You are on page 1of 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi
sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi
psikososial

yang

berat

bagi penyandangnya

(pendidikan

yang

rendah,

pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak
menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa
anak-anak.
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia
berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan
80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa
rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang
penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi
dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian
yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif,
dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja,
permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks. Penyandang
epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan
interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka
memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang
berhubungan dengan epilepsi.
Penyandang epilepsi memiliki risiko kematian yang relatif lebih tinggi
dibanding populasi normal. Berbagai penelitian terdahulu menggunakan
Standarized Mortality Ratio (SMR). Standarized Mortality Ratio (SMR)
merupakan rasio antara jumlah kematian pada penyandang epilepsi dalam suatu
waktu tertentu dibanding kematian pada populasi normal/reference population.

Penyandang epilepsi juga memiliki risiko kematian mendadak yang tidak


terjelaskan/ SUDEP (Sudden Unexplained Death in Epileps. Di antara berbagai
penelitian, penelitian Shackleton dkk (1999) dan Camfield dkk (2002) yang paling
menarik untuk disimak. Penelitian ini menggunakan jumlah subyek yang besar
dengan pengamatan prospektif jangka panjang. Hasil penelitian Shackleton dkk
(1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang
epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang . Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk
(1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang. Penelitian Shackleton dkk
(1999) menyimpulkan bahwa risiko kematian meningkat pada penyandang yang
berumur kurang dari 20 tahun. Standardized Mortality Ratio (SMR) pada laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan . Penelitian Camfield dkk (2002) menunjukkan
bahwa prediktor utama terjadinya kematian pada penyandang epilepsi anak-anak
adalah adanya defisit neurologis yang menyertai epilepsy.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah
1. Mengetahui defenisi epilepsi
2. Mengetahui etiologi epilepsi
3. Mengetahui tanda dan gejala epilepsi
4. Mengetahui patofisiologi epilepsi
5. Mengetahui askep pada anak yang menderita epilepsi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Epilepsi


Ayan atau epilepsi berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti
'serangan'. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh
gangguan fungsi otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang memberi
manifestasi berupa gangguan, atau kehilangan kesadaran, gangguan motorik,
sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat episodik.Epilepsi adalah
suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang
(lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan definisi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi
yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul
sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang
terjadi di otak.

2.2 Etiologi Epilepsi


Penyebab epilepsi antara lain :
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi,
minum alkohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.

5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak


6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan
pada anak.
9. Kurang tidur dan terlalu lelah. Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari
sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan.

2.3 Klasifikasi Epilepsy


2.3.1 Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :
1. Kejang Umum (generalized seizure) jika aktivasi terjadi pada kedua
hemisfere otak secara bersama-sama .
Kejang umum terbagi atas:
a. Tonic-clonic convulsion = grand mal merupakan bentuk paling banyak
terjadi dan pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air
liur ,bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah dan terjadi
beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau
tidur.
b. Abscense attacks = petit mal merupakan jenis yang jarang terjadi ,
umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja ditandai
dengan penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai dan kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering
tidak disadari
c. Myoclonic seizure biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur
dimana pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba
d. Atonic seizure merupakan jenis epilepsy yang jarang terjadi dimana pasien

tiba-tiba kehilangan kekuatan otot kemudian jatuh, tapi bisa segera recovered.
2. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak
Kejang parsial terbagi menjadi :
a. Simple partial seizures dimana pasien tidak kehilangan kesadaran dan

terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh


b. Complex partial seizures dimana pasien melakukan gerakan-gerakan tak

terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran


2.3.2 Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan
penyebabnya
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf
pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi sekunder yaitu yang penyebabnya diketahui.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau
akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan
karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan
otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
2.4 Tanda dan Gejala Epilepsi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,epilepsi tipe bangkitan umum
sekunder merupakan tipe yang serangannya berkembang dari serangan yang
awalnya bersifat parsial baik sederhana maupun kompleks yang kemudian
menjadi serangan yang bersifat umum. Bangkitan parsial dapat dimulai sebagai

bangkitan parsial sederhana, kemudian dapat disusul dengan bangkitan umum


sekunder, atau bangkitan parsial sederhana berubah menjadi bangkitan parsial
kompleks dulu disusul oleh bangkitan umum.Bangkitan umum biasanya bersifat
tonik-klonik.
-

Kejang parsial simplek


Dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap
terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau
kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang terkena.
Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan,
maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada
lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau
yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita
yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami deja vu (merasa pernah
mengalami keadaan sekarang dimasa yang lalu).

Kejang parsial (psikomotor) kompleks


dimulai dengan hilangnya kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya
selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan lengan dan
tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suarasuara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan
dan

menolak

bantuan.

Kebingungan berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan


penyembuhan total.
-

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Biasanya dimulai dengan kelainan muatan listrik pada daerah otak yang
terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan
menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi. Kejang ini paling
banyak terjadi dan pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar
air liur ,bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah dan terjadi
beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.
2.4 Patofisiologi

Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron yang berhubungan satu


dengan yang lain melalui sinaps. Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan
listriknya. Fenomena ini elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologiknya berupa
gerakan otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana
yang melepaskan muatan listriknya. Bila neuron di daerah somatosensorik yang
melepaskan muatannya, timbullah perasaan propriotif atau proprioseptif.
Demikian pula akan timbul perasaan pancaindera apabila neuron daerah korteks
yang melepaskan muatan listriknya. Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan
muatan listriknya karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial
postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion
K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan
Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler.
Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Potensial aksi itu disalurkan melalui akson yang bersinaps dengan dendrit neuron
lain. Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi
membran neuron berikutnya. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi

potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.
Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat
menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan
listriknya. Beberapa penyelidikan mengungkapkan bahwa neurotransmitter
acetylcholine merupakan zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik.
Jika jumlah zat tersebut telah cukup tertimbun pada permukaan otak, maka
pelepasan muatan oleh neuron-neuron kortikal dipermudah. Pada jejas otak
terdapat lebih banyak acetylcholine daripada otak yang sehat. Pada tumor serebri
atau adanya sikatris setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari
meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma, dapat terjadi penimbunan
setempat dari acetylcholine, sehingga pada tempat tersebut akan terjadi pelepasan
muatan listrik neuron-neuron. Penimbunan acetylcholine setempat harus mencapai
suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga
dapat memicu lepasnya muatan listrik. Oleh karena itulah fenomena lepas muatan
listrik epileptik terjadi secara berkala.

Kejang fokal dapat berubah menjadi jenis kejang lain melalui beberapa
tingkatan, hal ini menunjukan adanya penyebaran lepasan listrik ke berbagai
bagian otak.
Jika kejang bersifat generalisata, lepas muatan listrik yang berlebihan akan
menyebar ke bagian otak secara luas. Penyebaran yang mencapai 2/3 bagian otak
akan mengakibatkan penurunan kesadaran. Pada serangan parsial yang berlanjut
menjadi serangan umum sekunder seringkali serangan umum tidak bersifat umum
dari mulanya, tetapi berkembang dari serangan yang pada awalnya bersifat
parsial. Serangan parsial ini mungkin sederhana atau kompleks dan dalam waktu
singkat menjadi bersifat umum. Pada kasus demikian ini, serangan parsial
mungkin dialami sebagai suatu aura (peringatan).

2.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Tahap pertama mengevaluasi penderita dengan kemungkinan epilepsy
adalah menetapkan apakah penderita menderita kejang atau tidak. Sering
penderita datang dalam keadaan tidak sadar,sehingga gambaran bangkitan
sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Ini sering bergantung pada
kepandaian pemeriksa untuk menentukan pola bangkitan dan kepandaian saksi
mata dalam melukiskan bangkitan. Untuk penentuan penyebab dari kejang, dokter
harus menentukan apakah ada anamnesa family dengan epilepsy, trauma kepala,
kejang demam, infeksi telinga tengah atau sinus atau gejala dari keganasan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, termasuk tanda-tanda trauma
kepala, infeksi dari telinga atau sinus ataupun keganasan.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. EEG (elektroensefalogram) merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas
listrik di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko.
Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di
dalam otak. Setelah terdiagnosis.
b. Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk:
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
c. EKG (elektrokardiogram)
EKG dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai
akibat dari tidak
adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami
pingsan.
d. CT scan dan MRI
CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak,
stroke, jaringan
parut dan kerusakan karena cedera kepala.
e. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi
otak

2.5 Pengobatan
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama
pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine,
fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan
sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis
pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun
penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus

10

ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak
mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.
1.Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang
terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial
saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron
pada pelepasan neurotransmitter.
2.Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam
membran sinaptik.
3.Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik,
sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik
dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl - pada GABAA. Pada
tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik,
bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cldan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti
fwnitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang
diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf
dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.
4.Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABAtransaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua
pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.VPA bekerja pada saluran Na peka
voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron.VPA memblokade
rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.
5.Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran
Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
6.Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.
7.Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari
GABA.
8.Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya
11

Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan
efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital,
fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia,
osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan
gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin
dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan
polikistik ovari dan hiperandrogenisme.

2.5 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a) Observasi kejang ( sebelum,selama, dan setelah kejang)
Hal yang harus diobservasi dengan dengan benar durasi kejang
b) Awitan yaitu
- waktu awitan yaitu kejadian pra-kejang yang signifikan sinar terang,
bising, kegirangan, emosi berlebihan.
- Perilaku yaitu perubahan pada ekspresi wajah, seperti pada rasa takut
menangis, atau bunyi lain, gerakan stereotip atau otomatis, aktivitas acak
(mengeluyur)
- Posisi kepala, tubuh, ekstremitas yaitu apakah postur unilateral atau bilateral dari
salah satu atau lebih ekstremitas, deviasi tubuh ke samping
c). Gerakan yaitu perubahan posisi bila ada, sisi permulaan- tangan, ibu jari,
mulut,seluruh tubuh, fase tonik bila ada-lama dan melibatkan beberapa bagian
tubuh, fase klonik, kedutan atau gerakan menyentak, menyentak, melibatkan
beberapa bagian tubuh, urutan bagian yang terkena, umum, urutan bagian yang
terkena, umum, perubahan dalam karakteristik, gerakan atau kurang gerakan atau
tonus otot pada bagian-bagian tubuh atau seluruh tubuh.
d). Wajah apakah ada perubahan warna-pucat, sianosis, wajah kemerahan,
keringat, posisi mulut apakah menyimpang ke salah satu arah.
e).Mata
f).Upaya pernafasan apakah ada apnea dan berapa lama, adanya stertor
(mengorok)
2.
1.

Diagnosa keperawatan:
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan tipe kejang
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak mengalami kejang
b. Pasien tidak mengalami komplikasi akibat obat-obatan
c. Pasien tidak mengalami cedera

12

Intervensi Keperawatan

Rasional

Sasaran: 1. Pasien tidak mengalami


kejang
- Berikan obat antiepilepsi
- Ajarkan keluarga dan anak, bila
tepat

tentang

pemberian

Anak tetap bebas dari aktivitas kejang

obat-

obatan.
- Mematuhi program terapetik
- Hindari situasi yang diketahui akan
mencetuskan Kejang, mis; cahaya
berkedip-kedip,keletihan.
Sasaran: 2. Pasien tidak mengalami

Anak dan keluarga mendemostrasikan


pemahaman

tentang

kemungkinan

komplikasi akibat obat-obatan


respon yang tidak baik terhadap obat- Sadari dan ajari keluarga untuk
obatan dan intevensi yang tepat.
mengenali reaksi yang tidak baik
-

terhadap obat-obtan
Dorong pengkajian

fisik

dan

laboratorium secara peroidik untuk


untuk menentukkan kemungkinan
-

penyimpangan dari temuan normal


Dorong perawatan gigi yang baik
selama

terapi

menurunkan
-

fenitoin

untuk

hiperplasia

gusi

karena fenitoin
Dorong masukkan vitamin D dan

asam folat yang adekuat selama

aktivitas atau modifikasi aktivitas

terapi fenitoin dan fenobarbital


untuk mencegah defisiensi.

Anak dan keluarga menyetujui

yang tepat untu anak.


Individu yang berhubungan dengan
anak

yang

memberikan

Sasaran: 3. Pasien tidak mengalami

intevervensi yang tepat selama dan

cedera
- Didik orang tua dan anak mengenai

setelah kejang.

aktivitas yang tepat untuk anak.


Gali modifikasi atau adaptasi yang
tepat

pada

situasi

yang

mencetuskan bahaya selama kejang

13

( mamanjat pohon)
Dampingi anak selama aktivitas
yang diizinkan, seperti berenang,

bersepeda.
Dianjurkan untuk mandi shower
atau memberikan pengawasan yang

ketat selama mandi.


Didik guru dan orang lain yang
berhubungan
mengenai

dengan

bantuan

yang

anak
tepat

selama dan setelah kejang.


2. Resiko tinggi cedera, hipoksia, dan aspirasi berhubungan dengan aktivitas
motorik dan hilangnya kesadaran (kejang tonik-klonik)
Kriteria Hasil :
a. Pasien tidak mengalami cedera, distress pernafasan,
atau aspirasi
Intervensi keperawatan

Rasional

Sasaran: 1. Pasien tidak mengalami


cedera,

distress

aspirasi
- Hitung

pernafasan,

lamanya

kejang

atau
untuk

Anak tidak menunjukkan tanda-tanda


cedera fisik atau mental atau aspirasi.

menentukan durasi kemungkinan


hipoksia dan kebutuhan perawat
-

darurat.
Lindungi anak selama kejang
Bila anak berdiri atau duduk di
kursi roda pada awal episode, bantu
anak untuk mencapai lantai untuk

mencegah jatuh.
Jangan menempatkan apapun di
mulut anak, seperti spatel lidah,
makanan, ataupun cairan, yang
dapat

menyebabkan

menghambat

pernafasan

cedera,
atau

14

teraspirasi.
Longgarkan pakaian yang dapat
membatasi

gerakan

atau

pernafasan.
Cegah anak dari membenturkan
kepala pada objek keras yang dapat
menyebabkan

cedera

selama

sentakan otot tidak terkontrol.


Biarkan kejang berakhir tanpa

pengaruh.
Bila mungkin

posisikan

anak

dengan kepala pada garis tengah,


bukan

hiperekstensi

meningkatkan
-

ventilasi

untuk
yang

adekuat.
Bila anak mualai muntah miringkan
dengan hati-hati untuk mencegah

aspirai.
Lindungi

anak

setelah

kejang,

pertahankan pada posisi miring


-

(periode pasca-kejang),
Hubungi pelayanan medis darurat.
3. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan kesadaran dan
automatisme(kejang parsial kompleks)
Kriteria Hasil :
a. Pasien tidak mengalami cedera dan tetap tenang.

Intervensi keperawatan
Sasaran:

Pasien

tidak

Rasional
mengalami

cedera dan tetap tenang.


- Hitung lamanya kejang

untuk

menentukan durasi kemungkinan

Anak tidak mengalami cedera fisik dan


tetap tenang.

hipoksia dan kebutuhan perawat


-

darurat.
Jangan merestrein, kecuali anak
15

dalam bahaya, untuk mencegah


-

cedera pada anak atau diri sendiri.


Jangan membuat teragitasi, biacara
dengan suara lembut dan sikap

tenang.
Jangan mengharapkan anak untuk
mengikuti intruksi karena adanya

kerusakan kesadaran.
Perhatikan apakah kejang tersebut
menyebar menjadi kejang tonik-

klonik.
Lindungi

(postiktal)
Periode postiktal (tetaplah bersama

anak

setelah

kejang

anak dan tenangkan anak sampai ia


sadar
-

karena

anak

mungkin

bingung dan takut )


Hubungi pelayanan medis darurat.

4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita


penyakit kronis.
Kriteria Hasil :
a. Pasien

(keluarga)

mendapat

dukungan

yang

adekuat.
Intervensi keperawatan

Rasional

Sasaran: Pasien (keluarga) mendapat


dukungan yang adekuat.
- Lihat diagnosa
- Rujuk pada kelompok pendukung

Keluarga terlibat dengan kelompok


khusus.

dan lembaga- lembaga khusus,


mis: (Yayasan Epilepsi Indinesia)

16

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Epilepsi adalah sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh gangguan
fungsi otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang memberi
manifestasi berupa gangguan, atau kehilangan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat episodik
Adapun penyebab terjadinya epilepsi adalah kelainan yang terjadi
selama perkembangan janin / kehamilan ibu, mengalami infeksi, minum
alkohol, atau mengalami cidera, kelainan yang terjadi pada saat kelahiran,
cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak , tumor otak,
penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak,
radang atau infeksi pada otak dan selaput otak, penyakit keturunan,
kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan, kurang tidur dan
terlalu lelah.

17

Untuk dapat memberikan askep kita harus tahu tanda dan gejaja,
manifestasi klinis seperti Untuk mengetahui telah terjadinya demam
reumatik, kita terlebih dahulu harus mengetahui manifestasi klinis demam
reumatik seperti: artritis, artralgia, demam ringan yang umumnya
meningkat di sore hari, nyeri dada (gejala karditis), nafas pendek (gejala
karditis), takikardia terutama saat istitahat dan tidur, keluhan sakit
tenggorokan, korea, nodul subkutan, nyeri abdomen, dan batuk.
Kita dapat melakukan pengoobatan untuk demam reunatik ini
dengan cara menyembuhkan infeksi streptokokus dan mencegah
kekambuhannya, mengurangi peradangan terutama pada persendian dan
jantung, membatasi aktivitas fisik yang dapat memperburuk organ yang
meradang.

DAFTAR PUSTAKA

Admin.2007.Kejang

Demam

pada

Anak.

Di

akses

dari

http://medlinux.blogspot.com/2007/09/kejang-demam-pada-anak.html
Dinda. 2009. Epilepsi. Diakses dari
http://medicafarma.blogspot.com/2009/02/epilepsi.html
Febrian.2009. Epilepsi. Diakses dari
http://.wordpress.com/2009/01/12/epilepsi/
Nining . 2009. Kejang Demam pada Anak. Diakses dari

http://ns-

nining.blogspot.com/2009/07/kejang-demam-pada-anak.html
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Praktik Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

18

1. Guyton, Arthur C. (1990). Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit.


EGC, Jakarta.
2. Black,J.M.,Matassarin,E.(1997) Medical Surgical Nursing, Clinical
Management for Continuity of Care. Philadelphia: Lippincott
3. Brunner & Suddarth. (2010). Texbook of medical surgical nursing. 12th
edition. Philadelphia: William & Wilkins.
4. Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah,
EGC,Jakarta
5. Ignatavicius, D. (2013).Medical-Surgical Nursing: Patient-Centered
Collaborative Care. 7thEd. Philadelphia: Lippincott
6. Soeparman, (1994), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi II, FKUI, Jakarta
7. Crompton, G. (1980), Diagnosis and Management of Respiratory Disease,
Blacwell Scientific Publication.
8. Bulechek, G.(2008). Nursing Interventions Classification, 5th ed, Mosby.
USA
9. Moorhead, S. (2008). Nursing Outcomes Classifications 4th ed, Mosby.
USA
10. Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R, (1999), Keperawatan Medikal
Bedah, Buku Satu, Salemba Medika, Jakarta.
11. Morton, P. (2004). Critical Care Nursing A Holistic Approach, Lippincontt.
USA
12. Thelan, L. (2005). Critical Care Nursing Diagnosis And Management,
Mosby. USA
13. Beery, L. (2004). Sheehys Manual Of Emergency Care, Mosby. USA
14. Jevon, P & Beverley Ewens. (2010). Pemantauan Pasien Kritis Edisi 2:
Erlangga, Surabaya
15. Potter and Perry. 2005. Fundamentals of Nursing. 4th Ed. Philadelpia,
Lippincott
16. Kee, Joyce L & Evelyn R. Hayes. (1996). Farmakologi: Pendekatan proses
keperawatan. EGC, Jakarta.
17. Price, Sylvia A & Lorainne M. Wilson. (2006). Patofisiologi, Konsep
klinis,proses-proses penyakit (vol 1). EGC, Jakarta.
18. Wong, Donna L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik (edisi 6) vol 1 .
EGC, Jakarta.
19. Bobak, Lowdermilk & Jensen. (2004). Buku ajar Keperawatan maternitas
edisi 4. EGC, Jakarta
20. Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. (2007). Buku Ajar
Keperawatan Gerontik edisi 2. EGC, Jakarta.
Ward, Jeremy dkk. (2008). At a Glance Sistem Respirasi edisi ke-2. Erlangga,
Jakarta

19

You might also like