You are on page 1of 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PASIEN


DENGAN SYOK KARDIOGENIK

OLEH
I GST AYU PRAMITARESTHI
0602105003

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
2009

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PASIEN DENGAN


SYOK KARDIOGENIK
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal
jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas
(Brunner and Suddarth, 2001).
Syok kardiogenik adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal akibat gangguan fungsi
pompa jantung (Arif mansjoer,dkk, 1999).
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
menyebabkan hipoksia jaringan (Aru W. Sudoyo, dkk, 2006).

http://www.juraganmedis.com/wp-content/upload/2009/02/cholesterol

2. EPIDEMIOLOGI
Penyebab syok kardiogenik yang terbanyak adalah IMA (infark miokard akut)
dimana terjadi kehilangan sejumlah besar miokardium akibat terjadinya
nekrosis. Insiden syok kardiogenik sebagai komplikasi sindrom koroner akut
bervariasi.
Syok kardiogenik terjadi pada 2,9% pasien angina pektoris tak stabil dan 2,1%
pasien IMA non-elevasi ST. Median waktu perkembangan menjadi syok pada
pasien ini adalah 76 jam dan 96 jam, dimana yang tersering adalah 48 jam. Syok
lebih sering dijumpai sebagai komplikasi IMA dengan elevasi ST daripada tipe
lain dari sindrom koroner akut. Pada studi besar di negara maju, pasien IMA
yang mendapat terapi trombolitik tetap ditemukan kejadian syok kardiogenik
yang berkisar antara 4,2% sampai 7,2%.
3. ETIOLOGI
Menurut Sylvia A. Price, 2006
A. Disebabkan oleh disritmia
1. Bradidisritmia
2. Takidisritmia
B. Disebabkan oleh faktor mekanisme jantung
1. Lesi regurgitasi
a. Insufisiensi aorta atau mitralis akut
b. Ruptur septum interventrikularis
c. Aneurisma ventrikel kiri masif
2. Lesi obstruktif
a. Obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, seperti stenosis katup aorta
kongenital atau didapat, dan kardiomiopati hipertropi obstruktif.
b. Obstruksi saluran masuk ventrikel kiri, seperti stenosis mitralis,
miksoma atrium kiri, trombus atrium.
C. Miopati
1. Gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, seperti pada infark miokardium
akut atau kardiomiopati kongestif

2. Gangguan kontraktilitas ventrikel kanan yang disebabkan oleh infark


ventrikel kanan
3. Gangguan relaksasi atau kelenturan ventrikel kiri, seperti pada
kardiomiopati restriktif atau hipertrofik.
Menurut Arif Mansjoer, dkk, 1999
A. Gangguan ventricular ejection
1. Infark miokard akut
2. Miokarditis akut
3. Komplikasi mekanik
a. Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris
b. Ruptur septum interventrikulorum
c. Ruptur/free wall
d. Aneurisma ventrikel kiri
e. Stenosis aorta yang berat
f. Kardiomiopati
g. Kontusio miokard
B. Gangguan ventricular filling
1. Temponade jantung
2. Stenosis mitral
3. Miksoma pada atrium kiri
4. Trombus ball valve pada atrium
5. Infark ventrikel kanan.
4. FAKTOR PENCETUS
a. Iskemia atau infark miokard
b. Anemia: takikardi atau bradikardia
c. Infeksi : endokarditis, miokarditis, atau infeksi di luar jantung
d. Emboli paru
e. Kelebihan cairan atau garam
f. Obat penekan miokard seperti penghambat

g. Lain-lain: kehamilan, tirotoksikosis, anemia, stres (fisik atau emosi).


5. PATOFISIOLOGI
Kelainan fisiologis yang mendasari syok kardiogenik adalah menurunnya
kontraktilitas otot jantung sebagai konsekuensi tidak berfungsinya sebagian otot
jantung. Hasil bedah mayat penderita IMA dengan syok kardiogenik
menunjukan kerusakan 40% otot jantung. Mungkin ruptur dinding ventrikel,
septum atau otot papilaris.
Penyakit jantung tidak mampu memusatkan secara sinkron atau penekanan dan
aliran darah ke aorta dihindarkan. LVEDP (The Left Venticular End-Diastolic
Pressure) dan arterial pressure (LAP) meningkat dari sistolic outflow yang tidak
efisisien. Pada akhirnya, tekanan arteri pulmonari meningkat yang akan
menyebabkan

cairan

ekstraseluler

berpindah

ke

intertisial

sehingga

mengakibatkan edema paru.


6. PROGNOSIS
Prognosis kardiogenik syok secara umum buruk meskipun insidennya telah
menurun. Pada penderita syok akibat IMA, prognosis tergantung pada luasnya
infark miokard. Mortalitas rata-rata dari berbagai pusat perawatan jantung 6070%. Mortalitas tinggi bagi mereka yang menunjukan pengisisan ventrikel kiri
yang sangat tinggi dan penurunan indeks jantung. Bila tekanan tersebut normal
atau sedikit tinggi dan hipovolemi relatif, prognosis lebih baik. Sekitar 30%
penderita menunjukan respon terhadap ekspansi volume darah dengan dextran
atau albumin. Penderita dengan pengisian ventrikel kiri dan indeks jantung yang
ringan biasanya menunjukan hasil yang baik dengan obat-obatan vasopresor.
7. GEJALA KLINIS
Gejala syok kardiogenik akibat IMA, antara lain:
a. Timbul tiba-tiba dalam waktu 4-6 jam setelah infark akibat gangguan
miokard masif atau ruptur dinding bebas ventrikel kiri.
b. Timbul secara perlahan beberapa hari sebagai akibat infark berulang

c. Timbul tiba-tiba 2-10 hari setelah infark disertai dengan timbulnya bising
mitral sistolik, ruptur septum atau disosiasi elektromekanik. Tahap ini dapat
disertai atau tanpa disertai nyeri dada, tetapi sering disertai dengan sesak
nafas akut.
d. Keluhan nyeri dada pada IMA biasanya di daerah substernal, terasa seperti
ditekan, diperas, diikat, dicekik, dan disertai rasa takut. Rasa nyeri menjalar
ke leher, rahang, lengan, dan punggung. Nyeri biasanya hebat, berlangsung
lebih dari setengah jam, tidak menghilang dengan obat-obatan nitrat.
Gejala syok kardiogenik berdasarkan etiologi lain:
a. Diaporesis (keringat dingin)
b. Takipnea (pernafasan cepat dan dalam)
c. Denyut nadi cepat (kecuali dijumpai Blok AV)
d. Ronchi akibat bendungan paru
e. Bunyi jantung lemah
f. Prekordium diskinetik
g. Bising jantung bila syok berasal dari disfungsi valvular (aorta atau mitral)
h. Ulsus paradoksus pada infark miokard atau temponade jantung.
Tanda awal dan lanjutan syok kardiogenik
Tanda
Tekanan darah

Awal
Tekanan nadi menurun.

Lanjut
Tekanan darah meningkat

Haluaran urine

Tekanan sistolik menurun


Penurunan konsentrasi

Penurunan volume urine

natrium urine.
Peningkatan osmolaritas
Perubahan asam basa

urine.
Respiratori alkalosis

Alkalosis metabolik

meningkat.
Asidosis metabolik.
Perfusi jaringan

Kadang-kadang kulit hangat,

Kulit dingin, lembab.

kering.

Sensori kabur.

Agak gelisah.
8. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan fisik tergantung derajat shock:
a. Tahap kompensasi :
-

Perubahan mental atau perilaku

Output urine normal atau menurun

Perubahan perfusi jaringan perifer : pucat, diaporesis, nadi lemah, CRT


lambat/normal, vena leher/perifer datar, distensi vena jugularis
(indikasi gagal ventrikel kanan)

Perubahan variavel hemodinamik : tacycardi ringan, S3 mungkin (+),


tekanan nadi turun (meningkat pd diastolik), TD sistolik normal/turun
ringan, CVP, PAP, PCWP, mungkin normal atau meningkat.

Perubahan fungsi pulmonal : hiperpnea, erthopnea, crackle basis ringan.

b. Tahap Tdk Terkompensasi :


-

Perubahan mental : lethargi, apatis, oliguria

Perubahan perfusi perifer : kulit pucat atau mottle dgn sianosis perifer
ringan, diaporesis, nadi sangat lemah (mungkin tdk ada), CRT terlambat

Perubahan parameter hemodinamik: trachicardi berat, disritmia, S3,


hipotensi, penurunan sistolik TD > 30 mmHg, penurunan

tekanan nadi,

peningkatan CVP, PAP, PCWP, penurunan cardiac output


-

Perubahan fungsi pulmonal : tachypnea dgn penurunan Tidal volume,


peningkatan kongesti pulmonal & crackle, sianosis sentral.

c. Tahap Shock Irreversibel


-

Perubahan mental : obtundasi berat, atau koma

Perubahan perfusi perifer : kulit dingin, pucat, atau mottle, dan sianosis,
kulit lembab & basah, nadi perfer tidak teraba, CRT lambat

Perubahan variabel hemodinamik : tachycardi , & disritmia, hipotensi


berat (TD sistolik < 60 mmHg), CVP, PAP, PCWP meningkat

Perubahan fungsi pulmonal : respirasi cepat & dangkal, crackle dan


wheezing difus, sianosis sentral berat, anuria atau oliguria.

9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan AGD: pemeriksaan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan
dapat dilakukan pada saat pemasang kateter Swan-Ganz, yang juga dapat
mendeteksi adanya defek septal ventrikel. Bila terdapat pintas darah yang
kaya oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi
oksigen yang step-up bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena dari
vena cava dan arteri pulmonal.
b. Pemeriksaan EKG: menunjukkan peninggian gelombang ST, penurunan
atau datarnya gelombang T, dan adanya gelombang Q patologis.
c. Foto Roentgen Dada: pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan
tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang
berat.
d. Elektrokardiografi: penting untuk menilai hipokinesis berat ventrikel difus
atau segmental (bila berasal dari infark miokard), efusi perikardial, katup
mitral dan aorta, ruptur septum dan pintasan intrakardiak.
e. Pemantauan hemodinamik: penggunaan kateter Swan-Ganz untuk
mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler
khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta
sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan.
10. KRITERIA DIAGNOSIS
Menurut Arif Mansjoer,dkk, 1999
Dari segi hemodinamik diagnosa syok kardiogenik ditegakan dengan adanya
kombinasi dari:
a. Tekanan darah sistol yang rendah (<90mmHg atau 30mmHg di bawah
tekanan darah basal)
b. Peningkatan arterio venous oksigen diferens (> 5,5ml/dL)

c. Penurunan indeks jantung (<2,2L/mnt/m2 luas permukaan tubuh)


d. Adanya peningkatan PCWP (>15mmHg)
11. THERAPHY
Menurut Aru W. Sudoyo, 2006:
a. Langkah I tindakan resusitasi segera
Tujuannya adalah untuk mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa
untuk terapi definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat
untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin atau
noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat hipotensi, harus
diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan
dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat
dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa
kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.
Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum
trasportasi jika fasilitas tersedia. AGD dan saturasi oksigen harus dimonitor
dengan memberikan contaneus positive airway pressure atau ventilasi
mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor terus menerus, dan
peralatan defrilator, obat antiaritmia amiodaron dan lidokain harus tersedia
(33% pasien pada revaskularisasi awal SHOCK trial menjalani resusitasi
kardiopulmoner, takikardia ventrikular menetap atau fibrilasi ventrikel
sebelum randomisasi).
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika
diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari
pada pasien dengan tekanan darah sistole <100mmHg yang mendapatkan
trombolitik pada meta analisis FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1%
dengan plasebo (95% CI 26 sampai 98,p<0,001). Meningkatnya tekanan
darah dengan IABP pada keadaan ini dapat memfasilitasi trombolisis dengan
meningkatnya tekanan perfusi koroner.
Pada syok kardiogenik akibat infark miokard non elevasi ST yang menunggu
kateterisasi, inhibitor glikoprotein Iib/IIIa dapat diberikan.

b. Langkah II menentukan secara dini anatomi koroner


Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang
berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang predominan.
Pasien di rumah sakit komunitas harus segera dikirim ke fasilitas pelayanan
tersier yang berpengalaman. Hipotensi diatas segera dengan IABP. Syok
mempunyai ciri 2 pembuluh darah yang tinggi, penyakit left main, dan
penurunan fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan istabilitas
hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi koroner. Suatu lesi
circumflex atau lesi koroner kanan jarang mempunyai manifestasi syok pada
keadaan

tanpa

infark ventrikel

kanan,

underfilling

ventrikel

kiri,

bradiaritmia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati.


c. Melakukan revaskularisasi dini
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan
modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan PCI
dengan CABG pada syok kardiogenik. Trial syok merekomendasikan CABG
emergensi pada pasien left main atau penyakit 3 pembuluh besar.
Menurut Arif mansjoer,dkk, 1999
a. Semua pasien syok kardiogenik sebab infark miokard harus segera dikirim
segera ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk kateterisasi,
angioplasti, dan operasi kardiovaskulae.
b. Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan
intubasi.
c. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PO2 70-120mmHg.
d. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus
diatasi dengan pemberian morfin.
e. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang
terjadi.

f. Bila terdapat takiaritmia harus segera diatasi:


-

Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan


pemberian digitalis

Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung <50 x/menit harus diatasi


dengan pemberian sulfas atropin

g. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam


penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara
parenteral dengan menggunakan pedoman dasar PCWP atau pulmonary
artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP. Jenis cairan yang
digunakan tergantung klinisnya, tetapi dianjurkan untuk memakai cairan
salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara yang
sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat
dalam penanganan syok kardiogenik, caranya:
-

Bila PCWP atau PAEDP <15 mmHg (atau CVP <12 cmH 2O), sulit untuk
mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut,
volume cairanintravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai
18mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak
100ml cairan melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respon, berupa
peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara
klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau tidak bertambah berat.
Dan bila PCWP tidak berubah atau tidak meningkat >2 mmHg di atas
nilai awal, maka diberikan cairan sebanyak 200ml dalam 10 menit.

Bila selanjutnya PCWP stabil atau tidak meningkat >2mmHg atau diatas
16 mmHg (atau jika CVP tetap <15 cmH 2O), tekanan darah tetap stabil
atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau
bertambah parah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan
500-1000 ml/jam sampai tekanan darah dan tanda klinis syok
menghilang. Periksa PCWP, tekanan darah, paru setiap 15 menit.
Diharapkan PCWP akan meningkat 15-18 mmHg.

Jika pada pemeriksaan awal didapat PCWP antara 15-18 mmHg (atau
nilai CVP 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam
waktu 10 menit.

Jika nilai PCWP pada awalnya 20mmHg atau lebih maka tidak boleh
dilakukan test toleransi cairan intravena , dan pengobatan dimulai dengan
pemberian vasodilator.

Jika PCWP menunjukan nilai yang rendah (<5 mmHg) infus cairan dapat
diberikan walaupun didapat edema paru akut.

Jika pasien menunjukan edema paru dengn nilai PCWP rendah dan
dalam penanganan diberikan infus cairan menyebabkan peningkatan
kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan harus
dihentikan dan keadaan pasien harus dievaluasi kembali.

h. Pada pasien dengan perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskuler
yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya temponade jantung sebelum
pemberian obat-obatan inotropik atau vasopresin dimulai.
i. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan
pasien dapat berpindah dari subset satu ke subset lainnya dan memerlukan
perubahan dalam regimen terapi.
j. Subset 1: LVEDP >15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan
indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan adanya gagal
jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga mengurangkan
afterload dapat dilakukan sebagai terapi pertama.
-

Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan


nitroprusid. Pada saat pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor
terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian
nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kgBB/menit (dosis awal jangan
lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditinggikan 5 mg/menit setiap
10 menit sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah
jantung meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan.
Bila tekanan darah menurun, terjadi takikardia, dan bila peningkatan
curah jantung tidak mencukupi, maka ditambahkan dobutamin dengan

dosis awal 5g/kgBB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal


15g/kgBB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka
dobutamin diganti dengan dopamin.
-

Pemberian

nitrogliserin

mempunyai

peranan

lebih

kecil

dalam

penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses


iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang
berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5mg/menit dan
ditingkatkan 5mg/menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok
dan pump failure, maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila
tekanan darah menurun dengan tekanan preload yang tinggi, maka dosis
nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan dobutamin dengan dosis 25g/kgBB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka
dobutamnin diganti dengan dopamin.
-

Selama periode ini, pemasangan intraaortic ballon pump (IABP)


counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan
ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara bersamaan kerja
ventrikel kiri dapat dikurangi.

Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru


masih

tetap,

maka

pemberian

deuretik

secara

perlahan

dapat

dipertimbangkan.
k. Subset 2: tekanan arteri sistolik <90mmHg, LVEDP >15mmHg, dan index
jantung <2,5 L/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik adanya syok
akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, dimana tim ballon perlu
digerakan dan sarana untuk kateterisasi harus disiapkan untuk menerima
pasien ini.
-

Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, nor-epinefrin merupakan


pilihan utama dengan dosis 2-15g/menit sampai tekanan darah sistolik
mencapai 80-90mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan
dopamin.

Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan


untuk terapi awal dengan dosis 5-15 g/kgBB/menit. Bila untuk

mempertahankan tekanan darah diperlukan dosis dopamin hingga 20-30


g/kgBB/menit, dimana efek utamanya merangsang adrenergik perifer,
lebih baik digunakan norepinefrin.
-

Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang
terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin
untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dopamin tidak bisa
digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat.

l. Subset 3: infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan


dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 l/menit/m 2, tekanan
sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan
ini sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan yang sering
menunjukkan respon dengan terapi cairan.
-

Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan


dengan pemberian cairan seraca cepat sampai tekanan darah stabil,
tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kanan
> 20 mmHg.

Pemakaian vasidilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan


ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin.

Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka
dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.

m. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi


jumlah miokard yang mengalami nekrosis.
n. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan
miokard irreversible, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


I.

PENGKAJIAN

1. Pengkajian awal
a. Airways
DS: adanya laporan verbal dari klien atau keluarga mengenai suara
yang mengorok, adanya dahak yang sulit untuk dikeluarkan
DO: suara nafas ronchi, terjadi penurunan reflek batuk dan
menelan.
b. Breathing
DS: adanya laporan verbal dari klien atau keluarga mengenai
kesulitan bernafas, sesak nafas, nyeri saat bernafas
DO: RR >24 x/menit, pernafasan cepat dan dalam, adanya
penggunaan otot bantu nafas, adanya respon non verbal klien saat
bernafas dengan wajah tampak meringis.
c. Circulation
DS: adanya laporan verbal dari klien atau keluarga mengenai
keluhan rasa dingin pada telapak tangan dan kaki, sering
berkeringat berlebihan (keringat dingin), adanya keluhan pusing
atau nyeri kepala.
DO: TD sistol yang rendah (<90mmHg atau 30mmHg di bawah
tekanan darah basal), nadi cepat dan lemah, diaporesis, sianosis,
hipoksia (CRT > 2 detik).
2. Pengkajian terus-menerus
Breathing

DS
Adanya laporan

DO
Jalan nafas tidak

verbal dari klien atau

paten, adanya

keluarga mengenai

obstruksi oleh

kesulitan bernafas,

karena mukus, suara

sesak, nyeri saat

nafas ronchi, irama

bernafas, adanya

nafas cepat dan

suara ngorok, adanya

dangkal, pola nafas

dahak yang sulit

tidak teratur, adanya

Masalah Keperawatan
- Bersihan jalan nafas
tidak efektif
-

Pola nafas tidak


efektif

Nyeri akut

untuk dikeluarkan

sesak nafas,
pernafasan cuping
hidung, retraksi otot
bantu nafas, RR >
24 x/menit, pasien
tampak meringis
saat bernafas

Blood

Adanya laporan

TD sistol yang

verbal dari klien atau

rendah (<90mmHg

keluarga mengenai

atau 30mmHg di

keluhan rasa dingin

bawah tekanan darah

pada telapak tangan

basal), nadi cepat >

dan kaki, sering

100x/menit, dan

berkeringat

lemah, diaporesis,

berlebihan (keringat

sianosis, hipoksia

dingin), adanya

(CRT > 2 detik),

keluhan pusing atau

pasien tampak pucat,

nyeri kepala

akral dingin, turgor

Perubahan perfusi
jaringan perifer

Resiko penurunan
curah jantung

Kelebihan volume
cairan

lambat.
Brain

Adanya laporan

Kesadaran menurun,

verbal dari klien atau

GCS< 9, pupil

keluarga mengenai

isokor, reflek cahaya

rasa pusing atau sakit

(+).

PK penurunan
kesadaran

Resiko cedera

Gangguan eliminasi

kepala, mata
berkunang-kunang
Bladder

Adanya laporan

Oliguria, frekwensi

verbal dari klien atau

BAK < 3x/hari,

keluarga mengenai

warna BAK kuning

kesulitan untuk

pekat, darah (-),

urine

berkemih

urine output <


1500cc/hari

Bowel

Adanya laporan

Nafsu makan

Ketidakseimbangan

verbal dari klien atau

menurun, mual (-),

nutrisi kurang dari

keluarga mengenai

muntah (-), kesulitan

kebutuhan tubuh

nafsu makan yang

menelan (+), makan

menurun serta porsi

3x/hari

makan yang tidak


bisa dihabiskan klien
Bone

Adanya laporan

Pasien tampak

verbal dari klien atau

lemah, aktifitas dan

keluarga mengenai

latihan 4,berpindah

kelemahan saat

4.

Intoleransi aktivitas

beraktifitas, aktivitas
sehari-hari yang
dibantu

II.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
mukus
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
3. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah balik ventrikel kiri
4. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas otot jantung
5. Nyeri akut berhubungan dengan terbentuknya asam laktat
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan cairan overload dalam
tubuh
7. PK penurunan kesadaran

8. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran


9. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan inadekuat intake
10. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan deuresis
11. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan hipoksia

DAFTAR PUSTAKA

Asih, Ni Luh Gede Yasmin, 1993. Proses Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: EGC
Carpenito-Moyet, Lynda Juall, 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Ed. 10.
Jakarta: EGC
Doenges, M.E., Marry, F..M

and

Alice, C.G., 2000. Rencana

Asuhan

Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian


Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif, dkk., 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine M., 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Ed. 6. Vol. 1. Jakarta: EGC.
Santosa, Budi, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Diterbitkan oleh Prima Medika.
Smeltzer, Suzanne C.,Bare, Brenda G., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Vol.2. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W.,dkk., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4. Jilid 1.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

You might also like