You are on page 1of 39

LAPORAN MINI PROJECT

Upaya Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pemberantasan


Sarang Nyamuk Untuk Menanggulangi Penyakit Demam Berdarah Dengue
Di Desa Kaliancar Kecamatan Selogiri
Kabupaten Wonogiri

OLEH :
dr. Nurma Yuliyanasari
dr. Ervina Jayanti Hutabarat
PEMBIMBING :
dr. Hermanto
DOKTER INTERNSHIP WAHANA PUSKESMAS SELOGIRI
PERIODE 11 MARET 10 JULI 2013
KABUPATEN WONOGIRI
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH


Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu,

terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization
(WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi
di Asia Tenggara selain India dan Myanmar (WHO, 2009; Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Di Indonesia hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di
beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan. Di Indonesia
lebih dari 35% penduduknya tinggal di daerah perkotaan dan 158.115 kasus
telah dilaporkan menderita DBD pada tahun 2007 dengan case-fatality rate
sebesar 1% (WHO, 2009). Jumlah penderita cenderung meningkat, tahun 2008
sebesar 137.469 dan meningkat pada tahun 2009 sebesar 158.912. Tahun 2010
sebanyak 156.086 kasus dengan jumlah kematian akibat DBD sebesar 1.358
orang, dan pada tahun Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362
kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %) (Subdirektorat Pengendalian
Arbovirosis. 2011).
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang mempunyai
kategori endemis untuk penyakit DBD. Penyakit DBD di Provinsi Jawa
Tengah juga meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sebanyak 20.565 kasus
DBD dengan jumlah kematian 329 orang,tahun 2008 sebanyak 19.307 kasus
DBD dengan jumlah kematian 229 orang dan pada tahun 2009 turun menjadi
18.728 kasus DBD, tetapi kasus yang meninggal meningkat lagi menjadi 264
orang. Insidensi ini meningkat pada tahun 2010, dengan jumlah kasus baru
19.362 penderita dan jumlah kematian 250 orang. Pada tahun 2011 jumlah
kasus DBD di Jawa Tengah turun menjadi 4.474 dan jumlah kematian 44
orang.
Selogiri adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang
mengalami kejadian luar biasa kasus DBD selama tiga tahun terakhir ini
dengan jumlah kasusnya 37 penderita. Jumlah penderita cenderung meningkat.
Tahun 2011 tidak ditemukan kasus, tahun 2012 meningkat menjadi 10 kasus,
dan pada tahun 2013, dari Januari hingga april sudah tercatat 27 penderita
DBD. Meningkatnya kasus DBD tersebut ditunjang oleh rendahnya Angka

Bebas Jentik (AABJ) di Kecamatan Selogiri yang masih dibawah Target (<
95%) pada kurun waktu 3 tahun (P2 DBD Puskesmas Selogiri, 2013).
Di antara 11 desa atau kelurahan, Desa Kaliancar adalah desa dengan
kasus DBD tertinggi pada 2 tahun terakhir. Tahun 2011, tidak ditemukan
adanya penderita DBD, sementara tahun 2012 hanya 1 orang tercatat, dan pada
awal tahun 2013 (terhitung Januari April) ditemukan 7 penderita. Dari 7
kasus tersebut, 4 diantaranya berasal dari dusun Brajan, Desa Kaliancar (P2
DBD Puskesmas Selogiri, 2013). Tingginya kasus DBD di Desa Kaliancar juga
berkaitan dengan AABJ yang rendah yaitu 78% pada tahun 2013 dan
masyarakat masih berpedoman bahwa fogging adalah cara terbaik untuk
mengatasi DBD (P2 DBD Puskesmas Selogiri, 2013).
Departemen kesahatan telah mengupayakan berbagai strategi untuk
mengatasi masalah ini. Namun pada umumnya program pengendalian kasus
tersebut masih kurang berhasil, karena hampir sepenuhnya bergantung pada
pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa. Hal ini membutuhkan
biaya besar, menimbulkan resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan
tidak berdampak panjang karena jentik nyamuk tidak mati.

2. PERNYATAAN MASALAH
a. Peningkatan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue di Desa Kaliancar,
Kecamatan Selogiri pada tahun 2013 sebanyak 7 kasus.
b. Kurangnya pengetahuan masyarakat Desa Kaliancar mengenai pentingnya
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) untuk mencegah dan mengatasi
penyakit demam berdarah dengue.
c. Kurangnya pemahamam masyarakat dusun Desa Kaliancar bahwa fogging
bukanlah solusi terbaik dalam mengatasi penyakit demam berdarah dengue.
3. TUJUAN
a. UMUM
Meningkatkan derajat kesehatan penduduk dusun Brajan, desa Kaliancar,
Kecamatan Selogiri.
b. KHUSUS

1) Mengurangi jumlah kasus DBD di dusun Brajan, desa Kaliancar.


2) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dusun Brajan, desa Kaliancar
mengenai pentingnya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) untuk
mencegah dan mengatasi penyakit demam berdarah dengue.
3) Meluruskan pemahamam masyarakat dusun Brajan, desa Kaliancar
mengenai pelaksanaan fogging dalam mengatasi penyakit demam
berdarah dengue.
4. MANFAAT
1. Manfaat Bagi Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyebab, penyebaran, gejala,
pencegahan, dan pengobatan DBD.
b. Memiliki kesadaran untuk melakukan PSN terutama 3M (menguras,
mengubur, dan menutup) plus secara kotinyu dan serempak
c. Membantu masyarakat dalam upaya menurunkan jumlah kasus DBD
di, Desa Kaliancar, Kecamatan Selogiri.
2. Manfaat Bagi Puskesmas
a. Membantu melaksanakan program promosi kesehatan puskesmas
mengenai PSN terutama 3M (menguras, mengubur, dan menutup)
plus.
b. Membantu puskesmas dalam upaya menurunkan jumlah kasus DBD di
Selogiri.
3. Manfaat Bagi Pemerintah
a. Membantu melaksanakan program promosi kesehatan masyarakat
mengenai PSN terutama 3M (menguras, mengubur, dan menutup) plus.
b. Membantu pemerintah dalam upaya menurunkan jumlah kasus DBD di
Indonesia.
4. Manfaat Bagi Penulis
a. Memperdalam dan memperbaharui pengetahuan mengenai DBD
b. Menambah pengalaman dalam masalah ilmu kesehatan masyarakat
terutama mengenai masalah DBD yang terjadi di masyarakat baik
masyarakat luas maupun di Desa Kaliancar, Kecamatan Selogiri,
Kabupaten Wonogiri

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEMAM BERDARAH DENGUE


a. Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini dapat terjadi pada semua kelompok umur terutama
pada anak-anak kurang dari 15 tahun (Anggraini, 2010)
b. Etiologi dan Vektor Penularan
Etiologi DBD adalah virus Dengue yang merupakan bagian dari famili
flaviviridae. Keempat serotipe virus Dengue (DEN-1, DEN-2,DEN-3, DEN-4)
dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu
serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh
serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara terhadap
serotipe yang lain.3 Seseorang akan kebal seumur hidup terhadap serotip yang
menyerang pertama kali, namun hanya akan kebal dalam waktu 6 bulan - 5

tahun terhadap serotipe virus Dengue lain (Sembel, 2009; Anggraini,

2010)
Vektor peluranan penyakit ini adalah Aedes aegypti maupun Aedes
albopictus merupakan vektor penularan virus Dengue dari penderita kepada
orang lain melalui gigitan. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor
penting di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan di pedesaan (daerah
rural) kedua jenis spesies nyamuk Aedes tersebut berperan dalam penularan.
Namun Aedes Aegypti berkembang biak di tempat lembab dan genangan air
bersih. Sedangkan Aedes albopictus berkembang biak di lubang-lubang
pohon, dalam potongan bambu dan genangan air lainnya. Pertumbuhan dan
perkembangan telur sampai nyamuk dewasa memerlukan waktu kurang
lebih 7-14 hari1 (Chahaya, I., 2003; Sembel, 2009,Anggraini,
D.S., 2010).

Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti5


c. Mekanisme Penularan

Gambar 2. Cara Penularan DBD41


Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti, nyamuk Aedes aegypti tersebut dapat mengandung virus
dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremi.
Kemudian virus yang berada di kelenjer liur akan berkembang biak dalam
waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan
kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Di tubuh manusia, virus
membutuhkan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami
viremi (Sembel, 2009; Anggraini, 2010)
d. Patogenesis DBD

1) Sistem vaskuler
Hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah yang ditimbulkan oleh
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler akibat peningkatan akut
permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi primer DBD dan Dengue

Shock Syndrome (DSS). Dikutip dari Gubler D.J. (1998) dalam


Soegijanto H.S. (2006), pada kasus-kasus berat terjadi penurunan volume
plasma lebih dari 20% dan hal ini didukung dengan penemuan efusi
pleura, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi pada post mortem. Tidak
terjadi lesi destruktif yang menetap pada vaskuler menunjukkan kelainan
vaskuler hanya bersifat sementara yang diakibatkan oleh suatu mediator
respon tubuh. Tiga faktor yang terlibat dalam perubahan hemostasis pada
DBD dan DSS adalah perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan
koagulasi.
2) Sistem respon imun
Reaksi tubuh terhadap masuknya virus menimbulkan manifestasi
klinis demam Dengue. Virus yang masuk akan berkembang biak di dalam
sistem sirkulasi darah yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang
berlangsung selama 5 hingga 7 hari. Makrofag akan segera bereaksi
dengan menangkap virus dan makrofag menjadi APC (Antigen
Presenting Cell). Antigen yang dipaparkan oleh makrofag tersebut akan
mengaktifasi sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit
lebih banyak virus. Selanjutnya sel T-helper akan mengaktifasi sel Tsitotoksik untuk melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Selain
itu, sel T-helper juga mengaktifkan sel B yang akan memproduksi
antibodi antara lain antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, dan
antibodi fiksasi komplemen. Pada umumnya antibodi yang muncul
adalah IgG dan IgM yang mulai terbentuk pada infeksi primer, dan pada
infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect)
(Soegijanto H.S., 2006).
Antibodi terhadap virus dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari kelima, kemudian akan meningkat pada minggu pertama
sampai ketiga, dan menghilang setelah 2 hingga 3 bulan. Kinetik kadar
IgG berbeda dengan kinetik kadar IgM, oleh karena itu antibodi IgG
harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14, sedang pada infeksi

sekunder antibodi IgG meningkat pada hari ke-2. Oleh karena itu
diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah sakit hari ke -5, diagnosis infeksi sekunder dapat
ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM
yang cepat (Gubler D.J. et al., 1994 dalam Soegijanto H.S., 2006).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat.
Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc
reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan
dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Chen K. et al., 2009)

(CDC, )
e. Tanda dan gejala

Infeksi virus DEN dapat menghasilkan beberapa tingkatan dari


keparahan penyakit mulai dari infeksi asimtomatik, seperti keadaan flu
(dengue fever) sampai dengan kondisi hemoragik yang dikarakterisasikan
dengan kebocoran plasma dan perdarahan hingga menyebabkan komplikasi
kematian.
Oleh karena gejala DBD sangat bervariasi, maka WHO membagi 4
derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan
manifestasi perdarahan spontan satu-satunya adalah uji
tourniquet positif.
Derajat II : Gejala gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit
spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.

Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulitdingin dan lembab,
gelisah,
Derajat IV: Shock berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur (Asih, 1999).
Kriteria dengue antara lain :
1) Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya (dengue probable)
a) Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
b) Demam tinggi mendadak 2-7 hari disertai 2 dari hal berikut :
- Mual, muntah
- Ruam
- Sakit dan nyeri
- Uji torniket positif
- Lekopenia
- Adanya tanda bahaya
c) Tanda bahaya adalah :
- Nyeri perut atau kelembutannya
- Muntah berkepanjangan
- Terdapat akumulasi cairan
- Perdarahan mukosa
- Letargi, lemah
- Pembesaran hati > 2 cm
- Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit
yang cepat. Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila
bukti kebocoran plasma tidak jelas)
2) Kriteria dengue berat
a) Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS),
akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
b) Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi

c) Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan


kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)6.
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji
tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat
membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30% sedangkan
spesifisitasnya mencapai 82 %. Uji Torniquet dinyatakan positif, jika
terdapat 10 atau lebih Petekie pada kulit seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm)
di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti) (WHO,
2009)
Pada penelitian yang terbaru, terbukti dengan melakukan pemeriksaan
IL10, hitung jumlah trombosit dan hitung jumlah limfosit dari pasien akut
dapat dilakukan deteksi dini dari DBD. Pada penelitian tersebut dinyatakan
bahwa infeksi dengue (dengue fever) memiliki karakteristik yang spesifik
yaitu peningkatan jumlah trombosit (> 147.5 +103/mL). Sedangkan bila
hitung jumlah trombosit rendah (< 147.5 +103/mL) dan tingginya IL10
kemungkinan pasien tersebut DBD. Sedangkan pada kelompok

dengan

hitung jumlah trombosit, IL10 dan limfosit yang rendah (<50,50)


kemungkinan terjadi DF maupun DBD7.
f. Pemeriksaan Laboratorium

Saat ini terdapat beberapa teknik untuk mendeteksi infeksi virus dengue
yaitu kultur dan isolasi virus, RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction), serologi(IgM dan IgG anti Dengue) dan pemeriksaan
hematologi rutin8.
1) NS1 Antigen
NS1 adalah glikoprotein nonstrukturaldengan berat molekul 46-50 kD
dan merupakan glikoprotein yang sangat conserved. Pada awalnya NS1
digambarkan sebagai antigen Soluble Complement Fixing (SCF) pada

kultur sel yang terinfeksi. NS1 diperlukan untuk kelangsungan hidup


virus namun belum diketahui aktivitas biologisnya. Dari bukti yang
sudah ada menunjukkan bahwa NS1 terlibat dalam proses replikasi virus.
NS1 sendiri dihasilkan dalam 2 bentuk yaitu membran associated dan
secreted form. Selama infeksi sel, NS1 ditemukan berkaitan dengan
organel-organel intrasel atau ditransfer melalui jalur sekresi ke
permukaan sel (membran sitoplasma). NS1 bukan bagian dari struktur
virus tapi diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi dan memiliki
determinan-determinan yang spesifik group dan tipenya.peran NS1
dalam imunopatogenesis juga telah disampaikan berdasarkan temuan
anti-SCF antibodies dalam serum pasien-pasien dengan infeksi sekunder
tapi tidak pada infeksi primer. NS1 dengue disekresikan ke dalam sistem
sirkulasi darah. Sensitivitas pemeriksaan NS1 optimal hari ke 0-48.
2) IgM dan IgG
Pemeriksaan serologi IgM dan IgG antidengue yang secara rutin dan
relatif

mudah

dikerjakan

masih

mempunyai

keterbatasan

yaitu

ketidakmampuannya mendeteksi proses infeksi lebih awal. Antibodi IgM


akan muncul 2 sampai 6 hari setelah dimulainya gejala, sedangkan IgG
setelah 6 hari. IgG akan meningkat secara perlahan dalam beberapa
minggu. Ini umumnya yang terjadi pada infeksi primer dengue. Pada
infeksi sekunder dengue, kadar IgM kadang-kadang bisa lebih rendah
atau sulit terdeteksi sehingga dalam keadaan ini deteksi IgG menjadi
sangat penting. Kadar antibodi IgG akan cepat meningkat karena telah
adanya memori antigen dengue8.

Gambar 3. Evaluation of the sensitivity of NS1 test, IgM/IgG test and


combination of the two tests depending on day
of sampling after onset of fever8.
g. Penatalaksanaan

Tata laksana DBD sebaiknya berdasarkan berat ringanya penyakit


yang ditemukan antara lain:
1) Kasus DBD yang diperbolehkan berobat jalan.
Penderita diperbolehkan berobat jalan jika hanya mengeluh panas,
tetapi keinginan makan dan minum masih baik. untuk mengatasi panas
diperbolehkan memberikan obat panas paracetamol. Sebagian besar
kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan
manifestasi panas hari pertama dan hari kedua.
2) Kasus DBD derajat I dan II
Pada hari ke-3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini
mempunyai resiko terjadinya shock.

4) Kasus DBD derajat III dan IV


Dengue shock syndrome termasuk kasus kegawatan yang
membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan
pengganti secara cepat. Biasanya di jumpai kelainan asam basa dan
elektrolit1.
h. Pencegahan

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu


pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1) Pencegahan primer
Pencegahan

tingkat

pertama

ini

merupakan

upaya

untuk

mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah


orang yang sehat menjadi sakit.
a) Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti untuk menentukan
distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko
untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan
pengendalian vektor. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
survei jentik. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui
kepadatan jentik Aedes aegypti adalah House Indeks (HI), Container
Indeks (CI), Breteau Indeks (BI),dan Angka Bebas Jentik (ABJ).
House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan
atau pupa. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang
terjangkit larva atau pupa. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah
container yang positif per-100 rumah yang diperiksa. Dari ukuran di
atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu
jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang
diperiksa.
b) Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan


populasi nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara
pengendalian vektor yaitu :
i. Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida untuk larva
Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos)
dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat
perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi. Dosis
yang digunakan adalah 1ppm atau 10 gram ( 1 sendok makan
peres) untuk tiap 100 liter air yang mempunyai efek 3 bulan.
Selama 3 bulan bila tempat penampungan tersebut akan
dibersihkan atau diganti airnya maka jangan menyikat bagian
dalam dinding penampungan air.
ii. Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan
kelompok

hidup.

(Panchaxpanchax),

Beberapa
ikan gabus

jenis

ikan

kepala

timah

(Gambusia

affinis)

adalah

pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis


golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan
Romanomarmis culifrax merupakan parasit yang cocok untuk
larva nyamuk.
iii. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dilakukan untuk mencegah nyamuk
kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu,
lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah.
iv. Pemberantasa Sarang Nyamuk
2) Pencegahan sekunder
a) Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita dengan cara :
i. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD,
berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres
dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung

asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan


kesehatan.
ii.Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan atau
diagnosa

dan

pengobatan

segaera

melaporkan

penemuan

penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas,


kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera
melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit
dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah
kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
iii.Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi
dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas
Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan
seperlunya.
b) Diagnosis
c) Pengobatan Penderita DBD
d) Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Penyelidikan

Epidemiologi

adalah

kegiatan

pencarian

penderita/tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah,


yang dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta
tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan,
hasilnya dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala
Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui Camat dan
penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan.
3) Pencegahan tersier
Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah
kematian akibat penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya
pencegahan ini dapat dilakukan dengan pemberian cairan intravena
diberikan pada kondisi penderita tidak memungkinkan untuk diberikan
cairan melalui oral, antipiretik seperti

parasetamol diberikan jika

diperlukan. Oksigen tambahan dapat diberikan pada penderita dengan

renjatan disertai sianosis, dan pemberian antibiotik jika diduga ada


infeksi sekunder.

2. PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK


a. Pengertian
Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD)
adalah kegiatan memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular
DBD (Aedes aegypti) di tempat tempat perkembangbiakannya 9.
b. Tujuan PSN DBD
Mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan
DBD dapat dicegah atau dikurangi9.
c. Sasaran PSN DBD
Sasaran pemberantasan sarang nyamuk DBD yaitu semua tempat
perkembangbiakan nyamuk penular DBD antara lain :
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari
(non-TPA).
3) Tempat penampungan air alamiah9.
d. Ukuran Keberhasilan PSN DBD
Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95 % diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi9.
e. Cara PSN DBD
PSN DBD dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia, biologi dan fogging.
Secara fisik dapat dilakukan dengan cara 3M, yaitu :
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapatrapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).

3) Mengubur dan menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat


menampung air hujan (M3)9.
Cara biologi yaitu dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala
timah, ikan gupi, ikan cupang. Sedangkan dengan cara kimiawi yaitu
dengan menggunakan larvasida yang dikenal dengan formulasi temephos,
dosis yang digunakan adalah 1ppm atau 10 gram ( 1 sendok makan peres)
untuk tiap 100 liter air yang mempunyai efek 3 bulan. Selama 3 bulan bila
tempat penampungan tersebut akan dibersihkan atau diganti airnya maka
jangan menyikat bagian dalam dinding penampungan air. Air dengan abate
tidak membahayakan dan aman bila diminum.
f. Fogging
Fogging merupakan salah satu pemberantasan dengan pengasapan
menggunakan insektisida antara lain organophospat (malathion), pyretroid
sintetic (lamda sihalotri, cypermetrin dan alfa methin). Alat yang digunakan
adalah mesin fog atau mesin ULV. Untuk membasmi penularan virus dengue
penyemprotan dilakukan dengan dua siklus dengan interval 1 minggu.
Penyemprotan siklus pertama semua nyamuk yang mengandung virus
dengue (nyamuk infektif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tapi akan
muncul nyamuk baru yang diantaranya akan menghisap penderita yang
viremia yang masih ada yang dapat menimbulkan terjadinya penularan
kembali. Keseluruhan cara tersebut di atas dikenal dengan istilah 3M
Plus(Depkes RI, 2005).
Fogging dapat berbahaya jika dilakukan tidak sesuai prosedur. Selain
bisa menyebabkan keracunan akibat menghirup gas semprotan, fogging
juga berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem. Selain itu asap
fogging secara tidak langsung juga bisa menempel pada makanan, bantal,
dan barang pribadi lain yang pada akhirnya juga mengakibatkan keracunan.
Keseimbangan ekosistem dapat terganggu dengan terbasminya seranggaserangga non-target yang bukan merupakan vektor DBD (Soebijoto, 2011).

Fogging sangat mencemari lingkungan dan akhirnya mencemari


manusia, disamping itu tindakan fogging harganya mahal dan hasilnya tidak
begitu signifikan, karena setiap fogging hanya fokus dengan radius 100
meter dan membutuhkan 3 liter pestisida dan 60 liter solar dan akhirnya
dengan fogging masyarakat menjadi terlena dan terjadilah resistensi.
Terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara paparan
malathion dengan kejadian kelainan gastrointestinal dan ternyata ditemukan
bahwa wanita hamil yang terpapar malathion mempunyai risiko 2,5 kali
lebih besar anaknya menderita kelainan gastrointestinal.
Malathion yang merupakan pestisida golongan organofosfat ini juga akan
menghambat enzim cholenesterase sehingga dapat merusak sistem saraf,
gastrointestinal, keseimbangan hormon dan gangguan sistem imun. Masalah
lain yang juga pernah diteliti adalah paparan terhadap malathion ini
mengakibatkan leukemia pada anak-anak, anemia aplastik, gagal ginjal,
Defek pada bayi baru lahir, kerusakan gen dan kromosom, kerusakan paru
dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Malathion juga diduga mempunyai
peran terhadap 28 gangguan, mulai dari gangguan gerakan sperma hingga
kejadian hiperaktif pada anak. Bahaya dari pestisida dapat menimbulkan
dampak kronis, yaitu pada :
1) Sistem syaraf, Neurotoksin: masalah ingatan yang gawat, sulit
berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, kehilangan
kesadaran dan koma
2) Sistem gastrointestina; Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah
gejala umum dari keracunan
3) Sistem kekebalan dan Keseimbangan hormon.
Adapun gejala yang sering timbul dimulai dengan sakit kepala, pusing,
mual, sakit dada, muntah-muntah, kudis, sakit otot, keringat berlebihan,
kram, diare, sulit bernafas, pandangan kabur dan akhirnya dapat
menyebabkan kematian.
Dampak jangka panjang yang ditimbulkan pestisida yaitu: karsinogenic,
mutagenic, teratogenic dan residu sisa berbahaya bagi konsumen.

Bahan tambahan lainnya pada fogging yaitu solar. Solar merupakan salah
satu bahan bakar yang berasal dari fosil. Hasil pembakaran berupa Emisi
CO, NO2, SO2. CO-Hb (dalam darah) => HbCO, seharusnya HbO 2, CO
210x lebih kuat mengikat Hb dibanding O2. Dampaknya kekurangan O2.
NO2 bersifat racun, mengakibatkan pneumonia (sembuh 6-8 minggu),
penyumbatan bronchioli (dapat meninggal 3-5 minggu). SO 2 bersifat iritan,
mudah diserap selaput lendir saluran nafas, produksi lendir berlebihan,
iritasi. Pemaparan berulang-ulang berisiko kanker saluran nafas10.
Oleh karena itu penting sekali mengetahui prosedur fogging antara lain :
a. Terdapat laporan kasus DBD dari Kelurahan atau Rumah Sakit .
b. Ada pemberitahuan dari Kelurahan ke Puskesmas setempat
c. Puskesmas menindak lanjuti laporan dari desa dengan melaksanakan
Penyeledikan Epidemiologi yang tujuannya adalah mengetahui ada
tidaknya penderita DB yang lain atau menemukan tersangka DBD dan
melaksanakan pemeriksaan jentik pada radius 100 m dari penderita.
d. Apabila hasil Penyelidikan Epidemiologi menyebutkan ada penderita DB
yang lain dan atau ditemukan 3 tersangka serta ditemukan 5 % rumah
terdapat Jentik nyamuk, maka puskesmas akan meneruskan permohonan
fogging ke Dinas Kesehatan.
e. Tetapi apabila hasil PE tidak sesuai dengan kriteria diatas, maka
puskesmas akan menindak lanjuti dengan PSN, pemberian abate dan
Penyuluhan tanpa dilanjutkan fogging.
Sehingga fogging merupakan pilihan terakhir dalam pengendalian vektor,
namun masyarakat masih sering menggunakan metode ini terutama di
musim hujan saat vektor DBD sedang mengalami puncak kepadatannya 11.

BAB III
METODE
1. JENIS METODE
Kegiatan ini menggunakan metode penyuluhan langsung dengan pendekatan
kelompok. Dalam hal ini penyuluhan ditujukan kepada kelompok kader dan
posyandu lansia di Desa Kaliancar, Kecamatan Selogiri.
A. WAKTU
Penyuluhan langsung dilaksanakan bersamaan dengan posyandu lansia di
Desa Kaliancar, Kecamatan Selogiri yaitu pada hari Jumat tanggal 25 April
2013 mulai pukul 08.00 WIB hingga 11.00 WIB.
B. TEMPAT
Tempat penyuluhan adalah lapangan, Kecamatan Selogiri.
C. TARGET SASARAN
Sasaran pada kegiatan ini adalah seluruh kader dan peserta posyandu lansia di
Desa Kaliancar, Kecamatan Selogiri.
D. JUMLAH SASARAN
Jumlah sasaran pada kegiatan ini adalah 55 orang sejumlah kader di Desa
Kaliancar, Kecamatan Selogiri.

BAB IV
HASIL
1. PROFIL KOMUNITAS UMUM
Desa Kaliancar merupakan bagian dari Kecamatan Selogiri. Terletak di
bagian timur Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Desa Kaliancar
memiliki wilayah yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang cukup
banyak, yaitu 5.607 jiwa, dengan komposisi laki-laki 2.938, dan perempuan
2.669 jiwa.. Penduduknya rata-rata bekerja sebagai pensiunan, petani,
pedagang, dan buruh bangunan. Fasilitas pendidikan yang tersedia di Desa
Kaliancar berupa 2 TK, 3 SD, 1 SMP dan 1 SMA . Mayoritas penduduk
setempat beragama Islam (5404 orang) sisanya menganut agama Kristen
Protestan (183orang), Katolik (12 orang), Hindu (4orang) dan Budha ( 4orang).
2. DATA GEOGRAFIS
A. Kecamatan Selogiri
Wilayah Puskesmas Kecamatan Selogiri mempunyai wilayah kinerja
10 desa dan 1 kelurahan dan merupakan daerah pegunungan berbukit
dengan ketinggian rata-rata 460 m di atas permukaan laut. Batas-batas
wilayah sebagai berikut :
1) Sebelah Barat berbatasan dengan Puskesmas Bulu Sukoharjo
2) Sebelah Utara berbatasan dengan Puskesmas Nguter Sukoharjo
3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Puskesmas Manyaran Wonogiri
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Puskesmas Puskesmas Wonogiri I
Adapun peta wilayah Kecamatan Selogiri adalah sebagai berikut

B. Wilayah Kelurahan Kaliancar


Luas wilayah Kelurahan kaliancar 320.8260 Ha, dan terdiri dari 11 dusun dan
23 RT. Adapun batas- batas wilayahnya adalah
a. Barat
: Desa Jaten dan Jendi
b. Utara
: Desa Gemantar
c. Timur : Wonokarto Wonogiri dan Desa Gemantar
d. Selatan : Desa pare dan Giriwono Wonogiri
Berikut adalah Peta Wilayah Kelurahan Kaliancar

Pembagian wilayah kerja Kelurahan kaliancar terdiri dari :


1. 10 RW yaitu :
- RW I Gunung Wijil
- RW II Josutan
- RW III kaliancar
- RW IV Garon
- RW V Brajan
- RW VI Pancuran
- RW VII Brumbung
- RW VIII Gunung gadung
- RW IX Perum Pancuran
- RW X klampisan
2. RT : 23 Buah

3. DATA DEMOGRAFIK

Kelurahan Kaliancar memiliki jumlah penduduk sebesar 5.607 jiwa, dengan


komposisi laki-laki 2.938, dan perempuan 2.669 jiwa.
A. Komposisi penduduk menurut variable kelompok umur

dan jenis

kelamin kelurahan kaliancar Tahun 2012

NO
1
2
3
4
5
6
7

UMUR
0-6 tahun
7-12 tahun
13-18 tahun
19-24 tahun
25-55 tahun
56-79 tahun
80 tahun keatas
JUMLAH

JUMLAH

468
347
297
398
772
656

432
262
293
378
537
767

900
609
590
776
1.309
1.423

2.938

2.669

5.607

B. Komposisi Penduduk menurut pendidikan 5 tahun keatas kelurahan


kaliancar tahun 2010
1) Tamat akademi/PT : 541 orang
2) Tamat SLTA
: 1534 orang
3) Tamat SLTP
: 1018 orang
4) Tamat SD
: 1068 orang
5) Tidak tamat SD
: 0 orang
6) Belum tamat SD
: 600 orang
7) Tidak sekolah:
: 157 orang
C. Mata pencaharian penduduk bagi umur 10 tahun keatas
1) Petani sendiri
: 627 orang
2) Buruh tani
: 627 orang
3) Pengusaha sedang / besar : 39 orang
4) Buruh bangunan
: 525 orang
5) Buruh industri
: 9 orang
6) Pedagang
: 622 orang
7) Pengangkutan
: 502 orang
8) PNS
: 207 orang
9) ABRI
: 72 orang
10) Pensiunan
: 1242 orang
D. Mutasi penduduk Kelurahan kaliancar tahun 2012
NO
1

STATUS
Pindah

JUMLAH

2
3
4
5

Datang
Lahir
Mati > 5 tahun
Mati < 5 tahun

1
6
1
1

1
4
3
-

2
10
4
1

JUMLAH

4. SUMBER DAYA KESEHATAN YANG ADA


A. Petugas
1) Bidan Desa
: 1 orang
2) Kader PKD
: 1 orang
B. Potensi
1) Dokter umum
:1orang
2) Dokter Spesialis Dalam
: 1 orang
3) Bidan
: 3 orang
4) Perawat
: 7 orang
5) Kader Posyandu
: 50 orang
C. Jumlah kelompok potensial terkait
1) Kepemudaan (di tiap-tiap RT sudah ada kelompok karang taruna yang
mengadakan kegiatan pertemuan rutin setiap 1 bulan sekali)
2) Koperasi ada 23 koperasi di 23 RT
5. SARANA PELAYANAN KESEHATAN YANG ADA
A. Rumah sakit
: 3 buah
1) Rumah sakit swasta
: 1 buah
2) RS Khusus anak
: 1 buah
3) RS Bersalin
: 1 buah
B. BPS
: 3 buah
b. Puskesmas
: 1 buah
c. PKD
: 1 buah
1) Posyandu lansia
: 10 buah
2) Posyandu balita
: 10 buah
6. DATA KESEHATAN MASYARAKAT
A. Masalah kesehatan masyarakat sebelum dan sesudah intervensi
1) Masalah kesehatan masyarakat sebelum intervensi
a. Terdapat peningkatan kasus DBD di Desa Kaliancar
Telah terjadi kasus luar biasa di desa Kaliancar, hal ini
dikarenakan pada tahun 2013 terjadi peningkatan kasus DBD lebih
dari dua kali lipat dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu
pada tahun 2012.

Penderita / Tersangka DBD


Grafik 2. Jumlah Kasus DBD Desa Kaliancar tahun 2011 2013
(Januari- April)
Penyelidikan
Berdasarkan Epidemiologi
kasus
DBD

tersebut

telah

dilakukan

penanggulangan kasus DBD sesuai dengan alur penanggulangan DBD


di lapangan, sepertidi bawah ini
Pemeriksaan Jentik
Pencarian Penderita Panas

Di rumah
penderita dan 20
rumah sekitarnya,
TTU, sekolah, dll

Ada penderita DBD lain atau ada


jentik dan ada penderita panas* 3
(Penanggulangan Kasus/Tersangka Dbd Di Lapangan)*)
Ya

Penyuluhan
PSN**
Foging radius
200 m

Tidak

Penyuluhan
PSN**

Bagan 2. Bagan Alur Penanggulangan KLB-DBD di Lapangan


*) Demam tanpa penyebab yang jelas pada hari itu atau seminggu sebelumnya
**) PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) : kegiatan menutup, menguras tempat
penampungan air, dan mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas atau
cara lain untuk membasmi jentik
Berikut adalah data kasus DBD pada tahun 2013 pada bulan Januari
sampai April.
Bulan

No

Data Kasus DBD Desa Kaliancar

Januari

An. I, 13 th, Brajan, RT 3 RW 5


Keterangan :
Telah dilakukan PE pada tanggal 15 januari 2013 dengan
hasil:
a. Jumlah rumah yng diperiksa 20 rumah
b. Jumlah post jentik 3 rumah dari 34 penampungan
air
c. House index (HI) 15%
d. ABJ 85 %
e. Counterner index 9,7%
f. Tidak ditemukan adanya penderita DBD lain atau
panas

Tn. S, 45 th, Brumbung, RT3 RW 7


Keterangan : Telah dilakukan PE pada tanggal 25 januari

2013 dengan hasil:


a. Jumlah rumah yng diperiksa 20 rumah
b. Jumlah rumah positif jentik 10 rumah dari 45
penampungan air
c. House index (HI) 50%
d. ABJ 50 %
e. Counterner index 31 %
f. Jumlah rumah diabatisasi 10 rumah
g. Ditemukan 2 penderita panas tanpa sebab, An.P 17
th, dan Ny.R 45 th.

Tn. A, 35 th, Klampisan RT 2 RW 10


Telah dilakukan PE pada tanggal 29 januari 2013 dengan
hasil:
a. Jumlah rumah yang diperiksa 20 rumah

b.
c.
d.
e.
Februari 1

April

Jumlah rumah positif jentik 4 rumah


House index (HI) 20%
ABJ 80 %
Ditemukan 2 penderita panas tanpa sebab yaitu
An.G, 5 th, dan An O, 16 th.

Tn. P, 60 th, Gunung Wijil RT1 RW1


Telah dilakukan PE pada tanggal 1 Februari 2013 dengan
hasil:
a. Jumlah rumah yng diperiksa 20 rumah
b. Jumlah rumah positif jentik 4 rumah
c. House index (HI) 20%
d. ABJ 80 %
e. Jumlah rumah diabatisasi 20 rumah
f. Tidak Ditemukan penderita panas tanpa sebab

An. W, 12 th, Gunung Gadung, RT 2, RW 8


Telah dilakukan PE pada tanggal 8Februari 2013 dengan
hasil:
a. Jumlah rumah yng diperiksa 20 rumah
b. Jumlah rumah positif jentik 7 rumah
c. House index (HI) 35%
d. ABJ 65 %
e. Counterner index 10,441 %
f. Jumlah rumah diabatisasi 10 rumah
g. Ditemukan 1 penderita panas tanpa sebab yaitu
An.A 12 th

An. M, 8 th, Klampisan RT 2 RW 7


Telah dilakukan PE pada tanggal 16 Februari 2013 dengan
hasil:
a. Jumlah rumah yng diperiksa 20 rumah
b. Jumlah rumah positif jentik 5 rumah
c. House index (HI) 25%
d. ABJ 75 %
e. Tidak ditemukan penderita panas tanpa sebab

An.R, 12 th, Brajan RT 1 RW 5


Telah dilakukan PE pada tanggal 2 Mei 2013 dengan hasil:
a. Jumlah rumah yng diperiksa 20 rumah
b. Jumlah rumah positif jentik 3 rumah
c. House index (HI) 15%
d. ABJ 85 %
e. Counterner index 25%
f. Jumlah rumah yang diabatisasi 3 rumah.
g. Tidak ditemukan penderita panas tanpa sebab

Tabel 1. Data pasien kasus DBD Desa Kaliancar Bulan Januari- April
tahun 2013
b. Kesadaran masyarakat untuk melakukan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) secara serempak dan berkelanjutan masih rendah. Hal
ini dapat terlihat dari ABJ yang kurang dari 95% seperti yang tertera
pada tabel 1.
c. Kurangnya pemahamam masyarakat Desa Kaliancar bahwa fogging
bukanlah solusi terbaik dalam mengatasi penyakit demam berdarah
dengue. Masyarakat beranggapan bahwa DBD harus ditangani dengan
fogging tanpa memahami kriteria pelaksanaan fogging dan bahayanya.
2) Masalah kesehatan masyarakat sesudah intervensi
a. Masih terdapat kasus DBD di Desa Kaliancar sebanyak 4 kasus pada
bulan Mei dan Juni (Tabel 3).

Bulan

No

Data Kasus DBD Desa Kaliancar

Mei

An. S, 13 th, Brajan, RT 1 RW 5

An.D, 10 th, Brajan, RT1 RW 5

An. D, 17 th, Brajan, RT 2 RW 5

An. S, 8 th, Brajan, RT 1 RW 5


Telah dilakukan PE pada tanggal 10 Juni 2013
dengan hasil:
a. Jumlah rumah yang diperiksa 50 rumah
b. Jumlah rumah positif jentik 8 rumah
c. House index (HI) 16%
d. ABJ 84 %
e. Couterner index 6, 34 %
f. Jumlah rumah yang diabatesasi 50 rumah
g. Ditemukan penderita panas tanpa sebab 2
orang, yaitu An. P, 17 th dan An. D, 17 th.

Juni

Tabel 1. Data pasien kasus DBD Desa Kaliancar Bulan Mei-Juni


tahun 2013
b. Masyarakat

sudah

memahami

pentingnya

PSN

tetapi

pada

kanyataanya belum terdapat kegiatan PSN yang dilakukan secara

serempak dan berkesinambungan sehingga hasilnya yang diharapkan


kurang maksimal.
c. Masyarakat sudah mengetahui kriteria fogging dan bahayanya, tetapi
masih tetap memaksa pihak Puskesmas untuk dilakukan fogging.

BAB V
DISKUSI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang banyak
ditemukan di negara tropis termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang
ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa
penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai
tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis,

epistaksis,

perdarahan

gusi,

hematemesis,

melena,

hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau


renjatan.
Desa Kaliancar merupakan salah satu desa dengan kasus DBD tertinggi di
wilayah Kecamatan Selogiri dan terdapat peningkatan kasus setiap tahunnya. Hal
itu terbukti dari data bagian Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas
Selogiri. Kasus terbanyak terjadi pada tahun 2013 dengan jumlah kasus sebanyak
7 pada bulan Januari hingga April. Tentu saja hal ini dapat dikatakan sebagai
Kasus Luar Biasa (KLB). Dikatakan suatu KLB bila memenuhi salah satu kriteria
KLB yang mengacu pada keputusan Dirjen No. 451/ 91 tentang Pedoman
penyelidikan Dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan tersebut
dinyatakan KLB bila terdapat :
1. timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal
2. peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama tiga
kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
3. peningkatan kejadian penyakit atau kematian dua kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya ( jam, hari, minggu, bulan,
tahun)
4. jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikan dua kali
lipat atau lebih bila dibandngkan dengan angka rata-rata per bulan dalam
tahun sebelumnya.
Kasus DBD Desa Kaliancar dalam hal ini sudah memenuhi tiga kriteria di atas
yaitu pada poin 1, 3, dan 4.
Dari data yang ada, diketahui bahwa 57,14% (4 dari 7 kasus) kasus DBD
Desa Kaliancar berasal dari Dusun Brajan sedangkan 14,28% dari dusun
Brumbung, 14,28% Klampisan, dan 14,28% sisanya dari Gunung Wijil.
Berdasarkan survei dan analisa yang kami lakukan, Desa Brajan memiliki angka
kasus yang tinggi dikarenakan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit DBD, antara lain agent, host, environtment.

Pada faktor agen diketahui bahwa di Desa Brajan memang terdapat virus
dengue yang merupakan penyebab penyakit DBD. Hal ini terbukti dari
terdapatnya pasien yang didiagnosa menderita DBD di desa tersebut. Ada 4
serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi
sepanjang tahun, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Virus tersebut
dipertahankan siklusnya didalam tubuh nyamuk, yaitu nyamuk Aedes aegypti, dan
albopictus.
Faktor yang ke dua adalah faktor host, yaitu

manusia yang

kemungkinan terjangkit penyakit DBD. Berdasarkan keterangan


masyarakat sekitar, beberapa penderita DBD memiliki mobilitas
yang tinggi sehingga mempermudah penularan dari suatu
tempat ke tempat lain. Selain itu, cara berfikir masyarakat yang
masih konserfatif dalam menyikapi kasus DBD. Mereka masih
menganggap bahwa pemberantasan nyamuk akan berhasil
hanya dengan fogging.
Faktor selanjutnya adalah faktor environtment (lingkungan).
Dusun Brajan memiliki satu aliran sungai yang kondisinya tidak terawat. Banyak
tumbuhan bambu yang tumbuh liar di sekitar aliran sungai sehingga musim
penghujan tiba banyak batang bambu yang terisi air hujan. Akibatnya tempat
tersebut dapat dijadikan sebagai sarang nyamuk Aedes aegypti untuk bertelur. Hal
itu ditunjang dengan kebiasaan masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan
masih rendah. Masyarakat masih gemar membuang sampah di sekitar aliran
sungai sehingga banyak barang-barang bekas yang mungkin dapat menampung air
dan menjadi sarang nyamuk di sekitar sungai. Kesadaran untuk membersihkan
lingkungan seperti menguras kamar mandi secara teratur, menutup tempat
penampungan air, dan menungubur barang-barang bekas juga sangat rendah
sehingga dapat menjadi sarang nyamuk. Faktor lainnya yaitu tingkat kerapatan
rumah penduduk setempat sehingga memudahkan penularan DBD melalui
nyamuk Aedes aegypti , karena kemampuan nyamuk ini dapat terbang dengan
jarak 100 meter.

Kesemua faktor-faktor tersebut memungkinkan banyaknya jentik-jentik


nyamuk yang terbukti pada saat dilakukan penyelidikan epidemiologi didapatkan
jentik yang positif pada beberapa rumah warga yang mana di interpretasikan
dengan angka bebas jentik yang rendah yaitu sebesar 78%, dan rata-rata House
index 25,71%.
Oleh karena itu, kami melakukan intervensi berupa penyuluhan langsung di
Desa Kaliancar kepada kader-kader setempat dan peserta posyandu lansia yang
mana diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga penyakit
ini dapat diberantas. Penyuluhan telah dilakukan di Desa Kaliancar pada Jumat,
tanggal ....jam ..... di......., materi yang diberikan mengenai penyakit DBD,
pentingnya PSN, prosedur fogging dan bahaya fogging. Penyuluhan berjalan
lancar dan baik. Masyarakat tampak antusias, dan memahami apa yang
disampaikan. Mereka juga berjanji untuk senantiasa melakukan PSN yang benar
secara serempak dan berkesinambungan.
Setelah dilakukan intervensi, ternyata masih ditemukan kasus DBD pada
bulan Mei sebanyak 2 kasus dan Juni sebanyak 2 kasus. Ternyata setelah kami
lakukan evaluasi diketahui bahwa masyarakat memang sudah mengetahui tentang
pentingnya PSN tetapi kegiatan tersebut belum dilakukan serempak dan
berkelanjutan. Akibatnya nyamuk tersebut masih dapat terus berkembang biak
menghasilkan telur dan menjadi jentik pada rumah yang tidak melaksanakan PSN
dan nyamuk yang sudah dewasa yang telah menghisap darah pasien DBD masih
dapat terbang tidak hanya kerumah yang tidak melaksanakan PSN tetapi juga ke
rumah yang telah melaksanakan PSN. Sehingga PSN di Desa Kaliancar dapat
dikatakan tidak berjalan secara maksimal.
Selain itu terdapat paradigma yang masih saja melekat bahwa fogging
adalah cara yang paling tepat untuk memberantas nyamuk meskipun sudah
dilaksanakan penyuluhan. Sehingga sudah beberapa kali warga Desa Kaliancar
meminta untuk fogging. Hal ini dikarenakan warga yang semakin panik karena
terdapat kasus baru di bulan Mei dan Juni. Puskesmas memang tidak
melaksanakan fogging karena Desa Kaliancar belum memenuhi kriteria untuk
fogging. Fogging dilakukan bila hasil analisa epidemiologi didapatkan tambahan

2 atau lebih kasus DBD dalam periode tiga minggu yang lalu atau ada tambahan
kasus DBD yang meninggal dalam periode tiga minggu yang lalu. Bila salah satu
kriteria tersebut terpenuhi baru dilakukan fogging fokus seluas 1 RW atau dukuh
atau 300 m2, atau seluas 16 Ha.
Pada Desa Kaliancar belum sesuai dengan kriteria diatas, yaitu pada 1
periode ( 3 minggu) hanya terdapat kasus < 2 oleh karena itu puskesmas
menindaklanjutinya dengan PSN, pemberian abate dan penyuluhan tanpa
dilanjutkan fogging. Pemerintah membuat prosedur ini dikarenakan terdapat
dampak fogging yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan
masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, fogging dapat menyebabkan nyamuk
menjadi resisten dan akan semakin sulit diberantas. mengingat bahan campuran
yang biasa digunakan adalah malathion dan solar.
Malathion yang merupakan pestisida golongan organofosfat. Malathion ini
dapat masuk kedalam tubuh melalui inhalasi dan kulit. Dalam tubuh, senyawa ini
akan menghambat enzim cholenesterase sehingga dapat merusak sistem saraf,
gastrointestinal, keseimbangan hormon dan gangguan sistem imun. Hasil
pembakaran solar antara lain berupa CO, NO2, SO2. Bila zat CO yang merupakan
hasil pembakaran solar ini dihirup oleh manusia, maka zat tersebut akan berikatan
dengan hemoglobin karena afinitas CO lebih kuat bila dibandingkan dengan
oksigen. Sehingga hemoglobin yang mengangkut oksigen berkurang. Selain itu
NO2 bersifat racun dapat mengakibatkan pneumonia, penyumbatan bronchioli.
SO2 bersifat iritan, mudah diserap selaput lendir saluran nafas, produksi lendir
berlebihan, iritan. Pemaparan berulang-ulang berisiko kanker saluran nafas.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN
a. DBD merupakan masalah kita bersama,mengingat begitu kompleksnya
masalah penularan DBD, maka perlu peran berbagai sektor dan masyarakat
untuk memberantasnya
b. Peningkatan kasus DBD di Desa Brajan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu agent, host, environtment.
c. Upaya penanggulangan penyakit DBD yang tepat, efektif, dan efisien adalah
pengendalian vektor dengan melaksanakan Gerakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) yang serempak dan berkelanjutan.
d. Fogging bukanlah solusi terbaik untuk menanggulani pengakit DBD karena
memiliki banyak kekurangan.

2. SARAN
a.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. 2009. DENGUE Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention,
2.

3.

4.
5.
6.
7.

and Control New Edition. WHO


Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010.
Demam Brdarah Dengue di Inodesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela
Epidemiologi Volume 2, Agustus 2010 . hal 1
Subdirektorat Pengedalian Arbovirosis. 2011. Tatalaksana Demam
Berdarah Dengue Di Indonesia, , 2011. Ditjen PP&PL Kementrian
Kesehatan RI
P2 DBD Puskesmas Selogiri. 2013.
Anggraini, D.S., 2010, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan
Madani
Chahaya, I., 2003, Pemberantasan Vektor DBD di Indonesia, Medan,
Digitized by
USU Digital Library
Sembel, D.T., 2009, Entomologi Kedokteran, Edisi. 1., Yogyakarta, CV
Andi Offset

8. Asih Y. 1999. Demam Berdarah Dengue; Diagnosis Pengobatan


Pencegahan dan pengendalian. EGC; Jakarta. Hal 17- 24

You might also like