You are on page 1of 17

Pengujian Efek Antikonvulsi

I. Tujuan
- Mengetahui efek obat terhadap konvulsi pada hewan yang diberi striknin
berdasarkan pengamatan waktu timbulnya dan lamanya konvulsi.

II.

Prinsip
Penyuntikan antikonvulsi secara intraperitonial pada mencit menyebabkan

peningkatan lama konvulsi.


III. Teori
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.Secara pasti,
apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang memiliki muatan listrik
abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit, makapenderita hanya merasakan bau atau
rasa yang aneh. Jika melibatkan daerah yangluas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di
seluruh

tubuh.Penderita

juga

bisa

merasakan

perubahan

kesadaran,

kehilangan

kesadaran,kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi linglung


( Medicastore, 2008 ).
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul
karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi
ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagaietiologi namun dengan gejala tunggal yang
khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara
berlebihan ( Mardjono,1988 ).
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya
parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu
manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba
dan berkala adalah epilepsi ( Mardjono,1988 ).

Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik
atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus dalamotak yang menyebabkan
bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuronepileptic yang sensitif terhadap rangsang
disebut neuron epileptic. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi .Pada dasarnya,
epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
a. Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)
b. Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)
c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitanklonik
2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
a. Bangkitan parsial sederhana
b. bangkitan parsial kompleks
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan lain-lain ( Utama dan Gan, 2007 ).
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan
listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron
disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan
korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus
subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas subkorteks
akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi
dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan
retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi diensefalon
( Utama dan Gan, 2007 ).
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase,yakni fase
inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksifrekuensi tinggi yang
melibatkan peranan kanal ion Ca ++ dan Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang
dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel
(yang mendepolarisasi neuron disekitarnya), akumulasi C++ pada ujung akhir pre sinaps
(meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan
2

meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya.
Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat
menyebabkan epilepsy umum/epilepsy sekunder ( Arief, 2000 ).
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat inimerupakan obat
konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan cobakonvulsi ini berupa ekstensif
tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambarankonvulsi oleh striknin ini berbeda dengan
konvulsi oleh obat yang merangsanglangsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang
striknin ialah kontraksiekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik
yaitupendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi padahewan yang
hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsangmedula spinalis secara
langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkankerjanya pada medula spinalis dan
konvulsinya disebut konvulsi spinal ( Louisa dan Dewoto, 2007 ).
Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan
hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistemkardiovaskuler,
tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darahberdasarkan efek sentral striknin
pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus ototrangka juga berdasarkan efek sentral
striknin.pada hewan coba dan manusia tidakterbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin
digunakan sebagai perangsang nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya yang pahit
( Louisa dan Dewoto, 2007 ).
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segerameninggalkan
sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih daripada di jaringan lain. Stirknin
segera di metabolisme oleh enzim mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi
lengkap dalam waktu 10 jam, sebagian dalambentuk asal ( Gilman,2006 ).
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka danleher. Setiap
rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Padastadium awal terjadi
gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadikonvulsi tetanik. Pada stadium ini
badan berada dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja
yang menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti
karena kontraks iotot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi
3

danhebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi ototini


menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.Kematian biasanya
disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari
adanya gangguan napas dan kontraksi otot yanghebat dapat menimbulkan asidosis respirasi
maupun asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar
laktat dalam plasma ( Louisa dan Dewoto, 2007 ).
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebabdiazepam
dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresipost ictal, seperti yang
umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-selektif lain. Kadangkadang diperlukan tindakan anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada
keracunan yang hebat ( Rahman,2000 ).
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang danmembantu
pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untukmemperbaiki pernapasan. Dapat
pula diberikan obat golongan kurariform untukmengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung
dikerjakan bila diduga masih adastriknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas
lambung digunakan larutan KMnO4. 0,5 atau campuran yodium tingtur dan air (1:250) atau
larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik
(Rahman,2000 ).
Diazepam termasuk golongan obat benzidiazepin. Diazepam terutama digunakan
untuk terapi konvulsi rekuren, miksalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi
bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrrakter
terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku
dan ombak yang terjadi dalam satu detik ( Muzafar,2011 ).
Untuk mengatasi bangkitan status epilep tikus pada orang dewasa, disuntikkan 0,2
mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang
seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampaibeberapa jam. Dosis maksimal 20-30
mg. Sedangkan pada anak-anak dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,15-0,30 mb/kgBB
selama 2 menit dan dosis maksimal 5-10 mg. Diazepam dapat mengendalikan 80-90% pasien
bangkitan rekuren. Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1 mg/kgBB diazepam untuk
4

bayi dan anak di bawah 11 tahun dapat menghasilkan kadar 500 g/mL dalam waktu 2-6 menit
bagi anak yang lebih besar dan orang dewasa pemberian rectal tidak bermanfaat untuk
mengatasi kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapaidan kadar plasmanya rendah.
Walaupun diazepam telah sering digunakan untuk mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat
dipastikan kelebihan manfaatnya dibandingkan obat lain, seperti barbiturat atau anastesi umum;
untuk ini masih diperlukan suatu uji terkendali perbandingan efektivitas ( Muzafar,2011 ).
Mekanisme kerja diazepam adalah dengan pengikatan GABA (asam gama
aminobutirat) ke reseptornya pada membrane sel akan membuka salutan klorida, meningkatkan
efek konduksi korida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah
menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja
potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel, yang
terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP dan
lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Peningkatan benzodiazepine mamacu afinitas reseptor
GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan
lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan
neuron ( Mycek, 2001 ).
Efek samping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan diazepam intravena
ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Di samping ini dapat terjadi depresi
napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung dan kantuk ( Katzung,1997 ).

IV. Alat dan Bahan

Alat
a ) Alat suntik 1 ml

b ) Alat timbangan hewan

c ) Stopwatch

Bahan

a ) Larutan suspensi gom arab 1-2%


b ) Mecit putih jantan
c ) Obat Diazepam
d ) Obat Striknin
V. Prosedur
6

Pengujian dilakukan dengan membahagikan mencit kepada tiga


kelompok yaitu kelompok control,kelompok uji I,kelompok uji II.Semua
hewan

dari

setiap

kelompok

diberi

perlakuan

sesuai

dengan

kelompoknya.Kelompok control diberi larutan suspensi gom arab 1-2%,


kelompok uji I diberi obat diazepam dosis I, kelompok uji II diberi obat
diazepam

dosis

II.

Pemberian

obat

atau

zat

dilakukan

secara

intraperitoneal.Selepas 30 menit ,setiap mencit diberi striknin secara


subkutan.Setelah pemberian striknin,efek konvulsi ( onset ) dan waktu mati (
death time ) mencit diamati.Data yang diperoleh diamati secara statistik
berdasarkan analisis variansi dan kebermaknaan perbedaan lama waktu tidak
bergerak antara kelompok control dan kelompok uji.Data disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik.
VI.

Data Pengamatan
Kelompok
I
Kontrol
(PGA )

II
Obat Uji
( Diazepam dosis
I)
III
Obat Uji
( Diazepam dosis
II )
VII.

Mencit
Berat
1
10.5
2
19.0
3
16.4
4
20.3
Rata-rata
1
10.4
2
21.0
3
14.1
4
20.5
Rata-rata
1
10.8
2
20.0
3
17.0
4
20.5
Rata-rata

Onset time
6.30
5.26
8.21
8.00
7.03
7.32
3.45
14.00
10.00
8.69
10.43
14.26
15.00
14.00
13.42

Death time
11.11
7.44
23.21
12.00
13.44
32.60
5.30
40.00
53.00
32.72
11.10
30.33
53.00
56.00
37.60

Perhitungan

1. Dosis mencit ( intraperitoneal )

Dosis = weight ( g )

20

1
2

Kontrol
1.
2.
3.
4.

10.5/20
19.0/20
16.4/20
20.3/20

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.26 ml
0.47 ml
0.41 ml
0.50 ml

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.26 ml
0.52 ml
0.35 ml
0.51 ml

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.27 ml
0.50 ml
0.42 ml
0.51 ml

Obat uji dosis I


1.
2.
3.
4.

10.4/20
21.0/20
14.1/20
20.5/20

Obat uji dosis II


1.
2.
3.
4.

10.8/20
20.0/20
17.0/20
20.5/20

X
X
X
X

2. Dosis mencit ( subkutan )

Dosis = weight ( g )
20

1
4

Kontrol
1. 10.5/20 X 0.25 = 0.13 ml
2. 19.0/20 X 0.25 = 0.23 ml
8

3. 16.4/20 X 0.25 = 0.20 ml


4. 20.3/20 X 0.25 = 0.25 ml
Obat uji dosis I
1.
2.
3.
4.

10.4/20
21.0/20
14.1/20
20.5/20

X
X
X
X

0.25 =
0.25 =
0.25 =
0.25 =

0.13 ml
0.26 ml
0.17 ml
0.25 ml

0.25 =
0.25 =
0.25 =
0.25 =

0.13 ml
0.25 ml
0.21 ml
0.25 ml

Obat uji dosis II


1.
2.
3.
4.

10.8/20
20.0/20
17.0/20
20.5/20

X
X
X
X

3. Persen inhibisi onset

rata rata diameter onset uji rata rata


rata rata onset kontrol

onset kontrol

100%

Obat dosis I

Persen inhibisi onset

8.69 7.03
100%
7.03

23.61 %

Obat dosis II

Persen inhibisi onset

13.42 7.03
100%
7.03

90.89 %

4. Persen inhibisi death time

rata rata diameter death time uji rata rata


rata rata death time kontrol

death time kontrol

Obat dosis I

Persen inhibisi death time

32.72 13.44
100%
13.44

143.45 %

Obat dosis II

10

100%

Persen inhibisi death time

37.60 13.44
100%
13.44

179.76 %

Grafik

Figure 1 : Waktu onset vs obat yang diberikan

VIII.

Perbahasan
Percobaan kali ini memiliki tujuan untuk mengetahui efek obat

antikonvulsi kepada hewan percobaan yang diberi obat penginduksi striknin.


11

Aktivitas yang diamati adalah waktu konvulsi pada mencit sampai waktu mencit
tersebut mati. Pada percobaan kali ini obat penginduksi yang digunakan agar
terjadi konvulsi yaitu striknin, sedangkan obat yang akan diuji efektivitas
antikonvulsinya adalah diazepam.
Konvulsi adalah gerakan tidak normal akibat kontraksi oto yang
berlebihan dan tak terkendali yang diakibatkan oleh meningkatnya eksitabilitas
sistem sarafnya sampai pada batas tertentu. Konvulsi dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah induksi obat tertentu, seperti yang digunakan
dalam percobaan kali ini yaitu striknin. Striknin termasuk dalam obat perangsang
susunan saraf pusat. Striknin merupakan obat penginduksi terjadinya konvulsi
yang paling kuat dengan sifat kejang yang khas.
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonis kompetitif terhadap
transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps.
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian sistem saraf pusat.
Konvulsi yang disebabkan oleh striknin berupa ekstensi tonik dari badan dan
semua anggota gerak. Sifat khas kejang oleh striknin yaitu kontraksi ekstensor
yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik seperti pendengaran,
penglihatan dan perabaan serta dapat terjadi pada hewan yang hanya mempunyai
medula spinalis.
Obat antikonvulsi yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah
diazepam. Diazepam merupakan obat yang terbukti paling efektif dalam
mengatasi konvulsi. Diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan
potensiasi terhadap depresi post ictal seperti pada penggunaan barbiturat atau
depresi non-selektif lain. Diazepam terutama digunakan sebagai terapi epilepsi.
Parameter yang digunakan dalam percobaan ini adalah pengamatan waktu
saat kejang pertama hingga waktu saat hewan percobaan yang digunakan mati.
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit jantan yang mempunyai bobot
kurang lebih 20 gram. Mula-mula hewan dibagi menjadi tiga kelompok yang
terdiri dari mencit kontrol, mencit uji I dan mencit uji II, kemudian masingmasing mencit ditimbang, untuk menyesuaikan dosis intraperitonial (i.p.) yang
diberikan dengan berat badan mencit Setelah ditimbang, mencit kontrol disuntik
12

dengan NaCl fisiologis 1-2 % secara intraperitonial . Mencit uji I disuntik dengan
diazepam dosis I secara intraperitonial sebanyak . Mencit uji II disuntik dengan
diazepam dosis II secara intraperitonial .
Setelah pemberian obat tersebut, mencit didiamkan selama 30 menit,
dengan estimasi bahwa pada 30 menit obat tersebut telah bekerja di dalam tubuh
mencit. Pada mencit uji kontrol hanya digunakan NaCl fisiologis yang tidak
memiliki efek antikonvulsi. Mencit uji I diberikan diazepam pada dosis yang lebih
tinggi, sedangkan mencit uji II diberikan diazepam pada dosis yang lebih rendah.
Obat diazepam ini diberikan untuk mengatasi konvulsi yang diinduksi striknin.
Setelah 30 menit waktu pendiaman, mencit segera diinduksi dengan
striknin. Pada beberapa saat akan muncul konvulsi pertama dan dicatat waktu
konvulsi pertama tersebut, dan dicatat pula waktu saat konvulsi pertama hingga
waktu kematian mencit tersebut. Waktu konvulsi pertama setelah pemberian
striknin disebut onset, sedangkan waktu dari saat konvulsi pertama sampai
terjadinya kematian mencit disebut death time.
Berdasarkan

perlakuan

pemberian

penginduksi

dan

antikonvulsi,

seharusnya pada mencit kontrol yang memberikan aktivitas normal akan


memberikan onset yang lebih cepat karena tidak diberikan obat antikonvulsi
sehingga akan memberikan death time yang lebih cepat pula. Pada mencit uji II,
seharusnya mencit uji II akan memberikan onset yang jauh lebih lama daripada
mencit kontrol sehingga mencit uji akan memberikan death time yang lebih lama,
karena adanya obat antikonvulsi diazepam yang bekerja menghambat penginduksi
striknin. Demikian pula pada mencit uji I, akan memberikan onset yang lebih
lama daripada mencit uji II dan mencit kontrol karena diberikan dosis diazepam
yang lebih tinggi daripada mencit uji II, sehingga death time-nya akan lebih lama
pula.
Berdasarkan pada data pengamatan yang dihasilkan, rata-rata onset yang
dihasilkan oleh mencit kontrol yaitu 6,94 menit, pada mencit uji I menghasilkan
rata-rata onset 8,69 menit sedangkan pada mencit uji II menghasilkan rata-rata
onset13,42 menit.

13

Data ini menunjukkan bahawa diazepam mempunyai efek penghambatan


striknin. Namun, secara teoritis mencit uji II harus mempunyai onset yang lebih
cepat daripada mencit uji I. Terdapat beberapa faktor yang mendorong
penyimpangan tersebut. Contohnya, kejang pada mencit tidak jelas sehingga sukar
untuk menentukan masa onset dan menyebabkan masa onset yang dicatat lebih
lama dari yang sebetulnya.
Berdasarkan tabel, rata-rata death time yang dihasilkan oleh mencit
kontrol adalah23,76 menit, pada mencit uji I dihasilkan death time 32,73 menit
sedangkan mencit uji II menghasilkan death time 37.60 menit. Rata-rata death
time yang dihasilkan oleh mencit kontrol jauh lebih cepat daripada mencit uji I
dan mencit uji II. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi efek striknin yang
menimbulkan konvulsi yang jauh lebih cepat daripada mencit uji I dan II yang
diberikan obat antikonvulsi. Rata-rata death time yang lebih cepat tersebut
menunjukkan waktu induksi striknin terhadap mencit yang normal.
Pada mencit uji I, rata-rata death time yang dihasilkan lebih lama daripada
rata-rata death time yang dihasilkan oleh mencit kontrol. Hal ini terjadi karena
adanya penghambatan striknin oleh diazepam yang menunjukkan aktivitas
diazepam yang baik dalam menghambat striknin bila dibandingkan dengan mencit
kontrol yang tidak diberikan obat antikonvulsi yang menghambat penginduksi
striknin.
Pada mencit uji II, rata-rata death time yang dihasilkan lebih lama
daripada rata-rata death time yang dihasilkan oleh mencit kontrol dan mencit uji I.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi aktivitas penghambatan striknin oleh
diazepam bila dibandingkan dengan mencit kontrol, namun bila dibandingkan
dengan mencit uji I, mencit uji II seharusnya mrmpunyai death time yang lebih
cepat berbanding dengan mencit uji I karena dosis II adalah lebih rendah daripada
dosis I. Penyimpangan ini mungkin disebabkan karena kesilapan semasa
menjalani praktikum. Ternyata pada percobaan ini, mencit uji kelompok I tidak
mati dalam masa praktikum dijalankan sehingga andaian dibuat bahawa mencit
tersebut mati selepas masa praktikum tamat. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan kejadian ini, antaranya ialah dosis diazepam yang terlalu tinggi
14

sehingga efek striknin dihambat. Selain itu,kejadian ini mungkin disebabkan


pemberian striknin dengan dosis yang salah. Pada pemberian striknin, striknin
harus dikocok dahulu supaya dosisnya homogen.

VIII.

Kesimpulan
Daripada percobaan kali ini,efek obat terhadap konvulsi pada hewan diberi

striknin telah diketahui berdasarkan waktu timbulnya dan lamanya


konvulsi.Persen inhibisi onset pada dosis I adalah 23.61% dan pada dosis II
adalah 90.89%.Persen inhibisi death time pada dosis I adalah 143.45% dan pada
dosis II adalah 179.76%.

Daftar pustaka

15

Arief, 2000 , Konvulsi, available online at : http://fkunsri. wordpress .com


/2000/02/09 /konvulsi-part-1/ [ Diakses pada

4 Mei 2012 ]

Gilman's, 2006.The Pharmacologic Basis of Therapeutics- 11th Ed.available


online at : http://digilib.unsri.ac.id/download/MGSO4%20.pdf [ Diakses
pada 4 Mei 2012]
Katzung Bertram G, 1997. Basic and clinical pharmacology -10 th Edition.
University of California, San Francisco
Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam
: Farmakologi dan

Terapi,edisi 5. Departemen Farmakologi dan

Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia : Jakarta

Mardjono,Mahar.(1988).Kegunaan Buku Teks Obat-obatan,Jakarta,Gaya Baru


Medicastore, 2008. Dinamika Obat.Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB
Muzafar,2011 , Anti Kejang.available online at :

http://www.

farmasiku

.com/index.php?target=categories&category_id=171 [ Diakses

pada

4 Mei 2012 ]
Mycek,2000

,Bagian

Farmakologi

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia.Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas

Indonesia

Rahman ,2000 , . Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek


Sampingnya, Edisi kelima. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.

16

Utama dan Gan,2007, Farmakologi dan Terapi, UI Press, Jakarta

17

You might also like