Professional Documents
Culture Documents
ACLS
(Advanced Cardiovascular Life Support)
Disusun Oleh :
Muhammad Julpian
1102008162
Renny Dwi Sandhitia Sari
1102010235
Pembimbing :
dr. Hj Hayati Usman, Sp.An
dr. Dhadi Ginanjar, Sp.An
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya,
sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan
menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari
jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi,
diantaranya:
- Perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam sengatan listrik.
- Kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang
berat.
- Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah.
- Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki gangguan
jantung.
- Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan ini
diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki
peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung
mereka yang dapat mengganggu bentuk (struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena cardiac arrest.
Perubahan Struktur Jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan
perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik.
Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau
penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur
dari jantung.
Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin,
aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang
ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien,
memeriksa medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim
sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan
diagnosis.
Tamponade Jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak mampu
untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.
Tension Pneumothorax
5
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan terus
masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan
menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran
balik ke jantung.
Henti Jantung ditandai dengan denyut nadi besar tak teraba (a.karotis, femoralis
dan radialis pada dewasa dan a.brakhialis pada bayi), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat
sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), terlihat seperti mati (death like
appearance), dilatasi pupil tak bereaksi dengan rangsangan cahaya (45 detik setelah henti
jantung) dan pasien berada dalam keadaan tidak sadar.
Kelangsungan hidup dari pasien dengan irama jantung di atas membutuhkan basic life
support (BLS) dan sistem ACLS yang baik serta perawatan jantung pasca arrest yang
terintegrasi. Dasar dari ACLS yang sukses adalah tergantung dari kualitas CPR (Cardiac
Pulmonal Resucitation), dan untuk VF/VT tanpa denyut adalah usaha melakukan defibrilasi.
Untuk korban VF, CPR dini dan defibrilasi cepat secara signifikan dapat meningkatkan
kesempatan untuk bertahan hidup hingga ke rumah sakit. Sebagai perbandingan, terapi ACLS
lain seperti beberapa obat dan tata laksana jalan napas, meskipun dikaitkan dengan
peningkatan ROSC (Return of Spontaneous Circulation), belum terbukti meningkatkan
tingkat kelangsungan hidup hingga ke rumah sakit.
Bantuan Hidup Jantung Dasar sebenarnya sudah sering didengar oleh masyarakat awa
m di Indonesia dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP). Umumnya tidak menggunakan
obat-obatan dan dapat dilakukan dengan baik setelah melalui pelatihan singkat. Pedoman
Bantuan Hidup Jantung Dasar yang sekarang dilaksanakan sekarang telah mengalami perbaik
an dibandingkan sebelumnya. Bulan Oktober 2010, American Heart Association (AHA) men
geluarkan pedoman baru Bantuan Hidup Dasar Dewasa. Dalam Bantuan Hidup Dasar ini, ter
dapat beberapa perubahan sangat mendasar dan berbeda dengan Bantuan Hidup Dasar yang t
elah dikenal sebelumnya, seperti :
1. Pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera berdasarkan penilaian respon penderita
dan tidak adanya napas
2. Perintah Look, Feel and Listen dihilangkan dari algoritme Bantuan Hidup Dasar
3. Penekanan bantuan kompresi dada yang berkelanjutan dalam melakukan resusitasi jantung
paru oleh penolong yang tidak terlatih
6
4. Perubahan urutan pertolongan Bantuan Hidup Dasar dengan mendahulukan kompresi sebel
um melakukan pertolongan bantuan napas (CAB dibandingkan dengan ABC)
5. Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang efektif dilakukan sampai didapatkan kembalinya sirkul
asi spontan atau penghentian upaya resusitasi
6. Peningkatan fokus metode untuk meningkatkan kualitas RJP yang lebih baik
7. Penyederhanaan Algoritme Bantuan Hidup Dasar.
Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar bukan merupakan suatu satu jenis keterampilan tinda
kan tunggal semata, melainkan suatu kesinambungan tidak terputus antara pengamatan serta i
ntervensi yang dilakukan dalam pertolongan. Keberhasilan pertolongan yang dilakukan ditent
ukan oleh kecepatan dalam memberikan tindakan awal Bantuan Hidup Jantung Dasar. Para a
hli berpikir bagaimana cara untuk melakukan suatu Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar y
ang efektif serta melatih sebanyak mungkin orang awam dan paramedis yang dapat melakuka
n tindakan tersebut secara baik dan benar. Secara umum, pengamatan serta intervensi yang di
lakukan dalam Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan suatu rantai tak terputus,
disebut sebagai rantai kelangsungan hidup (chain of survival) :
1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (Early Access)
a. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat darurat
b. Informasikan segera Kondisi penderita sebelum melakukan RJP pada orang dewasa atau se
kitar 1 menit setelah memberikan pertolongan RJP pada bayi dan anak.
c. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung
d. Identifikasi tanda henti jantung atau henti napas.
2. Resusitasi Jantung Segera (Early CPR)
3. Defibrilasi Segera (Early Defibrillation)
4. Perawatan Kardiovaskular Lanjutan yang Efektif (Effective ACLS)
5. Penanganan terintegrasi pascahenti jantung (Integrated Post Cardiac Arrest Care)
ntung Lanjut (ACLS), maka kita harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara siste
matis pula. Pengamatan dan pemeriksaan tersebut dimulai dari survei primer Bantuan Hidup
Dasar dilanjutkan dengan survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut
Survei Bantuan Hidup Dasar Primer merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa set
elah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa dilakukan oleh seorang penolong ataupu
n secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer adalah mem
perbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melak
ukan kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi yang efektif
sampai didapatkan kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau tindakan dihentikan kar
ena tidak ada respon dari penderita setelah tindakan dilakukan beberapa saat. Jikalau setelah
dilakukan survei Bantuan Hidup Dasar Primer secara efektif didapatkan kembalinya sirkulasi
secara spontan, maka tindakan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer langsung dilanjutkan Sur
vei Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Tujuan survei Bantuan Hidup Dasar Primer adalah berusaha memberikan bantuan sirk
ulasi sistemik, ventilasi, dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampai didapatkan k
embali sirkulasi sistemik spontan atau telah tiba peralatan yang lebih lengkap untuk melaksan
akan Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
esadaran penderita (Check responsiveness). Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan tid
ak sadar, maka kita meminta bantuan orang lain menghubungi ambulans atau sistem gawat da
rurat Rumah Sakit terdekat dan meminta bantuan datang dengan tambahan tenaga serta perala
tan medis yang lengkap (Call for Help). Jika saat melakukan pertolongan hanya seorang diri,
setelah melakukan pemeriksaan respon kesadaran, penolong segera menghubungi Rumah sak
it terdekat atau ambulans dan melakukan pertolongan awal kompresi dada dengan dengan cep
at dan kuat dengan frekuensi 30 kali diselingi pemberian bantuan napas 2 kali (1 detik setiap
napas bantuan) sampai bantuan datang.
Sebelum melakukan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer , kita harus memastikan bah
wa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan, dilanjutkan dengan me
meriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta pertolongan untuk mengaktifkan siste
m gawat darurat dan menyediakan AED
Urutan sistematis yang digunakan saat ini adalah C - A B. Sebelum melakukan Bant
uan Hidup Dasar harus diperhatikan langkah yang tepat dengan melakukan pemeriksaan terle
bih dahulu. Setelah dilakukan pemeriksaan (kesadaran, sirkulasi, pernapasan, perlu tidaknya
defibrilasi), harus dianalisis secara cepat dan tepat tindakan yang perlu dilakukan. Sebagai co
ntoh :
Periksa respon penderita untuk memastikan penderita dalam keadaan sadar atau tidak
sadar
Periksa denyut nadi sebelum melakukan kompresi dada atau sebelum melakukan pene
mpelan sadapan AED.
Pemeriksaan analisis irama jantung sebelum melakukan tindakan kejut lsitrik pada jan
tung (defibrilasi).
1) Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang berhak secara sah dan ditandatangan
i oleh penderita atau keluarga penderita
2) Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir yang telah mendapat pengobatan
9
secara optimal
3) Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas tinggi, misalnya
bayi sangat prematur, anensefali atau kelainan kromosom seperti trisomi 13
rjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan
1) Tanda-tanda klinis kematian yang irreversibel, seperti kaku mayat, lebam mayat, dekapitas
i, atau pembusukan.
2) Upaya RJP dengan resiko membahayakan penolong
3) Penderita dengan trauma yang tidak bisa diselamatkan seperti hangus terbakar, dekapitasi
atau hemikorporektomi.
Penolong sudah melakukan Bantuan Hidup Dasar dan Lanjut secara optimal, antara
lain: RJP, defibrilasi pada penderita VF/VT tanpa nadi, pemberian vassopressin atau
epinefrin intravena, membuka jalan napas, ventilasi dan oksigenasi menggunakan ban
tuan napas tingkat lanjut serta sudah melakukan semua pengobatan irama sesuai deng
an pedoman yang ada.
Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 me
nit atau lebih
Asistol yang menetap atau tidak terdapat denyut nadi pada neonatus lebih dari 10 men
it
Penderita yang tidak respon setelah dilakukan Bantuan Hidup Jantung Lanjut minimal
10
20 menit.
Secara etik penolong RJP selalu menerima keputusan klinik yang layak untuk mempe
rpanjang usaha pertolongan (misalnya oleh karena konsekuensi psikologis dan emosio
nal). Juga menerima alasan klinis untuk mengakhiri resusitasi dengan segera (karena k
emungkinan hidup yang kecil).
Tindakan RJP pada Asistol bisa lebih lama dilakukan pada penderita dengan kondisi
sebagai berikut :
Usia Muda
Hipotermia
Overdosis Obat
Permintaan Keluarga
11
enti jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak, atau tidak berespons tidak bernapas
, atau bernapas tidak normal.
elum bisa meraba pulsasi arteri, maka segera lakukan kompresi dada.
Catatan : Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek nadi tiap 2 menit
Jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan kompresi
4. Kompresi Dada
Dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah sternum
/ Membuat garis bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line pada sternum ke
mudian meletakkan tangan kiri diatas tangan kanan/ sebaliknya. Yang dipakai adalah tumit ta
ngan, bukan telapak tangan. Hal ini menciptakan aliran darah melalui peningkatan tekanan int
12
ratorakal dan penekanan langsung pada dinding jantung. Komponen yang perlu diperhatikan
saat melakukan kompresi dada :
inch)
diameter diding anterposterior dada, ata
u 4 cm (1,5 inch) pada bayi dan sekitar 5 cm (2 inch) pada anak.
presi.
Melakukan kompresi dada: tekan dengan cepat dan keras, interupsi minimal, dan biarkan dad
a recoil. Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan menekan adalah pinggul bukan bahu.
Tekan dada dengan kedalaman minimal 5 cm.
Beri kesempatan dada recoil sebelum menekan kembali untuk memberi kesempatan venous r
eturn mengisi jantung.
Catatan : untuk membantu penghitungan kompresi :
satu, dua................sepuluh.... satu, dua, ...... duapuluh, ....satu...dua.... tigapuluh
13
Kesadaran; the talking patient : pasien yang bisa bicara berarti airway bebas,
namun tetap perlu evaluasi berkala.
Agitasi
Sianosis
Retraksi
Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas setinggi
larings (Stridor inspirasi) atau stinggin trakea (stridor ekspirasi)
Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang membutuhkan napas
pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal napas
3. FEEL:
Catatan : Pada kaus henti jantung, RJP berdasarkan AHA 2010, Look, listen Feel dihilangkan
Pada Kasus trauma Look, Listen Feel tetap dilakukan
14
15
16
Cara pemilihan OPA : pangkal OPA pd sudut mulut, ujung OPA pd angulus mandibul
a. Apabila terlalu kecil maka tidak dapat efektif membebaskan airway dan dapat mendorong l
idah sEmakin ke belakang. Apabila terlalu besar akan melukai epiglotis, merangsang muntah
dan laringospasme.
Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien. Jagalah agar kepala dan
dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga patensi jalan napas. Lakukan penyed
otan berkala di dalam mulut dan faring bila ada sekret, darah atau muntahan.
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :
Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan menyebabkan
trauma pada struktur laring.
Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan dasar lidah
dari belakang dan menyumbat jalan napas.
Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma jaringan lunak pada
bibir dan lidah.
2. NASOPHARYNGEAL AIRWAY
Indikasi NPA :
a. Sadar/tdk sadar,
b. Napas spontan,
c. Ada refleks muntah,
d. Kesulitan dg OPA.
Kontraindikasi NPA :
a. Fraktur wajah
b. Fraktur tulang dasar tengkorak.
Komplikasi NPA :
a. Trauma,
b. Laringospasme,
c. Muntah,
d. Aspirasi,
e. Insersi intrakranial (pd fr. tlg wajah/tlg. dasar tengkorak)
Pemeliharaan jalan napas perlu dilakukan setelah pembukaan jalan napas, dapat dilakukan se
cara manual, dengan alat sederhana ataupun dengan alat bantu lanjut. Dalam pemeliharaan jal
an napas juga perlu dilakukan pemeriksaan sumbatan jalan napas oleh cairan / benda asing se
cara berkala menggunakan sapuan jari tangan.
17
ADVANCED AIRWAY
Ada dua macam ;
1. Non Surgical : Intubasi orotrakea dan nasotrakea
2. Surgical : Krikotiroidotomi dan trakeotomi
INTUBASI ENDOTRAKEA
Adalah proses memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea pasien. Bila pipa
dimasukkan melalui mulut disebut intubasi orotrakea, bila melalui hidung disebut nasotrakea
Kegunaan Pipa endotrakea adalah :
1. Memelihara jalan napas atas terbuka (paten)
2. Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
3. Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk memelihara
pengembangan paru yang adekuat
4. Mencegah jalan napas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan dari mulut,
kerongkongan atau jalan napas atas
5. Mempermudah penyedotan dalam trakea
6. Sebagai alternatif untuk memasukkan obat (Nalokson, Atropin, Vassopresin, epinefrin dan
lidokain ; NAVEL) pada waktu resusitasi jantung paru bila akses intravena atau intraosseus
belum ada
INDIKASI
1. Henti jantung, bila ventilasi kantong napas tidak memungkinkan atau tidak efektif
2. Pasien sadar dengan gangguan pernapasan dan pemberian oksigen yang tidak adekuat
dengan alat-alat ventilasi yang tidak invasif
3. Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas (pasien koma)
18
Pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil memasukkan
alat untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa endotrakheal, combitube, atau su
ngkup laring), maka napas bantuan diberikan setiap 6-8 detik, sehingga menghasilkan
pernapasan dengan frekuensi 8-6 kali permenit. Tidak sinkron dengan kompresi : me
mberikan bantuan napas tiap 6-8 detik selama kompresi berlangsung, Ingat Interupsi
19
Penderita dengan hambatan jalan napas atau komplians paru yang buruk memerlukan
bantuan napas dengan tekanan lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding dada teran
gkat.
Pemberian bantuan napas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan di
stensi lambung serta komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi.
Irama jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung mendadak yang dis
aksikan di luar rumah sakit adalah Fibrilasi ventrikel
Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring dengan berjalannya wa
ktu.
asi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi diberikan energi kejutan 360 J pada defibrilat
or monofasik atau 200 J pada bifasik. Pada anak, walaupun kejadian henti jantung mendadak
sangat jarang, energi kejutan listrik diberikan dengan dosis 2-4 J/Kg, dapat diulang dengan do
sis 4-10 J/Kg dan tidak melebihi energi yang diberikan kepada penderita dewasa. Pada neonat
us, penggunaan defibrilator manual lebih dianjurkan.
Penggunaan defibrilator untuk tindakan kejut listrik tidak diindikasikan pada penderita de
ngan asistol atau pulseless electrical activity (PEA)
Shockable Waves
a. PULSELESS VENTRICULAR TACHYCARDIA
b. VENTRICULAR FIBRILLATION
21
Hidupkan AED dengan menekan sakelar ON atau beberapa alat dengan membuka tut
up AED
Jangan melakukan kontak langsung dengan penderita saat sedang dilakukan analisis ir
ama penderita oleh alat AED
Tekan tombol SHOCK jika alat AED memerintahkan tindakan kejut listrik, atau langs
ung lakukan RJP 5 siklus petugas kesehatan terlatih tanpa mencek nadi terlebih dahul
u jika alat tidak memerintahkan tundakan kejut listrik
Tindakan tersebut terus diulang sampai tindakan RJP boleh dihentikan sesuai indikasi.
Pada kasus henti jantung, RJP adalah tindakan yang mutlak dilakukan dan interupsi te
rhadap kompresi harus minimal. Prinsip ini tetap berlaku pada penggunaan defibrilato
r. Selama persiapan alat dan pengisian tenaga, korban tetap dilakukan kompresi dada.
Tekan tombol ON atau putar saklar ke arah gambaran EKG untuk menghidupkan mon
22
itor
Tempelkan elektroda atau gunakan pedal defibrilator untuk melakukan analisis secara
cepat (quick look analysis)
Lihat irama di monitor. Bila akan melakukan tindakan kejut listrik, berikan gel di ped
al defibrilator atau dada penderita untuk mencegah luka bakar yang berat serta mempe
rbaiki hantaran listrik dari pedal ke tubuh penderita
Bila irama yang terlihat pada monitor adalah fibrilasi ventrikel dan ventrikel takikardi
tanpa nadi, maka lakukan pemberian kejut lsitrik dengan energi 360 J pada alat defibri
lator monofasik atau 200 J pada alat bifasik. Lakukan pengisian (charge) sampai ke e
nergi yang diinginkan (biasanya ditandai dengan bunyi alarm. satu pedal diletakkan di
apeks jantung dan yang lain diletakkan di sternum dengan disertai pemberian tekanan
sebesar 12,5 kg saat ditempelkan ke dinding dada. Listrik dialirkan dengan menekan t
ombol discharge(bergambar listrik) yang berada di kedua gagang
Sebelum melakukan shock berikan aba-aba pada seluruh anggota tim untuk tidak dengan
pasien maupun tempat tidurnya sambil memastikan diri sendiri juga tidak bersentuhan. Conto
h aba-aba:
Im going to shock on three:
o One, Im clear
o Two, you are clear
o Three, Every body is clear.
Untuk terakhir kali lihat secara visual apakah semua sudah tidak bersentuhan dengan
pasien, lihat ke monitor untuk pastikan irama belum berubah
ama yang terlihat dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik (Shockable rhytm)
yaitu VT tanpa nadi atau VF, maka lakukan pemberian kejut listrik kembali. Bila irama yang
terlihat adalah PEA atau Asistol, maka lakukan pemberian RJP selama 2 menit atau 5 siklus
dan penatalaksanaan sesuai algoritma PEA/Asystole.
23
24
25
Komponen
Pengenalan awal
Urutan BHD
Frekuensi Kompresi
Kedalaman kompresi
Defibrilasi
Rekomendasi
Dewasa
Anak
Bayi
Tidak sadarkan diri
Tidak ada napas atau Tidak bernapas atau gasping.
bernapas
tidak
normal
(misalnya
gasping)
Tidak teraba nadi dalam 10 detik (hanya dilakukan oleh tenaga
kesehatan)
CAB
CAB
CAB
Minimal 100 kali per menit
Minimal 5 cm (2 Minimal 1/3 diameter Minimal 1/3 diameter
inch)
anteroposterior
anteroposterior
dinding dada (sekitar dinding dada (sekitar
5 cm/2 inch)
4 cm/ 1.5 inch)
Recoil sempurna dinding dada setelah setiap kompresi. Untuk
penolong terlatih, pergantian posisi kompresor setiap 2 menit.
Interupsi kompresi seminimal mungkin.
Interupsi terhadap kompresi tidak lebih 10 detik.
Head tilt chin lift.
(jaw thrust pada kecurigaan trauma leher hanya oleh tenaga
kesehatan).
30 : 2
30 : 2 (1 penolong)
30 : 2 (1 penolong)
(1 atau 2 penolong)
15 : 2 (2 penolong)
15 : 2 (2 penolong)
Jika penolong tidak terlatih, kompresi saja.
Pada penolong terlatih tanpa alat bantu jalan napas lanjutan berikan 2
kali napas buatan setelah 30 kompresi. Bila terpasang alat bantu jalan
napas lanjutan berikan napas setiap 6-8 detik (8-10 kali per menit).
Penderita ROSC, napas diberikan setiap 5-6 detik (10-12 kali per
menit)
Pasang dan tempelkan AED sesegera mungkin.
Interupsi kompresi minimal, baik sebelum atau sesudah kejut listrik.
Lanjutkan RJP, diawali dengan kompresi segera setelah kejut listrik.
26
dirancang untuk meningkatkan CPR pada tatalaksana dari cardiac arrest. Periode pause CPR
harus dibuat sesingkat mungkin, hanya pada saat memeriksa irama jantung, shock VF/VT,
periksa nadi, atau memasang advanced airway.
Pada keadaan tidak ada advanced airway, suatu kompresi-ventilasi yang sinkron
dapat dilakukan dengan rasio 30:2, dengan kompresi jantung luar paling sedikit 100 kali
permenit. Setelah memasang supraglottic airway atau endotrakea tube, dapat dilakukan
kompresi jantung luar sedikitnta 100 kali permenit, dengan terus melakukan ventilasi tanpa
berhenti. Ventilasi diberikan sebanyak 1 kali setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 10 kali
permenit) dan dilakukan secara hati-hati untuk menghindari berlebihnya jumlah ventilasi
yang diberikan.
Tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan waktu tertentu atau urutan (order)
dari pemberian obat dan tata laksana jalan napas lanjutan selama serangan jantung. Dalam
kebanyakan kasus, waktu dan urutan intervensi sekunder ini akan tergantung pada jumlah
penolong dalam resusitasi dan tingkat keterampilan mereka.
Memahami pentingnya mendiagnosa dan mengobati penyebab yang mendasari adalah
penting untuk pengelolaan semua serangan irama jantung. Selama manajemen serangan
jantung, penolong harus mempertimbangkan H dan T untuk mengidentifikasi dan mengobati
faktor yang mungkin telah menyebabkan arrest atau mungkin mempersulit upaya resusitasi.
29
memberikan respon pada CPR, defibrillasi, dan terapi vasopressor. Jika tidak terdapat
amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan sebagai pengganti, tetapi dari beberapa study
klinis, efek lidocaine tidak sebaik amiodarone dalam meningkatkan ROSC. Magnesium sulfat
hanya dapat diberikan pada Torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.
Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental pada
algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan penyebab reversibel dan
dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama jantung pada irama sinus. Pada VF/VT
refrakter, ACS atau infark miokardium harus dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi
seperti coronary angiography dan PCI selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass
dapat dilakukan pada kasus ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC, perawatan postcardiac arrest dapat segera dimulai.
Bradikardi
Bradikardia adalah keadaan denyut jantung kurang dari 60 denyut per menit. Namun,
ketika bradikardia adalah penyebab dari suatu gejala, denyut jantung dapat kurang dari 50
denyut per menit. Denyut jantung yang lambat mungkin fisiologis atau normal untuk
beberapa pasien, sedangkan denyut jantung < 50 denyut per menit mungkin tidak memadai
untuk sebagian orang lain. Algoritma Bradikardia berfokus pada manajemen bradikardia
yang bermakna secara klinis (yaitu, bradikardi yang pantas untuk kondisi klinis). Karena
hipoksemia merupakan penyebab umum dari bradikardia, evaluasi awal dari setiap pasien
dengan bradikardia harus fokus pada tanda-tanda peningkatan kerja pernapasan (takipnea,
retraksi interkostal, suprasternal retraksi, paradoks pernapasan perut) dan saturasi
oksihemoglobin.
31
Takikardi
Takikardia didefinisikan sebagai aritmia dengan denyut lebih dari 100 denyut per
menit, meskipun, seperti dengan mendefinisikan bradikardia, tingkat takikardia lebih
mungkin disebabkan aritmia dengan denyut lebih dari 150 denyut per menit. Denyut jantung
yang cepat merupakan respons terhadap stres fisiologis (misalnya, demam, dehidrasi) atau
kondisi lain yang mendasarinya. Ketika menghadapi pasien dengan takikardia, upaya yang
harus dilakukan untuk menentukan apakah takikardia adalah mencari penyebab utama dari
gejala yang muncul atau penyebab sekunder untuk kondisi yang mendasarinya. Banyak ahli
menyarankan bahwa ketika denyut jantung >150 denyut per menit, tidak mungkin bahwa
gejala ketidakstabilan disebabkan terutama oleh takikardia kecuali ada gangguan fungsi
ventrikel.
Takikardia dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, berdasarkan kompleks QRS,
denyut jantung, dan keteraturan. Profesional ACLS harus mampu mengenali dan
32
33
34
KESIMPULAN
Langkah-langkah kritis yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan Bantuan Hidup
Jantung Dasar Adalah pengenalan keadaan serta aktivasi sistem gawat darurat segera, RJP
segera serta defibrilasi segera.
Kualitas tinggi tindakan CPR merupakan dasar keberhasilan intervensi ACLS
berikutnya saat terjadi serangan jantung. Selama penyedia layanan kesehatan melakukan laju
resusitasi kompresi dada dan kedalaman yang memadai, memungkinkan dada berdetak
setelah setiap kompresi, meminimalkan gangguan dalam kompresi dada, dan menghindari
ventilasi berlebihan, terutama dengan bantuan jalan napas. Kualitas CPR harus terus
dipantau. Pemantauan fisiologis mungkin berguna untuk mengoptimalkan upaya resusitasi.
Untuk pasien VF / VT tanpa denyut, getaran harus disampaikan segera dengan gangguan
minimal dalam kompresi dada. Peningkatan kualitas CPR, kemajuan dalam perawatan pasca
serangan jantung, dan meningkatkan penerapan secara keseluruhan melalui sistem perawatan
yang komprehensif dapat membantu mengoptimalkan hasil dari pengobatan pasien serangan
jantung yang diobati dengan intervensi ACLS.
35
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2014. Bantuan hidup jantung lanjut (ACLS). Diunduh dari http://www.aclsindonesia.com/ pada 17 oktober 2014.
American Heart Association: Management of Cardiac Arrest.Circulation 2010;112;IV-58-IV66. Lippincott Williams & Wilkins, a division of Wolters Kluwer Health, 351 West Camden
Street, Baltimore.
Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR. ABC of Resuscitation 5th edition. BMJ Publishing
Group 2004.
Latief, SA. 2010. Resusitasi Jantung Paru. Dalam buku Petunjuk praktis Anestesiologi edisi
kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Neumar, RW et al. 2010. Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Dalam jurnal the American Heart Association part 8.
36