoglikemi tersebut.
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang disertai
dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus diperhatikan.
Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari
keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik atau peningkatan tekanan
intrakranial.
2,4
Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama
atau setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi
atau deserebrasi sikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur
ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada
anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan
tanda tanda meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan
atau berulang-ulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi
kesadaran.
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.

ii. Menilai kembali ABC
Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang
berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran
kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti epilepsi. Jika
memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri.


iii. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)
Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi.
Dahulu di tahun 1960an obat antiepilepsi yang digunakan dalam pengelolaan
kejang telah berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena. Sekarang
obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah benzodiazepin. Hal ini
dikarenakan benzodiazepin dapat dengan cepat mengkontrol kejang dengan efek
samping yang minimal. Selain itu benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa
rute dan dapat diberikan kembali dalam waktu singkat.


Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter harus
kompatibel dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara sinergis tanpa
efek samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah berkelanjutan kejang.
Pilihan obat lini kedua tersebut adalah fenitoin dan fenobarbital.

Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang
paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya
yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus pula
meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran.
Pengobatan dini sangat penting,karena setelah kejangditetapkan selama lebih dari
15 menit, penangannanya akan lebih sulit. Protokol penanganan kejang berbasis
lini ini digunakan di tiga rumah sakit anak-anakdi New South Wales. Protokol
inipun telah di akui oleh Advance Paediatric Life Support (APLS) di Inggris pada
tahun 2000.
1. Terapi lini pertama:
1. Diazepam
Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian
intravena menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar 80%
pasien. Setelah pemberian rektal, kadar serum terapeutik terlihat dalam
lima menit dan kontrol kejang yang cepat terjadi pada hingga 80%.
Sementara mungkin ada manfaat dari diazepam intravena berikutnya di
pasien yang tidak responsif terhadap terapi, kejang menetap
terhadapdosis rektal tunggal (kejang resisten) maka pasien tersebut
membutuhkan pengobatan lini kedua


2. Midazolam

Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat
pilihan pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute
pemberian yang lebih disukai yaitu melalui bukal tidak seperti diazepam
yang melalui rektal. Midazolam sangat efektif sebagai lini pertama
antikonvulsan karena menghentikan sebagian besar kejang dalam satu
menit setelah injeksi intravena dari 0,1-0,3 mg/kg dan secara
intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis tunggal midazolam bukal
0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir risiko depresi pernapasan.
2
3. Paraldehyde

Paraldehyde

telah digunakan sebagai supposituria untuk pengobatan
kejang sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang diberikan secara rektal
Administrasi dubur dapat ditoleransi dengan baik dan menghasilkan
onset kontrol kejang yang cepat dan efek depresi pernafasan yang kurang
minimal.

2. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :
1. Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama.
Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang terkontrol
dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin memiliki efek
depresi pernapasan yang lebih kecil daripada fenobarbital. Fenitoin telah
diakui sebagai pilihan pertama anti konvulsan lini kedua oleh British
Working Party.

2. Fenobarbital
Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun 1912
dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan anti
konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah dan sangat
efektif. Setelah pemberian intravena terdapat distribusi bifasik dan
sangat menyebar melalui seluruh pembuluh darah termasuk pembuluih
darah otak. Meskipun penetrasi ke otak telah dilaporkan terjadi 12-60
menit setelah pemberian, penetrasi ini terjadi lebih cepat dalam status
epileptikus karenapeningkatan aliran darah otak. Fenibarbital digunakan
sebagai anti konvulsan lini kedua pada periode neonatal. Dosis
pemberian adalah 5-10 mg/kg.

Anitkonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus
hanya untuk mencegah berulangnya kejang demam berat.



iv. Tatalaksana Intractable Seizures
Pada penanganan intractable seizure, terdapat beberapa obat yang masih
digunakan. Penggunaan obat obatan tersebut hanya dipakai pada beberapa
kasus penyakit dengan kondisi intactable seizure, obat obatan tersebut adalah :
1. Valproate (Depacote)
Asam valproat dapat digunakan pada penanganan kasus kejang Lennox
Gustaut Syndrome. Dosis maintenance yang dipakai sekitar 10-60
mg/kg/hari, diberikan sebanyak 2 hingga 4 kali sehari. Dosis harian harus
dimulai pada dosis 10 mg/kg/hari dan ditingkatkan sebanyak 10 mg/kg/hari
setiap minggunya sampai level serum terapeutik tercapai yaitu 50-100 g/ml.
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan traktus gastrointestinal,
kenaikan berat badan, mengantuk, dan alopesia. Tremor dan trombositopenia
merupakan dose related effect. Untuk anak dibawah usia 2 tahun dapat
meningkatkan resiko toksisitas hepar dan pankreatik. Asam valproat juga
mengganggu metabolisme dari obat antikonvulsan lain yaitu meningkatkan
jumlah obat fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, diazepam, clonazepam, dan
ethosuksamid di dalam darah.
2. Lamotrigine (Lamictal)
Obat ini juga dapat digunakan untuk pengobatan kejang pada Lennox
Gustaut syndrome. Dosis maintenance yang digunakan sekitar 5-15
mg/kg/hari, tetapi dikarenakan obat ini mengganggu kerja antikonvulsan
lainnya, penetapan dosis harus dilakukan ketika diberikan bersamaan dengan
antikonvulsan lainnya. Lamictal harus diberikan dosis rendah pada awal
pemberian jika diberikan pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat dan
pada dosis tinggi jika diberikan pada pasien yang juga meminum fenitoin,
karbamezepin, fenobarbital, atau pirimidon. Efek samping dari obat ini
adalah gangguan traktus gastrointestinal, somnolen, pusing, sakit kepala, dan
diplopia. Efek yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya ruam
kemerahan di kulit yang dapat merupakan tanda tanda dari Stevens
Johnson syndrome
7
. Pada studi yang dilakukan pada Shahid Sadoughi
Hospital di Iran yang dilakukan oleh Fallah R, et al, meneliti 22 anak laki
laki dan 18 anak perempuan yang mengalami intractable epilepsy dengan
Lennox Gastaut syndrome didapatkan hasil nilai rata rata angka kejadian
kejang selama penelitian yang dihitung setiap minggu dan dilakukan sebelum
dan sesudah pemberian lamotrigin mengindikasikan bahwa penggunaan
lamotrigin efektif dalam mengurangi kejang dan disarankan menjadi terapi
tambahan pada penanganan intractable epilepsi pada kasus Lennox Gastaut
syndrome.
3. Felbamate (Felbatole)
Obat ini dipakai untuk refractory seizure yang tidak dapat ditangani
dengan pengobatan lain. Penggunaan obat ini sebagian besar dipakai untuk
Lennox Gustaut syndrome. Dosis yang diberikan sekitar 15-45 mg/kg,
diberikan 3 sampai 4 kali sehari. Pemberian harus dimulai dengan dosis yang
paling rendah berdasarkan kisaran dosis terapeutik dan harus digunakan
sebagai terapi tunggal dikarenakan resiko terjadinya efek samping lebih
tinggi jika diberikan bersamaan dengan antikonvulsan lain. Pada interaksi
obat, felbamat meningkatkan kadar serum fenobarbital, fenitoin, asam
valproat, dan menurunkan kadar karbamazepin. Efek samping yang dapat
disebabkan obat ini adalah anoreksia, nausea, vomiting, insomnia, dan letargi
dengan efek samping yang dikhawatirkan yaitu anemia aplastik dan
hepatotoksisitas berat. Semua anak yang mendapatkan obat ini disarankan
untuk selalu dipantau dengan pemeriksaan laboratorium darah rutin dan
fungsi hati.
4. Vigabatrin (Sabril)
Obat ini efektif digunakan pada kasus refractory partial seizure. Dosis
maintenance yang dipakai adalah 30-150 mg/kg/hari dan diberikan sehari
atau dua hari sekali. Jika setelah pemberian, kondisi kejang pasien tidak
terdapat kemajuan, hal tersebut berarti obat tersebut resisten.
5. Topiramate (Topamax)
Obat ini efektif digunakan pada pengobatan Lennox Gustaut
syndrome dan refractory complex partial seizure. Dosis yang diberikan
pertama kali yaitu 1 mg/kg/hari dengan dosis target maintenance sebesar 3-9
mg/kg/hari. Interaksi dengan obat antikonvulsan lainnya sangat sedikit.
Topiramat memiliki beberapa efek samping yang sangat mengkhawatirkan
yaitu masalah kepribadian yang paling umum terjadi pada anak anak. Efek
samping lain yang dapat terjadi adalah anoreksia, penurunan berat badan,
masalah dalam tidur, kelelahan, sakit kepala, diplopia, gangguan bicara. Efek
samping yang serius dari topiramat adalah nefrolitiasis dan harus hati hati
pada pemberian topiramat kepada pasien yang memiliki riwayat batu ginjal
atau sedang dalam ketogenic diet.
6. Tiagabine (Gabitril)
Obat ini dipakai untuk terapi tambahan pada kasus refractory partial
seizure. Dosis pemberian diawali dengan 0,1 mg/kg/hari dan dinaikkan
hingga mencapai dosis target yaitu 0,5-1 mg/kg/hari sampai dapat
mengontrol kejang secara adekuat. Efek samping yang disebabkan oleh obat
ini adalah kelelahan, pusing, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, dan mood
depresi.
7. Levetiracetam (Keppra)
Obat ini efektif sebagai terapi tambahan pada refractory partial
seizures pada anak anak usia 6 sampai 12 tahun. Dosis maintenance sekitar
10 sampai 60 mg/kg/hari. Efek samping pada anak anak adalah sakit
kepala, anoreksia, kelelahan, dan infeksi termasuk rinitis, otitis media,
gastroenteritis, dan faringitis. Pemakaian pada orang dewasa dilaporkan
dapat mengakibatkan leukopenia tetapi tidak pernah didapatkan pada pasien
anak.
8. Oxcarbazepine (Trileptal)
Pada suatu studi yang dilakukan di Iran University of Medical Science
dan Shahid Beheshti of Medical Science di Iran yang dilakukan oleh Azita
Tavassoli, et al, menyimpulkan oxcarbazepin efektif untuk mengontrol
intractable seizure pada anak anak. Respon yang paling baik ditunjukkan
oleh pasien dengan partial epilepsy dan pasien dengan mixed type seizure
memberikan respon yang paling sedikit. Dosis rata rata untuk mengontrol
kejang adalah 45 mg/kg/hari. Pada studi ini didapatkan efek samping
kemerahan pada kulit dan didapatkan riwayat reaksi kulit terhadap
karbamazepin pada pasien tersebut sehingga harus dikeluarkan dari studi.
Dan efek samping lain yang ditunjukkan adalah pada pemberian dosis yang
tinggi menyebabkan diplopia dan pusing kepala yang langsung menghilang
jika dosis obatnya diturunkan. Efek samping lain yang terlihat yaitu
asimptomatik transient hyponatremia, mengantuk, sakit kepala, nausea dan
muntah, ataksia dan agitasi. Semua efek samping tersebut terlihat pada
pemberian awal dan menghilang setelah beberapa hari. Pada studi ini,
komplikasi serius seperti depresi sumsum tulang dan gangguan pada hepar
maupun ginjal ntidak ditemukan.
Jika pada pemakaian obat obatan tersebut tidak terdapat adanya kemajuan
berarti penanganan dengan menggunakan obat sudah gagal dalam mengendalikan
kejang dan harus disarankan untuk dilakukan penanganan dengan cara lain. Salah
satunya adalah dengan cara diet ketogenik.

Diet ini juga efektif sebagai penanganan infantile spasm dan Lennox Gastaut
syndrome. Hasil studi yang dilakukan menyatakan terjadi pengurangan sekitar
50% sampai 70% kejang pada anak anak dengan penanganan diet ketogenik ini.
Inti dari terapi ini adalah puasa. Dimana kondisi puasa dalam jangka waktu
panjang akan menciptakan kondisi ketosis yang mengurangi kejang pada anak.
Terapi dengan cara ini dilakukan sekitar 5 hingga 7 hari dengan dirawat di rumah
sakit hingga kondisi ketosis dicapai. Terapi ini dapat menyebabkan hipoglikemia
selama fase puasa dan kadar gula darah pasien harus selalu dipantau selama
dilakukannya terapi ini. Muntah dan dehidrasi terkadang juga terjadi selama fase
terapi ini. Lalu diet dengan 3 atau 4 porsi lemak dan 1 porsi karbohidrat dalam
sehari diberikan dan pemberian suplemen diberikan untuk menghindari defisiensi
vitamin. Pada terapi ini, abnormalitas metabolik dapat terjadi yaitu renal tubular
asidosis, hypoproteinemia, dan elevasi kadar enzim hati dan pankreas. Efek lain
yang dapat terjadi yaitu infeksi dan QT interval yang memanjang. Oleh karena
itu, pemeriksaan EKG dan evaluasi kondisi metabolik pasien harus diperhatikan
sebelum diet ini dimulai. Evaluasi laboratorium harus dilakukan sepanjang diet
ini dilakukan.

Selain penanganan dengan diet ketogenik ini dapat juga dilakukan penanganan
lain. Ketika seseorang mengalami kondisi intractable seizure dan tidak memberi
respon terhadap pemberian obat terdapat pendekatan lain yang harus dilakukan
untuk menangani kejang tersebut. Salah satu caranya dengan stimulasi nervus
vagus.

Nervus vagus berjalan mulai dari leher ke dada hingga ke abdomen dan serat
tambahan menghubungkan nervus vagus ke otak. Stimulasi nervus vagus
mengganggu kerentangan otak untuk mengalami serangan kejang. Beberapa studi
ilmiah, yang hasilnya disetujui oleh US Food and Drug Administration,
menunjukkan penurunan kejang ketika nervus vagus di stimulasi oleh listrik.
Stimulasi listrik dilakukan melalui battery powered metal stimulator yang
ditanam di bawah kulit dada pasien lalu dihubungkan dengan kabel yang
menghubungkan kabel ke nervus vagus sinistra dan lalu dialiri listrik sebagai
stimulasi pada siklus yang diprogram. Biasanya stimulasi dilakukan selama 30
detik dan diistirahatkan selama 5 menit. Beberapa orang terkadang mendapatkan
hasil yang memuaskan tetapi terkadang terdapat beberapa orang yang tidak
merasakan perubahan apapun. Hasil terapi stimulasi nervus vagus tidak dapat
diprediksi. Kejang yang dialami pasien bisa berkurang secara drastis tetapi tidak
dapat menghilangkan kejang tersebut secara total. Efek samping penggunaan cara
ini adalah batuk dan suara nafas deperti mendengkur dan terjadi biasanya pada
saat stimulasi dilakukan.

Selain penanganan dengan stimulasi nervus vagus, yang dapat dilakukan pada
intractable seizure yaitu operasi pada area otak yang mencetuskan terjadinya
kejang.

Operasi biasanya menjadi pilihan terakhir dalam penanganan kejang. Rasio
kesuksesan unruk menghentikan kejang sekitar 50 90% tergantung penyebab
dari kejang tersebut dan lokasi dari kelainan yang terdapat di otak.


E. Edukasi keluarga perjalanan penyakit dan rekurensi
Edukasi pasien dan pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari
pengelolaan kejang demam. Langkah langkah yang perlu dilakukan antara lain:
1. Membantu keluarga untuk mengatasi pengalaman yang menakutkan dan
menyingkirkan asumsi bahwa anak mereka akan meninggal saat kejang
demam pertama dengan kesepakatan keluarga untuk memahami prognosis
dari kejang.
2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan risiko
keterlambatan intelektual jika kejang kurang dari 30 menit.
3. Memberikan keluarga informasi tentang risiko kekambuhan kejang
berikutnya.


F. Rekurensi
Risiko untuk terjadinya kekambuhan setelah kejang pertama adalah sekitar
33%. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan kekambuhan meliputi
kejang demam pertama pada usia muda, riwayat keluarga kejang demam, durasi
pendek demam sebelum kejang atau demam yang relatif rendah pada saat kejang
awal. Terdapat faktor genetik yang mempengaruhi terjadinya kejang. Hal ini terlihat
dari risiko saudara kandung untuk menderita kejang adalah sekitar 10-20% dan dapat
lebih tinggi jika orang tua juga memiliki riwayat kejang. Profilaksis terus menerus
dengan obat antiepilepsi tidak dianjurkan.

G. Penanganan pertama saat di rumah
Hal yang harus dilakukan pertama saat dirumah dan berhadapan dengan anak
yang sedang kejang adalah tetap tenang dan jangan panik, jangan memaksa atau
memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Pastikan pasien aman dengan
menempatkan mereka pada lantai dan menyingkirkan benda-benda yang bisa
melukai mereka. Perhatikan waktu saat mulai dan berhentinya kejang, karena hal
ini penting untuk diketahui dokter. Setelah kejang berhenti, tempatkan pasien
dalam posisi tidur pada salah satu sisinya dan membuat mereka nyaman. Jangan
mengguncang pasien untuk membangunkan mereka atau menahan pasien saat
pasien mengalami kejang aktif. Bawalah pasien ke dokter atau instansi kesehatan
setempat sesegera mungkin.




KESIMPULAN
Penanganan kejang pada anak dimulai dengan memastikan adanya kejang. Kejang dapat
berhenti sendiri, atau memerlukan pengobatan saat kejang. Tatalaksana kejang yang adekuat
dibutuhkan untuk mencegah kejang menjadi status konvulsivus. Setelah kejang teratasi
dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis, dan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi untuk mencari penyebab kejang
















DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante K, Kliegman R, Jenson Hal B,dkk.2011. Ilmu Kesehatan Anak Esensial.
edisi 6.Indonesia : Nelson
2. Manno,Edward M. April 2003. Mayo Clin Proc. Symposium On Seizures New
Management Strategies in the Treatment of status epilepticus. Vol 78 508-518
3. Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2011. Pedoman dan Tatalaksana
Epilepsi edisi 4. Jakarta : PERDOSSI
4. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia
Medical Association. 2010.
5. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW
Department of Health. 2009.
6. Convulsions in Children. Pediatric Guidelines. 2006. October;1-3
7. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.
2006;53:257-277
8. Deliana M. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002:2(4);59-62.
9. Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershon A. Rudolphs Pediatrics 22nd
Edition. San Fransisco:McGraw-Hill. 2012.
10. Pusponegoro hardiono, Widodo dwi putro, Ismael sofyan, 2006. Konsensus
penatalaksanaan kejang demam; unit kerja koordinasi Neurologi, Jakarta

You might also like