Professional Documents
Culture Documents
IRRITABLE BOWEL
SYNDROME
oleh :
Herliza Refriani
0961050052
Pembimbing :
Dr. Tiroy Sari Bumi Simanjntak, Sp.PD
PERIODE 6 Oktober 13 Desember 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2014
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................... i
DAFTAR ISI ............ ii
BAB I. PENDAHULUAN ................ 1
BAB II. IRRITABLE BOWEL SYNDROME........................................................3
1. Definisi...............................................3
2. Epidemiologi......................................................3
3. Etiologi...........................................................................................................3
4. Klasifikasi......................................................................................................5
5. Patofisiologi...................................................................................................6
6. Manifestasi klinik.........................................................................................10
7. Kriteria diagnostik........................................................................................11
8. Pemeriksaan penunjang................................................................................14
9. Diagnosis banding........................................................................................14
10. Penatalaksanaan.........................................................................................16
11. Pencegahan................................................................................................20
12. Prognosis....................................................................................................20
BAB III. RINGKASAN .....................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
Irritable
bowel
syndrome
(IBS)
adalah
salah
satu
penyakit
utama
difokuskan
pada
gejala-gejala
yang
muncul
untuk
BAB II
IRRITABLE BOWEL SYNDROME
1. Definisi
Irritable bowel disease merupakan gangguan fungsional pada saluran cerna
bagian bawah berupa adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi
tanpa gangguan organik. Gejala-gejala IBS biasanya tidak spesifik, gejalanya
biasanya seperti gejala yang sering ditunjukkan pada hampir semua individu.
(Quigley Eamonn et all.2009)
2. Epidemiologi
Kejadian dari IBS mencapai 20 % dari penduduk Amerika, hal ini didasarkan
pada gejala yang sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih banyak pada
perempuan dan mencapai 3 kali lebih besar dari laki-laki. Prevalensi IBS bisa
mencapai 3,6-21, 8 % dari jumlah penduduk dengan rata-rata 11 %. (Manan,
Chudahma dan Ari Fahrial Syam. 2008)
3. Etiologi
Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan oleh
salah satu faktor saja. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain
gangguan motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas dari
interaksi aksis brain-gut, hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus.
Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi menunjukkan
bahwa pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi
peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus.
Sedangkan IBS tipe konstipasi terjadi penurunan kontraksi usus dann
memanjangnya waktu transit kolon dan usus halus.
IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS.
Keluhan-keluhan IBS muncul setelah 1 bulan infeksi. Penyebab IBS paska infeksi
antara lain virus, giardia atau amuba. Pasien IBS paska infeksi biasanya
mempunyai gejala perut kembung, nyeri abdomen dan diare. (Manan, Chudahma
dan Ari Fahrial Syam. 2008)
Para peneliti telah menyimpulkan bahwa penyebab dari IBS adalah gabungan
dari beberapa faktor yang akan mengakibatkan gangguan fungsional dari usus.
Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja dari usus adalah sebagai berikut :
a. Faktor psikologis
Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon
memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Seperti jantung dan paru,
sebagian kolon dikontol oleh SSO, yang berespon terhadap stress. Sebagai comtoh
pada saat kita takut detak jantung kita akan bertambah cepat dan tekanan darah
akan naik. Begitu pula dengan kolon, kolon dapat berkontraksi secara cepat atau
sebaliknya. Para peneliti percaya bahwa sistim limbik ikut terlibat. Pada
percobaan dengan binatang, perangsangan stress akan menyebabkan pelepasan
faktor kortikotropin.
Genetik
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS diturunkan
dalam keluarga.
d. Peneliti menemukan bahwa gejala IBS sering muncul pada wanita yang
sedang menstruasi, mengemukakan bahwa hormon reproduksi dapat
meningkatkan gejala dari IBS.
4. Klasifikasi
Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien,
subklasifikasi IBS dibagi menjadi:
IBS campuran(IBS-M) :
- Defekasi berubah-ubah: diare dan konstipasi
- 1/3 dari kasus
Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri
- IBS predominan kembung
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress
(Quigley Eamonn, et all. 2009)
5. Patofisiologi
Perubahan motilitas usus, hipersensitifitas visceral, faktor psikologik,
ketidakseimbangan neurotransmitter, serta infeksi telah diusulkan sebagai faktor
dalam perkembangan irritable bowel syndrome.
b. Hipersensitivitas visceral
Penelitian
dengan
distensi
balon
pada
rektosigmoid
dan
ileum
menunjukkan bahwa pasien dengan IBS mengalami nyeri dan kembung saat
volume balon dan tekanan lebih rendah dari yang menimbulkan nyeri pada
kontrol. Fenomena yang disebut sebagai hipersensitivitas visceral. Salah satu
penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada viscus dirubah
melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia, distensi,
kandungan intraluminal, infeksi, atau factor psikiatri. Mungkin ada
peningkatan perangsangan dari neuron di bagian kornu dorsalis medulla
spinalis, daerah yang kaya dengan neurotrasmiter seperti katekolamin dan
serotonin. Secara sentral mungkin ada perbedaan pada cara otak memodulasi
signal aferen dari neuron kornu dorsalis melalui jalur ascending. Dari sebuah
penelitian didapatkan adanya kelainan sentral primer dari proses nyeri
visceral. Beberapa penulis menyatakan bahwa kewaspadaan yang berlebihan
lebih bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas visceral murni untuk
ambang nyeri yang rendah pada pasien IBS.
c. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon,
baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat
rujukan memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan
pasien dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini. Ada atau
tidaknya riwayat abuse pada masa anak-anak (seksual, fisik, atau keduanya)
dihubungkan dengan beratnya gejala pada pasien dengan IBS. Ini telah
diusulkan bahwa pengalaman awal pada hidup dapat mempengaruhi sistem
saraf pusat dan memberikan predisposisi untuk keadaan kewaspadaan yang
berlebihan.
d. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa neurotransmitter dilibatkan pada
patogenesis IBS. Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95%
di saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel
otot polos. Saat dilepas oleh sel enterokromafin, serotonin merangsang serat
saraf aferen vagus ekstrinsik dan serat saraf aferen enterik intrinsik.
g. faktor genetik
Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi:
pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar
monozigot jika dibandingkan dengan dizigot. Adanya polimorpisme gen yang
mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti IL-10 dsn TGF _1) dan
SERT. Ini tampaknya bahwa faktor genetik sendiri tidak merupakan
penyebab, tapi berinteraksi paling mungkin dengan faktor lingkungan untuk
melengkapi penampakan fenotip dari penyakit. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk memperjelas keterlibatan faktor genetik pada IBS. (Barbara
G,et all. 2004).
Sampai saat ini belum ada model konsep tunggal yang dapat menjelaskan
semua kasus dari IBS. (Horwitz, et all. 2001)
6. Manifestasi klinik
Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung,
dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan
kebiasaan defekasi dapat berupa diare, konstipasi atau diarea yang diikuti dengan
konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang lunak dengan volume
yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan
diselingi diare atau defekasi yang normal.
Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan
produksi gas yang berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi
yang tidak bisa ditahan dan perasaan defekasi tidak sempurna.Gejalanya hilang
setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh kembali pada beberapa orang,
sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala. (National Digestive
Diseases Information Clearinghouse. 2007)
7. Kriteria Diagnostik
Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan
demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan menyingkirkan penyakit
organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm
(red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah
umur 50 tahun.
Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis.
Pendekatan klinis ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria
diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria
Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III (seperti yang dijelaskan tabel 2, 3
dan 4).
Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3
hari per bulan dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal
berikut:
1. Membaik dengan defekasi;
2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensi kotoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari
kotoran.
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6
bulan sebelum diagnosis.
8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk IBS meliputi pemeriksaan darah lengkap, LED,
biokimia darah dan pemeriksaan mikrobiologi dengan pemeriksan telur, kista dan
parasit pada kotoran. (Gunn MC, Cavin AA, Mansfield JC. 2003)
Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
diferensial, yaitu:
Pemeriksaan darah lengkap;
Pemeriksaan biokimia darah;
Pemeriksaan hormon tiroid;
Sigmoidoskopi;
Kolonoskopi.
9. Diagnosa banding
Beberapa penyakit harus dipikirkan sebagai diagnosis diferensial dari IBS
karena penyakit-penyakit ini juga mempunyai gejala yang lebih kurang sama
dengan IBS. Beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan untuk mencari
penyebab nyeri perut dan dihubungkan dengan kemungkinan IBS sebagai
penyebab dapat dilihat pada tabel berikut.
Kanker kolorektal;
Divertikulitis;
Infeksi usus;
Iskemia usus;
Gejala
Pemeriksaan
Prognosis
IBS
IBS merupakan gangguan
fungsional tanpa disertai
adanya inflamasi atau
ulseratif pada saluran
cerna
Pasien dengan IBS dapat
disertai
lendir
pada
fesesnya tapi tidak ada
darah
Pasien IBS lebih banyak
menderita konstipasi atau
konstipasi yang diselingi
dengan diare
Tes feses, X-ray dan
endoskopi
tidak
menunjukan kelainan
IBS tidak berbahaya dan
tidak
menimbulkan
komplikasi kanker
IBS
IBD adalah suatu kondisi
yang
digambarkan
sebagai suatu inflamasi
dal ulserasi pada saluran
cerna
Pasien
dengan
IBD
biasanya menderita diare
yang disertai darah
Pasien biasanya lebih
banyak menderita diare
dibandingkan
dengan
konstipasi
Tampak kelainan pada Xray dan endoskopi
IBD adalah penyakit
serius
dengan
efek
samping yang besar dan
dapat
berkembang
menjadi kanker
10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi
farmakologi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Dalam
memberikan obat-obatan mempunyai efek samping dan yang juga akan
memperburuk kondisi psikis pasien.
a. Diet
Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat pada IBS
predominan konstipasi. Sebaliknya pada pasien IBS dengan predominan diare
konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe konstipasi peningkatan konsumsi
serat juga disertai konsumsi air yang meningkat disertai aktivitas olah raga
rutin. Selanjutnya menghindari makanan dan minuman yang dicurigai sebagai
pencetus, jika menghilang setelah menghindari makanan tersebut coba lagi
setelah 3 bulan secara bertahap.
b. Psikoterapi
Terapi psikologis bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan gejala
psikologis lainnya serta gejala gastrointestinal. Intervensi psikologis ini
meliputi edukasi (penerangan tentang perjalanan penyakitnya), relaksasi,
hypnotherapy,
terapi
psikodinamik
atau
interpersonal
dan
cognitive
c. Farmakoterapi
Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk menghilangkan
gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi nyeri abdomen, mengatasi
konstipasi, mengatasi diare dan antiansietas. Obat-obatan ini biasanya
diberikan secara kombinasi.
Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan antispasmodik yang
memiliki efek kolinergik dan lebih bermanfaat pada nyeri perut setelah makan.
Obat-obat yang sudah beredar di Indonesia antara lain mebeverine 3x135 mg,
hyocine butyl bromide 3x10 mg, chlordiazepoksid 5 mg, klidinium 2,5 mg 3x1
tablet dan alverine 3x30 mg.
Untuk IBS konstipasi, tegaserod suatu 5-HT4 reseptor antagonis
bekerja meningkatkan akselerasi usus halus dan meningkatkan sekresi cairan
usus. Tegaserod biasanya diberikan dengan dosis 2 x 6 mg selama 10-12
minggu.
Untuk IBS tipe diare beberpa obat juga dapat diberikan antara lain
loperamid dengan dosis 2-16 mg per hari.
(Manan, Chudahma dan Ari Fahrial Syam. 2008)
11. Pencegahan
Untuk mencegah IBS antara lain:
Hindari stress.
Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat.
Hindari makanan pemicu (makanan pedas).
Kurangi intake lemak.
Kurangi intake short chain carbohidrat.
Kurangi konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buatan.
Menjaga kebersihan makanan.
12. Prognosis
Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus dan hanya
<5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada
perkembangan menjadi keganasan dan penyakit imflamasi. (Manan, Chudahma
dan Ari Fahrial Syam. 2008)
BAB III
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Ann Gwee, Kok et al. Asian consensus on irritable bowel syndrome. Journal
of Gastroenterology and Hepatology.2009
2. Barbara G,et all. New pathophysiological mechanisms in irritable bowel
syndrome. Aliment Pharmacol Ther.2004
3. Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. Irritable bowel syndrome:
Epidemiology, diagnosis and treatment: An update for health-care
practitioners. Journal of Gastroenterology and Hepatology, 2009
4. Gunn MC, Cavin AA, Mansfield JC. Management of irritable bowel
syndrome. Postgrad Med J. 2003
5. Horwitz, et all. Massachusetts Medical Society. Irritable Bowel Sindrome.
The New England Journal of Medicine. 2001
6. Longstreth GF, et all. Functional bowel disorders. Gastroenterology. 2006
7. Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. Irritable Bowel Syndrome (IBS).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008
8. Mariadi, I Ketut dkk. Perkembangan Terkini Dalam Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome. Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar.2007
9. Quigley Eamonn et all. Irritable bowel syndrome: global perspective.2009
10. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. Irritable bowel
syndrome. National Institutes of Health. 2007