You are on page 1of 19

Bagian Ilmu Penyakit Syaraf

Fakultas Kedokteran

Referat

Universitas Mulawarman

ENSEFALOPATI METABOLIK

Disusun oleh
Radhiyana Putri
0910015031

Pembimbing
dr. Susilo Siswonoto, Sp.S

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Bagian Ilmu Penyakit Syaraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2014

LEMBAR PENGESAHAN

ENSEFALOPATI METABOLIK

Referat

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


pada Bagian Ilmu Penyakit Syaraf

Disusun oleh:
Radhiyana Putri
NIM: 0910015031

Dipresentasikan pada September 2014

Pembimbing
dr. Susilo Siswonoto, Sp.S
NIP. 19670503 199763 1 003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2014

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................ii


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 1
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 2
1.1

Latar Belakang ............................................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 3


2.1

Definisi ........................................................................................................................ 3

2.2

Klasifikasi ................................................................................................................... 3

2.3

Etiologi dan Faktor Risiko .......................................................................................... 4

2.4

Patofisiologi ................................................................................................................ 6

2.5

Manifestasi Klinis ....................................................................................................... 9

2.6

Diagnosis................................................................................................................... 12

2.7

Penatalaksanaan ........................................................................................................ 12

2.8

Prognosis ................................................................................................................... 16

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 16


DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 17

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak

menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati yang terjadi sejak
dini mengakibatkan gangguan perkembangan neurologis. Pasien dengan ensefalopati dapat
mengalami kemunduran fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi neuropikologik, dan
kebiasaan (Dorland, 2010).
Beberapa bentuk ensefalopati antara lain ensefalopati hepatikum, hipoksik-iskemik
ensefalopati, HIV ensefalopati, hipertensi ensefalopati, wernicke ensefalopati, traumatik
ensefalopati, metabolik ensefalopati, dan ensefalopati bentuk lainnya. Ensefalopati metabolik
terdiri dari serangkaian gangguan neurologis yang disebabkan oleh kelainan struktural
primer, namun juga akibat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, dan gagal
jantung. Ensefalopati metabolik biasanya timbul dalam bentuk akut maupun subakut serta
bersifat reversibel jika gangguan sistemik yang mendasari ditangani dengan baik. Apabila
penyakit sistemik yang mendasari tidak mendapatkan penanganan yang adekuat, akan
menimbulkan kelainan struktural sekunder pada otak (Bates, 2003).
Angka kejadian ensefalopati belum banyak diteliti. Penelitian yang dilakukan di
London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150
per 57.000 kelahiran hidup atau berkisar 2,64%. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Australia Timur menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 164 per 43.000 kelahiran hidup
atau berkisar 3,8%. Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksik pada negara maju
dan naik menjadi 60% pada negara berkembang berkaitan dengan kejadian hipoksik iskemik
intrapartum. Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatikum
(Kurinczuk, White-Koning, & Badawi, 2010).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Ensefalopati metabolik adalah gangguan neuropsikiatrik akibat penyakit metabolik

otak (Dorland, 2010). Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang
ditandai dengan :
1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bakterial yang jelas
Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang
menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku, dan kejang yang
disebabkan oleh kelainan pada otak atau di luar otak (Sumantri, 2009). Prosesnya disfungsi
otak ini termasuk gangguan metabolik (elektrolit, fungsi renal, dan disfungsi hepar), beberapa
defisiensi (substrat metabolik, hormon tiroid, vitamin B12, dll), racun (obat-obatan, alkohol,
dll), atau kelainan toksik sistemik (misalnya sepsis). Pada ensefalopati metabolik terdapat
disfungsi difus otak, yang onsetnya cepat dengan fluktuasi tingkat kesadaran (perhatian dan
konsentrasi) (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
2.2

Klasifikasi
Klasifikasi ensefalopati metabolik dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu

(Mardjono & Priguna, 1989) :


1. Ensefalopati metabolik primer merupakan penyakit yang memperlihatkan
a. Degenerasi di substansia grisea otak, yaitu :
-

Penyakit jacob-creutzfeldt

Penyakit pick

Penyakit Alzheimer

Epilepsi mioklonik progresif

b. Degenerasi di substansia alba otak, yaitu :


-

Penyakit schilder

2. Ensefalopati metabolik sekunder, sangat beragam hingga diklasifikasikan menurut


sebab pokoknya, sebagai berikut
a.

Kekurangan zat asam, glukosa, dan kofaktor-kofaktor yang diperlukan untuk

metabolisme sel
(1). Hipoksia, yang bisa timbul karena :
3

- Penyakit paru-paru
- Anemia
- Intoksikasi karbon monoksida
(2). Iskemia, yang bisa berkembang karena Cerebral Blood Flow (CBF) yang
menurun akibat penurunan cardiac output seperti pada kondisi aritmia, infark jantung,
dekompensasi kordis, dan stenosis aorta. CBF menurun akibat penurunan resistensi
vaskular perifer. CBF menurun akibat resistensi vaskular yang meningkat, seperti
pada ensefalopati hipertensif, sindrom hiperventilasi, dan sindrom hiperviskositas.
(3). Hipoglikemia, yang bisa timbul karena pemberian insulin atau pembuatan insulin
endogenik meningkat.
(4). Defisiensi kofaktor thiamin, niacin, pyridoxin, dan vitamin B1
b.

Penyakit-penyakit organik di luar susunan saraf

(1). Penyakit non-endokrinologik seperti :


Penyakit hepar, ginjal, jantung, dan paru
(2). Penyakit endokrinologik seperti :
Penyakit addison, cushing sindrom, tumor pankreas, feokromositoma dan
tirotoksikosis
c. Intoksikasi eksogenik :
(1). Sedativa, seperti barbiturat, opiat, obat anti kolinergik, ethanol, dan penenang
(2). Racun yang menghasilkan banyak katab(olit acid, seperti paraldehyde,
methylalcohol, dan ethylene
(3). Inhibitor enzim, seperti cyanide, salicylat, dan logam-logam berat.
d.

Gangguan balans air dan elektrolit

(1). Hipo dan hipernatremia


(2). Asidosis respiratorik dan metabolik
(3). Alkalosis respiratorik dan metabolik
(4). Hipo dan hiperkalemia
2.3

Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi terjadinya ensefalopati metabolik dapat dilihat pada tabel 2.1. Secara umum,

penyebab ensefalopati metabolik dibagi menjadi intoksikasi obat atau ketergantungan obat,
abnormalitas elektrolit dan glukosa, disfungsi organ mayor (seperti hepar, ginjal, paru, dan
endokrin), defisiensi nutrisi, terpapar terhadap toksin,sindrom paraneoplastik (Varelas &
Graffagrino, 2013).

Tabel 2.1 Etiologi Ensefalopati Metabolik (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003)
Etiologi
Hipoksia

Iskemia

Anemia

Penyakit Paru

Hipoventilasi alveolar

Penyakit kardiovaskuler (termasuk cardiac arrest)

Aritmia

Penyakit mikrovaskular

Hipotensi

Hipertensi

Penyakit Sitemik -

Penyakit hepar

Penyait ginjal

Penyait pankratikus

Malnutrisi (defisiensi vitamin)

Disfungsi endokrin (hipoglikemia atau hiperglikemia dan keadaan


hiperosmolar)

Agen Toksik

Gangguan keseimbangan cairan, asam basa, dan elektrolit

Vaskulitis

Infeksi dan sepsis

Keganasan (Sindrom paraneoplastik)

Alkohol, sedatif (barbiturat, narkotik, da obat penenang)

Pengobatan

psikiatri

(antidepresan

trisiklik,

obat-obat

antikolinergik, Fenotiazin, MAO Inhibitor


-

Logam berat

Organofosfat, bensin

Obat-obat lain (Kortikosteroid, penisilin, anti konvulsan)

Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko yang berhubugan dengan terjadinya ensefalopati
metabolik, antara lain (Varelas & Graffagrino, 2013):
a. Usia tua (> 70 tahun)
b. Jenis kelamin laki-laki
c. Status fungsional buruk
d. Malnutrisi

e. Penyalahgunaan zat kimia


f. Kondisi kesehatan pre-morbid atau gangguan kognitif
g. Polypharmacy termasuk pengobatan yang berefek terhadap neurootransmitter (seperti
antikolinergik atau dopaminergik)
h. Kondisi fisik terbatas
i. Gangguan penglihatan atau pendengaran
j. Riwayat delirium sebelumnya
2.4

Patofisiologi
Berbagai mekanisme dapat berkontribusi terhadap terjadinya ensefalopati, namun

faktor toksik, anoksik, dan metabolik merupakan mekanisme tersering dan signifikan.
a.

Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan gradien

neurotransmitter dan ion. Tekanan oksigen tidak merata pada seluruh jaringan otak. Tekanan
tersebut lebih tinggi pada substansia grisea dibandingkan substansia alba, demikian pula
halnya dengan aliran darah dan penggunaan glukosa. Adapun efek pertama dari efek hipoksia
serebral adalah peningkatan pH intraseluler. Selanjutnya, kandungan kalsium inraselulaer
meningkat sebagai konsekuensi pelepasan kalsium dari retikulum endoplasmik. Konsentrasi
ATP mulai jatuh, dan ketika sebanyak 50-70% ATP neuronal hilang, pompa sodium gagal
sehingga saluran ion bervoltase terbuka, maka menyebabkan penurunan konsentrasi gradient
Na+, K+, Ca++, dan Cl- serta melepaskan cadangan neurotransmitter. Kemudian air akan
memasuki sel sehingga terjadi peingkatan osmolalitas dan sel membengkak. Konsentrasi
kalsium intraselular neuronal dapat meningkat hingga empat kali lipat. Konsentrasi kalsium
intraselular tersebut selanjutnya mengaktifkan lipase, protease, dan enzim katabolik lainnya
(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang cepat dan langsung pada saluran ion
membran yang sebagian terkait dengan fosforilasi. Beberapa saluran ion mengalami down
regulation untuk mengurangi saluran ion dan mengurangi kebutuhan energi selular. Beberapa
saluran ion mengalami up regulation yang menimbulkan depolarisasi dan kematian sel.
Hipoksia juga merangsang terbentuknya molekul hypoxia-inducible factor (HIF).
Pembentukan molekul ini terjadi setelah terjadi efek hipoksia terhadap saluran ion. Molekul
ini mengaktifkan transkripsi gen untuk eriropoietin, gen untuk enzim glikolitik dan gen yang
terlibat dalam angiogenesis (Teresa & Chua, 2010).

b.

Hiperkapnia dan hipokapnia


Patogenesis terjadinya kelainan neurologis terkait dengan hiperkapnia belum

dimengerti dengan jelas. Hiperkapnia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan


peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Sedangkan hipokapnia yang terjadi akibat
hiperventilasi dapat menimbulkan vasokonstriksi serebral, penurunan ketersediaan oksigen,
dan perubahan keseimbangan ion kalsium. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran,
tremor, gangguan penglihatan dan palpitasi. Adapun kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya koma hepatikum, lesi batang otak, dan
penyait kardiopulmoner tertentu (Teresa & Chua, 2010).
c.

Gangguan homeostasis glukosa


Glukosa diperlukan bagi fungsi neuronal. Kandungan glukosa pada otak lebih rendah

daripada darah dan hanya sedikit mengalami peningkatan pada hiperglikemia. Hal ini
penyaluran glukosa, laktat, maupun piruvat ke otak memerlukan transport spesifik tertentu
berupa GLUTS dan MCTs (glucose and monocarboxylic acids transporter protein). Jumlah
dari molekul transporter tersebut membatasi penetrasi glukosa ke dalam sel. GLUT 1 terletak
pada daerah sawar otak dan GLUT 3 terletak pada membran neuronal (Suspanc, Vargeksolter, & Demarin, 2003).
Sebagaimana pada kondisi hipoksia dan iskemia, hipoglikemia juga menginduksi
terjadinya kerusakan otak. Untuk dapat mempertahankan gradien neurotransmitter dan ion,
neuron membutuhkan suplai glukosa dan oksigen secara konstan. Apabila terjadi
hipoglikemik, maka terjadilah gangguan pada gradien neurotransmitter dan ion. Sebagaimana
yang terjadi pada kondisi hipoksia, terjadi akumulasi neurotransmitter eksitatori, yaitu
aspartat (pada hipoksia adalah glutamate) yang memiliki peranan patogenetik penting
terjadinya kerusakan dan kematian neuron (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
d.

Defisiensi nutrisi/vitamin
Biasanya terjadi pada defisiensi thiamin. Defisiensi thiamin menyebabkan perubahan

pada regio brain stem terutama talamus. Perubahan patologis tersebut akan menimbulkan
nistgmus, ekstraokuler palsy, ataksia (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
e.

Gangguan metabolisme asam-basa


Fungsi dan eksitabilitas otak sangat sensitif terhadap pH. pH cairan tubuh diatur

dengan sangat ketat. Barrier permeabilitas memisahkan sistem saraf pusat dengan cairan
tubuh. Cairan ekstraselular otak mengandung lebih banyak proton dan ion magnesium,
namun lbih sedikit pottasium. Lingkungan ekstraselular otak diatur atau diprogram untuk
mengandung lebih banyak H+. Banyak saluran ion bervoltase pada sistem saraf sensitif
7

terhadap perubahan pH. Asidosis (penurunan pH) menghambat saluran ion bervoltase dan
saluran ion yang diaktivasi oleh glutamat. Karena channel sodium dan kalsium lebih sensitif
terhadap perubahan pH dibandingkan channel pottasium, maka peningkatan pH (alkalosis)
akan meningkatkan entri kalsium dan sodium ke dalam sel neuron, membuat neuron tersebut
lebih mudah tereksitasi. Seringkali menyebabkan kejang dan gangguan kesadaran (Teresa &
Chua, 2010).
Normalnya cairan ekstraselular otak adalah isotonik dengan plasma. Jika osmolaritas
plasma berubah dengan cepat maka otak akan bertindak sebagai osmometer, otak akan
membengkak jika osmolaritas plasma menurun dan mengkerut jika osmolaritas plasma
meningkat akibat kehilangan cairan. Kondisi hiponatremia maupun hipernatremia dapat
mengganggu CNS dengan cara mengubah osmolalitas sel-sel otak. Adapun gejala neurologis
hiponatremia adalah sakit kepla, mual, inkoordinasi, delirium, dan akhirnya kejang fokal atau
generalisata dengan apneu. Peningkatan konsentrasi sodium dalam cairan tubuh akan
meningkatkan osmolalitas cairan dan menginduksi manifestasi serebral berat. Gejala
neurologis yang terjadi tanpa adanya perubahan struktural pada otak, kemungkinan
merupakan akibat langsung dari hiperosmolalitas. Keluhan dan gejala muncul akibat edema
serebral. Hal ini khususnya terjadi dengan rehidrasi yang cepat dan disebabkan oleh karena
peningkatan klorida dan pottasium pada otak (Teresa & Chua, 2010).
Konsentrasi pottasium ekstraselular otak memiliki efek besar terhadap eksitabilitas
serebral, tetapi gangguan serebral amat jarang pada pasien hiperkalemia ataupun
hipokalemia. Deplesi pottasium dapat mengakibatkan kelemahan otot. Pada kasus yang berat,
kelemahan otot mengalami progresi menjadi kuadripegia, gagal nafas mirip dengan Guillan
Barre syndrome. Adapun hiperkalemia dapat ditemukan pada pasien dengan hemolisis sel
darah merah (Teresa & Chua, 2010).
Hipokloremia merupakan sindrom yang ditandai dengan anoreksia, gagal tumbuh,
letargi, kelemahan otot, dan alkalosis metabolik hipokalemik yang dapat ditemukan pada
bayi-bayi yang mengonsumsi formula yang dapat mengurangi klorida selama 1 bulan atau
lebih. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan lingkar kepala, keterlambatan
bahasa, dan defisit visual motor (Teresa & Chua, 2010).
Kalsium merupakan kation ekstraselular utama. Kadar kalsium serum baik rendah
maupun tinggi dapat menimbulkan gangguan neurologis. Terdapat 3 bentuk kalsium dalam
serum yaitu terikat protein, chelated, dan terionisasi. Secara umum gejala neurologis
berhubungan dengan kadar kalsium terionisasi dengan jumlah 2,5 mg/dl atau kurang.

Hiperkalsemia dapat terjadi akibat hiperparatiroidisme, menyertai penyait maligna seperti


leukimia, dan pasien dengan gagal ginjal stadium akhir (Teresa & Chua, 2010).
f.

Hepatic encephalopathy
Kerusakan hati baik akut maupun kronik aka menginisisasi terjadinya serangkaian

keluhan neuropsikiatrik yang disebut dengan ensefalopati hepatik. Pada gagal hati akut,
perubahan

morfologi

pada

otak

didominasi

oleh

perubahan

astrositik,

terutama

pembengkakan astrositik, dan edema otak sitotoksik. Seiring dengan progresivitas edema
otak, tekanan intrakranial meningkat dan menghasilkan herniasi serebral. Pada gagal hati
kronik, kelainan mikroskopik prinsipal diantaranya aalah pembesaran dan peningkatan
jumlah astrosit protoplasmik. Sel-sel ini merupakan astrosit dengan nukleus yang membesar,
pucat, dan penyusutan pada protein asidik fibrilari glial. Sel-sel tersebut dapat ditemukan
pada korteks serebral, basal ganglia, nuklei batang otak, dan lapisan purkinje serebelum. Hal
ini juga dapat ditemukan pada ensefalopati HIV. Terdapat 2 faktor terpenting pada
patogenesis ensefalopati yakni peningkatan konsentrasi amonia pada plasma maupun otak. Di
otak, amonia akan diubah menjadi glutamine yang siklusnya berjalan dari astrosit sampai
neuron, dan selanjutnya akan diubah menjadi glutamate. Setelah pelepasan glutamate ke
celah sinaptik, reuptake terjadi pada astrosit. Penurunan konsumsi oksigen dan metabolisme
glukosa terjadi secara sekunder pada ensefalopati hepatikum (Suspanc, Vargek-solter, &
Demarin, 2003).
g.

Gagal ginjal
Dasar molekuar ensefalopati uremikum masih kompleks dan belum dimengerti

dengan baik. Sejauh ini, ensefalopati tersebut bisa muncul akibat uremia. Terjadi akumulasi
asam organik toksik pada sistem saraf pusat. Asam-asam yang memasuki otak ini akan
mengubah fungsi pompa ion sodium natrium. Aliran darah serebral juga menunjukkan defek
pada penggunaan oksigen. Defek ini mungkin muncul karena peningkatan permeabilitas otak
dan gangguan fungsi membran sehingga memungkinkan produk-produk toksik memasuki
jaringan otak (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
2.5

Manifestasi Klinis
Setiap pasien dengan ensefalopati metabolik mempunyai gambaran klinis yang khas,

tergantung dari penyakit penyebabnya dan komplikasi yang disebabkan oleh keadaan
komorbid atau pengobatan. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan individual ini, penyakit
spesifik seringkali menghasilkan pola-pola klinis yang berulang-ulang, dan jika dikenali
jarang sekali menghasilkan diagnosis yang keliru. Pemeriksaan secara menyeluruh dan detail
dari kesadaran, respirasi, reaksi pupil, pergerakan bola mata, fungsi motorik, dan
9

elektroensefalogram (EEG) dapat membedakan ensefalopati metabolik dengan kelainan


psikiatrik atau dengan penyakit struktural (Sumantri, 2009).

Aspek klinis kesadaran


Pada pasien dengan ensefalopati metabolik biasanya didahului oleh delirium. Penurunan daya
ingat jangka pendek, penurunan kemampuan untuk mempertahankan atau memindahkan
perhatian, proses pikir terganggu, gangguan persepsi, delusi dan atau halusinasi serta
gangguan siklus bangun-tidur (Sumantri, 2009).
Respirasi
Cepat atau lambat, penyakit ensefalopati metabolik hampir selalu menyebabkan kelainan
pernapasan baik dari sisi kedalaman ataupun irama. Kebanyakan perubahan ini terjadi secara
non-spesifik dan merupakan bagian dari penekanan batang otak yang lebih luas. Namun
demikian, pada keadaan-keadaan tertentu, perubahan pernapasan dapat meberikan gambaran
khas penyakit spesifik yang menyebabkan (Sumantri, 2009).
Perubahan respirasi neurologis dalam ensefalopati metabolik
Pasien-pasien dalam keadaan stupor atau koma ringan seringkali menampilkan gambaran
pernapasan Cheyne Stokes. Pada keadaan depresi batang otak yang lebih dalam hiperventilasi
neurogenik dapat terjadi sebagai akibat dari penekanan daerah inhibisi batang otak atau dari
terjadinya edema pulmonar neurogenik (Sumantri, 2009).
Hipoglikemia dan kerusakan anoksik lebih sering lagi menyebabkan hiperpnea transien,
sedangkan ketoasidosis diabetik dan penyebab koma lainnya yang menghasilkan asidosis
metabolik akan menunjukkan pernapasan lambat dan dalam (Kussmaul). Baik ensefalopati
hepatik dan keadaan inflamasi sistemik sama-sama menyebabkan hiperventilasi persisten
yang pada akhirnya menyebabkan alkalosis respiratorik primer. Pada keadaan-keadaan ini,
peningkatan frekuensi napas terkadang berhasil menutupi keadaan metabolik dasarnya dan
apabila pasien tersebut juga mempunyai rigiditas ekstensor gambaran klinisnya dapat secara
sekilas menyerupai penyakit struktural atau asidosis metabolik berat. Namun demikian
dengan melakukan pemeriksaan klinis secara teliti, biasanya dapat ditemukan diagnosis kerja
yang sesuai (Bates, 2003).
Efektivitas respirasi harus dievaluasi secara berulang-ulang pada saat penyakit metabolik
menekan otak, hal ini disebabkan karena formasio retikularis batang otak secara khusus
rentan terhadap depresi kimiawi. Anoksia, hipoglikemia dan obat-obatan dapat secara selektif
menginduksi hipoventilasi atau apnea sementara pada saat yang bersamaan tidak

10

mengganggu fungsi batang otak lainnya seperti respons pupil dan kendali tekanan darah
(Bates, 2003).
Pupil
Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupil menjadi kriteria klinis yang paling penting
dan mampu membedakan antara kerusakan struktural dengan penyakit metabolik. Adanya
refleks cahaya pupil yang tetap terjaga, walaupun disertai dengan depresi pernapasan,
kekakuan deserebrasi atau flasiditas motorik tetap mengindikasikan ensefalopati metabolik.
Ketiadaan refleks cahaya pupil mengimplikasikan adanya penyakit struktural dibanding
metabolik (Bates, 2003).
Aktivitas motorik
Pasien dengan penyakit ensefalopati metabolik biasanya memperlihatkan dua tipe kelainan
motorik: (1) kelainan non-spesifik dari kekuatan, tonus dan refleks termasuk juga kejang
fokal dan umum; (2) gerakan tidak bertujuan khas yang hampir patognomonik untuk
penyakit ensefalopati metabolik. Kelainan motorik difus sering ditemukan pada koma
metabolik dan menggambarkan derajat serta distribusi depresi SSP (Sumantri, 2009).
Kelemahan fokal juga seringkali ditemukan pada pasien dengan penyakit ensefalopati
metabolik. Pasien dengan penyakit ensfalopati metabolik juga sering mengalami kejang fokal
atau umum yang tidak dapat dibedakan dengan kejang akibat penyakit otak struktural.
Meskipun demikian, pada saat ensefalopati metabolik menyebabkan kejang fokal, fokusnya
seringkali berpindah-pindah dari satu serangan ke serangan yang lain, temuan ini jarang
didapatkan pada lesi struktural. Kejang migratorik seperti tersebut di atas sering ditemukan
pada uremia dan sangat sulit dikendalikan (Bates, 2003).
Tremor, asteriksis dan mioklonus multifokal merupakan manifestasi terutama dari
penyakit ensefalopati metabolik; ketiga manifestasi di atas jarang ditemukan pada lesi
struktural fokal kecuali mempunyai komponen toksik atau infeksi. Tremor pada ensefalopati
metabolik biasanya kasar dan iregular dengan laju 8-10 kali per detik. Tremor biasanya
hilang saat istirahat dan paling mudah ditemukan pada jari-jemari tangan yang terjulur
(Bates, 2003).
Asteriksis digambarkan sebagai gerakan mengepak telapak tangan bila dihiperekstensikan
pada pergelangan tangan dan banyak ditemukan pada banyak penyakit ensefalopati
metabolik.
Mioklonus multifokal merupakan gerakan berkedut kasar mendadak, non-ritmis dan tidak
berpola yang melibatkan sebagian atau sekelompok otot pada satu bagian dan kemudian
bagian tubuh yang lain, terutama pada wajah dan tungkai proksimal. Mioklonus multifokal
11

biasanya menyertai ensefalopati uremikum, penisilin intravena dosis tinggi, narkosis CO2 dan
ensefalopati hiperosmolar hiperglikemik. Mioklonus multifokal pada pasien koma
menandakan adanya penyakit metabolik yang berat (Sumantri, 2009).
2.6

Diagnosis
Adanya gangguan kesadaran, gangguan atensi, fluktuasi gejala dan keparahan dari

waktu ke waktu, adanya halusinasi, disorientasi atau distorsi persepsi, proses pemikiran yang
tidak terorganisir dengan baik (bicara inkoheren atau gangguan memori) seharusnya menjadi
tanda peringatan bagi dokter. Penting untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien
sebelumnya berdasarkan data dari rumah sakit/klinik berobat pasien sebelumnya.
Pemeriksaan klinis juga akan menunjukkan lokasi kelainan neurologis ketika terdapat lesi
pada otak, namun kebanyakan kasus menunjukkan adanya gangguan pada tanda vital
(takikardia, hipotensi, hipertensi, takipnea). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dan
sistematik juga menunjukkan penyebab spesifik terjadinya ensefalopati. Sebagai contoh,
ekstremitas basah dan pucat pada syok hipotensi, ikterik pada ensefalopati hepatikum, nafas
berbau keton pada ketoasidosis diabetikum (Varelas & Graffagrino, 2013).
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menunjukkan penyebab yang mendasari
terjadinya ensefalopati. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan darah lengkap; kadar
elektrolit serum, ureum, kreatinin, kadar gula darah; evaluasi hormon thyroid, parathyroid,
dan horon adrenal lainnya; tes fungsi hepar, amilase, lipase, dan amonia; Kadar troponin;
analisa gas darah; evaluasi cairan serebrospinal; kultur cairan tubuh (darah, urin, feses,
sputum); serta toksikologi serum dan urin termasuk kadar obat-obatan anti epileptik dan
logam berat (Varelas & Graffagrino, 2013).
Electroencephalography (EEG) mungkin menunjukkan gelombang trifasik yang
biasanya menunjukkan ensefalopati uremikum atau hepatikum, tapi hal ini tidak spesifik.
Pemeriksaan neuroimaging dapat membantu untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya
lesi struktural dan pemeriksaan punksi lumbal yang biasanya mengarahkan pada
kemungkinan ensefalopati toxometabolik. MRI otak menunjukkan temuan spesifik pada
kondisi seperti myelinolysis pontine pusat dari koreksi segera hiponatremia, keracunan kabon
monoksida, methanol, ethylene glucol, siklosporin, atau intoksikasi metronidazole (Varelas &
Graffagrino, 2013).
2.7

Penatalaksanaan
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat mengobati kondisi

yang mendasari yang menyebabkan terjadinya ensefalopati dan memberikan perawatan

12

suportif. Pada pasien dalam keadaan koma, maka diperlukan tindakan emergensi umum
meliputi (Bates,2003; Sumantri, 2009):
1. Menjaga jalan napas (airway)
2. Amankan oksigenasi
Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari 100mmHg dan
PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.
3. Pertahankan sirkulasi
Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP; 1/3 sistolik +
2/3 diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan mempergunankan obat-obatan
hipertensif dan atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi tidak boleh
diterapi langsung kecuali tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien lansia
dengan riwayat hipertensi kronik, tekanan darah tidak boleh diturunkan melebihi level
dasar pasien tersebut, oleh karena hipotensi relatif dapat menyebabkan hipoksia
serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya sehat, tekanan sistolik di atas 70 atau 80
mmHg biasanya cukup
4. Ukur kadar glukosa
Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL, bahkan
setelah episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip kehati-hatian
harus diterapkan untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan air
(dekstrosa 5% atau 10%) sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi stabil.
5. Pemberian tiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme kronik
dan atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa dapat
mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu disarankan untuk
memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah pemberian glukosa.
6. Hentikan kejang
Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan otak dan
harus dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai 0,1mg/kg)
atau diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
7. Perbaiki keseimbangan asam basa
Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar pH biasanya akan kembali ke
keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera mungkin karena asidosis
metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik dapat mengganggu
fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului kegagalan napas, sehingga harus
menjadi peringatan kepada klinisi bahwa bantuan ventilator mekanis mungkin
13

diperlukan. Peningkatan kadar CO2 juga dapat menaikkan tekanan intrakranial,


sehingga harus di jaga dalam kadar senormal mungkin. Alkalosis respiratorik dapat
menyebabkan aritmia jantung dan menghambat upaya penyapihan dari dukungan
ventilator.
8. Sesuaikan suhu tubuh
Hipertermia merupakan keadaan yang berbahaya karena meningkatkan kebutuhan
metabolisme serebral, bahkan pada tingkat yang ekstrim dapat mendenaturasi protein
selular otak. Suhu tubuh di atas 38,5C pada pasien hipertermia harus diturunkan
dengan menggunakan antipiretik dan bila diperlukan dapat digunakan pendinginan
fisik (eq. selimut pendingin). Hipotermia signifikan (di bawah 34C) dapat
menyebabkan pneumonia, aritmia jantung, kelainan elektrolit, hipovolemia, asidosis
metabolik, gangguan koagulasi, trombositopenia dan leukopenia. Pasien harus
dihangatkan secara bertahap untuk mempertahankan suhu tubuh di atas 35C.
9. Pemberian antidotum spesifik
Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang disebabkan
oleh overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak obat-obatan sedatif,
alkohol, opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat dikonsumsi tunggal atau
dengan kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat diobati hanya dengan
penatalaksaan suportif, bahkan karena banyak dari pasien ini menggunakan obat
secara kombinasi pemberian antidotum spesifik sering tidak membantu. Pemberian
koktail koma (campuran dekstrosa, tiamin, naloksone dan flumazenil) jarang sekali
membantu dan dapat membahayakan pasien. Meskipun demikian, pada saat ada
kecurigaan kuat bahwa ada zat spesifik yang telah dikonsumsi, maka beberapa
antagonis yang secara spesifik membalikkan efek obat-obatan penyebab koma dapat
berguna

Tabel 2.2 Antidotum dan indikasi pemakaian (Sumantri, 2009)

Antidotum

Indikasi

Nalokson

Overdosis opioid

Flumazenill

Overdosis benzodiazepine

Fisostigmin

Overdosis

antikolinergik

(gamma-

hidroksibutirat)
Fomepizol

Keracunan metanol, etilen glikol

14

Glukagon

Overdosis trisiklik

Hidroksokobalamin

Overdosis sianida

Okreotid

Hipoglikemia karena sulfonilurea

10. Kendalikan agitasi


Obat-obatan dengan dosis sedatif harus dihindarkan sampai dapat diperoleh diagnosis
yang jelas dan pasti bahwa permasalahan yang terjadi adalah metabolik bukan
struktural. Agitasi dapat dikendalikan dengan merawat pasien di dalam ruangan
bercahaya dan ditemani oleh keluarga atau anggota staff keperawatan serta berbicara
dengan nada yang menenangkan kepada pasien. Dosis kecil lorazepam (0,5 sampai
1,0mg per oral) dapat diberikan dengan dosis tambahan setiap 4 jam sejauh yang
diperlukan dapat digunakan untuk mengendalikan agitasi. Apabila ternyata tidak
mencukupi, maka dapat diberikan haloperidol 0,5 sampai 1,0mg per oral atau
intramuskular dua kali sehari, dosis tambahan setiap 4 jam dapat diberikan sesuai
dengan keperluan. Pada pasien yang telah mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan
sedatif secara rutin, dosis yang lebih besar dapat diperlukan oleh karena adanya
toleransi silang. Penelitian terbaru menunjukkan valproat, benzodiazepine, dan atau
antipsikotik dapat meredakan agitasi pada saat obat-obatan primer telah gagal. Untuk
sedasi jangka waktu sangat pendek, seperti yang diperlukan untuk melakukan CTscan, maka sedasi intravena dengan menggunakan propofol atau midazolam dapat
digunakan, oleh karena obat-obatan ini mempunyai masa kerja singkat dan midazolam
dapat dibalikkan efeknya setelah prosedur selesai.
Pengekang fisik harus dihindari sebisa mungkin, namun terkadang mereka diperlukan
untuk pasien dengan agitasi yang berat. Prinsip kehati-hatian harus diterapkan untuk
memastikan pengekang tubuh tidak mengganggu pernapasan dan pengekang tungkai
tidak menghambat peredaran darah atau merusak persarafan perifer. Pengekang harus
dilepas sesegera setelah agitasi dapat dikendalikan.
11. Lindungi mata
Erosi kornea dapat timbul dalam jangka waktu empat sampai enam jam bila mata
pasien koma terbuka baik secara penuh atau sebagian. Keratitis akibat paparan dapat
menyebabkan terjadinya ulserasi kornea bakterial sekunder. Pencegahan terhadap
keadaan di atas dapat diperoleh dengan meneteskan air mata buatan setiap empat jam
atau dengan menggunakan balut korneal polietilen. Memeriksa refleks kornea dengan

15

kapas berulang-ulang juga dapat merusak kornea, teknik yang lebih aman digunakan
adalah dengan meneteskan tetes mata saline dari jarak 10-15 cm.
2.8

Prognosis
Kebanyakan ensefalopati metabolik adalah reversibel, tetapi beberapa memiliki

potensi untuk kecacatan jangka panjang. Semakin tua usia pasien dan semakin parah
ensefalopati dan kegagalan multiorgan yang dialami, maka semakin tinggi mortalitas (Teresa
& Chua, 2010).

BAB III
KESIMPULAN
Ensefalopati metabolik merupakan kelainan fungsi otak yang menyebabkan gangguan
neurologis yang disebabkan oleh kelainan zat-zat metabolit, toksin, atau kegagalan organ.
Klasifikasi ensefalopati dapat berdasarkan penyebabnya yaitu ensefalopati metabolik primer
yang diakibatkan oleh disfungsi substansia alba maupun grisea pada otak dan ensefalopati
metabolik sekunder yang diakibatkan oleh berbagai macam faktor yang diantaranya adalah
kekurangan

glukosa

dan

zat-at

yang

diperlukan

untuk

metabolisme

sel

serta

ketidakseimbangan ion dan cairan tubuh. Diagnosa ensefalopati metabolik harus diambil
secara cepat dan tepat sehingga dapat dengan segera ditangani karena komplikasi yang
ditimbulkannya sangat berat yaitu dapat menyebabkan disfungsi neurologis bahkan kematian.

16

DAFTAR PUSTAKA

Bates, D. (2003). Medical coma. 4.(Neurologic emergencies).


Dorland, W. N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland (20 ed.). Jakarta: ECG.
Kurinczuk, J., White-Koning, M., & Badawi, N. (2010). Epidemiology of Neonatal
Encephalopathy and Hypoxic Ischemi Encephalopathy. 86, 329-338.
Mardjono, M., & Priguna, S. (1989). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Sumantri, S. (2009). Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan Kesadaran.
Surabaya: Universitas Brawijaya.
Suspanc, V., Vargek-solter, V., & Demarin, V. (2003). Metabolic Encephalopathies. 42.
Teresa, P., & Chua, C. (2010). Encephalopathies. UERMMCI College of Medicine.
Varelas, P. N., & Graffagrino, C. (2013). Metabolic encephalopathies and delirium.

17

You might also like