You are on page 1of 36

1

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan masalah bagi negara-negara berkembang. Di dunia
penyakit stroke meningkat seiring dengan modernisasi. Menurut WHO, ada 15 juta
populasi terserang stroke setiap tahun di seluruh dunia dan terbanyak adalah usia
tua dengan kematian rata-rata setiap 10 tahun antara 55 dan 85 tahun.
Di Indonesia sendiri walaupun data studi epidemiologi stroke secara
komprehensif dan akurat belum ada, dengan meningkatnya harapan hidup tendensi
peningkatan kasus stroke akan meningkat di masa yang akan datang. Menurut
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, stroke merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan yang utama yang harus ditangani dengan segera,
tepat dan cermat. Oleh karena tingginya kejadian stroke dan adanya kecenderungan
untuk meningkat karena berbagai sebab, menyebabkan usaha pemerintah dalam
menekan angka kematian dan derajat kecacatan akibat stroke lebih ditujukan pada
penanganan saat pasien stroke dirawat di rumah sakit.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelayanan stroke yang terorganisir
dalam unit stroke akan menurunkan angka kematian, menurunkan angka kecacatan,
dan memperbaiki status fungsional pasien stroke. Unit stroke direkomendasikan
sebagai unit terpadu multidisiplin yang menangani pasien-pasien stroke. Kajian
sistematis dari berbagai penelitian terdahulu memperlihatkan efektivitas unit stroke
dalam memberikan pelayanan stroke. Di Indonesia penelitian berskala cukup besar
dilakukan oleh survey ASNA (Asean Neurologic Association) di 28 rumah sakit di
seluruh Indonesia, pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit dan
dilakukan survey mengenai faktor-faktor resiko, lama perawatan, mortalitas dan
morbiditasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita laki-laki lebih
banyak dari perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun cukup banyak yaitu

2

11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,7% dan diatas usia 65 tahun sebanyak
33,5%.
Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional, dimana 20%
penderita yang bertahan hidup masih membutuhkan perawatan di institusi
kesehatan setelah 3 bulan dan 15-30% penderitanya mengalami cacat permanen.
Stroke merupakan kejadian yang mengubah kehidupan dan tidak hanya
mempengaruhi penderitanya namun juga seluruh keluarga dan pengasuh. Akibat
gangguan fungsional ini menyebabkan penderita stroke harus mengeluarkan biaya
yang besar untuk perawatan rehabilitasi disamping juga kehilangan
produktivitasnya.
Arteritis Temporalis (Giant Cell Arteritis, Arteritis Sel Raksasa) adalah
penyakit peradangan menahun pada arteri-arteri besar. Penyakit ini menyerang
sekitar 1 dari 1.000 orang yang berusia diatas 50 tahun dan sedikit lebih banyak
menyerang wanita. Arteritis temporalis pertama kali dijelaskan dalam literatur
Barat oleh Hutchinson pada tahun 1890, dan ahli histopatologis oleh Horton pada
tahun 1932. Kebutaan terkait dengan arteritis temporalis pertama kali dilaporkan
oleh Jennings pada tahun 1938, dan pertama kali diperkenalkan Birkhead tentang
efektivitas terapi kortikosteroid sistemik dalam mencegah kebutaan.
Arteritis temporal atau cranial adalah salah satu bentuk spesifik dari giant
cell arteritis dengan melibatkan arteri temporal atau cabang-cabangnya, yang
menimbulkan gejala klinis sakit kepala pada orang yang lebih tua. Gambaran
patologisnya terutama ditandai oleh infiltrasi sel mononuclear atau proses
granulomatosa dengan sel giant yang multinuclear. Arteritis nekrosis pun muncul.
Lumen pembuluh darah hampir mengalami obliterasi atau pada suatu waktu
mengalami obliterasi total.
Gejalanya bertumpang tindih dengan polimialgia rematika. Penyebabnya
tidak diketahui, tetapi diduga merupakan akibat dari respon kekebalan. Gejalanya
bervariasi, tergantung kepada arteri mana yang terkena. Jika mengenai arteri besar
yang menuju ke kepala. biasanya secara tiba-tiba akan timbul sakit kepala hebat di

3

pelipis atau di belakang kepala. Pembuluh darah di pelipis bisa teraba membengkak
dan bergelombang. Jika sedang menyisir rambut, kulit kepala bisa terasa nyeri.
Bisa terjadi penglihatan ganda, penglihatan kabur, bintik buta yang besar,
kebutaan pada salah satu mata atau gangguan penglihatan lainnya.Yang paling
berbahaya adalah jika terjadi kebutaan total, yang bisa timbul secara mendadak jika
aliran darah ke saraf penglihatan (nervus optikus) tersumbat. Yang khas adalah
rahang, otot-otot pengunyahan dan lidah bisa terluka jika makan atau berbicara.
Gejala lainnya bisa meliputi polimialgia rematika. Diagnosis dan terapi steroid
sangat penting untuk pencegahan pada potensi ireversibel kerusakan iskemik organ
terakhir.
The American College of Rheumatology telah mengembangkan kriteria
untuk klasifikasi dari giant cell arteritis. Kriteria tersebut dikembangkan dari
perbandingan dengan bentuk vaskulitis lainnya. Gambarannya termasuk usia lebih
dari 50 tahun saat onset penyakit, onset baru dari sakit kepala terlokalisasi, nyeri
tekan terlokalisasi arteri temporal, atau berkurangnya pulsasi arterial, peningkatan
waktu sedimen eritrosit (westergen) lebih dari 50 mm/jam dan specimen biopsy
arteri positif. Spesimen biopsi harus menunjukkan arteritis nekrosis. Gambaran
penting selanjutnya dalam membantu diagnosis adalah klaudikasio dari rahang saat
mengunyah. Pada waktu timbulnya gejala saat mengunyah, dapat menjalar ke
daerah sendi temporomandibular. Dokter gigi biasanya yang pertama kali
menemukan pasien dengan keluhan seperti ini. Klaudikasio intermiten dari otot
rahang dapat dipertimbangkan sebagai patognomonis. Ini menekankan bahwa
biopsy secara umum dari arteri temporal sering diperlukan untuk menentukan
diagnosis. Lima sentimeter direkomendasikan sebagai panjang biopsy arteri untuk
mengkonfirmasi diagnosis pada suspek arteritis temporal. Skip lesion bukan tidak
biasa.
Mungkin terdapat gejala-gejala yang memberi kesan rheumatic polimialgia,
Dua kelainan yang saling tidak berhubungan, dan persentase dari pasien dengan
rheumatik polimialgia akan mempunyai gejala yang tumpang tindih dengan arteritis
temporal. Rheumatik polimialgia didiagnosis dengan ekslusi. Tampilan gejala yang

4

paling sering ditemukan berupa kaku panggul dan otot bahu. Peningkatan waktu
sedimentasi eritrosit, anemia, dan enzim hati sedikit abnormal mungkin ditemukan.
Penyakit ini diobati dengan kortikosteroid dengan dosis yang lebih kecil
dibandingkan giant cell arteritis. Terapi kortikosteroid mungkin harus lebih lama
pada kedua kelainan ini; terapi mungkin diperlukan selama 2 tahun. Perkiraan
review terbaru bahwa 50% dari pasien dengan arteritis temporal mempunyai
sindrom rheumatic polimialgia

























5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Stroke
2.1.1. Definisi Stroke
Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinis gangguan peredaran
darah otak yang menyebabkan defisit neurologis. Stroke adalah defisit neurologis
mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragik sirkulasi saraf otak (Martono et
al, 2006).
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah suatu tanda klinis
yang berkembang cepat akibat gangguan fokal (atau global) dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Frtzsimmons, 2007).

2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Otak
1. Anatomi
Otak memperoleh darah melalui dua sistem, yakni sistem karotis (a.karotis
interna kanan dan kiri), dan sistem vertebral. A.Karotis interna, setelah
memisahkan diri dari a.karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak
melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan
a.oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: a.serebri
anterior dan a.serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus
frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.
Sistem vertebral dibentuk oleh a.vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di
a.subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna
vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu
mempercabangkn masing-masing sepasang a.serebeli inferior. Pada batas
medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi a.basilaris, dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, a.basilaris

6

berakhir sebagai sepasang cabang: a.serebri posterior, yang melayani darah
bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.
Ketiga pasang arteri serebri ini bercabang menelusuri permukaan otak, dan
beranastomosis satu dengan lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil
menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan
cabang-cabang a.serebri lainnya.
Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem
kolateral antara sistem karotis dan sistem vertebral, yaitu:
Sirkulus willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh
a.serebri media kanan-kiri, a.kominikans anterior (yang menghubungkan
kedua a.serebri anterior), sepasang a.serebri posterior, dan a.komunikas
posterior (yang menghubungkan a.serebri media dan posterior) kanan dan
kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
Anastomosis antara a.serebri interna dan a.karotis eksterna di daerah orbita,
masing-masing melalui a.oftalmikadan a.fasialis ke a.maksilaris eksterna.
Hubungan antara sistem vertebral dengan a.karotis eksterna (pembuluh darah
ekstrakranial).
Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut,
sehingga menurut Buskirk tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam
jaringan otak.
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang
mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena
eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otakdan mencurahkan darah ke
sinus sagitalis superior dan sinus basalis lateralis, dan seterusnya melalui
vena-vena jugulares, dicurahkan menuju ke jantung.


7



2. Fisiologi

Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem
vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan
bagian posterior hemisfer. Alirah darah di otak dipengaruhi oleh 3 faktor. Dua
yang paling penting adalah, tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-
kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor
ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya
(kemampuan untuk membeku).
Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor
jantung, darah, pembuluh darah dll). Dan faktor kemampuan khusus pembuluh
darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan
berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem

8

arteriol otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi
normal bila tekanan sistolik antara 50-150mmHg) (Harsono, 2009).
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga diantaranya
seperti kadar/tekanan parsial CO2, dan O2 berpengaruhterhadap diameter
arteriol. Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana
jaringan yang asam (pH rendah, menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila
tekanan parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi
vasokontriksi. Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi aliran
darah otak. Sedangkan koagubilitas yang besar juga memudahkan terjadinya
trombosis, dan aliran darah lambat, akibat aliran darah otak yang menurun.

2.1.3. Epidemiologi
Di seluruh dunia strok merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi
usia lanjut. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara maju,
setelah penyakit jantung dan kanker. Insidens tahunan adalah 2 per 1000 populasi.
Insidens pada usia 75-84 tahun sekitar 10 kali dari populasi berusia55-64 tahun.
Mayoritas stroke adalah infark serebral.
Stroke menduduki posisi ketiga di Indonesia setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28.5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita
kelumpuhan sebagian maupun total hanya lima belas persen saja yang dapat
sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan. Yayasan Stroke Indonesia
(Yastroki) menyebutkan bahwa 63,52 per 100.000 penduduk indonesia berumur di
atas 65 tahun ditaksir menderita stroke.

2.1.4. Etiologi dan Faktor Resiko
1.Etiologi
Menurut Adam dan Victor (2009) , penyebab kelainan pembuluh darah otak
yang dapat mengakibatkan stroke, antara lain :
1. Trombosis aterosklerosis
2. Transient iskemik

9

3. Emboli
4. Perdarahan hipertensi
5. Ruptur dan sakular aneurisma atau malformasi arterivena
6. Arteritis
a. Meningovaskular sipilis, arteritis sekunder dari piogenik dan meningitis
tuberkulosis, tipe infeksi yang lain (tipus, scistosomiasis, malaria, mucormyosis)
b. Penyakit jaringan ikat (poliarteritis nodosa, lupus eritromatous), necrotizing
arteritis. Wegener arteritis, temporal arteritis, Takayasu diseases, granuloma atau
arteritis giant sel dari aorta.
7. Trombophlebitis serebral : infeksi sekunder telinga, sinus paranasal, dan wajah.
8. Kelaianan hematologi : antikoagulan dan thrombolitik, kelainan faktor
pembekuan darah, polisitemia, sickle cell disease, trombotik trombositopenia
purpura, trombositosis, limpoma intravaskular.
9. Trauma atau kerusakan karotis dan arteri basilar
10. Angiopati amiloid
11. Kerusakan aneuriisma aorta
12. Komplikasi angiografi

2. Faktor Resiko
Menurut AHA (American Heart Association) Guideline (2006), faktor resiko
stroke adalah sebagai berikut:
I. Faktor resiko yang tak dapat diubah
1. Umur
2. Jenis Kelamin.
3. Berat Lahir Yang Rendah
4. Ras
5. Faktor Keturunan
6. Kelainan Pembuluh Darah Bawaan : sering tidak diketahui sebelum
terjadi stroke

10


II. Faktor Resiko Yang Dapat Diubah
1. Hypertensi/ tekanan darah tinggi
2. Merokok
3. Diabetes
4. Penyakit Jantung/Atrial Fibrilation
5. Kenaikan kadar cholesterol/lemak darah
6. Penyempitan Pembuluh darah Carotis
7. Gejala Sickle cel
8. Penggunaan terapi sulih hormon.
9. Diet dan nutrisi
10. Latihan fisik
11. Kegemukan

III. Faktor Resiko Yang Sangat Dapat Diubah
1. Metabolik Sindrom
2. Pemakaian alkohol berlebihan
3. Drug Abuse/narkoba
4. Pemakaian obat - obat kontrasepsi (OC)
5. Gangguan Pola Tidur
6. Kenaikan homocystein
7. Kenaikan lipoprotein
8. Hypercoagubility

2.1.5. Klasifikasi
Setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif, dan prognosa
yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. Klasifikasi modifikasi marshall,
diantaranya :

11

1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
a. Stroke iskemik (sekitar 80% sampai 85% stroke terjadi).
1. Transient Ischemic Attack (TIA).
2. Trombosis serebri.
3. Embolia serebri.
b. Stroke haemoragik (sekitar 15% sampai 20% stroke terjadi).
1. Perdarahan intra serebral.
2. Perdarahan subarachnoid.

2. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu.
a. Transient Ischemic Attack.
b. Stroke ~ in ~ evolution.
c. Completed stroke.

3. Berdasarkan sistem pembuluh darah.
a. Sistem karotis.
b. Sistem vertebra-basilar.

2.1.6. Gambaran Klinis Umum
Proses penyumbatan pembuluh darah otak mempunyai beberapa sifat klinis
yang spesifik :
1. Timbul mendadak. Timbulnya gejala mendadak dan jarang didahului oleh gejala
pendahuluan (warning signs) seperti sakit kepala, mual, muntah, dan sebagainya.
2. Menunjukkan gejala neurologis kontraleteral terhadap pembuluh yang tersumbat.
Tampak sangat jelas pada penyakit pembuluh darah otak sistem karotis dan perlu
lebih teliti pada observasi sistem vertebrabasilar meskipun prinsipnya sama.
3. Kesadaran dapat menurun sampai koma terutama pada perdarahan otak
sedangkan pada stroke iskemik lebih jarang terjadi penurunan kesadaran.




12

2.1.7. Patogenesis
1. Patogenesis umum
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri
arteri yang membentuk sirkulus Willisi ; arteri karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang - cabangnya. Secara umum, apabila aliran
darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark
atau kematian jaringan. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu
dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi
otak. Patologinya dapat berupa,
(1). keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti aterosklerosis
dan thrombosis, robeknya dinding pembuluh darah, atau peradangan;
(2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok
hiperviskositas darah ;
(3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau
(4) ruptur vascular didalam jaringan otak atau ruang subaraknoid

Berdasarkan patogenesis stroke, maka perjalanan sakit akan dijabarkan dibawah
ini menjadi :
1. Stadium prapatogenesis, yaitu stadium sebelum terjadi gejala stroke.
Stadium ini umumnya penderita sudah mempunyai faktor risiko atau
memiliki gaya hidup yang mengakibatkan penderita menderita penyakit
degeneratif.
2. Stadium patogenesis, yaitu stadium ini dimulai saat terbentuk lesi patologik
sampai saat lesi tersebut menetap. Gangguan fungsi otak disini adalah
akibat adanya lesi pada otak. Lesi ini umumnya mengalami pemulihan
sampai akhirnya terdapat lesi yang menetap.
Secara klinis defisit neurologik yang terjadi juga mengalami pemulihan
sampai taraf tertentu.
3. Stadium pasca patogenesis, yaitu stadium ini secara klinis ditandai dengan
defisit neurologik yang cenderung menetap. Usaha yang dapat dilakukan

13

adalah mengusahakan adaptasi dengan lingkungan atau sedapat mungkin
lingkungan beradaptasi dengan keadaan penderita.
Sehubungan dengan penalataksanaanya maka stadium patogenesis dapat
dibagi menjadi tiga fase, yaitu :
1. Fase hiperakut atau fase emergensi.
Fase ini berlangsung selama 0 3 / 12 jam pasca onset. Penatalaksanaan
fase ini lebih ditujukkan untuk menegakkan diagnosis dan usaha untuk
membatasi lesi patologik yang terbentuk.
2. Fase akut.
Fase ini berlangsung sesudah 12 jam 14 hari pasca onset.
Penatalaksanaan pada fase ini ditujukkan untuk prevensi terjadinya
komplikasi, usaha yang sangat fokus pada restorasi/rehabilitasi dini dan
usaha preventif sekunder.
3. Fase subakut.
Fase ini berlangsung sesudah 14 hari kurang dari 180 hari pasca onset
dan kebanyakan penderita sudah tidak dirawat di rumah sakit serta
penatalaksanaan lebih ditujukkan untuk usaha preventif sekunder serta
usaha yang fokus pada neuro restorasi / rehabilitasi dan usaha
menghindari komplikasi

2. Patogenesis stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan disatu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang terbentuk didalam suatu pembuluh otak atau pembuluh organ
distal kemudian bekuan dapat terlepas pada trombus vaskular distal, atau
mungkin terbentuk didalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa
melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Pangkal arteria karotis
interna (tempat arteria karotis komunis bercabang menjadi arteria karotis
interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya arteriosklerosis.
Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke

14

pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak
arteriosklerosis di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis.

3. Patogenesis stroke hemoragik
Stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yang sangat tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak atau stroke
haemoragik yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral.

1. Perdarahan subaraknoid
Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari dinding
pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat
melalui aliran cairan otak ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan
sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi
willisii. Perdarahan subaraknoid timbul spontan pada umumnya dan sekitar
10 % disebabkan karena tekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas.

2. Perdarahan intraserebral
Patogenesis perdarahan intraserebral adalah akibat rusaknya struktur
vaskular yang sudah lemah akibat aneurisma yang disebabkan oleh
kenaikan darah atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah,
atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah yang melebihi
toleransi.
Menurut Tole dan Utterback, penyebab perdarahan intraserebral adalah
pecahnya mikroaneurisma Charcot - Bouchard akibat kenaikan tekanan
darah.






15

2.1.8. Patofisiologi
A. Stroke Non Hemoragik (Iskemik)
Secara patologik suatu infark dapat dibagi dalam:
a. Trombosis pembuluh darah (trombosis serebri)
b. Emboli antara lain darah jantung (emboli serebri)
Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia
jaringan otak di bagian distal sumbatan. Di samping itu, embolus juga
bertindak sebagai iritan yang menyebabkan terjadinya vasospasme lokal
di segmen di mana embolus berada. Gejala kliniknya bergantung pada
pembuluh darah yang tersumbat.
c. Arteritis sebagai akibat dari lues/arteritis temporalis.
Antara darah dan otak terdapat berbagai sistem penghalang yang
mengatur lewatnya substansi antara darah dan otak dalam rangka
pemeliharaan homeostasis. Dalam situasi patofisiologi, sistem pengaturan
endotelial-astrositik mugnkin terpengaruh secara tidak seimbang sehingga
mengakibatkan perbedaan kecepatan aliran keluar-masuk berbagai
substansi. Salah satu atau keduanya dapat terganggu dan kemudian
menimbulkan disfungsi sel-sel otak.
Ensefalopati dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah anoksia.
Beberapa penderita dapat pulih mendekati normal; hal demikian ini
diperkirakan sebagai akibat dari metabolisme anerobik, terutama asidosis
laktat dan munculnya radikal bebas.
Kerusakan otak akibat anoksia bersifat multifokal, mengenai
gangglia basala, korteks serebri, batang otak, medula spinalis, dan sel
Purkinje di serebelum.
Anoksia terjadi oleh karena sebab-sebab anoksik, anemik, stagna,
atau selular. Anoxic anoxia disebabkan oleh berkurangnya kapasitas darah

16

untuk membawa oksigen sebagaimana terjadi pada keracunan karbon
monoksida. Stagnant anoxia disebabkan oleh menurunnya aliran darah
musalnya pada hipotensi berat atau cardiac arrest. Sementara itu cellular
(histotoxic anoxia) disebabkan oleh terganggunya penggunaan oksigen oleh
sel, misalnya pada keracunan sianida.
Edema otak merupakan akumulasi cairan secara abnormal dalam
jaringan otak yang kemudian menyebabkan pembesaran secara volumetrik.
Ada tiga jenis edema otak: basogenik, sitotoksik, dan kombinasi keduanya.
Pada edema vasogenik, cairan secara pasif berkumpul di ruang interstisial
sesudah terjadi kerusakan sawar darah tak. Hal ini terjadi sebagai akibat
dari meningkatnya tekanan hidrostetik; peningkatan ini mungkin
disebagkan hipertensi sistemik, terhalangnya aliran venosa, neoplasma
otak, cedera kepala dan gangguan pembuluh darah otak. Edema sitotoksik
disebabkan oleh abnormalitas di dalam tekanan osmotik intraselular atau
dinamika membran sel. Sel-sel membengkak begitu cairan berpindah dari
ektraselular ke intraselular. Edema sitotoksik ini menyebabkan gangguan
fungsi sel yang lebih berat daripada vasogenik.
Edema otak iskemik terjadi dan berkembang beberapa menit sesudah
sumbatan arteri. Edema otak ini bersifat multisenter, memburuk dalam
waktu 3-4 hari pasca oklusi.

B. Stroke Hemoragik
a. Patofisiologi Pendarahan Intraserebral
70% kasus pendarahan intraserebral terjadi di kapsula interna, 20%
di fosa posterior (batang otak dan serebelum), dan 10% di hemisfer (di
luar kapsula interna) (Harsono, 2009).
Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena
robeknya pembuluh darah otak, diikuti pembentukan edema dalam
jaringan otak di sekitar hematoma. Akibatnya, terjadi diskontinuitas
jaringan dan kompresi oleh hematoma dan edema pada struktur sekitar

17

termasuk pembuluh darah otak dan menyempitkan/menyumbatnya,
sehingga terjadi pula iskemi pada jaringan yang dilayaninya.
Maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan
otak, kompresi pembuluh darah otak/iskemi, dan akitbat kompresi pada
jaringan otak lainnya.
b. Patofisiologi Pendarahan Subarakhnoid
Penyebab pecahnya aneurrisma berhubungan dengan ketegangan
dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan
di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang
arachnoid dan menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan
serebrospinalis. Darah ini selain dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial, juga dapat melukai jaringan otak secara langsung oleh karena
tekanan yang tinggi saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak.


2.1.9. Gejala Klinis
A. Stroke Iskemik
Manifestasi Klinis bergantung pada neuroanatomi dan
vaskularisasinya. Gejala klinis dan defisit neurologik yang ditemukan
berguna untuk menilai lokasi iskemik.
Gejala-Gejala Penyumbatan Sistem Karotis
Gejala penyumbatan arteri karotis interna
Buta mendadak (amaurosis fugaks)
Disfasia bila gangguan terletak pada sisi dominan
Hemiparesis kontralateral dan dapat disertai sindrom horner pada
sisi sumbatan.
Gejala penyumbatan arteri serebri anterior
Hemiparesis kontralateral dengan kelumpunhan tungkai lebih
menonjol
Gangguan mental (bila lesi di frontal)
Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh

18

Inkontinensia
Bisa kejang-kejang.
Gejala penumbatan arteri serebri media
Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi hemiparesis yang sama, bila
tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol
Hemihipestesia
Gangguan fungsi luhur pada korteks hemisfer dominanyang te
rserang, antaralain afasia motorik/sensorik.
Gangguan pada kedua sisi
Karena adanya sklerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat
terjadi pada kedua sisi. Timbul gangguan pseudobulbar, biasanya pada
vaskular dengan gejala-gejala:
Hemiplegia dupleks
Sukar menelan
Gangguan emosional, mudah menangis.
Gejala-Gejala Gangguan Sistem Sistem Vertebro-Basilar
Sumbatan/gangguan pada arteri serebri posterior :
Hemianopsia homonim kontralateral dari sisi lesi
Hemiparesis kontralateral
Hilangnya rasa sakit, suhu, sensorik proprioseptif (termasuk rasa
getar) kontralateral (hemianastesia).
Bila salah satu cabang ke talamus tersumbat, timbullah sindrom
talamikus, yakni :
Nyeri talamik, suatu rasa nyeri yang terus menerus dan sukar
dihilangkan; pada pemeriksaan raba terdapat anestesia, tetapi pada tes
tusukan timbul rasa nyeri (anastesia dolorosa).
Hemikhorea, disertai hemiparesis, disebut sindrom Dejerine Marie.
Gangguan/sumbatan pada a.vertebralis:

19

Bila sumbatan pada sisi yang dominan dapat terjadi sindrom Wallenberg.
Sumbatan pada sisi yang tidak dominan seringkali tidak menimbulkan
gejala.
Sumbatan/gangguan pada a.serebeli posterior inferior:
Sindrom Wallenberg berupa ataksia serebelar pada lengan dan tungkai di
sisi yang sama, gangguan N.II (oftalmikus), dan refleks kornea hilang
pada sisi yang sama. Selain itu, dapat terjadi:
Sindrom horner sesisi dengan lesi
Disfagia, apabila infak mengenai nukleus ambiguus ipsilateral.
Nistagmus, jika terjadi infark pada nukleus bestibularis.
Hemihipestesia alternans.
Sumbatan/gangguan pada cabang kecil a.basilaris (a.paramedian)
ialah parestesi nervi kraniales yang nukleusnya terletak di tengah-
tengah N.III, N.IV, dan N.XII, disertai hemiparesis kontralateral.

B. Stroke Hemoragik
Gejala stroke bisa dibedakan atas gejala/tanda akibat lesi dan
gejala/tanda yang diakibatkan oleh komplikasinya. Gejala akibat lesi bisa
sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis, akan tetapi bisa sedemikian
tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya.
Pasien bisa datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh
badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja, akan tetapi jarang
pasien datang dalam keadaan koma dalam sehnigga memerlukan
penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke stroke.

Pendarahan Intrasereberal
Gejala prodromal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi.
Serangan: seringkali di siang hari, waktu bergiat, atau emosi/marah. Sifat
nyeri kepala: nyeri yang hebat sekali. Mual muntah, seringterjadi pada
permulaan serangan. Hemiparesis/hemiplegi biasa terjadi sejak
permulaan serangan. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk

20

koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara -2 jam, dan
12% terjadi setelah 2 jam, sampai 19 hari)

Pendarahan Subaraknoid
Gejala Prodromal : nyeri kepala hebat dan per akut, hanya 10%, 90%
tanpa keluhan sakit kepala.
Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi dari tak sadar
sebentar, sedikit delir sampai koma.
Gejala/tanda rangsangan meningeal: kaku kuduk, tanda Kernig ada.
Fundus okuli: 10% penderita mengalami edema-papil beeberapa jam
setelah pendarahan. Sering terdapat pendarahan subhialoid karena
pecahnya aneurisma pada a.komunikans anterior, atau a.karotis
interna.
Gejala-gejala neurologik fokalL bergantung pada lokasi lesi.
Gejala fungsi saraf otonom: demam setelah 24 jam, demam ringan
karena rangsangan mening, dan demam tinggi bila dilihatkan
hipotalamus. Begitupun muntah, berkeringat, menggigil, dan
takikardia, ada hubungannya dengan hipotalamus. Bila berat maka
terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan melena (stress ulcer),
dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria,
albuminuria, dan perubahan pada EKG.

Gejala Klinis PIS PSA SNH
Gejala defisit fokal Berat Ringan Berat/ringan
Awitan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tidak ada
Muntah pada
awalnya
Sering Sering Tidak, kecuali lesi
di batang otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya
tidak
Sering

21

Kaku kuduk Jarang Biasanya ada Tidak ada
Hemiparesis Sering sejak
awal
Awat tidak
ada
Sering sejak awal
Deviasi mata Bisa ada Jarang Mungkin ada
Gangguan bicara Sering Selalu Sering
Likuor Seringberdarah Berdarah Jernih

2.1.10. Diagnosis
A. Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah
badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun
tidur, sedang bekerja, ataupun sewaktu istirahat.

B. Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti
tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat
kesadaran penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala
koma glasglow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya
penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan saraf saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih
baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma
glasglow telah ditentukan, setelah itu lakukan pemeriksaan refleks refleks
batang otak yaitu :
1. Reaksi pupil terhadap cahaya.
2. Refleks kornea.
3. Refleks okulosefalik.
4. Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke,
hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan
kelumpuhan yang terjadi pada saraf saraf otak dan anggota gerak.
Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran menurun,

22

karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik prognosis
neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral
dapat luas sekali jika terjadi perdarahan perdarahan retina atau preretina
pada pemeriksaan funduskopi.



C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan
neurokardiologi, pemeriksaan radiologi, penjelasanya adalah sebagai
berikut;
1. Laboratorium.
a. Pemeriksaan darah rutin.
b. Pemeriksaan kimia darah lengkap.
1. Gula darah sewaktu.
Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah dapat mencapai
250 mg dalam serum dan kemudian berangsur angsur kembali
turun.
2. Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim
SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid (trigliserid, LDH-HDL
kolesterol serta total lipid).
c. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
1. Waktu protrombin.
2. Kadar fibrinogen.
3. Viskositas plasma.
d. Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi
Homosistein.

2. Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan
elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat

23

serangan infark jantung, atau pada stroke dapat terjadi perubahan
perubahan elektrokardiografi sebagai akibat perdarahan otak yang
menyerupai suatu infark miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi
misalnya CK-MB follow up nya akan memastikan diagnosis. Pada
pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan
adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan
echocardiografi terutama transesofagial echocardiografi (TEE) dapat
diminta untuk visualisasi emboli cardial.

3. Pemeriksaan radiologi
a. CT-scan otak
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan ini sangat
penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada
infark otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak memperlihatkan
gambaran jelas jika dikerjakan pada hari hari pertama, biasanya tampak
setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik.
Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu
perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan proses patologik di
batang otak.

b. Pemeriksaan foto thoraks.
1. Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung.
2. Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi
proses manajemen dan memperburuk prognosis.






24

2.2. Arteritis Temporalis
2.2.1. Definisi
Arteritis Temporalis (Giant Cell Arteritis/Arteritis Sel Raksasa)
adalah penyakit peradangan dan kerusakan pada pembuluh darah yang
mensuplai daerah kepala, terutama arteri besar atau menengah cabang dari
leher yang mensuplai darah ke daerah temporal.

2.2.2. Epidemiologi
Insidensi arteritis temporalis di Olmsted County, Minnesota,
Amerika Serikat pada tahun 1975, prevalensi adalah 133 kasus per 100.000
pada orang yang berusia 50 tahun atau lebih. Insidensi arteritis temporalis di
Skandinavia adalah 23,3-33,6 per 100.000 pada orang yang berusia 50 tahun
atau lebih.
Prevalensi sangat tergantung pada jumlah individu yang berusia 50
tahun atau lebih tua, usia rata-rata onset adalah 75 tahun. Negara-negara
dengan harapan hidup yang lebih rendah memiliki prevalensi yang lebih
rendah. Penyakit ini lebih sering menyerang perempuan dengan rasio
perempuan dan laki-laki kira-kira 3,7:1.

2.2.3. Etiologi
Etiologi arteritis temporal adalah multifaktorial dan ditentukan oleh
faktor lingkungan dan genetik. Data menunjukkan bahwa penyakit ini
mungkin disebabkan oleh paparan antigen eksogen. Banyak virus dan
bakteri telah diusulkan berpotensial, termasuk parvovirus, virus
parainfluenza, varicella zoster virus, Chlamydia pneumoniae, dan
Mycoplasma pneumoniae.
Sel T direkrut ke dinding pembuluh darah setelah paparan awal
antigen. Mereka melepaskan sitokin yang bekerja pada makrofag lokal dan

25

sel raksasa berinti banyak. Respon dari makrofag dan sel raksasa berinti
banyak dengan sitokin tergantung pada lokasi mereka dalam dinding
pembuluh darah.
Adventitia berbasis makrofag menghasilkan interleukin-6 (IL-6),
yang selanjutnya menambah kaskade inflamasi. Makrofag dalam media
menghasilkan radikal oksigen bebas dan metalloproteases, yang
menghancurkan dinding arteri dan fragmen lamina elastis. Dengan
gangguan dari lamina elastis internal, intima migrasi menjadi
myofibroblasts, yang berproliferasi dan menjadi matriks ekstraseluler.
Proses migrasi didorong oleh intima berbasis makrofag yang menghasilkan
platelet-derived growth factor (PDGF) dan faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF). Efek dari peristiwa ini adalah arteritis dengan kehancuran
vaskular lokal dan hiperplasia intimal menyebabkan stenosis luminal dan
oklusi.

2.2.4. Patofisiologi
Arteritis temporalis merupakan penyakit imunitas seluler. Kerusakan
vaskulitis dimediasi oleh CD4
+
yang diaktifkan sel T helper dalam
menanggapi antigen yang disajikan oleh makrofag. Respon inflamasi primer
mempengaruhi lamina elastis internal. Sel raksasa berinti banyak, yang
merupakan ciri histologis arteritis temporalis, mungkin berisi fragmen serat
elastis. Antigennya tidak diketahui, tetapi elastin tetap merupakan suspek
yang penting.
Arteri temporal superfisial terlibat dalam sebagian besar pasien.
Distribusi topografi arteritis temporalis, yang mencerminkan predileksi
untuk lamina elastis internal, termasuk lengkungan aorta dan cabang-
cabangnya.Arteritis temporalis tidak menyebabkan luas vaskulitis serebral
intrakranial, karena arteri intrakranial kurang mempunyai lamina elastis
internal. Arteritis temporalis tidak melibatkan arteri cervicocephalic,

26

termasuk arteri karotis dan vertebralis. Ini biasanya mempengaruhi arteri
dalam pola berikut:
Arteri carotis eksterna dan interna ekstrakranial dan segmen proksimal
intracranial
Cabang Intraorbital, terutama posterior ciliary dan arteri oftalmik
Arteri vertebralis
Arteritis vertebra merupakan ekstrakranial, tetapi dapat memperpanjang
sampai intracranial selama kira-kira 5 mm di luar penetrasi dural.
Subklavia, axilla, dan keterlibatan arteri proksimal brakialis
menghasilkan pola angiografik karakteristik vaskulitis
Keterlibatan oleh arteritis temporalis dari aorta ascending yang dapat
menyebabkan pecahnya aorta, dan arteritis koroner yang dapat
menyebabkan infark miokard (MI).

2.2.5. Gejala Klinis
Tanda dan gejala arteritis sel raksasa dapat bervariasi. Bagi sebagian orang,
awal kondisi terasa seperti flu - dengan nyeri otot (myalgia), demam dan
kelelahan, serta sakit kepala. Adapun beberapa gejala klinis yang sering
ditemukan pada penderita arteritis temporalis yaitu :
1. Nyeri kepala yang non spesifik namun terlokalisasi di daerah pelipis.
2. Nyeri tekan kulit kepala yang dapat menjadi jelas ketika pasien
menyisir rambut.
3. Nyeri saat mengunyah dapat terjadi karena gangguan perdarahan
pada otot-otot pengunyah (klaudikasio intermitten pada rahang).
4. Hilangnya penglihatan sementara pada salah satu mata (amaurosis
fugax) merupakan gejala yang mengkhawatirkan karena terdapat
resiko kebutaan monookular permanen atau kebutaan total.
5. Diplopia dapat terjadi akibat keterlibatan nervus kranialis ketiga atau
keenam.

27

6. Gejala konstitusional meliputi demam yang tidak terlalu tinggi,
keringat pada malam hari, nyeri pada otot bahu/gelang panggul,
malaise, anoreksia dan penurunan berat badan.

2.2.6. Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology's :
1. Pasien usia 50 tahun pada saat onset penyakit (gejala dimulai pada
usia 50 tahun).
2. Nyeri kepala yang baru dirasakan.
3. Abnormalitas dari arteri temporalis (nyeri arteri temporalis pada
palpasi atau penurunan denyut arteri temporalis, yang tidak
berhubungan dengan arteriosklerosis arteri servikal).
4. Peningkatan LED (> 50 mm/jam dengan metode Westergreen).
5. Biopsi abnormal (Biopsi specimen arteri menunjukkan vasculitis
yang ditandai adanya dominasi infiltrasi sel mononuclear atau
inflamasi granulomatosa, biasanya dengan sel-sel raksasa berinti).

2.2.7. Diagnosis Banding
1. Cluster Headache
2. Confusional States and Acute Memory Disorders
3. Migraine Variants
4. Multi-infarct Dementia
5. Persistent Idiopathic Facial Pain
6. Polyarteritis Nodosa
7. Postherpetic Neuralgia
8. Trigeminal Neuralgia





28

2.2.8. Pemeriksaan Penunjang
1. LED (meningkat >100 mm/jam).
2. Pemeriksaan darah lainnya yang dapat menunjukkan gambaran
anemia normokromik normositik dan tes fungsi hati yang abnormal,
terutama peningkatan alkali fosfatase.
3. Biopsi arteri temporalis









Gambar 2. Ciri khas histologis arteritis temporalis : penebalan intimal dengan
stenosis luminal, sel inflamasi mononuklear menyusup dengan invasi media dan
nekrosis, dan pembentukan sel raksasa di media.

2.2.9. Kaitan Arteritis Temporalis Dengan Kejadian Stroke
Arteri adalah pembuluh darah yang memiliki dinding yang tebal,
lentur dan bersifat elastis. Darah yang mengandung oksigen meninggalkan
jantung melalui arteri utama pada tubuh yaitu aorta. Aorta yang dibagi
menjadi arteri - arteri yang lebih kecil yang akan memberikan darah ke
seluruh bagian tubuh termasuk otak dan organ internal.
Pada arteritis sel raksasa/arteritis temporalis, beberapa pembuluh arteri
menjadi meradang, menyebabkan pembuluh arteri membengkak dan
kadang-kadang terjadi penurunan aliran darah. Hanya apa yang
menyebabkan arteri ini menjadi meradang belum diketahui.
Meskipun hampir semua arteri besar atau menengah dapat dipengaruhi,
paling sering pembengkakan terjadi pada arteri temporal dalam kepala yang
terletak tepat di depan telinga dan berlanjut sampai ke kulit kepala. Dalam
beberapa kasus, pembengkakan mempengaruhi hanya bagian dari arteri
dengan bagian yang normal di antaranya.

29

Dalam beberapa kasus, gumpalan darah bisa terbentuk di arteri yang
terkena, sehingga dapat menghalangi aliran darah sepenuhnya,serta
mengambil sebagian oksigen dan nutrisi yang diperlukan dari otak, hal
demikian yang akan menyebabkan stroke. Kondisi serius ini adalah
komplikasi jarang pada arteritis sel raksasa.

2.3. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Arteritis Temporalis/Giant Cell Arteritis
Pasien yang diduga menderita arteritis temporalis harus mulai terapi sekaligus.
Meskipun rekomendasi dosis bervariasi, peneliti kebanyakan
merekomendasikan penggunaan prednison diberikan secara oral dalam dosis 40
sampai 60 mg per hari. Pasien dengan gejala visual sebaiknya memulai
pengobatan dengan dosis lebih tinggi, seperti 250 mg natrium suksinat
methylprednisolone (Solu-Medrol) diberikan secara intravena setiap enam jam
untuk tiga sampai lima hari, kemudian berlanjut ke terapi kortikosteroid oral.
Pada kebanyakan pasien dengan arteritis temporalis, gejala klinis membaik dan
LED kembali normal dalam waktu dua sampai empat minggu. Pada titik ini,
dosis kortikosteroid diturunkan perlahan, dengan pengurangan tidak lebih dari
10 persen dari dosis harian total setiap dua minggu. Selama penurunan dosis,
penderita harus dimonitor gejala klinis atau peningkatan LED. Jika salah satu
terjadi, penurunan dosis dihentikan dan dosis saat ini dipertahankan. Setelah
gejala teratasi dan LED tidak lagi meningkat, penurunan dosis di ulang dengan
pengurangan dosis lebih kecil pada interval lebih lama. Proses pengobatan
mungkin "stabil" dengan dosis 10 sampai 20 mg per hari, yang dipertahankan
selama beberapa bulan sebelum pengurangan dosis lebih lanjut dapat dilakukan.
Relaps paling mungkin terjadi dalam 18 bulan pertama terapi atau dalam waktu
12 bulan setelah penghentian pengobatan kortikosteroid. Tingkat kekambuhan
mungkin sebesar 25 persen. Saat ini tidak ada cara untuk memprediksi pasien
untuk beresiko kembali. Pasien harus disarankan untuk kontrol ke dokter segera
jika gejala kambuh, gejala khususnya cranial atau visual. Terdapat alternatif
agen imunosupresan yaitu pada percobaan agen imunosupresan lainnya,

30

termasuk azathioprine, methotrexate, dapson, dan cyclophosphamide, telah
dicoba untuk sedikit efek steroid. Azathioprine tidak memiliki efek akut, dan
efek steroidnya mungkin tidak terlihat selama setahun.
Aspirin dosis rendah dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan untuk
mencegah stroke karena stroke mungkin terjadi meskipun diberikan dosis tinggi
pada terapi kortikosteroid dan karena hampir semua pasien dengan arteritis
temporalis memiliki trombositosis.

B. Penatalaksanaan Stroke
a. Stroke Iskemik
a. Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)
Sasaran pengobatan : menyelamatkan neuron yang menderita jangan
sampai mati; dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak
mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang
diberikan harus menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak
justru berkurang. Karena itu dipelihara fungsi optimal:
Respirasi : jalan napas harus bersih dan longgar.
Jantung : harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG.
Tekanan darah : dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau jangan
sampai menurunkan perfusi otak.
Kadar gula yang tinggi pada fase akut, tidak diturunkan dengan
drastis, lebih-lebih pada penderita dengan diabetes mellitus lama.
Bila gawat atau koma, balans cairan, elektrolit, dan asam basa darah
harus dipantau.
Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak
yang menderita, di daerah iskemi masih menimbulkan perbedaan
pendapat. Obat-obat itu antara lain:
Anti-edema otak:
Edema pada otak terutama bila terjadi oklusi arteri serebri media,
sulit untuk dikontrol. Kontrikosteroid bermanfaat untuk edema
interstisial. Yang banyak digunakan deksametason dengan bolus 10-

31

20 mg i.v, diikuti 4-5 mg/6jam selama beberapa hari, lalu diturunkan
pelan-pelan (tapering off), dan dihentikan setelah fase akut berlalu.
Cairan hiperosmolar misalnya gliserol, manitol, urea, kurang efektif
untuk infark iskemik. Hal ini disebakan oleh: pemberian cairan
hiperosmolar ke daerah terganggu oleh terjambatnya aliran darah di
daerah infark, dan edema pada infark iskemik merupakan kombinasi
antara edema vasogenik dan sitotoksik (Harsano, 2009; PDSSI, 2008).
Anti-agregasi trombosit:
Yang umum dipakai : asam asetil salisilat (ASA), seperti aspirin,
aspilet, dll, dengan dosis rendah : 80-300 mg/hari (Harsano, 2009).
Antikoagulansia misalnya heparin (Harsano, 2009).
Antagonis kalsium : Nimodipin merupakan salah satu jenis
antagonis kalsium yang diharapkan dapat mencegah membanjirnya
kalsium de dalam sel (calcium influx). Pada awalnya nimodipin
diberikan secara ko-infus dengan bantuan syringe-pump, dengan
dosis 2-2,5 ml/jam, bergantung pada tekanan darah penderita selama
5 hari. Dosis tinggi dapat menurunkan tekanan darah yang tentunya
akan mengakibatkan bertambah beratnya gejala neurologik.
Nimodipin ini akan memberikan hasil yang baik bila diberikan
secara dini, kurang dari 6 jam pasca awitan. Nimodipin dapat
diteruskan secara peroral dengan dosis 120-180mg/hari (PDSSI,
2008).
Pentoksifilin : suatu obat hemoreologik yang menurunkan viskositas
darah, meningkatkan aliran darah dan meningkatkan oksigenasi
jaringan pada penderita dengan penyakit vaskular. Pentoksifilin
dapat diberikan pada tahap akut, 6-12 jam pasca awitan, dalam
bentuk infus dan bukan dalam bentuk bolus intravena. Diberikan
dengan dosis 15 mg/kgBB/hari selama seminggu (PDSSI, 2008).




32

b. Fase Pasca Akut
Rehabilitasi
Gangguan pembuluh darah otak merupakan penyebab utama
kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka yang paling penting pada
masa ini ialah upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita,
fisik dan mental dengan fisioterapi, terapi wicara, dan psikoterapi.

Terapi Preventif
Tujuannya untuk mencegah terulangnya dan timbulnya serangan baru,
dengan jalan mengobati dan menghindari faktor resiko stroke:
Pengobatan hipertensi
Mengobati diabetes melitus,
Menghindari rokok, obesitas, stress, dll
Berolahraga teratur.

b. Stroke Hemoragik
a. Pengobatan Umum
Napas; jalan napas harus bebas untuk menjamin keperluan oksigen.
Darah, dijaga agar tekanan darah tetap cukup (tinggi) untuk
mengalirkan darah (perfusi) ke otak, dan menjaga komposisi darah
(O2, Hb, Glukosa) tetap optimal untuk metabolisme otak.
Otak; mencegah terjadinya edema otak dan timbulnya kejang dengan
kortikosteroid dan valium i.v. pelan-pelan terhadap kejang.
Ginjal; saluran kemih dan balans cairan perlu diperhatikan.
Gastrointestinum, fungsi defekasi/pencernaan dan nutrisi jangan
diabaikan.

b. Pengobatan Spesifik
Pengobatan ialah pengobatan kausal. Pengobatan terhadap pendarahan
di otak dengan tujuan hemostasis, misalnya asam traneksamat 1 gr/4
jam 1.v. pelan-pelan selama 3 minggu, kemudian dosis berangsur-

33

angsur diturunkan. Khasiatnya adalah antifibrinolitik, sehingga
mencegah lisisnya bekuan darah, jadi mencegah pendarahan ulang.

2.4. Pencegahan
Pencegahan stroke diikuti tiga cara utama, yaitu kontrol faktor
resiko, terpai farmakologi, dan intervensi bedah. Pengetahuan dan
mengendalikan faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah hal utama
dalam pencegahan primer dan sekunder stroke. Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi antara lain hipertensi, diabetes melitus, merokok,
hiperlipidemia, konsumsi alkohol yang berlebihan, obesitas, dan aktivitas
fisik. Faktor resiko lain termasuk umur dan jenis kelamin, penyakit jantung,
riwayat stroke terdahulu, tingginya level hemoglobin dan hematokrit, tinggi
fibrinogen, penggunaan kontrasepsi oral.

2.5. Komplikasi
a. Komplikasi Arteritis Temporalis
1. Komplikasi tanpa pengobatan antara lain :
Kehilangan penglihatan. Jika penyakit ini mempengaruhi pembuluh
darah mata, merupakan keadaan darurat.
Keterlibatan pembuluh jantung.
Stroke.
Sedikitnya sirkulasi darah di lengan dan kaki.
2. Komplikasi dengan terapi kortikosteroid adalah osteoporosis, patah tulang
dan infeksi. Studi menunjukkan bahwa terapi etidronat intermiten
mencegah keropos tulang pada pasien yang menerima terapi kortikosteroid
kronis. Selain itu, American College of Rheumatology telah
merekomendasikan alendronate untuk pencegahan glukokortikoid yang
menginduksi osteoporosis.




34

b. Komplikasi Stroke
1. Komplikasi Akut
a) Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasa merupakan mekanisme
kompensasi sehingga upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat
lesi. Oleh karena itu kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi
(sistolik >220/ diastolik >130) tekanan darah tidak perlu diturunkan,
karena akan turun sendiri setelah 48 jam. Pada pasien hipertensi kronik
tekanan darah juga tidak perlu diturunkan segera.
b) Kadar gula darah. Pasien stroke seringkali merupakan pasiean DM
sehingga kadaar gula darah pasca strok tinggi. Akan tetapi seringkali
terjadi kenaikan gula darah pasien sebagai reaksi konmensasi atau akibat
mekanisme stres.
c) Gangguan jantung baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi.
Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, karena seringkali
memperburuk keadaan stroke bahkan sering merupakan penyebab
kematian.
d) Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat penekanan di pusat
pernapasan.
e) Infeksi dan sepsis merupakan komplikasi stroke yang serius.
f) Gangguan ginjal dan hati
g) Cairan, elektrolit, asam dan basa.
h) Ulcer stress, yang sering mengakibatkan terjadinya hematemesis dan
melena.

2. Komplikasi Kronik
a) Akibat tirah baring lama di tempat tidur dapat terjadi pneumonia,
dekubitus, inkontinensia serta berbagai akibat imobilisasi lain.
b) Rekurensi strok
c) Gangguan sosial-ekonomi
d) Gangguan psikologis


35

2.6.Prognosis
Sebelum munculnya kortikosteroid, kebanyakan pasien yang menderita
arteritis temporal kehilangan penglihatan mereka. Dengan terapi yang
memadai saat ini dan diagnosis yang cepat, kejadian kebutaan telah
diturunkan menjadi 9-25%. Setelah kebutaan terjadi, bagaimanapun, tidak
dapat dikembalikan dengan terapi kortikosteroid.
Meskipun sebagian besar pasien bebas gejala setelah 3 tahun terapi,
setengah dari mereka akan memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan
dengan kortikosteroid. Terapi kortikosteroid berkepanjangan dikaitkan
dengan morbiditas yang signifikan, termasuk pengembangan penyakit
katarak, hipertensi, miopati, dan osteopenia.
Pada stroke iskemik prognosis dipengaruhi usia pasien, penyebab
stroke, lokasi, ukuran, patologi lesi, dan kondisi lain yang mengawali atau
menyertai stroke. Penderita yang selamat memiliki risiko tinggi mengalami
stroke kedua.
Pada Stroke hemoragik memiliki prognosis buruk. Pada 30 hari pertama
risiko meninggal 25-50%, sedangkan pada stroke iskemik hanya 10%.














36

DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B., Turana, Y. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta. EGC, 2009.
Harsono. Kapita selekta neurologi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
2009.
Martono, H., Kuswardhani, T. Stroke dan penatalaksanaannya oleh internis. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.
PDSSI. Buku ajar neurologis klinis. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
2008.
Ginsberg L. Arteritis Sel Raksasa/Giant Cell Arteritis (Arteritis Kranial, Arteritis
Temporalis). Dalam : Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta, 2008 :
71-2.
Tarakad S. Emedicine : Temporal/Giant Cell Arteritis Follow-up. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1147184-followup#a2651. Accessed
on October 25, 2014.
Ted et al,. American Family Phsycian : Polymialgia Reumatica and Temporal
Arteritis. Available at http://www.aafp.org/afp/2000/0815/p789.html.
Accessed on October 25, 2014.

Trevor A. Emedicine : Temporal Arteritis Pathology . Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1612591-overview#a30. Accessed on
October 25, 2014.

You might also like