You are on page 1of 14

ANTIBIOTIK GOLONGAN MAKROLIDA

OLEH :









RAMDHANI M. NATSIR
P2500212005





PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI FARMASI
KONSENTRASI FARMASI KLINIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

DAFTAR ISI

SAMPUL ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB II. PEMBAHASAN
A. Jenis Antibiotik Golongan Makrolida .................................... 2
B. Farmakodinamik ..................................................................... 3
C. Spektrum Antibakteri ............................................................. 4
D. Resistensi ................................................................................ 4
E. Farmakokinetik ....................................................................... 5
F. Efek Samping ......................................................................... 6
G. Kontraindikasi ........................................................................ 6
H. Interaksi .................................................................................. 6
I. Aplikasi Penggunaan Klinik pada pediatri ............................. 7
BAB III. PENUTUP .................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 12













KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun tugas ini
tepat pada waktunya. Tugas ini membahas tentang antibiotik golongan makrolida.
Dalam penyusunan tugas ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan tugas selanjutnya.
Akhir kata semoga tugas ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Makassar, 30 September 2014

Penulis











BAB I
PENDAHULUAN

Makrolida adalah salah satu kelas poliketida. Makrolida merupakan
sekelompok obat (khususnya antibiotik) yang aktivitasnya disebabkan karena
keberadaan cincin makrolida, cincin lakton besar yang berikatan dengan satu atau
lebih gula deoksi, biasanya cladinose dan desosamine. Cincin laktonnya biasanya
tersusun dari 14-, 15-, atau 16- atom.
Antibiotik makrolida digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri-bakteri Gram positif seperti Streptococcus
Pnemoniae dan Haemophilus influenzae. Penggunaannya merupakan pilihan
pertama pada infeksi paru-paru. Digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas
bagian atas seperti infeksi tenggorokan dan infeksi telinga, infeksi saluran nafas
bagian bawah seperti pneumonia, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, untuk
sifilis, dan efektif untuk penyakit legionnaire (penyakit yang ditularkan oleh
serdadu sewaan). Sering pula digunakan untuk pasien yang alergi terhadap
penisilin. Spektrum antimicrobial makrolida sedikit lebih luas dibandingkan
penisilin. Sekarang ini antibiotika Makrolida yang beredar di pasaran obat
Indonesia adalah Eritromisin, Klaritromisin dan Azithromisin.












BAB II
PEMBAHASAN

A. Jenis Antibiotik Golongan Makrolida
Makrolida adalah suatu golongan antibiotika dengan suatu struktur
makrosiklik laktor. Eritromisin merupakan obat pertama yang digunakan di
klinik sebagai obat pilihan dan sebagai alternatif terhadap penisilin pada
individu yang alergi terhadap antibiotika laktam. Anggota baru dari
kelompok ini, klaritromisin (suatu bentuk eritromisin metilasi) dan
azitromisin (mempunyai cincin lakton yang lebih besar) mempunyai beberapa
gambaran yang sama dengan eritromisin. Berdasarkan struktur kimianya, obat
dibagi menjadi menjadi berikut ini :
1. Azitromisin

Azitromisin termasuk kelompok azalida, yakni makrolida dengan atom N
di cincin laktonnya, Azitromisin terikat baik pada jaringan, dengan kadar
sapai lima puluh kali lebih besar daripada dalam plasma. Begitupula
kadarnya dalam lekosit, makrofag, dan fibroblast, lebih tinggi daripada
eritromisin. Masa paruhnya 13 jam, maka dapat ditakarkan dalam single
dose.
2. Klaritromisin

Klaritromisin merupakan derivat 6 O metil yang sama aktivitasnya
dengan eritromisin pada infeksi saluran napas bawah dengan antara lain
Legionella. Dari 3 metabolitnya hanya turunan 14 OH-nya aktif secara
biologis.
3. Eritromisin

Berdasarkan strukturnya, eritromisin merupakan senyawa antibiotik
golongan makrolida, karena tersusun atas cincin makro lakton yang
disebut eritronolida dan mengikat secara glikosidik gula amino
(desosamina) serta gula netral(kladinosa/mikarosa). Eritromisin
dihasilkan oleh Streptomyces erythreus. Eritromisin diuraikan oleh asam
lambung, maka harus diberikan dalam sediaan enteric coated (dengan
selaput tahan asam) atau sebagai garam atau esternya (stearat dan
etilsuksinat).

B. Farmakodinamik
Antibiotik makrolida mengikat secara ireversibel pada tempat subunit
50S ribosom bakteri, sehingga menghambat langkah translokasi sintesis
protein. Obat ini secara umum bersifat bakteriostatik dan dapat bersifat
bakterisidal pada dosis tinggi.
Antibiotik makrolida terikat di lokasi P-dari sub unit 50S ribosom. Hal
ini menyebabkan selama proses transkripsi, lokasi P ditempati oleh
makrolida. Ketika t-RNA terpasang dengan rantai peptida dan mencoba untuk
pindah ke lokasi P, t-RNA tersebut tidak dapat menuju ke lokasi P karena
adanya makrolida, sehingga akhirnya dibuang dan tidak dipakai. Hal ini dapat
mencegah transfer peptidil tRNA dari situs A ke situs-P dan memblok sintesis
protein dengan menghambat translokasi dari rantai peptida yang baru
terbentuk.
Makrolida juga menyebabkan pemisahan sebelum waktunya dari tRNA
peptidal di situs A. Mekanisme kerja makrolida, selain terikat di lokasi P dari
RNA ribosom 50S, juga memblokir aksi dari enzim peptidil transferase.
Enzim ini bertanggung jawab untuk pembentukan ikatan peptida antara asam
amino yang terletak di lokasi Adan P dalam ribosom dengan cara
menambahkan peptidil melekat pada tRNA ke asam amino berikutnya.
Dengan memblokir enzim ini, makrolida mampu menghambat biosintesis
protein dan dengan demikian membunuh bakteri.

C. Spektrum Antibakteri
1. Eritromisin efektif terhadap organisme yang sama seperti penisilin,
karena itu obat ini digunakan pada penderita yang alergi terhadap
penisilin.
2. Klaritromisin mempunyai spektrum aktivitas antibakteri mirip dengan
eritromisin, tetapi juga efektif terhadap Haemophilus influenza.
Aktivitasnya lebih baik terhadap bakteri patogen intraselular seperti
Chlamydia, Legionella & Ureaplasma dibandingkan eritromisin.
3. Azitromisin, meskipun kurang efektif terhadap streptokokus dan
stafilkokus dibandingkan eritromisin, obat ili lebih aktif terhadap infeksi
saluran napas yang disebabkan Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis. Kecuali masalah biaya, obat ini sekarang lebih disukai untuk
pengobatan uretritis yang disebabkan Chlamydia trachomatis. Aktivitas
Mycobacterium avium intraseluler tidak terbukti efektif secara klinik,
kecuali pada pasien AIDS dengan infeksi yang luas.

D. Resistensi
Resistensi terhadap eritromisin merupakan masalah klinik yang serius.
Sebagai contoh, kebanyakan strain stafilokokus dari isolat Rumah Sakit
resisten terhadap obat ini. Beberapa mekanisme resistensi yaitu
1. Ketidakmampuan organisme untuk mengambil antibiotika
2. Menurunnya afinitas antibiotika terhadap subunit 50 S ribosom yang
disebabkan metilasi adenin 23s ribosom RNA bakteri
3. Adanya suatu hubungan eritromisin esterase dengan plasmid. Baik
klaritromisin dan azitromisin menunjukkan resistensi silang dengan
eritromisin.

E. Farmakokinetik
a. Pemberian : Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung sehingga
obat ini diberikan dalam bentuk tablet salut enterik atau ester. Semua
obat ini diabsorpsi secara adekuat setelah pemberian per oral.
Klaritromisin dan azitromisin stabil terhadap asam lambung dan siap
diabsorpsi. Makanan dapat mempengaruhi absorbsi eritromisin dan
azitromisin tetapi mungkin meningkatkan insidens tromboflebitis.
b. Distribusi : Distribusi eritromisin ke seluruh cairan tubuh baik kecuali ke
cairan serebrospinalis. Obat ini merupakan satu diantara sedikit
antibiotika yang berdifusi ke dalam cairan prostat dan mempunyai sifat
akumulasi unit ke dalam makrofag. Obat ini berkumpul di hati. Adanya
inflamasi menyebabkan penetrasinya ke jaringan lebih baik. Demikian
juga, dengan klaritromisin dan azitromisin absorbsi keduanya luas ke
jaringan. Kadar serum azitromisin rendah, obat ini berkumpul di
neutrofil, makrofag dan fibroblas.
c. Metabolisme : Eritromisin dimetabolisme secara ekstensif dan diketahui
menghambat oksidasi sejumlah obat melalui interaksinya dengan sistem
sitokrom P-450. Klaritromisin dioksidasi menjadi derivat 14-hidroksi
yang mempunyai aktivitas antibakteri: mempengaruhi metabolisme obat
seperti teofilin dan karbamazepin. Azitromisin tidak mengalami
metabolisme.
d. Ekskresi : Eritromisin dan azitromisisn terutama dikumpulkan dan
diekskresikan dalam bentuk aktif dalam empedu. Reabsorpsi parsial
terjadi melalui sirkulasi enterohepatik. Sebaliknya, Klaritromisin dan
metabolitnya dieliminasi oleh ginjal serta hati dan obat ini
direkomendasikan pada penderita gangguan ginjal dengan dosis yang
disesuaikan.

F. Efek Samping
1. Gangguan epigastrik : Efek samping ini paling sering dan dapat
mengakibatkan ketidakpatuhan pasien terhadap eritromisin. Makrolid
baru tampaknya ditolerir lebih baik oleh penderita: gangguan
gastrointestinal merupakan efek samping obat-obat tersebut yang paling
sering.
2. Ikterus kolestatik : Efek samping ini terjadi terutama pada eritromisin
bentuk estolat, diduga karena reaksi hipersensitivitas terhadap bentuk
estolat (garam lauril dari propionil ester eritromisin). Efek samping ini
dilaporkan dapat terjadi pada obat dengan bentuk lain.
3. Ototoksisitas : Ketulian sementara berkaitan dengan eritromisin terutama
dalam dosis tinggi.

G. Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan fungsi hati tidak boleh mendapatkan eritromisin
karena obat ini berkumpul di hati.

H. Interaksi
Eritromisin dan klaritromisin menghambat metabolisme hepatik teofilin,
warfarin, terfenadin, astemizol, karbamazepin dan siklosporin yang akan
menyebabkan akumulasi toksik obat-obat tersebut. Interaksinya dengan
digoksin dapat terjadi pada beberapa pasien. Pada kasus ini, antibiotika
mengeliminasi spesies flora intestinal yang secara umum menginaktifkan
digoksin sehingga terjadi reabsorpsi digoksin yang lebih besar dalam sirkulasi
enterohepatik.


I. Aplikasi Penggunaan Klinik pada Pediatri
1. Pneumonia Atipikal
Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang tidak dapat diidentifikasi dengan teknik diagnostik
standar pneumonia pada umumnya dan tidak menunjukkan respon
terhadap antibiotik b-laktam. Mikroorganisme patogen penyebab
pneumonia atipikal pada umumnya adalah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, dan Legionella pneumophila. Manifestasi klinik,
pemeriksaan laboratorium dan radiologis pneumonia atipikal
menunjukkan gambaran tidak spesifik. Manifestasi klinik pneumonia
atipikal ditandai oleh perjalanan penyakit yang bersifat gradual, terdapat
demam yang tidak terlalu tinggi, batuk non produktif dan didominasi
oleh gejala konstitusi. Satu-satunya cara untuk mengetahui penyebab dari
pneumonia atipikal adalah pemeriksaan serologi dan polymerase chain
reaction (PCR).



Antibiotik harus diberikan untuk setiap kasus pneumonia. Setiap
pasien pneumonia mempunyai risiko yang sama untuk terinfeksi patogen
tipikal maupun atipikal. Insidensi pneumonia atipikal pada pneumonia
cukup tinggi dan tidak setiap laboratorium yang ada memiliki fasilitas
untuk diagnostik khusus bagi patogen atipikal. Para ahli
mempertimbangkan pemberian antibiotik secara empiris kepada setiap
pasien pneumonia yang masih bisa diterapi sebagai kemungkinan
pneumonia atipikal. Terdapat tiga kelas antibiotik empiris untuk
pneumonia atipikal yaitu golongan makrolid, kuinolon, dan tetrasiklin
(Tabel 5). Terapi dengan kuinolon masih kontroversial. Azitromisin dan
eritromisin pada tiga penelitian pneumonia atipikal pada anak
menunjukkan hasil yang memuaskan. The British Thoracic Society
merekomendasikan semua kelas antibiotik makrolid untuk pengobatan
pneumonia atipikal.

2. Sinusitis
Sinusitis adalah infeksi sinus paranasal dengan gejala ISPA yang
menetap atau makin berat dalam kurun waktu tertentu. Tiga faktor yang
berperan dalam terjadinya sinusitis adalah ostium yang tertutup,
penurunan jumlah atau fungsi silia serta berubahnya viskositas sekret.
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dapat ditegakkan
diagnosis sinusitis akut pada anak. Pada sinusitis kronis, CT scan
merupakan alat bantu diagnosis yang dapat dipercaya. Diagnosis banding
antara lain cystic fibrosis dan inverted papilloma. Pada umumnya
sinusitis dapat sembuh dengan terapi medikamentosa.




3. Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan khususnya di
Indonesia. Kloramfenikol merupakan obat pilihan lini pertama untuk
terapi demam tifoid tanpa komplikasi pada anak sampai saat ini.
Antibiotik lain yang dipergunakan adalah tiamfenikol, sefiksim dan
azitromisin. Penelitian kohort retrospektif dilakukan di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSU Prof.Dr.R.D.Kandou, Manado, Juli 2007-Juni
2012 pada anak usia 6 bulan-13 tahun dengan diagnosis demam tifoid.
Data diperoleh dari rekam medik pasien. Antibiotik terbanyak dipakai
adalah kloramfenikol (31,1%), tiamfenikol (27,3%), sefiksim (23%), dan
azitromisin (18,6%). Waktu bebas demam paling pendek dicapai pada
kasus yang diberikan azitromisin yaitu 37,9 (SB 32,8) jam, diikuti oleh
kloramfenikol 40,3 (SB 28,3), tiamfenikol 45,3 (SB 38,1) dan sefiksim
50,8 (SB 32,3). Rerata lama rawat paling cepat ditemukan pada
kelompok kloramfenikol yaitu 4,4 (SB 1,3) hari, diikuti dengan
azitromisin 4,6 (SB 1,3), tiamfenikol 4,8 (SB 1,7) dan sefiksim 4,8 (SB
1,6).
Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolid pertama yang
termasuk dalam kelas azalide. Menurut WHO, pemberian azitromisin
dengan dosis 10 mg/ kgBB selama 7 hari terbukti efektif pada terapi
demam tifoid tanpa komplikasi pada anak dan dewasa dengan lama turun
panas yang serupa dengan yang dilaporkan pada pemberian
kloramfenikol. Penelitian invitro menunjukkan azitromisin lebih poten
terhadap Salmonella spp. dibandingkan dengan obat lini pertama dan
makrolid lain. Belum terdapat laporan tentang resistensi S. typhi terhadap
azitromisin. Studi terbaru menunjukkan azitromisin efektif secara klinis
dan bakteriologis dalam mengobati demam tifoid bahkan yang
disebabkan oleh strain MDR. Azitromisin dan kloramfenikol berbeda
dalam hal cara pemberian, farmakokinetik, prinsip terapi, dan efek
samping. Azitromisin diberikan sekali sehari, sedangkan kloramfenikol
diberikan empat kali sehari. Kedua antibiotik berpenetrasi ke dalam sel
secara efektif, dan hal tersebut menerangkan aktivitas terapeutik obat
terhadap patogen yang berada di intraselular seperti S. typhi.

4. Otitis Media Akut (OMA) dengan Rinitis Akut
Otitis Media Akut (OMA) merupakan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri pada telinga tengah akibat disfungsi tuba Eustachius. OMA
adalah salah satu komplikasi dari penyakit rinitis akut (rinitis
infeksi).Sedangkan rinitis akut merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri pada mukosa rongga hidung. Rinitis akut yang
tidak ditangani dengan baik berisiko pada invasi bakteri dari rongga
hidung ke tuba Eustachius sehingga menyebabkan terjadinya OMA.
Pemantauan OMA pada anak-anak penting dilakukan karena anak-anak
lebih mudah terkena OMA.
Salah satu antibiotika yang diresepkan untuk penderita OMA dengan
rinitis akut adalah azitromisin. Azitromisin ini sudah digunakan lebih
dari satu dekade dalam pengobatan OMA pada bayi dan anakanak. Salah
satu sediaan azitromisin yang digunakan untuk pasien pediatri rawat jalan
adalah dalam bentuk suspensi dosis tunggal. Penggunaan suspensi
azitromisin dosis tunggal ini memiliki keefektifan yang sama dengan
azitromisin dosis terbagi dalam pengobatan OMA dengan rinitis akut.
Hal ini yang kemudian dijadikan alasan pemilihan terapi suspensi
azitromisin dosis tunggal pada pasien OMA. Penggunaan yang hanya
sekali menjadi alasan untuk menghindari ketidakpatuhan pasien dalam
meminum obat. Sehingga penggunaan suspensi azitromisin dosis tunggal
dengan dosis cukup besar bagi pediatri yaitu 30 mg/kg BB dapat
mengakibatkan efek samping seperti muntah . Azitromisin merupakan
drug dependent dose yang aktivitasnya tergantung pada jumlah dosis
yang diberikan.



DAFTAR PUSTAKA

1. Budastra I Nyoman, Siadi Purniti P, Subanada I. 2007. Pneumonia Atipikal.
Sari Pediatri Vol. 9 No. 2 Edisi Agustus. Jakarta. Hal : 138 144

2. Mycek M, Harvey R, Champe, P. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar
Edisi 2. Widya Medika. Jakarta. Hal: 321 323

3. Noviani R, Cahyani N, Ratnawati L. 2012. Pemantauan Penggunaan
Azitromisin Dosis Tunggal Pada Pasien Pediatri Otitis Media Akut (OMA)
Dengan Rinitis Akut. Jurnal Unhidra. Bali. Hal : 1 - 9

4. Rampengan, N. 2013. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
Pada Anak. Sari Pediatri Vol. 14 No. 5 Edisi Februari. Jakarta. Hal : 271
276

5. Rinaldi, Helmi M, Ridwan M, Gabriel P. 2006. Sinusitis Pada Anak. Sari
Pediatri Vol. 7 No. 4 Edisi Maret. Jakarta. Hal : 244 - 288

6. Tjay T, Raharja Kirana. 2006. Obat-Obat Penting. Elex Media Computindo.
Jakarta. Hal: 82 - 83

You might also like