You are on page 1of 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Perubahan Citra tubuh


1.1

Pengertian
Perubahan merupakan suatu proses dimana terjadinya peralihan atau

perpindahan dari status tetap (statis) menjadi status yang bersifat dinamis artinya
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Perubahan dapat mencakup
keseimbangan personal, sosial maupun organisasi untuk dapat menjadikan
perbaikan atau penyempurnaan serta dapat menerapkan ide atau konsep terbaru
dalam mencapai tujuan tertentu (Hidayat, 2007).
Pada pasien yang dirawat di rumah sakit umum, perubahan citra tubuh sangat
mungkin terjadi. Stresor pada tiap perubahan adalah perubahan ukuran tubuh, berat
badan yang turun akibat penyakit, perubahan bentuk tubuh, tindakan invasif, seperti
operasi dan suntikan daerah pemasangan infus. Perubahan struktur, sama dengan
perubahan bentuk tubuh disertai dengan pemasangan alat di dalam tubuh. perubahan
fungsi berbagai penyakit yang dapat merubah sistem tubuh, keterbatasan gerak,
makan, kegiatan, penampilan dan cara merias diri berubah, pemasangan alat pada
tubuh pasien (infus, traksi, respirator, suntik, pemeriksaan tanda vital, dan lain-lain)
(Harnawatiaj, 2008).
Menurut Honigman dan Castle, body image adalah gambaran mental
seseorang

terhadap

bentuk

dan

ukuran

tubuhnya,

bagaimana

seseorang

mempersepsikan dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan
7
terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan bagaimana kira-kira penilaian orang lain

Universitas Sumatera Utara

terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu
benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil
penilaian diri yang subyektif (Dewi, 2009).
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara
internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang
ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang
karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dari pandangan orang lain
(Potter & Perry, 2005).
Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya, baik secara sadar
maupun tidak sadar, meliputi performance, potensi tubuh, fungsi tubuh serta
persepsi dan perasaan tentang ukuran tubuh dan bentuk tubuh (Sunaryo, 2004).
Sejak lahir individu mengeksplorasikan bagian tubuhnya, menerima reaksi tubuhnya
dan menerima stimulus orang lain. Pandangan realistis terhadap diri, menerima dan
menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman, terhindar dari rasa cemas dan
menigkatkan harga diri. Persepsi dan pengalaman individu terhadap tubuhnya dapat
mengubah citra tubuh secara dinamis. Persepsi orang lain dilingkungan pasien
terhadap tubuh pasien turut mempengaruhi penerimaan pasien pada dirinya (Keliat,
1998).
Citra tubuh adalah bagaimana cara individu mempersepsikan tubuhnya, baik
secara sadar maupun tidak sadar yang meliputi ukuran, fungsi, penampilan, dan
potensi tubuh berikut bagian-bagiannya. Dengan kata lain, citra tubuh adalah
kumpulan sikap individu, baik yang disadari ataupun tidak yang ditujukan terhadap
dirinya. Beberapa hal terkait citra tubuh antara lain:
a)

Fokus individu terhadap bentuk fisiknya.

Universitas Sumatera Utara

b)

Cara individu memandang dirinya berdampak penting terhadap

aspek

psikologis individu tersebut.


c)

Citra tubuh seseorang sebagian dipengaruhi oleh sikap dan respon orang
lain terhadap dirinya, dan sebagian lagi oleh eksplorasi individu terhadap
dirinya.

d)

Gambaran yang realistis tentang menerima dan menyukai bagian tubuh akan
memberi rasa aman serta mencegah kecemasan dan meningkatkan harga
diri.

e)

Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap citra tubuhnya dapat
mencapai kesuksesan dalam hidup (Mubarak, Wahit & Chayatin, 2008).

1.2

Gangguan Citra Tubuh


Citra tubuh membangun sebuah kompleks yang didefenisikan oleh kita

persepsi, pikiran dan perasaan mengenai pengalaman tubuh yang tertanam dan
dibentuk dalam konteks sosial budaya kita tidak hanya menyediakan rasa diri, citra
tubuh juga mempengaruhi bagaimana kita berpikir, bertindak dan berhubungan
dengan orang lain, yang tiba-tiba perubahan dalam satu penampilan fisik sebagai
hasil dari pekerjaan yang berhubungan dengan amputasi dapat hadir signifikan dan
kompleks sebagai tantangan psikologis (Wald & Alvaro, 2004).
Gangguan citra tubuh biasanya melibatkan distorsi dan persepsi negatif
tentang penampilan fisik mereka. Perasaan malu yang kuat, kesadaran diri dan
ketidaknyamanan sosial sering menyertai penafsiran ini. Sejumlah perilaku
menghindar sering digunakan untuk menekan emosi dan pikiran negatif, seperti
visual menghindari kontak dengan sisa ekstremitas, mengabaikan kebutuhan
perawatan diri dari sisa ekstremitas dan menyembunyikan sisa ekstremitas lain.

Universitas Sumatera Utara

Pada akhirnya reaksi negatif ini dapat mengganggu proses rehabilitasi dan
berkontribusi untuk meningkatkan isolasi sosial (Wald & Alvaro, 2004).

Individu yang mempunyai gangguan bentuk tubuh bisa tersembunyi atau


tidak kelihatan atau dapat juga meliputi suatu bagian tubuh yang berubah secara
signifikan dalam bentuk struktur yang disebabkan oleh rasa trauma atau penyakit.
Beberapa

individu

boleh

juga

menyatakan

perasaan

ketidakberdayaan,

keputusasaan, dan kelemahan, dan boleh juga menunjukkan perilaku yang bersifat
merusak terhadap dirinya sendiri, seperti penurunan pola makan atau usaha bunuh
diri. (Kozier, 2004).

Suatu gangguan citra tubuh dapat diketahui perawat dengan mewawancarai


dan mengamati pasien secara berhati-hati untuk mengidentifikasi bentuk ancaman
dalam citra tubuhnya (fungsi signifikan bagian yang terlibat, pentingnya
penglihatan dan penampilan fisik bagian yang terlibat); arti kedekatan pasien
terhadap anggota keluarga dan anggota penting lainnya dapat membantu pasien dan
keluarganya (Kozier, 2004).

Respon pasien terhadap kelainan bentuk atau keterbatasan meliputi


perubahan dalam kebebasan. Pola ketergantungan dalam komunikasi dan
sosialisasi. Respon terhadap kelainan bentuk atau keterbatasan dapat berupa:

1. Respon penyesuaian: menunjukkan rasa sedih dan duka cita (rasa shock,
kesangsian, pengingkaran, kemarahan, rasa bersalah atau penerimaan)

2. Respon mal-adaptip: lanjutan terhadap penyangkalan yang berhubungan dengan


kelainan bentuk atau keterbatasan yang tejadi pada diri sendiri. Perilaku yang

Universitas Sumatera Utara

bersifat merusak, berbicara tentang perasaan tidak berharga atau perubahan


kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Respon terhadap pola kebebasan ketergantungan dapat berupa:

1. Respon penyesuaian: merupakan tanggung jawab terhadap rasa kepedulian


(membuat keputusan) dalam mengembangkan perilaku kepedulian yang baru
terhadap diri sendiri, menggunakan sumber daya yang ada, interaksi yang saling
mendukung dengan keluarga.

2. Respon mal-adaptip: menunjukkan rasa tanggung jawab akan rasa kepeduliannya


terhadap yang lain yang terus-menerus bergantung atau dengan keras menolak
bantuan.

Respon terhadap Sosialisasi dan Komunikasi dapat berupa:

1. Respon penyesuaian: memelihara pola sosial umum, kebutuhan komunikasi dan


menerima tawaran bantuan, dan bertindak sebagai pendukung bagi yang lain.

2. Respon mal-adaptip: mengisolasikan dirinya sendiri, memperlihatkan sifat


kedangkalankepercayaan diri dan tidak mampu menyatakan rasa (menjadi diri
sendiri, dendam, malu, frustrasi, tertekan) (Carol, 1997).

1.3

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Citra Tubuh


Citra tubuh dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik.

Perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan


mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan
aspek lainnya dari konsep diri. Selain itu, sikap dan nilai kultural dan sosial juga

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi citra tubuh. Pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan


fisik dan oleh persepsi dan pandangan orang lain. Cara individu memandang dirinya
mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang
realistik terhadap dirinya, menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan
membuatnya lebih merasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan
meningkatkan harga diri. Proses tumbuh kembang fisik dan kognitif perubahan
perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek
penampakan yang lebih besar pada tubuh bila dibandingkan dengan aspek lain dari
konsep diri (Potter & Perry, 2005).
1.4

Negatif dan Positif Citra Tubuh


Citra tubuh yang negatif merupakan suatu persepsi yang salah mengenai

bentuk individu, perasan yang bertentangan dengan kondisi tubuh individu


sebenarnya. Individu merasa bahwa hanya orang lain yang menarik dan bentuk
tubuh dan ukuran tubuh individu adalah sebuah tanda kegagalan pribadi. Individu
merasakan malu, self-conscious, dan khawatir akan badannya. Individu merasakan
canggung dan gelisah terhadap badannya (Dewi, 2009).
Citra Tubuh yang positif merupakan suatu persepsi yang benar tentang
bentuk individu, individu melihat tubuhnya sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Individu menghargai badan/tubuhnya yang alami dan individu memahami bahwa
penampilan fisik seseorang hanya berperan kecil dalam menunjukkan karakter
mereka dan nilai dari seseorang. Individu merasakan bangga dan menerimanya
bentuk badannya yang unik dan tidak membuang waktu untuk mengkhawatirkan
makanan, berat badan, dan kalori. Individu merasakan yakin dan nyaman dengan
kondisi badannya (Dewi, 2009).

Universitas Sumatera Utara

1.5

Tanda

dan

gejala

gangguan

citra

tubuh

Adapun tanda dan gejala dari gangguan citra tubuh yaitu menolak melihat
dan menyentuh bagian tubuh yang berubah, tidak menerima perubahan tubuh yang
telah terjadi/akan terjadi, menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif
pada tubuh, preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan
keputusasaan, mengungkapkan ketakutan (Harnawatiaj, 2008).

1.6

Pengkajian
Pengkajian perubahan citra tubuh terintegrasi dengan pengkajian lain. Setelah

diagnosa, tindakan operasi dan program terapi biasanya tidak segera tampak respon
pasien terhadap perubahan-perubahan. Tetapi perawat perlu mengkaji kemampuan
pasien untuk mengintegrasikan perubahan citra tubuh secara efektif (Keliat, 1998).

1.7

Diagnosa Keperawatan
Selama pasien dirawat, perawat melakukan tindakan untuk diagnosa

potensial, dan akan dilanjutkan oleh perawat di Unit Rawat Jalan untuk memonitor
kemungkinan diagnosa aktual.
Beberapa diagnosa gangguan citra tubuh adalah potensial gangguan citra tubuh
yang berhubungan dengan efek pembedahan serta menarik diri yang berhubungan
dengan perubahan penampilan (Keliat, 1998).
1.8 Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan tindakan keperawatan bagi pasien perubahan citra tubuh adalah
meningkatkan keterbukaan dan hubungan saling percaya, peran serta pasien sesuai

Universitas Sumatera Utara

dengan kemampuan yang dimiliki, mengidentifikasi perubahan citra tubuh,


menerima perasaan dan pikirannya, menetapkan masalah yang dihadapinya,
mengidentifikasi kemampuan koping dan sumber pendukung lainnya, melakukan
tindakan yang dapat mengembalikan integritas diri (Keliat, 1998).
Setelah seluruh tujuan diatas tercapai maka pasien dapat mengintegrasikan
pada konsep dirinya perubahan citra tubuh yang terjadi.
a.

Membina hubungan perawat pasien yang terapeutik. Biasanya dimulai pada


saat diagnosa, berlanjut melalui proses integrasi, dan dapat diperkirakan
sukses antara 1-2 tahun. Hubungan perawat pasien yang saling percaya perlu
untuk program pendidikan, dukungan, konseling dan rujukan.
b. Memberikan pendidikan kesehatan. Pada fase awal pasien disiapkan untuk
menghadapi perubahan citra tubuh. Pada fase perubahan, bantu pasien untuk
melakukan tindakan yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Isi
informasi berkaitan dengan cara-cara penyelesaian masalah, misalnya cara
mengatasi rasa bersalah, perasaan negatif tentang diri dan sebagainya.
c. Dorong pasien untuk merawat diri dan berperan serta dalam proses
keperawatan. Peran serta pasien dalam merawat diri akan mempercepat proses
penerimaan terhadap perubahan tubuh yang dialami, hendaknya dilakukan
secara bertahap dan berlanjut.
d. Tingkatkan peran serta sesama pasien. Anggota kelompok pasien dengan
masalah yang sama dapat memberikan dukungan bahwa apa yang dirasakan
pasien adalah normal dan ada jalan keluarnya. Jika belum ada kelompok yang
permanen, dapat dipilih pasien di ruangan yang mempunyai masalah yang
sama dan telah menyelesaikan masalah dengan baik.

Universitas Sumatera Utara

e. Tingkatkan dukungan keluarga pasien terutama pasangan pasien. Bantu


pasangan mengatasi masalah sendiri sebelum ia membantu pasien. Waktu
kunjungan yang teratur dan bergantian antar anggota keluarga, beri pendapat
tentang makna perubahan tubuh pasien, dan membicarakannya dengan pasien.
f. Membantu pasien memutuskan alternatif tindakan yang dapat mengurangi
seminimal mungkin perubahan gambaran tubuh.
g. Rehabilitasi bertahap untuk adaptasi terhadap perubahan, misalnya berjalan
dengan tongkat pada amputasi (Keliat, 1998).

1.9

Evaluasi
Keberhasilan tindakan terhadap perubahan gambaran tubuh pasien dapat

diidentifikasi melalui perilaku pasien yaitu memulai kehidupan sebelumnya,


termasuk hubungan interpersonal dan sosial, pekerjaan dan cara berpakaian,
mengemukakan perhatiannya terhadap perubahan citra tubuh, memperlihatkan
kemampuan koping, kemampuan meraba, melihat, memperlihatkan bagian tubuh
yang

berubah, kemampuan mengintegritasikan perubahan dalam kegiatan

(pekerjaan, rekreasi dan seksual), harapan yang disesuaikan dengan perubahan yang
terjadi, mampu mendiskusikan rekonstruksi (Keliat, 1998).
Penyesuaian terhadap perubahan citra tubuh melalui proses seperti berikut:
1) Syok psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan
dapat terjadi pada saat pertama pembuatan stoma ditetapkan sebagai tindakan
atau pada saat stoma telah ada (paska operasi). Syok psikologis digunakan
sebagai reaksi terhadapa ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan

Universitas Sumatera Utara

perubahan tubuh membuat pasien menggunakan mekanisme pertahanan seperti


mengingkari, menolak, projeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri.
2) Menarik diri, pasien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan
tetapi karena tidak mungkin maka pasien menghindari/lari secara emosional.
Pasien menjadi positif, tergantung, tidak ada motivasi dan keinginan untuk
berperan dalam perawatannya.
3) Penerimaan/pengakuan secara bertahap. Setelah pasien sadar akan kenyataan
manka respon kehilangan/ berduka muncul. Setelah fase ini pasien mulai
melakukan reintegrasi dengan citra tubuh yang baru.
4) Integrasi merupakan proses yang panjang dapat mencapai beberapa bulan, oleh
karena itu perencanaan pulang dan perawatan dirumah perlu dilaksanakan.
Pasien tidak sesegera mungkin dilatih (Keliat, 1998).
2. Konsep Amputasi
2.1.

Pengertian Amputasi
Amputasi berasal dari kata amputare yang kurang lebih diartikan

pancung. Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh


sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang
dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada
ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain,
atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh pasien secara
utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi
infeksi.
Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh
seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten

Universitas Sumatera Utara

kardiovaskuler. Lebih lanjut ia dapat menimbulkan masalah psikologis bagi pasien


berupa penurunan citra- diri (Harnawatiaj, 2008).
Amputasi pada ekstremitas bawah sering dipergunakan sebagai akibat
penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai sisa diabetes melitus), ganggren,
trauma (cedera remuk, luka bakar, luka bakar dingin atau luka bakar listrik),
deformitas kongenital atau tumor ganas. Dari semua penyebab tadi, penyakit
vaskuler perifer merupakan penyebab yang tertinggi pada amputasi ekstremitas
bawah (Suzane & Brenda 2002).
Kehilangan ekstremitas atas memberikan masalah yang berbeda bagi pasien
dari pada kehilangan ekstremitas bawah karena ekstremitas atas mempunyai fungsi
yang sangat spesialistis. Alasan utama amputasi ekstemitas atas adalah trauma berat
(cedera akut, luka bakar listrik, atau luka bakar dingin), tumor ganas, infeksi (gas
ganggren, fulminan, atau osteomielitis kronis), dan malformasi kongenital (Suzane
& Brenda 2001).
Pasien akan mengalami gangguan konsep diri berhubungan dengan
perubahan citra tubuh sekunder terhadap amputasi, pasien menyatakan berduka
tentang kehilangan bagian tubuh, mengungkapkan negatif tentang tubuhnya dan
depresi sehingga perlu melibatkan dalam melakukan perawatan diri yang langsung
berupa perawatan luka, mandi, menggunakan pakaian dan memberi dukungan
moral, mendorong antisipasi, meningkatkan adaptasi pada perubahan citra tubuh,
meningkatkan status mental pasien, memfasilitasi penerimaan terhadap diri
(Harnawatiaj, 2008).
2.2.

Faktor penyebab terjadinya Amputasi

Universitas Sumatera Utara

Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi seperti fraktur multiple organ
tubuh yang tidak mungkin diperbaiki, kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin
diperbaiki, gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat, infeksi yang
berat atau berisiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya, adanya tumor pada
organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif, deformitas organ (
Harnawatiaj, 2008).

2.3.

Tipe amputasi
2.3.1 Amputasi Terbuka
Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi yang berat dimana
pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Yang memerlukan
tekhnik aseptik ketat dan revisi lanjut.
2.3.2

Amputasi Tertutup
Amputasi

tertutup

dilakukan

dalam

kondisi

yang

lebih

memungkinkan dimana dibuat skait kulit untuk menutup luka yang dibuat
dengan memotong kurang lebih 5 m di bawah potongan otot dan tulang.
Berdasarkan pelaksanaannya, amputasi dibedakan menjadi:
a) Amputasi Selektif/ Terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan
mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus.
Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternative terakhir.
b) Amputasi Akibat Trauma
Amputasi akibat trauma merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat
trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah

Universitas Sumatera Utara

memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum


pasien.
c) Amputasi Darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan.
Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti
pada trauma dengan patah tulang multipel dan kerusakan/ kehilangan
kulit yang luas ( Harnawatiaj, 2008).

2.4.

Penatalaksanaan
2.4.1 Tingkat Amputasi
Amputasi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat
mencapai penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan
berdasarkan dua faktor yaitu peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan
fungsional.

Tujuan pembedahan adalah mempertahankan sebanyak mungkin


panjang ekstremitas konsisten dengan pembasmian proses penyakit.
Mempertahankan lutut dan siku adalah pilihan yang diinginkan. Hampir
pada semua tingkat amputasi dapat dipasangi protesis.

2.4.2

Sisa Tungkai
a. Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka
amputasi, menghasilkan sisa tungkai yang tidak nyeri tekan,
dengan kulit yang sehat untuk penggunaan protesis.

Universitas Sumatera Utara

b. Balutan rigid tertutup. Balutan rigid tertutup sering digunakan


untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan
lunak, mengontrol nyeri, dan mencegah kontraktur.

c. Balutan lunak. Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat


digunakan bila diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai
kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan.
Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat drainase luka
untuk meminimalkan infeksi.
2.4.3

Amputasi bertahap. Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada

gangren atau infeksi (Henry, 2009).

2.5.

Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi dan kerusakan kulit.

Karena adanya pembuluh darah yang besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan
massif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan, dengan peredaran darah
buruk atau terkontaminasi luka setelah amputasi traumatika, dimana risiko infeksi
meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat prostetis dapat
menyebabkan kerusakan kulit ( Suzane & Brenda, 2001).
Kejadian klinis umum sering menjadi sumber ketidak nyamanan untuk
kebanyakan pasien adalah sensasi fantom limb. Rasional untuk fenomena ini tidak
jelas tetapi diyakini berhubungan dengan inflamasi potongan ujung saraf. Meskipun
jarang, sensasi fantom limb dapat menjadi kronis, masalah berat yang memerlukan
intervensi lebih agresif seperti blok saraf, psikoterapi, terapi obat, stimulasi saraf
listrik atau eksisi neuroma (Engram, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.6.

Indikasi Amputasi
Adapun indikasi amputasi yaitu penyakit vascular perifer yang tidak dapat
direkonstruksi dengan nyeri iskemik atau infeksi yang tidak dapat ditoleransi
lagi, nyeri atau infeksi yang tidak dapat di toleransi lagi dalam pasien yang
tidak dapat bergerak dengan penyakit vaskuler perifer, infeksi yang
menyebar secara luas dan tidak responsive terdapat terapi konservatif, tumor
yang responsnya buruk terhadap terapi nonoperatif, trauma yang cukup luas
sehingga tidak memungkinkan untuk direparasi.

2.7.

Prosedur
2.7.1 Amputasi ibu jari kaki: Tingkat transfalangeal dapat digunakan jika
nekrosis terletak dari distal ke proksimal sendi interfalangeal.
2.7.2 Amputasi transmetatarsal: Prosedur ini digunakan jika nekrosis
memanjang dari proksimal ke proksimal sendi interfalangeal, tetapi
distal dari kaput metatarsal pada permukaan plantar. Flap plantar
panjang sering digunakan, memotong tulang metatarsal pada posisi
tengah.
2.7.3 Amputasi syme: Prosedur ini biasanya digunakan jika kaki telah
hancur

oleh trauma.

Amputasi

ini

menyelamatkan panjang

ekstremitas, mengangkat kaki antara talus dan kalkaneus.


2.7.4 Amputasi dibawah lutut (BL): Prosedur ini umumnya dilakukan pada
penyakit vascular perifer stadium akhir. Prosedur ini memberikan
rehabilitasi yang sangat baik karena dapat menyelamatkan sendi
lutut. Kontraktur lutut atau panggul merupakan kontra indikasi dari

Universitas Sumatera Utara

prosedur ini. Teknik flap posterior panjang umumnya digunakan, dan


suatu prosthesis kadang-kadang digunakan segera setelah operasi.
2.7.5 Amputasi di atas lutut (AL): Amputasi ini memegang angka
penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskular perifer.
Suatu amputasi AL yang tidak sembuh merupakan situasi yang tidak
menyenangkan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Flap kulit
anterior dan posterior umumnya memberikan panjang yang sama,
menggunakan insisi mulut ikan
2.7.6 Disartikulasi panggul dan hemipelvektomi: Prosedur ini biasanya
dilakukan untuk tumor ganas dari tungkai. Mungkin kadang-kadang
dilakukan pada penyakit vascular perifer, tetapi biasanya mempunyai
hasil yang buruk.
2.7.7 Amputasi ekstremitas atas: Kebanyakan amputasi ini dilakukan
dalam kasus-kasus trauma. Penyakit keganasan merupakan indikasi
berikutnya yang paling umum. Penyakit penyumbatan arteri jarang
yang membutuhkan amputasi ekstremitas atas; tetapi amputasi jarijari sering dilakukan pada pasien dengan penyakit vaskular kolagen
dan penyakit Buerger (Jong, 2005).
2.8.

Pengkajian Psikologis, Sosial, dan Spiritual


Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada

kondisi psikologis (respon emosi) pasien yaitu adanya kemungkinan terjadi


kecemasan pada pasien melalui penilaian pasien terhadap amputasi yang akan
dilakukan, penerimaan pasien pada amputasi dan dampak amputasi terhadap gaya
hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping itu juga

Universitas Sumatera Utara

dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri pasien dengan memperhatikan
tingkat persepsi pasien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri pasien dengan
meninjau persepsi pasien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan
dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh pasien sendiri, pandangan pasien
terhadap rendah dalam antisipasif, gangguan penampilan peran dan gangguan
identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama
dan bersama-sama dengan pasien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan
pemilihan koping konstruktif. Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum
seperti terjadinya gangguan fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan
dengan pasien setelah pasien benar-benar siap untuk menjalani operasi amputasi itu
sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri pasien untuk berusaha berbuat yang baik
bagi kesehatan dirinya. (Harnawatiaj, 2008).

Universitas Sumatera Utara

You might also like